Rabu, 08 Juli 2015

Ketika Osama Dibajak Amerika




Diskusi Wanda R Taylor dan Seyyed Hossein Nasr

(Wawancara Wanda Romer Taylor, redaktur majalah Voice Acros Boundaries, dengan Doktor Seyyed Hossein Nasr, filsuf terkenal Iran dan dosen di berbagai universitas di Amerika ini berkisar tentang sejarah kekerasan Islam dan Kristen juga seputar Osama Bin Laden dan hipokritas Barat-Amerika yang diterjemahkan oleh Nasir Dimyati)

WRT: Mengenai agama Islam, harus kita katakan bahwa agama ini juga sama dengan agama Yahudi; bersumber dari budaya perang dan kekerasan. Tapi setelah perkembangan awal Islam, muncullah periode-periode panjang perdamaian dan kedewasaan ilmiah-kultural serta toleransi agama. Apakah fenomena-fenomena historis ini betul-betul terpisah antara satu dengan yang lain? Sudikah Anda menjelaskan kronologi dan pengaruh kondisi nyata sejarah dasar-dasar Islam terhadap terbentuknya agama?

SHN: Sebelumnya perkenankan saya untuk mengoreksi kata-kata Anda. Dasar-dasar Islam tidak punya ruang di dalam budaya perang dan permusuhan, melainkan bersumber dari Tuhan, agama Islam muncul di Arab dan di tengah kabilah-kabilah yang saling bermusuhan. Agama ini turun dari sisi Tuhan untuk mengakhiri permusuhan antar kabilah. Sejarah peradaban manusia senantiasa sarat dengan peperangan, dan Islam bukanlah pengecualian dalam hal ini.

Dibandingkan dengan Kristen dan Yahudi, Islam tidak punya perang yang lebih banyak. Nabi saw. terpaksa berhijrah dari Mekah ketika kehidupannya terancam bahaya besar di sana. Beliau terpaksa melakukan perang pertahanan di Madinah. Tapi ketika beliau kembali ke Mekah, beliau ciptakan perdamaian tanpa menumpahkan setetes pun darah. Begitu pula halnya setelah beliau wafat, pada masa empat khalifah yang pertama telah terjadi perang sektarianis, setelah itu adalah periode panjang penuh damai dan kedewasaan kultural di semua bidang religius dan budaya. Dibandingkan dengan mayoritas agama yang lain, bahkan agama Hindu yang terkenal dengan toleransinya, ternyata Islam lebih memiliki toleransi agama daripada yang lain. Fakta membuktikan bahwa Nabi saw. menghormati sekali orang-orang Yahudi dan Kristen dan menyebut mereka sebagai Ahlikitab.

Peperangan beliau melawan kelompok Yahudi di Madinah sama sekali bukan karena ke-Yahudian mereka, melainkan karena persekongkolan mereka dengan musuh-musuh Islam di Mekah dan pengkhianatan mereka, pelanggaran itulah yang menyebabkan sebagian orang Yahudi terbunuh. Adapun orang-orang Yahudi dan Kristen lainnya, hidup di bawah naungan perlindungan muslimin dan hidup dengan tenang serta damai di antara mereka.

WRT: Apa pendapat Anda tentang sentimen anti-Yahudi dan anti-Israel yang populer di kalangan umat Islam?

SHN: Ini adalah fenomena baru yang merupakan reaksi dari kemunculan Zionisme sebagai sebuah ideologi non agamis di kawasan dan pendudukan bumi Palestina serta penganiayaan terhadap penduduk sana. Kapan saja persoalan antara dua belah pihak Zionis dan Arab diselesaikan secara adil maka mayoritas sentimen anti-Yahudi ini pasti tersingkirkan. Secara historis, kaum Kristen dan Yahudi menjalani hidup di sebagian besar negara Islam tanpa menghadapi problem besar. Kehidupan kaum Yahudi di tengah masyarakat muslim jauh lebih tentram dibandingkan kehidupan mereka di tengah negera-negara Eropa. Setelah kaum Yahudi bersama muslimin diusir dari Spanyol pada abad kelimabelas, mereka tinggal di Afrika Utara dan Turki, mereka di sana hidup tentram dan terhormat. Bahkan, ketika Amerika membombardir kota Baghdad pada tahun 1991, tidak ada seorang Kristen pun yang diganggu oleh orang-orang muslim Irak.

WRT: Seperti halnya kitab suci Yahudi dan Kristen, Al-Qur’an juga mengandung ayat-ayat pembelaan terhadap tindakan damai dan juga kekerasan. Sudikah Anda menerangkan aneka ragam penafsiran tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan kekerasan? Apa penjelasan Al-Qur’an tentang konsep perang?

SHN: Ayat tentang perang di dalam Al-Qur’an bisa dihitung dengan jari-jari, tapi sayang sebagian orang di Barat selalu menarik ayat-ayat itu lalu mengkritiknya seolah-olah mereka lupa bahwa jumlah ayat peperangan di dalam Taurat lebih banyak. Perang, menurut Al-Qur’an, hanya diperbolehkan sebagai bentuk aksi pertahanan, dan tidak boleh hukumnya membunuh penduduk sipil, wanita, dan anak-anak. Adapun mengenai istilah ‘jihad’ yang biasanya di Barat diungkapkan secara menyimpang, saya katakan bahwa ‘jihad’ berarti ‘usaha di jalan Tuhan’ dan maknanya yang paling dalam adalah perjalanan pribadi dalam diri dan bukan perang suci. Meskipun demikian, ‘jihad’ juga terkadang berarti sebuah operasi pertahanan yang dibutuhkan dalam rangka melindungi masyarakat muslim.

WRT: Inilah letak perbedaan antara jihad akbar dan jihad asghar. Tolong beri kami keterangan yang lebih tentang persoalan ini?

SHN: Memang benar, jihad besar berarti usaha pribadi dalam diri untuk menaklukkan hawa nafsu dan jiwa materialnya. Jihad kecil berarti perang pertahanan luar diri. Setelah perang pertama melawan musuh-musuh dari Mekah, Nabi saw. mengucapkan selamat kepada para pengikutnya dan kemudian memperingatkan mereka dengan sabdanya, “Kalian baru saja selesai dari jihad luar diri dan sekarang konsentrasilah untuk jihad dalam diri.” Beliau memperingatkan mereka bahwa jihad dalam diri melawan hawa nafsu dan kemauan-kemauan material lebih penting dan lebih besar daripada jihad luar diri.

WRT: Perang dalam bahasa Arab adalah ‘harb’, apa bedanya konsep ‘harb’ dengan ‘jihâd’? Kenapa kata jihad lebih populer dalam kajian-kajian Islam kontemporer?

SHN: ‘Harb’ berarti perang, dan Islam telah menetapkan berbagai undang-undang yang jelas untuk itu. Sebagaimana kata jihad memiliki makna tersendiri menurut agama dan berarti usaha demi Tuhan di jalur persambungan dengan-Nya, akan tetapi kata ini juga telah digunakan untuk maksud yang lain. Sebagai contoh, coba perhatikan kata masehi ‘crusade’ pada perang salib, di abad kesebelas dan tepatnya ketika terjadi peperangan melawan Islam, Paulus Urban menggunakan kata ini dalam arti perang suci, begitu pula di abad keduapuluh; presiden Johnson menggunakan kata ini dalam arti perang melawan kemiskinan. Oleh karena itu pula kata jihad terkadang digunakan dalam artinya yang hakiki dan terkadang digunakan dalam artinya yang majasi, dan sebagaimana dalam masyarakat yang lain; sebagian waktu, perang digelar atas nama-nama bohong. Di sepanjang sejarah, senantiasa ada sultan atau penguasa yang mengumumkan ‘jihad’, padahal apa yang sedang terlintas di dalam benak mereka tidak lain adalah ‘harb’ atau perang. Mereka bermaksud untuk menduduki kawasan tertentu atau mengalahkan musuh, maksud itu mendorong mereka untuk menggunakan slogan religius ‘jihad’ demi memberikan pengesahan terhadap tindakan dan politik mereka. Permainan politik seperti ini, baik secara hukum maupun secara teologis, sama sekali bukan jihad. Jihad hanya berhak diumumkan oleh pemimpin pemerintahan Islam setelah bermusyawarah dengan ulama agama. Presiden Mesir, contohnya, tidak berhak mengumumkan jihad, karena dia presiden non-Islami sebuah negara.

Islam adalah agama yang kandungannya betul-betul politis, dan secara historis sebagian reformis agama dan politik menggunakan sarana kekerasan untuk mencapai tujuan mereka. Beda halnya dengan agama Kristen; di sana Almasih berkata kepada para pengikutnya, “Serahkan kepada Tuhan apa saja yang milik Tuhan, dan serahkan kepada Kaisar apa saja yang milik Kaisar.” Menurut Islam, segala sesuatu milik Tuhan. Undang-undang dan syariat Islam berdiri di atas dua fondasi, yang pertama adalah wahyu yang sampai kepada Nabi saw. berupa Al-Qur’an, dan yang kedua adalah hadis atau sunnah dan riwayat tindakan Nabi saw. Undang-undang suci Islam (syariat) berlandaskan pada dua sumber asli yang paling mendasar ini. Di samping itu, berlandaskan juga pada prinsip-prinsip lain seperti ijmak dan kias. Adapun agama Kristen tidak punya undang-undang yang jelas di dalam kitab Injil. Beda halnya dengan Musa dan Nabi Muhammad saw., Almasih tidak membangun undang-undang tertentu, itulah sebabnya masyarakat-masyarakat Kristen terpaksa menggunakan undang-undang yang ada dalam budaya-budaya lokal. Sedangkan di dalam agama Islam, syariat bersetubuh lekat dengan agama dan tak terpisahkan satu sama yang lainnya.

Selama dua abad setelah kemunculan Islam ada gelombang kuat penelitian di tengah masyarakat muslim, karena itulah disiplin ilmu fikih atau undang-undang Islam berkembang pesat pada waktu itu. Para fakih terdahulu bermaksud untuk menegakkan norma-norma hukum tertentu sekiranya mencakup tuntunan-tuntunan Al-Qur’an tentang pembangunan masyarakat yang bertakwa, sejajar dan adil. Para sultan dan khalifah sepatutnya memerintah dan melindungi rakyat sipil sesuai asas syariat. Namun, seperti halnya dalam masyarakat-masyarakat yang lain; sebagian pemimpinnya lebih baik daripada yang lain, sebagiannya lagi gemar membunuh dan menganiaya rakyat sehingga biasanya orang-orang yang tertindas berlindung pada ulama dan pimpinan spiritual. Di berbagai kesempatan, sebagian kelompok merasa bahwa pemimpin tiran jauh keluar dari jalur syariat dan menyimpang dari jalan utama Islam yang berasaskan pada keadilan dan kesejajaran di hadapan undang-undang, oleh karena itu mereka bertekad untuk melakukan gerakan politik dan reformis yang menentang pemimpin-pemimpin tersebut. Dalam kondisi seperti ini biasanya muncul aksi kekerasan. Pada kenyataannya, berhadapan dengan masalah kekerasan adalah sebuah kenyataan dalam kehidupan sosial manusia. Islam tidak melupakan kenyataan ini, melainkan ingin membatasi perang dan kekerasan sebisa mungkin serta melarang aksi kekerasan terhadap rakyat sipil yang tak berdosa, khususnya orang-orang tua, wanita, dan anak-anak kecil. Bagaimana pun juga sejarah Islam jika dibandingkan dengan sejarah Kristen tidak menunjukkan kekerasan yang lebih banyak.

WRT: Di Barat, kita sering melupakan kenyataan bahwa perkembangan ilmiah, kultural, dan filosofis dunia Islam di abad-abad pertengahan yang banyak membantu Eropa untuk memasuki masa Renaisans dan Era Pencerahan. Dan pada abad ke-18 serta 19 ekonomi ekspansionis Eropa merusak keseimbangan kekuasaan dan berusaha untuk menjajah berbagai masyarakat yang pada umumnya petani di Timur Tengah, Afrika dan Asia. Sudikah Anda menerangkan dampak perubahan keseimbangan kekuasaan dalam Islam?

SHN: Perkembangan Eropa bahkan telah mulai dari awal abad ke-16. Mungkin Islam pada waktu itu merupakan peradaban yang paling penting, dan Barat sampai batas-batas yang jauh berhutang budi pada peradaban besar ini. Ilmu pengetahuan Barat telah dibangun di atas ilmu pengetahuan Islami. Galileo Galilei tidak mungkin muncul tanpa tokoh-tokoh terkemuka seperti Abu Ali Sina (Ibnu Sina) dan astronomer-astronomer muslim lainnya. Meskipun ilmu pengetahuan Galileo dan ilmuan modern lainnya yang berkembang terbangun di atas pandangan dunia yang berbeda dengan ilmu-ilmu Islami, akan tetapi secara historis dunia Islam telah melakukan sebuah kesalahan yang penting sekali. Dalam kapasitasnya sebagai peradaban yang aktif dan dinamis, dunia Islam pada abad ke-16 dan 17 disibukkan dengan persoalan-persoalan internal dan lalai terhadap kemajuan gradual Eropa dan pembentukan sebuah kekuasaan yang dominan.

Muslimin pada waktu itu memandang penduduk Eropa sebagai orang-orang yang hobi perang dan tidak teratur, tapi kuat. Praktis, transaksi pada waktu itu terjadi hanya sepihak. Eropalah yang ketika itu paling banyak berhutang budi pada dunia Islam. Kekuasaan Islam kala itu terpusat di India Mongol, Iran Safawi, dan Imperatur Islami. Ketika penduduk Eropa menduduki beberapa kawasan di Asia yang jauh, kejadian ini tidak terhitung besar. Tapi baru ketika Napoleon menduduki Mesir pada tahun 1798, dunia Islam terjaga dari tidurnya dan sadar. Mesir terletak di jantung dunia Islam, dan meskipun berada di bawah tindasan Dinasti Utsmani dan pemerintahan Mamluk, akan tetapi pemerintahan Mamluk itu merupakan satu-satunya silsilah sultan muslim yang berhasil mencegah kehancuran Mesir secara total akibat serangan pasukan Mongol dan mengalahkan mereka. Oleh karena itu, kemenangan Napoleon terhadap Mesir adalah guncangan yang kuat sekali. Eropa berubah menjadi kekuasaan yang dominan, karena kekuasaan itu menjadi sekuler. Mungkin saja sebagian orang mengatakan bahwa Eropa pasca abad-abad pertengahan telah menjual spiritualitas dan ruhnya dalam transaksi Faustian demi meraih kekuasaan duniawi. Saya selalu mengatakan bahwa seandainya Islam juga mau mengerahkan seluruh energinya untuk merenggut kekuasaan dunia dan tidak menggunakannya untuk penemuan serta penelitian filosofis, agamis dan irfani, niscaya Islam juga bisa mendapatkan sarana yang mampu menaklukkan dunia.

WRT: Dewasa ini, ada sejumlah besar orang muslim yang hidup di Barat, begitu pula sebaliknya; ada sejumlah besar orang Barat yang hidup di tengah berbagai masyarakat muslim. Fenomena ini mungkin telah mengobrak-barik pembatasan antara apa yang secara tradisional disebut oleh muslimin sebagai Darus Salam atau kawasan mayoritas muslim dengan tempat-tempat yang lain. Tolong jelaskan tentang reaksi muslimin Darus Salam terhadap Barat?

SHN: Kita harus kembali lagi ke periode Napoleon. Sewaktu dia menduduki Mesir, jantung dunia Islam, muslimin terguncang dan tercengang. Sebaliknya dari sejarah Yahudi, sejarah Islam adalah sejarah penaklukan dan kemenangan. Sebuah ayat di dalam Al-Qur’an mengatakan, “Apabila Tuhan menolong maka tidak ada seorang pun yang dapat mengalahkan kalian.” Muslimin berkeyakinan bahwa selama mereka mengikuti agama Allah maka pasti mereka menang. Tapi nyatanya sekarang Islam tengah menghadapi krisis spiritual, agama, dan politik yang sangat dalam, mereka bertanya-tanya pada diri mereka sendiri, mana letak kesalahan yang telah mereka perbuat?

Ada tiga pandangan yang menjawab pertanyaan ini; yang pertama mengatakan kekalahan besar ini adalah tanda nyata akhir dunia dan kemunculan Mahdi atau penyelamat dunia; pandangan kedua mengatakan muslimin tidak mematuhi ajaran-ajaran Islam sebagaimana mestinya, dan seyogianya mereka kembali pada kepatuhan yang sesungguhnya terhadap agama; pandangan ketiga mengatakan pesan Islam harus disesuaikan dengan dunia modern agar dapat serasi dengan Barat yang dominan. Masing-masing dari jawaban itu mempunyai pendukung tersendiri, sehingga terdapat tiga macam gerakan pemikiran dalam menghadapi Barat yang modern pada abad ke-19.

Tiga gerakan ini mencakup Mahdiisme atau gerakan-gerakan messianic, fundamentalisme minus intelektual seperti Wahabisme di Saudi Arabia, dan gerakan-gerakan modern seperti Turk Muda (Young Turks/ Jön Türkler/ Jeunes Turcs) dan Libralisme Arab. Gerakan-gerakan ini muncul dalam dua tahap. Pertama pada abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 serta periode pasca perang dunia kedua. Gerakan tahap kedua berbeda dengan tahap pertama, meskipun dia mencakup berbagai gerakan Mahdiisme, Reformisme dan Fundamentalisme. Gerakan ini juga akhirnya menimbulkan sesuatu yang disebut oleh Barat dengan nama Islam Tradisional. Pada saat yang sama, kondisi baru yang muncul di Barat telah menciptakan hubungan yang paling keruh antara dia dan Islam. Setelah perang dunia kedua, muslimin menyadari keputus-asaan penduduk Barat terhadap modernitasnya.

Kala itu, keadaan ini tertuangkan dalam puisi-puisi T. S. Eliot atau dalam karya René Guénon tentang krisis dunia modern, begitu pula dalam karya-karya lain yang semua itu kemudian diterjemahkan dan tersebar di dunia Islam. Selain itu, kekayaan yang mengucur ke dunia Islam telah mempercepat laju perindustrian dan modernisasi serta menambah ketegangan antara Islam dan pengaruh Barat di dalam negara-negara Islam. Mayoritas dunia Islam telah mencapai kemerdekaan politik dan mereka ingin sekali mencapai kemerdekaan kultur dan sosial di samping itu. Sampai saat itu agama masih mempunyai kekuatan yang tinggi di tengah masyarakat-masyarakat muslim. Oleh karena itu, mayoritas muslimin sangat berharap untuk menghidupkan kembali masyarakat Islam dan mendominasikan lagi budaya dan hukum Islam yang sempat dihentikan oleh kekuasaan imperialis. Walau demikian, muslimin mendapati diri mereka masih tergantung pada kekuatan ekonomi dan teknologi Barat, dan secara politik juga masih berada di bawah dominasi kelompok tertentu yang terdidik oleh Barat dan mempunyai kecenderungan kepada Barat serta menduduki posisi strategis karena dukungan Barat. Siapa saja yang mengenal dunia Islam pasti tahu bahwa ketegangan-ketegangan ini pada akhirnya menimbulkan berbagai reaksi. Saya termasuk orang muslim pertama yang membicarakan topik ini pada dekade lima puluh.

WRT: Anda tadi menggunakan dua istilah Fundamentalisme dan Tradisionalisme, tolong jelaskan apa perbedaan antara dua kelompok Islam itu?

Iya, dua kelompok itu berbeda sekali. Fundamentalisme adalah konsep Barat yang berasal dari Protestanisme Amerika dan pertama kali digunakan oleh Barat untuk Islam ketika revolusi Islam pada tahun 1979 terjadi di Iran. Ini istilah fallacious yang menyesatkan dan mengandung berbagai unsur yang tidak serasi. Contoh Fundamentalisme yang paling masyhur adalah Wahabisme di Saudi Arabia. Hal-hal yang disepakati oleh seluruh fundamentalis adalah kebencian dan ketidakpercayaan terhadap Barat dan budayanya serta kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi Barat. Mereka juga punya kecenderungan pada gerakan aktif dan pada umumnya menentang dimensi-dimensi internal Islam seperti irfan, filsafat dan seni.

Mereka lebih mendukung pemahaman kulit (lahiriah) dan semi-ilmiah terhadap Al-Qur’an. Pada kenyataannya, kecenderungan awam yang bisa juga disebut dengan Aliran Salafi ini tidak sepenuhnya berada dalam kategori pandangan yang sejati dan resmi, melainkan berada dalam kategori pinggiran Islam Ortodoks (Islam yang mungkin sekali justru menyimpang). Fundamentalisme adalah wajah lain dari satu logam Modernisme.

Dalam bentuknya yang terkini, Fundamentalisme tidak mungkin ada tanpa Modernisme yang sekiranya dia menuntut teknologi modern sekaligus menolak peradaban modern. Daya tarik ajakan kelompok fundamentalis kuat sekali, karena sejak perang dunia kedua sampai selanjutnya identitas Islam berada dalam bahaya yang besar. Namun walau demikian, mayoritas muslimin bukan fundamentalis, melainkan tradisionalis. Mereka (tradisionalis) ingin membangun kehidupan atas dasar pokok-pokok tradisi Islam yang sekiranya mewarisi ilmu pengetahuan, seni, budaya dan spiritual Islam yang kaya raya. Sedangkan Fundamentalisme adalah kelompok yang menepis warisan itu. Kelompok fundamentalis menyukai tampilan luar dan kulit agama, sedangkan kelompok tradisionalis menyukai dimensi-dimenasi internal, filsafat, spiritual dan kualitas agama. Orang-orang tradisionalis selalu ada, tapi Barat tidak pernah mau melihat kenyataan itu dan memandang keberadaan mereka. Para ilmuwan Barat terpikat dengan perubahan, mereka bisa melihat reformasi dan perubahan tapi tidak bisa melihat unsur-unsur yang konstan dan senantiasa tetap. Sewaktu pergi ke Himalia, Anda bisa menghabiskan waktu Anda hanya untuk memperhatikan longsornya dataran gunung atau batu-batu yang berjatuhan dan berpindah tempat, tapi apabila Anda hanya memperhatikan hal itu maka Anda akan tetap lalai akan gunung besar itu sendiri yang berdiri tegak di hadapan Anda.

WRT: Bagaimana sosok seperti Osama bin Laden dapat digambarkan di sini? Di samping itu, apa menurut Anda tentang penduduk Palestina yang melakukan operasi –bom– bunuh diri?

SHN: Ada dua hal yang berbeda di sini, dan masing-masing harus dipisahkan. Osama bin Laden adalah produk Wahabi Saudi Arabia dan Barat yang tak beragama. Ketika Uni Soviet menyerang Afganistan, Amerika pada awalnya tidak menunjukkan reaksi yang cepat. Duta besar Amerika di Afganistan pada waktu itu adalah teman saya. Dia berkali-kali mengirimkan pesan kepada pemerintah Amerika yang memberitahukan bahaya dan kondisi Afganistan. Dan ketika pada akhirnya pemerintah Amerika mau mendengar pesan-pesan itu, mereka mengarah kepada sekutu mereka di Saudi Arabia dengan maksud mencari dukungan finansial untuk melancarkan serangan militer. Osama bin Laden adalah delegasi yang dikirim ke Afganistan. Dia besar di tengah keluarga kaya raya Saudi Arabia, ayahnya mempunyai hubungan erat dengan kerajaan. Dia adalah orang yang hidup sederhana di antara keluarganya dan dia memiliki masa depan yang cerah. Pihak Amerika mendidik dia dengan dana dari Saudi, tapi Osama Bin Laden adalah orang yang tumbuh besar dengan kebencian terhadap kemerosotan masyarakat-masyarakat muslim yang terus bertambah parah dan menurutnya hal itu disebabkan oleh Sekularisme Barat. Dia membenci kehadiran Amerika di Saudi Arabia, khususnya keberadaan tentara-tentara Amerika di tanah suci, dan sayang kebencian itu membuat dia melakukan perbuatan-perbuatan yang menyedihkan sekali. Dia adalah seorang garis keras yang bahkan bangkit melawan kekuasaan Wahabi. Seandainya duapuluh tahun yang lalu Amerika pergi ke Afganistan tanpa bantuan Saudi Arabia maka tidak akan terjadi tragedi 11 September.

Berdasarkan definisi yang Anda sampaikan, Bin Laden termasuk fundamentalis yang menjadi reformis dan secara sangat disayangkan telah menggunakan teknologi serta pendidikan modern untuk melawan sekularisme modern.

Memang benar. Dia menolak Barat tanpa mengerti apa itu Barat atau tanpa mengerti apa sebenarnya yang sedang dia tolak.

Adapun operasi bunuh diri adalah sebuah cerita yang tersendiri. Seandainya penduduk Palestina memiliki senjata M-16 dan helikopter Apache niscaya mereka tidak akan menjadikan tubuh mereka sebagai senjata perang. Ini satu-satunya yang tersisa untuk mereka. Dan tentunya sampai batas-batas tertentu tindakan mereka merupakan balasan terhadap perlakuan orang lain atas diri mereka. Satu contoh, andaikan Anda kembali pada tahun 1967 dan menyerahkan Baitul Maqdis bagian timur kepada mereka sebagai ibu kota dan memberikan ganti rugi finansial, seperti ganti rugi yang pernah diterima oleh orang-orang Yahudi setelah perang dunia kedua –meskipun sepertinya tidak mungkin memberikan pelayanan kepada semua orang palestina yang pulang ke sana–, niscaya –menurut keyakinan saya– sentimen-sentimen itu akan pupus. Tentunya, ini bukan pertama kalinya kita saksikan dalam sejarah, operasi bunuh diri pernah terjadi di tempat-tempat lain seperti di antara orang-orang Shinto Jepang dan orang-orang Hindu India.

WRT: Sebagai pertanyaan terakhir, Anda terkenal dengan ide yang menegaskan bahwa perpisahan sejati bukan antara Islam dan tradisi-tradisi lain, akan tetapi antara agama dan Sekularisme.

SHN: Iya, memang benar; ketegangan terbesar tidak terjadi antara Islam dan Barat, melainkan antara agama dan Sekularisme. Pada saat ini, Sekularisme adalah sebuah ideologi tertutup yang paling dogmatis, paling anti selainnya dan sama sekali tidak toleran. Dia menggilas segala sesuatu yang ada di hadapannya. Tantangan terbesar Islam adalah cara menghadapi atau pola hidup bersama dengan Sekularisme. Islam, sampai batas-batas tertentu telah hidup damai dengan agama-agama yang lain, sedangkan Sekularisme sama sekali tidak memberikan tempat kepada tradisi agamis apapun. Bahkan sebetulnya ini merupakan tantangan bagi Barat juga. Anda punya dua pola pandang terhadap dunia, yang pertama meyakini alam metafisik di balik alam materi, sedangkan yang kedua hanya meyakini materi. Hubungan antara dua ini sangat pelik dan samar, dan bagaimana caranya mendamaikan antara dua pandangan itu adalah tantangan terbesar yang dihadapi oleh dunia masa kini. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar