Oleh Robin
Woodsworth Carlsen (penyair & filsuf Kanada)
Saya duduk di bagian depan
ruangan. Kursi Khomeini, yang tertutup kain putih, terletak di atas panggung di
hadapan kami kira-kira lima belas kaki di atas lantai. Seorang mullah
bercambang putih mengawasi kami ketika kami memasuki ruangan. Ia memperbaiki
mikrofon, sambil dengan sabar menunggu kedatangan Imam dari pintu tertutup di
sebelah kanan panggung tempat ia memberikan ceramahnya.
Ruangan dipenuhi harapan
yang disampaikan dengan berbisik. Sekali-kali sebagian orang Islam meneriakkan
slogan atau ayat-ayat Al-Qur’an, lalu diikuti oleh ratusan orang Islam dan
pengawal revolusi yang hadir di situ. Tidak seorang pun diperbolehkan merokok.
Sikap penghormatan yang menguasai orang-orang yang menunggu Imam telah mengubah
pemandangan yang biasanya kita lihat di Iran.
Ketika saya mengamati
panggung tempat Imam Khomeini menyampaikan ratusan pidatonya, mata saya
menangkap ketenangan, kemurnian, dan kesegaran fisik yang melayang-layang, atau
lebih tepat lagi berkumpul dalam sebongkah energi yang kokoh dan tembus cahaya,
yang sangat berbeda dengan hotel tempat kami menginap, bahkan berbeda dengan
lingkungan mana pun yang pernah saya lihat dalam dua kali kunjungan saya ke
Iran. Masjid saja tidak memancarkan sifat-sifat ini, sosok energi yang bulat.
Mungkin Imam itu seorang
manusia yang tercerahkan seorang sufi sejati atau barangkali lebih dari itu?
Semua tanda menunjukkan bahwa apa yang terjadi di sini menyeruak kepada apapun
yang terjadi di Iran di luar ruangan ini. Perasaan seperti ini hanya mirip
dengan apa yang saya rasakan ketika saya berada di front pertempuran atau
ketika saya berjalan-jalan di pemakaman Beheste Zahra.
Saya hanya dapat
menjelaskan perasaan ini dengan berasumsi bahwa barangkali kesyahidan itu ada,
bahwa pelepasan ruh suci yang tiba-tiba dari tubuh, dengan membawa ruh itu ke
langit karena niat syahid, telah menciptakan energi yang suci, energi yang
dibekahi Allah sendiri.
Kami menunggu di sana
kira-kira 45 menit sebelum terlihat tanda-tanda kedatangan Imam. Tanda-tanda
itu sangat jelas. Beberapa ulama bersurban muncul dari pintu itu dan memberi
isyarat kepada mullah yang ada di panggung bahwa sang pemimpin, ulama besar,
panglima, dan imam sebentar lagi datang.
Ketika Khomeini muncul di
pintu semua orang bangkit dan mulai berteriak, “Khomeini…Khomeini…Khomeini”
teriakan penghormatan kepada manusia yang paling menggetarkan, paling ceria,
dan paling bergelora yang pernah saya saksikan.
Semua orang betul-betul
diseret ke dalam gelombang cinta dan pemujaan yang spontan seraya dengan setiap
butir sel dalam jantungnya menyatakan keyakinan mutlak bahwa orang yang mereka
hormati itu pantas mendapatkan kehormatan di sisi Allah.
Sungguh, aku berani
mengatakan bahwa ledakan ekstase dan kekuatan yang menyambut Imam bukan hanya
sekadar refleks karena pancingan tertentu tentang Imam. Ia adalah senandung
puji yang alamiah dan bahagia; senandung penghormatan yang lahir karena
keagungan dan kharisma dahsyat dari orang ini.
Ketika pintu dibuka
untuknya, saya mengalami badai gelombang energi yang datang dari pintu itu.
Dalam jubah cokelat, serban hitam, dan janggut putih, ia menggerakkan semua
molekul dalam ruangan itu dan mencengkeram semua perhatian sehingga lenyaplah
apapun selain dia.
Dia adalah pancaran cahaya
yang menembus jauh ke dalam kesadaran semua orang di ruangan itu. Dia
menghancurkan semua citra yang ditampilkan untuk menyainginya. Kehadirannya
begitu mencekam sehingga aku harus menyusun kembali sensasiku, jauh di luar
konsep-konsepku, jauh di luar kebiasaanku mengolah pengalaman.
Aku sudah mempersiapkan
apapun keadaan orang ini untuk meneliti wajahnya, menggali motivasinya,
memikirkan sifat yang sebenarnya. Kekuasaan, kebesaran, dan dominasi absolut
Khomeini telah menghancurkan semua cara penilaianku. Di situ aku hanya
mengalami energi dan perasaan yang memancar dari kehadirannya di panggung.
Walaupun ia itu taufan, segera kita akan menyadari bahwa di dalam taufan itu
ada ketenangan yang mutlak. Walaupun perkasa dan menaklukkan, ia tetap tenang
dan damai.
Ada sesuatu yang tidak
bergerak dalam dirinya, tetapi ketidak-bergerakkannya itu telah menggerakkan
seluruh Iran. Ini bukan orang biasa. Bahkan, semua orang suci yang pernah aku
temui, semacam Dalai Lama, pendeta Budha dan pendeta Hindu, tidak seorang pun
memiliki sosok yang menggetarkan seperti Khomeini.
Bagi siapa saja yang dapat
melihat atau merasa, tidak mungkin meragukan integritas pribadinya atau anggapan
orang-orang yang disembunyikan oleh orang-orang seperti Yazdi bahwa ia telah
meninggalkan diri manusia yang normal (atau abnormal) dan telah mencapai tempat
tinggal yang mutlak.
Kemutlakan itu dinyatakan
dalam udara, dinyatakan dalam gerak tubuhnya, dinyatakan dalam gerak tangannya,
dinyatakan dalam nyala kepribadiannya, dinyatakan dalam ketenangan
kesadarannya. Tidak mengherankan apabila ia dicintai jutaan orang Iran dan kaum
Muslim sedunia. Bagi pengamat ini, paling tidak ia telah menunjukkan bukti empiris
tentang adanya tingkat kesadaran yang tinggi.
Mula-mula ia tidak bicara;
pemimpin agama yang lain yang berbicara kepada hadirin. Khomeini duduk dalam
kesunyian yang tak bernoda dan dalam keserasian yang sempurna. Ia tak bergerak,
ia terpisah, ia berada dalam lautan ketenangan. Tetapi ada suatu yang bergerak
murni, ada sesuatu yang terlibat secara dinamis, ada sesuatu yang setiap saat
siap melancarkan peperangan. Ia mengecilkan semua orang yang pernah saya temui
di Iran. Ia menguasai panggung itu walaupun ada mullah lain yang tengah bicara.
Semua mata terpaku pada Khomeini dan ia tidak menunjukkan sedikit pun
kepongahan atau sadar diri atau aku berani mengatakan tidak sedikit pun
kelihatan melamun atau berpikir ke sana kemari.
Seluruh wajahnya secara
terus menerus dan secara spontan diarahkan kepada konsentrasi yang secara
estetik dan spiritual serasi dengan pemandangan yang kami saksikan. Di sinilah
ratusan pejuang dan kaum Muslimin meneriakkan kebesarannya, menyatakan
kecintaan, dan penghormatan mereka kepadanya. Tetapi ketika ia menerima
semuanya itu, ia tenang dalam dirinya, ia tidak bergerak. Ia tetap besar dalam
keadaan batin yang tidak tergoncangkan keadaan yang sebab musababnya di luar
jangkauan pengetahuanku.
Mungkin pembaca
mengernyitkan dahi mendengar gambaranku yang berlebihan tentang orang ini.
Tetapi ia harus sadar bahwa walaupun aku sudah mendengar apapun tentang dia,
walaupun banyak bukti yang kontradiktif telah saya terima sebelumnya, kesan
langsung dan sebenarnya tentang pribadi Imam Khomeini tidak lagi dapat
dilukiskan dengan ide atau konsep.
Pengalaman itu terlalu
perkasa untuk dilukiskan seperti itu. Saya melakukan transendensi dari
pengalaman biasa yang menentukan sensasi, pikiran, dan perasaan yang berpusat
pada kesadaran diriku. Khomeini begitu perkasa. Khomeini begitu kuat dan tak
terkalahkan. Waktu itu juga aku melihat semua dorongan revolusi, semua sejarah
penggulingan Shah, irama kesyahidan, dan masa lalu peradaban Islam yang
membayangi Barat untuk waktu tertentu. Semua itu terkandung dalam kehadiran
orang ini.
Dia adalah sumber
kebangkitan Islam. Dia adalah sumber revolusi. Dia adalah sumber segala
kekuatan yang ditampilkan oleh revolusi ini dan oleh Islam ke hadapan dunia.
Aku yakin tanpa dia, monarki masih bercokol dan Islam secara efektif akan
disingkirkan sebagai faktor dalam nasib politik Timur Tengah.
Siapa saja yang memiliki
kesadaran atau perasaan untuk mengetahui apa yang diwakili Imam Khomeini (yaitu
kehidupan utuh yang memihak Islam) tidak bisa tidak akan dipenuhi dengan
semangat Islam, keyakinan syahid yang diberkahi, dan tekad untuk menyebarkan
Islam ke seluruh dunia.
Ia mengangkat. Ia
mentransformasikan. Khomeini adalah pusat ledakan Islam. Khomeini adalah mata
air kekuatan ruhaniah yang mengalir ke dalam hati kaum Muslimin di Timur
Tengah—atau paling tidak pada semua kaum Muslim yang secara naluriah dekat
dengan jantung Islam.
Ia tidak tertawa. Wajahnya
telah terpatri pada keteguhan niatnya. Tuhan telah meminta segalanya dari dia,
dan dia pun telah memberikan hidupnya untuk mengabdi kepada Tuhan. Tak ada lagi
yang patut ditertawakan, yang patut dijadikan hiburan, atau yang patut
dilamunkan. Jalan hidupnya telah ditentukan dan ia siap menerima akibat dari
jalan hidup yang telah ditentukannya itu: untuk menegakkan Islam yang berasal
dari Tuhan.
Ia hidup untuk Islam. Ia
telah menjadi instrumen Islam. Ia tidak mempunyai tujuan apapun kecuali untuk
menjalankan Islam. Individualitasnya telah tenggelam dalam universalitas
tujuannya yang luhur.
Aku harus berkata lebih
jauh lagi: Imam Khomeini menembus hati dan otakku dengan arus emosi yang hanya
dapat aku gambarkan sebagai positivitas ekstrem, sesuatu yang lebih baik aku
sebut “cinta”. Betapa pun tegasnya dalam menjalankan ajaran Islam, betapapun
tak tergoyahkan sikapnya, betapapun kebalnya terhadap perasaan individu, ia
dipenuhi cinta yang membersihkan hatiku, memenuhinya dengan kebahagiaan yang
tidak pernah aku kenal sebelumnya.
Ketika aku duduk di sana,
pandanganku terpusat kepada wajahnya (dan sinar yang mengitarinya) dan pada
saat yang sama dipenuhi dengan energi yang dapat aku hubungkan dengan sejenis
kreativitas dan daya yang paling hayati. Dia adalah generator energi dan perasaan
yang memenuhi hati dan membersihkan katakanlah ruh. Aku ingin mempertahankan
sikap netral, sikap tidak terlibat yang kritis dalam menghadapi Imam. Akan
tetapi, di sini aku kehilangan batas-batas individualitasku.
Di sini aku menemukan
perasaan dan sensasi halus yang tidak pernah aku kenal sebelumnya. Aku dipenuhi
oleh manusia Muslim yang suci, manusia yang dianggap—barangkali oleh seluruh
dunia—paling tidak sanggup mengisi wartawan Barat dengan rasa bahagia yang
Ilahiyah, kejernihan kesadaran yang Ilahiyah. Tetapi, memang inilah
pengalamanku. Imam Khomeini telah aku alami sebagai satu-satunya realitas yang
memperluas kesadaranku, memurnikan hatiku, menjernihkan otakku. Ketika ia pergi
meninggalkan berkat yang tidak pernah berkurang, berkat yang masih terus berada
dalam diriku, walaupun tertutup oleh kesibukan hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar