Industri
perfilman Hollywood telah berkali-kali memproduksi film yang menyimpangkan
fakta sejarah dan mendiskreditkan ras atau etnis tertentu. Awal tahun 2007,
film serupa kembali dirilis Hollywood dan kali ini, yang menjadi korbannya
adalah bangsa dan peradaban Iran. Film tersebut berjudul “300”
dan sengaja dibuat untuk mendiskreditkan bangsa dan kultur Iran. Film ini
diproduksi oleh perusahaan film Warner
Bros, yang mengangkat cerita mengenai tragedi yang pernah terjadi
480 tahun Sebelum Masehi. Dalam skenario film ini diceritakan 300 tentara Sparta
berperang menghadapi pasukan kolosal Khashayar
Shah dari Dinasti Achaemenian. Tragedi bersejarah yang
dipoles oleh Hollywood ini digambarkan dalam bentuk perlawanan sekelompok
tentara Barat yang berjumlah sedikit terhadap pasukan kolosal Timur dan Iran
yang sangat keji. Dengan menggunakan spesial efek yang luar biasa, bangsa Iran
dalam film ini dikesankan sebagai bangsa yang keji, haus darah, dan zalim.
Film
300 yang dibuat hanya dalam waktu dua bulan ini, oleh sebagian pakar sinema
dinilai sebagai film fiktif semata. Namun menurut para pengamat politik, film
300 termasuk agenda yang sudah diperhitungkan sejak jauh hari untuk mencoreng
wajah Iran yang memiliki peradaban yang sangat tua. Sejarah peradaban Iran
lebih dahulu muncul beberapa abad sebelum peradaban Eropa. Iran merupakan
bangsa yang pertama kali mendirikan imperium di dunia. Pada saat itu, bangsa
Iran berkuasa di berbagai kawasan yang meliputi Mesir hingga India, dan
melintasi Teluk Persia hingga Yunani.
Selama
500 tahun, dinasti Achaemenian mempersembahkan berbagai karya besar untuk umat
manusia. Instansi pos, bendungan air, kanal-kanal perairan dan jalur
transportasi yang panjang adalah di antara inovasi dinasti ini. Pionir
peradaban Achaemenian adalah seorang pendekar bernama Cyrus.
Dalam sejarah, Cyrus juga tercatat sebagai pembebas kaum Yahudi dari kezaliman
bangsa Babilonia. Pada 2500 tahun yang lalu, salah satu raja dinasti
Achaemenian bernama Darius juga menguasai Terusan Suez.
Dinasti
Achaemenian pada akhirnya terpecah-belah setelah datangnya serangan dari Alexander Macedonia. Alexander berambisi untuk menguasai
dunia, termasuk Iran, sehingga dia melakukan serangkaian ekspedisi perang ke
berbagai wilayah. Alexander Macedonia menyerang Iran dengan membakar Istana
Persepolis, yang merupakan simbol peradaban dunia zaman itu. Puing-puing
istana itu hingga kini masih ada di Shiraz,
selatan Iran. Kini, 25 abad telah berlalu sejak serangan Alexander dan Barat
sebagai penerus ambisi Alexander kembali menggelar perang terhadap Iran melalui
berbagai cara, termasuk melalui perangkat canggih Hollywood.
Dalam
film 300 ini, Barat tak mempedulikan hasil riset-riset yang aksiomatis dalam
sejarah. Film ini juga melupakan gaya hidup dan bentuk pakaian bangsa Iran.
Dalam film ini, Khashayar Shah digambarkan mirip dengan orang-orang Afrika dan
India. Perlu diketahui juga, kekerasan merupakan bagian dari perang. Untuk itu,
sebuah peradaban tak bisa dilecehkan karena melakukan kekerasan dalam
peperangan. Jika kita menengok sejarah Yunani
kuno dan imperium Romawi, terdapat ribuan tragedi terkait
pembunuhan massal, pembakaran hidup-hidup, dan kejahatan-kejahatan perang
lainnya. Sejak 20 abad lalu hingga kini, nama raja-raja Romawi kuno seperti Nero
dan Caligula
tercatat dalam sejarah sebagai penguasa yang paling sadis dan peminum darah.
Dinasti Sparta yang dibanggakan dalam film 300 ini malah justru tercatat
sebagai pelaksana sistem arogansi, hegemoni, serta pelaku perang.
Tentu
saja, pernyataan tadi bukan berarti membenarkan peperangan, melainkan untuk
sekedar memberitahukan hakikat asli Dinasti Sparta yang diagungkan dalam film
ini. Sementara itu, bangsa Iran beberapa abad setelah peperangan ini, akhirnya
menjalani kehidupan baru dengan menerima ajaran Islam. Setelah menerima Islam,
peradaban Iran semakin maju dengan munculnya perkembangan pesat di pelbagai
bidang ilmu, sosial, dan politik.
Dalam
menanggapi berbagai kritik terhadap film ini, pihak-pihak yang terlibat dalam
pembuatan film ini menyatakan, “Film ini menggambarkan perang antara bangsa
Iran dan Sparta dipoles dengan data yang infaktual dan fiktif.” Namun, karena
film ini telah mempermainkan identitas sejarah sebuah bangsa, film ini jelas
telah melanggar etika dan menyinggung perasaan bangsa Iran. Tak heran bila
kemudian muncul gelombang protes terhadap film ini dari bangsa Iran, baik yang
tinggal di Iran maupun di luar negeri. Orang-orang Iran, dari berbagai agama,
mazhab, dan haluan politik bersama-sama membela bangsa mereka yang telah
dilecehkan oleh film ini.
Hollywood
sebagai perusahaan film terbesar AS yang sekaligus representasi dari ambisi
politik Washington di dunia perfilman, berusaha keras mencoreng peradaban besar
Iran dan membangun opini umum dunia guna menyudutkan bangsa Iran. Hingga kini,
meski telah dikritik banyak pihak, Washington masih tetap bersikeras pada kebijakan
anti-Iran-nya itu. Sebagian pengamat politik menilai, niat AS untuk menyerang
Iran seperti yang dilakukan Alexander di masa lalu, harus didahului dengan
membangun opini terlebih dahulu. Untuk itulah, Hollywood sebagai alat politik
Washington, memainkan perannya dalam mencoreng wajah bangsa Iran yang cinta
perdamaian.
Terlepas
dari segala kritikan teknis dan sejarah terhadap film ini, yang jelas,
keagungan peradaban Iran sama sekali tak akan tergoyahkan oleh pembuatan film
semacam ini. Sejarah manusia sangat berhutang budi kepada berbagai peradaban
unggul, seperti peradaban Iran Islami, Yunani, Cina, dan Mesir. Disamping itu,
kelanggengan peradaban manusia saling terkait erat dengan peradaban lainnya.
Tak diragukan lagi, kritikan terhadap film ini tak hanya untuk membela bangsa
Iran, tapi juga bisa dikatakan sebagai bentuk reaksi logis terhadap
penyimpangan sejarah yang berkali-kali dilakukan oleh Hollywood demi menjaga
interest Gedung Putih, karena Iran bukanlah satu-satunya korban dari pelecehan
Hollywood.
Film
300 ini mulai dipromosikan di situs-situs sinema sejak akhir tahun 2006 dan
dirilis pertama kali pada tanggal 9 Maret 2007. Dalam promosi film tersebut
dikomentari bahwa penonton film ini akan melihat wajah lain bangsa Iran. Bangsa
Iran cukup sensitif ketika melihat cuplikan-cuplikan film 300 yang ditayangkan
untuk mempromosikan film tersebut, dan kini setelah film itu ditayangkan secara
umum, mereka pun telah menangkap jelas tendensi di balik pembuatan film
tersebut. Film 300 yang diproduksi oleh Warner Bross merupakan serangan yang
tidak jantan dan pendeskriditan terhadap peradaban dan sejarah Iran.
Film
ini diangkat dari novel karya Frank Miller yang menceritakan pertempuran
Khashayar Shah, seorang raja Iran, dengan Raja
Leonidas, seorang raja Spartan dari Yunani. Film ini mengambil latar
belakang pertempuran Thermopylae, di mana Raja Leonidas mengerahkan
300 pasukan untuk menghadapi pasukan kolosal Raja Khashayar Shah. Namun pada
akhirnya, pintu-pintu gerbang kota dapat dijebol oleh pasukan Iran dan kemudian
pasukan Yunani mengalami kekalahan. Film ini mengangkat catatan dari Herodotus
yang menyatakan, perlawanan selama tiga hari pasukan Spartan melawan pasukan
Iran telah menimbulkan persatuan bangsa Yunani dan pembentukan pemerintahan
demokratis.
Namun,
pernyataan ini dibantah oleh Touraj
Daryaee, seorang profesor Sejarah Kuno dari Universitas California.
Dalam film ini orang-orang Sparta digambarkan sebagai pecinta demokrasi dan
anti perbudakan. Padahal, sejarah menyebutkan, Dinasti Achaemenian di Iran
mempekerjakan dan membayar para pekerja, tanpa memperdulikan etnik maupun jenis
kelamin. Sebaliknya, pada zaman yang sama, hanya 14 persen orang-orang Yunani
yang berpartisipasi dalam pemerintahan yang demokratis. Bahkan, pada saat itu,
hampir 37% populasi Yunani adalah budak. Menurut Touraj Daryaee, Sparta adalah
kerajaan militer, bukan pemerintahan demokratis dan bahkan memiliki sistem
perbudakan.
Sutradara
film 300, Zack Snyder, mengoptimalkan spesial efek yang
luar biasa dalam film ini. Dengan melibatkan aktor-aktor nyata, bukan animasi,
Snyder mampu memoles tayangan pertempuran dalam film tersebut sehingga terkesan
seperti pertempuran yang nyata. Padahal, tayangan tersebut adalah hasil
kombinasi permainan efek dengan latar belakang gambar-gambar. Namun demikian,
para pengamat film tetap menilai negatif film tersebut dan sebagian menyebutnya
sebagai film ala video game. Dalam film tersebut, pasukan Iran digambarkan
seperti makhluk aneh dan juga dikesankan seperti robot yang tak berakal, yang
tugasnya hanya membunuh manusia. Sebaliknya pasukan Yunani digambarkan sebagai
pasukan yang cerdas.
Seorang
kritikus film di koran New York Times menulis, Film 300 merupakan film yang
bisa disetarakan dengan film Apocalypto yang disutradarai oleh Mel
Gibson. Akan tetapi film 300 lebih konyol dua kali lipat dibanding
film Apocalypto.
Film ini cenderung menekankan penampilan luar. Dalam bagian film yang tak ada
pertempuran dan pertumpahan darah, tubuh dan pakaian perang pasukan Yunani dan
perhiasan-perhiasan pasukan Iran ditampilkan secara konyol.
Semakin
jauh menyaksikan flm 300, akan kian nampak tendensi di balik pembuatan film
ini. Koran Washinton Post menyebutkan, “Film
300 dikonsumsikan untuk penonton yang nalarnya rendah, bahkan dalam film
itu sama sekali tak dijelaskan urgensi pengorbanan untuk menyelamatkan
Thermopylae dan juga tak ada sedikit pun ulasan soal kekalahan telak Yunani
dalam menghadapi bangsa Iran. Bagian film lainnya juga menampilkan parlemen
Yunani yang menolak untuk memberikan dukungan dan bantuan kepada Raja Leonidas melalui
serangkaian perdebatan. Hal ini mengingatkan Kongres AS yang menolak kebijkan
Presiden AS, George W Bush soal perang Irak.”
Seorang
warga Iran setelah menonton film 300 menuliskan komentarnya di weblog
pribadinya. Dia mengatakan, “Tanpa
mempedulikan pemeranan karakter yang lemah dalam film ini, tema yang diangkat
dalam film ini berkisar soal kebebasan dan perbudakan. Film itu juga
menceritakan bahwa pasukan Iran menyerang Yunani untuk menjadikan bangsa
Spartan sebagai budak dan satu-satunya cara untuk menyelamatkan dunia adalah
dengan kemenangan bangsa Yunani. Ini mirip klaim yang digembar-gemborkan oleh
AS dan sejumlah negara-negara arogan dunia. Di tengah-tengah upaya Iran untuk
mengembangkan teknologi nuklir sipil, film tak bernilai semacam ini telah
dirilis secara sengaja untuk mendiskreditkan bangsa Iran. Hal ini juga
berkali-kali telah dilakukan oleh Hollywood dalam kondisi-kondisi sensitif,
seperti film ‘Alexander’ yang sengaja dikemas untuk mengucilkan Iran.”
Pemerintah
Iran sendiri secara resmi melalui Lembaga Budaya Republik Islam Iran telah
meminta UNESCO
untuk menindak dan melarang penayangan film 300 yang bertendensi mendeskriditkan
peradaban dan sejarah bangsa Iran. Lembaga ini secara tegas menyatakan, “Dengan
memperhatikan piagam UNESCO yang mengecam kebencian dan pertentangan, dan juga
mengingat UNESCO sebagai pihak yang bertugas melindungi peninggalan kebudayaan
dunia, maka lembaga internasional ini harus mengeluarkan reaksi terkait masalah
ini.”
Warga
Iran di seluruh dunia juga menggalang penandatanganan petisi online
untuk memprotes penayangan film 300. Sebuah situs khusus juga dibuat untuk
menampung kritikan para penonton film ini yang memprotes film tersebut. Banyak
pihak yang membubuhkan tanda tangan sebagai aksi protes. Surat protes terbuka
ini sengaja dimuat di situs ini dalam rangka mengecam arogansi Hollywood, dan
langkah ini kian mendapat sambutan dari hari ke hari. Salah satu penggagas
situs ini mengatakan, “Problema utama dalam film 300 adalah bahwa bangsa Iran
dalam film ini digambarkan secara tidak realistis, dan sebuah bangsa besar dan
beradab telah dikesankan negatif. Hal ini sama sekali tak bisa diterima.”
Propaganda
yang dikemas dengan data bohong dan tendensius ini merupakan politik Barat
dalam rangka menyudutkan bangsa Iran. Sangatlah jelas bahwa pencorengan
terhadap nama baik bangsa Iran di mata dunia dan justifikasi atas politik
perang Washington adalah tujuan di balik pembuatan film 300. Namun bagi orang
yang mengenal peradaban agung Iran, pembuatan film semacam ini sama sekali tak
mengurangi penghargaan mereka terhadap peradaban tinggi bangsa Iran. Sumber: IRIB bahasa
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar