Kamis, 09 Juli 2015

Film 300, Pelecehan Terhadap Peradaban Iran oleh Hollywood





Industri perfilman Hollywood telah berkali-kali memproduksi film yang menyimpangkan fakta sejarah dan mendiskreditkan ras atau etnis tertentu. Awal tahun 2007, film serupa kembali dirilis Hollywood dan kali ini, yang menjadi korbannya adalah bangsa dan peradaban Iran. Film tersebut berjudul “300” dan sengaja dibuat untuk mendiskreditkan bangsa dan kultur Iran. Film ini diproduksi oleh perusahaan film Warner Bros, yang mengangkat cerita mengenai tragedi yang pernah terjadi 480 tahun Sebelum Masehi. Dalam skenario film ini diceritakan 300 tentara Sparta berperang menghadapi pasukan kolosal Khashayar Shah dari Dinasti Achaemenian. Tragedi bersejarah yang dipoles oleh Hollywood ini digambarkan dalam bentuk perlawanan sekelompok tentara Barat yang berjumlah sedikit terhadap pasukan kolosal Timur dan Iran yang sangat keji. Dengan menggunakan spesial efek yang luar biasa, bangsa Iran dalam film ini dikesankan sebagai bangsa yang keji, haus darah, dan zalim.

Film 300 yang dibuat hanya dalam waktu dua bulan ini, oleh sebagian pakar sinema dinilai sebagai film fiktif semata. Namun menurut para pengamat politik, film 300 termasuk agenda yang sudah diperhitungkan sejak jauh hari untuk mencoreng wajah Iran yang memiliki peradaban yang sangat tua. Sejarah peradaban Iran lebih dahulu muncul beberapa abad sebelum peradaban Eropa. Iran merupakan bangsa yang pertama kali mendirikan imperium di dunia. Pada saat itu, bangsa Iran berkuasa di berbagai kawasan yang meliputi Mesir hingga India, dan melintasi Teluk Persia hingga Yunani.

Selama 500 tahun, dinasti Achaemenian mempersembahkan berbagai karya besar untuk umat manusia. Instansi pos, bendungan air, kanal-kanal perairan dan jalur transportasi yang panjang adalah di antara inovasi dinasti ini. Pionir peradaban Achaemenian adalah seorang pendekar bernama Cyrus. Dalam sejarah, Cyrus juga tercatat sebagai pembebas kaum Yahudi dari kezaliman bangsa Babilonia. Pada 2500 tahun yang lalu, salah satu raja dinasti Achaemenian bernama Darius juga menguasai Terusan Suez.

Dinasti Achaemenian pada akhirnya terpecah-belah setelah datangnya serangan dari Alexander Macedonia. Alexander berambisi untuk menguasai dunia, termasuk Iran, sehingga dia melakukan serangkaian ekspedisi perang ke berbagai wilayah. Alexander Macedonia menyerang Iran dengan membakar Istana Persepolis, yang merupakan simbol peradaban dunia zaman itu. Puing-puing istana itu hingga kini masih ada di Shiraz, selatan Iran. Kini, 25 abad telah berlalu sejak serangan Alexander dan Barat sebagai penerus ambisi Alexander kembali menggelar perang terhadap Iran melalui berbagai cara, termasuk melalui perangkat canggih Hollywood.

Dalam film 300 ini, Barat tak mempedulikan hasil riset-riset yang aksiomatis dalam sejarah. Film ini juga melupakan gaya hidup dan bentuk pakaian bangsa Iran. Dalam film ini, Khashayar Shah digambarkan mirip dengan orang-orang Afrika dan India. Perlu diketahui juga, kekerasan merupakan bagian dari perang. Untuk itu, sebuah peradaban tak bisa dilecehkan karena melakukan kekerasan dalam peperangan. Jika kita menengok sejarah Yunani kuno dan imperium Romawi, terdapat ribuan tragedi terkait pembunuhan massal, pembakaran hidup-hidup, dan kejahatan-kejahatan perang lainnya. Sejak 20 abad lalu hingga kini, nama raja-raja Romawi kuno seperti Nero dan Caligula tercatat dalam sejarah sebagai penguasa yang paling sadis dan peminum darah. Dinasti Sparta yang dibanggakan dalam film 300 ini malah justru tercatat sebagai pelaksana sistem arogansi, hegemoni, serta pelaku perang.

Tentu saja, pernyataan tadi bukan berarti membenarkan peperangan, melainkan untuk sekedar memberitahukan hakikat asli Dinasti Sparta yang diagungkan dalam film ini. Sementara itu, bangsa Iran beberapa abad setelah peperangan ini, akhirnya menjalani kehidupan baru dengan menerima ajaran Islam. Setelah menerima Islam, peradaban Iran semakin maju dengan munculnya perkembangan pesat di pelbagai bidang ilmu, sosial, dan politik.

Dalam menanggapi berbagai kritik terhadap film ini, pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan film ini menyatakan, “Film ini menggambarkan perang antara bangsa Iran dan Sparta dipoles dengan data yang infaktual dan fiktif.” Namun, karena film ini telah mempermainkan identitas sejarah sebuah bangsa, film ini jelas telah melanggar etika dan menyinggung perasaan bangsa Iran. Tak heran bila kemudian muncul gelombang protes terhadap film ini dari bangsa Iran, baik yang tinggal di Iran maupun di luar negeri. Orang-orang Iran, dari berbagai agama, mazhab, dan haluan politik bersama-sama membela bangsa mereka yang telah dilecehkan oleh film ini.

Hollywood sebagai perusahaan film terbesar AS yang sekaligus representasi dari ambisi politik Washington di dunia perfilman, berusaha keras mencoreng peradaban besar Iran dan membangun opini umum dunia guna menyudutkan bangsa Iran. Hingga kini, meski telah dikritik banyak pihak, Washington masih tetap bersikeras pada kebijakan anti-Iran-nya itu. Sebagian pengamat politik menilai, niat AS untuk menyerang Iran seperti yang dilakukan Alexander di masa lalu, harus didahului dengan membangun opini terlebih dahulu. Untuk itulah, Hollywood sebagai alat politik Washington, memainkan perannya dalam mencoreng wajah bangsa Iran yang cinta perdamaian.

Terlepas dari segala kritikan teknis dan sejarah terhadap film ini, yang jelas, keagungan peradaban Iran sama sekali tak akan tergoyahkan oleh pembuatan film semacam ini. Sejarah manusia sangat berhutang budi kepada berbagai peradaban unggul, seperti peradaban Iran Islami, Yunani, Cina, dan Mesir. Disamping itu, kelanggengan peradaban manusia saling terkait erat dengan peradaban lainnya. Tak diragukan lagi, kritikan terhadap film ini tak hanya untuk membela bangsa Iran, tapi juga bisa dikatakan sebagai bentuk reaksi logis terhadap penyimpangan sejarah yang berkali-kali dilakukan oleh Hollywood demi menjaga interest Gedung Putih, karena Iran bukanlah satu-satunya korban dari pelecehan Hollywood.

Film 300 ini mulai dipromosikan di situs-situs sinema sejak akhir tahun 2006 dan dirilis pertama kali pada tanggal 9 Maret 2007. Dalam promosi film tersebut dikomentari bahwa penonton film ini akan melihat wajah lain bangsa Iran. Bangsa Iran cukup sensitif ketika melihat cuplikan-cuplikan film 300 yang ditayangkan untuk mempromosikan film tersebut, dan kini setelah film itu ditayangkan secara umum, mereka pun telah menangkap jelas tendensi di balik pembuatan film tersebut. Film 300 yang diproduksi oleh Warner Bross merupakan serangan yang tidak jantan dan pendeskriditan terhadap peradaban dan sejarah Iran.

Film ini diangkat dari novel karya Frank Miller yang menceritakan pertempuran Khashayar Shah, seorang raja Iran, dengan Raja Leonidas, seorang raja Spartan dari Yunani. Film ini mengambil latar belakang pertempuran Thermopylae, di mana Raja Leonidas mengerahkan 300 pasukan untuk menghadapi pasukan kolosal Raja Khashayar Shah. Namun pada akhirnya, pintu-pintu gerbang kota dapat dijebol oleh pasukan Iran dan kemudian pasukan Yunani mengalami kekalahan. Film ini mengangkat catatan dari Herodotus yang menyatakan, perlawanan selama tiga hari pasukan Spartan melawan pasukan Iran telah menimbulkan persatuan bangsa Yunani dan pembentukan pemerintahan demokratis.

Namun, pernyataan ini dibantah oleh Touraj Daryaee, seorang profesor Sejarah Kuno dari Universitas California. Dalam film ini orang-orang Sparta digambarkan sebagai pecinta demokrasi dan anti perbudakan. Padahal, sejarah menyebutkan, Dinasti Achaemenian di Iran mempekerjakan dan membayar para pekerja, tanpa memperdulikan etnik maupun jenis kelamin. Sebaliknya, pada zaman yang sama, hanya 14 persen orang-orang Yunani yang berpartisipasi dalam pemerintahan yang demokratis. Bahkan, pada saat itu, hampir 37% populasi Yunani adalah budak. Menurut Touraj Daryaee, Sparta adalah kerajaan militer, bukan pemerintahan demokratis dan bahkan memiliki sistem perbudakan.

Sutradara film 300, Zack Snyder, mengoptimalkan spesial efek yang luar biasa dalam film ini. Dengan melibatkan aktor-aktor nyata, bukan animasi, Snyder mampu memoles tayangan pertempuran dalam film tersebut sehingga terkesan seperti pertempuran yang nyata. Padahal, tayangan tersebut adalah hasil kombinasi permainan efek dengan latar belakang gambar-gambar. Namun demikian, para pengamat film tetap menilai negatif film tersebut dan sebagian menyebutnya sebagai film ala video game. Dalam film tersebut, pasukan Iran digambarkan seperti makhluk aneh dan juga dikesankan seperti robot yang tak berakal, yang tugasnya hanya membunuh manusia. Sebaliknya pasukan Yunani digambarkan sebagai pasukan yang cerdas.

Seorang kritikus film di koran New York Times menulis, Film 300 merupakan film yang bisa disetarakan dengan film Apocalypto yang disutradarai oleh Mel Gibson. Akan tetapi film 300 lebih konyol dua kali lipat dibanding film Apocalypto. Film ini cenderung menekankan penampilan luar. Dalam bagian film yang tak ada pertempuran dan pertumpahan darah, tubuh dan pakaian perang pasukan Yunani dan perhiasan-perhiasan pasukan Iran ditampilkan secara konyol.

Semakin jauh menyaksikan flm 300, akan kian nampak tendensi di balik pembuatan film ini. Koran Washinton Post menyebutkan, “Film 300 dikonsumsikan untuk penonton yang nalarnya rendah, bahkan dalam film itu sama sekali tak dijelaskan urgensi pengorbanan untuk menyelamatkan Thermopylae dan juga tak ada sedikit pun ulasan soal kekalahan telak Yunani dalam menghadapi bangsa Iran. Bagian film lainnya juga menampilkan parlemen Yunani yang menolak untuk memberikan dukungan dan bantuan kepada Raja Leonidas melalui serangkaian perdebatan. Hal ini mengingatkan Kongres AS yang menolak kebijkan Presiden AS, George W Bush soal perang Irak.”

Seorang warga Iran setelah menonton film 300 menuliskan komentarnya di weblog pribadinya. Dia mengatakan, “Tanpa mempedulikan pemeranan karakter yang lemah dalam film ini, tema yang diangkat dalam film ini berkisar soal kebebasan dan perbudakan. Film itu juga menceritakan bahwa pasukan Iran menyerang Yunani untuk menjadikan bangsa Spartan sebagai budak dan satu-satunya cara untuk menyelamatkan dunia adalah dengan kemenangan bangsa Yunani. Ini mirip klaim yang digembar-gemborkan oleh AS dan sejumlah negara-negara arogan dunia. Di tengah-tengah upaya Iran untuk mengembangkan teknologi nuklir sipil, film tak bernilai semacam ini telah dirilis secara sengaja untuk mendiskreditkan bangsa Iran. Hal ini juga berkali-kali telah dilakukan oleh Hollywood dalam kondisi-kondisi sensitif, seperti film ‘Alexander’ yang sengaja dikemas untuk mengucilkan Iran.”

Pemerintah Iran sendiri secara resmi melalui Lembaga Budaya Republik Islam Iran telah meminta UNESCO untuk menindak dan melarang penayangan film 300 yang bertendensi mendeskriditkan peradaban dan sejarah bangsa Iran. Lembaga ini secara tegas menyatakan, “Dengan memperhatikan piagam UNESCO yang mengecam kebencian dan pertentangan, dan juga mengingat UNESCO sebagai pihak yang bertugas melindungi peninggalan kebudayaan dunia, maka lembaga internasional ini harus mengeluarkan reaksi terkait masalah ini.”

Warga Iran di seluruh dunia juga menggalang penandatanganan petisi online untuk memprotes penayangan film 300. Sebuah situs khusus juga dibuat untuk menampung kritikan para penonton film ini yang memprotes film tersebut. Banyak pihak yang membubuhkan tanda tangan sebagai aksi protes. Surat protes terbuka ini sengaja dimuat di situs ini dalam rangka mengecam arogansi Hollywood, dan langkah ini kian mendapat sambutan dari hari ke hari. Salah satu penggagas situs ini mengatakan, “Problema utama dalam film 300 adalah bahwa bangsa Iran dalam film ini digambarkan secara tidak realistis, dan sebuah bangsa besar dan beradab telah dikesankan negatif. Hal ini sama sekali tak bisa diterima.”

Propaganda yang dikemas dengan data bohong dan tendensius ini merupakan politik Barat dalam rangka menyudutkan bangsa Iran. Sangatlah jelas bahwa pencorengan terhadap nama baik bangsa Iran di mata dunia dan justifikasi atas politik perang Washington adalah tujuan di balik pembuatan film 300. Namun bagi orang yang mengenal peradaban agung Iran, pembuatan film semacam ini sama sekali tak mengurangi penghargaan mereka terhadap peradaban tinggi bangsa Iran. Sumber: IRIB bahasa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar