Pada suatu malam, ada
seorang lelaki buta yang tidak dapat melelapkan matanya. Hatinya seperti langit
yang diselubungi awan. Dia mengeluh dan merintih sayu.
Keesokan paginya, lelaki
buta itu bangun dari tempat pembaringannya, mencari sesuatu untuk mengisi perut.
Perlahan-lahan tangannya meraba-raba ke seluruh penjuru kamar tersebut, tetapi,
tidak ada yang dapat ditemui selain dari sekeping roti yang sudah kering.
Kemudian, sebagaimana biasanya, dia memakai pakaiannya yang sudah robek,
lalu berjalan melewati lorong-lorong kota dengan tongkatnya.
Seperti biasa, dia duduk
di satu sudut kota, di bawah sebuah pohon dan mendengarkan langkah kaki
orang-orang yang melewati tempat duduknya.
Dia menanti seseorang yang
akan melontarkan kepingan uang atau makanan dalam tangannya, tetapi
seolah-olah, tidak ada seorang pun yang menghiraukannya.
Tiba-tiba terdengar suara
tapak kaki mendekatinya. Lelaki tua yang buta itu menumpukan sepenuh
perhatiannya kepada langkah tersebut, tetapi beberapa saat kemudian, suara
langkah tersebut tidak lagi terdengar.
Meskipun lelaki tua itu
buta dan tidak melihat sesuatu, tetapi dia dapat merasakan bahwa seseorang
sedang memperhatikannya. Dia berkata sendirian, "Siapakah gerangan orang
tersebut?"
Ketika dia tenggelam dalam
pikirannya, terdengar suara orang memberi salam. Lelaki tua itu menjawab
salamnya dengan berkata, "Salam, selamat pagi." Bersamaan dengan itu,
orang-orang dan pedagang yang melewati tempat tersebut melihat kehadiran Imam
Ali as di sisi lelaki buta itu.
Mereka menghampirinya dan
memberi salam kepada beliau sebagai tanda penghormatan.
Kini pahamlah lelaki tua
yang buta itu bahwa lelaki yang memandanginya itu ternyata adalah pemimpin umat
Islam, Imam Ali as. Imam Ali as menjawab salam orang-orang itu dan bertanya,
"Kenalkah kalian dengan lelaki tua ini?"
Mereka yang mengenali
lelaki tua itu berkata, "Wahai Amirul Mukminin, lelaki tua ini adalah
seorang Kristiani, isterinya telah meninggal dunia. Dia adalah seorang lelaki
yang amat baik dan bekerja keras. Tetapi sejak dia menjadi buta, dan
dikarenakan dia tidak mempunyai siapapun, dia terpaksa mencari uang dengan
meminta sedekah."
Imam Ali as berkata,
"Sungguh menakjubkan! Ketika lelaki ini mempunyai kemampuan, dia telah
bekerja keras dan kini bila dia berada dalam keadaan lemah, dia ditinggalkan?
Ketika dia bisa melihat dan mempunyai kemampuan, dia bekerja keras untuk
masyarakat. Kini, ketika dia sudah tua dan tidak lagi mampu untuk bekerja, maka
menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat untuk menyediakan
keperluannya."
SALUUNI YA MAASYIRAN NAAS…..
Ketika Imam Ali (as)
diangkat menjadi khalifah secara aklamasi (dengan suara mayoritas) dan umat
Islam membaiatnya dengan sukarela, beliau pergi ke masjid dengan memakai sorban
dan selendang Rasulullah saw, memakai sandal Rasulullah saw, lalu belliau naik
mimbar dan duduk di atasnya sambil menyilangkan jari-jari kedua tangannya dan
meletakan dekat perut. Kemudian beliau berkata:
"Maasyirannas...bertanyalah
kepadaku sebelum kalian kehilanganku. Inilah wadah ilmu. Inilah air liur
Rasululah saw. Inilah yang Rasulullah saw tuangkan padaku berkali-kali.
Bertanyalah kepadaku karena aku mempunyai ilmu-ilmu orang terdahulu dan
orang-orang yang akan datang...”
Perkataan Imam Ali (as) itu tentu bukan sekedar omong kosong, tetapi sebuah
kenyataan dan bukti kesiapan beliau untuk memberikan jawaban segala persoalan
dan memberikan solusi yang tepat terhadap segala problema umat manusia. Said
bin al Musayib berkata, “tidak ada seorangpun dari sahabat Rasulullah yang
mengatakan itu kecuali Ali bin Abi Thalib. Beliau berkali-kali mengatakan itu
diatas mimbar” (Usud Al-Ghabah 4/22).
Sepanjang sejarah umat
Islam ada beberapa orang yang sesumbar seperti perkataan di atas, tapi akhirnya
dipermalukan karenanya, seperti: Muqotil bin Sulaiman, pada suatu saat duduk
dan berkata, ”betanyalah kepadaku tentang apa yang ada di bawah Arsy sampai
Luyana.”
Seorang bertanya
kepadanya, “Adam ketika haji, siapa yang memotong rambutnya?” Lalu dia
(Muqotil) menjawab, “ini bukan pertanyaanmu, tetapi Allah berkehendak
mempermalukanku atas keujubanku” (Tarikh Al-Khatib Al-Baghdadi 13 hal. 163).
Qatadah berkata, “Bertanyalah
kepadaku tentang Al-Qur’an! (niscaya aku menjawabnya). Abu Hanifah lalu
bertanya kepada Qatadah, “bagaimana pendapatmu tentang Firman Allah: Berkatalah
seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab, "Aku akan membawa singgasana
itu kepadamu sebelum matamu berkedip" (Q.S 27:40). Siapakan orang itu?”
Qatadah menjawab, “Dia adalah anak pamannya Sulaiman bin Dawud. Dia mengetahui
nama Allah yang Sangat Agung.
“Apakah Sulaiman
mengetahui nama (yang sangat agung) itu?” tanya Abu Hanifah lagi. “Tidak”.
Jawab Qatadah yakin. “Subhanallah, berarti di hadapan seorang Nabi ada orang
yang lebih pandai darinya.” Ujar Abu Hanifah. “Tanyakan persoalan lainnya!”
kata Qatadah. “Apakah engkau orang yang beriman?” tanya Abu Hanifah. “Saya
berharap seperti itu,” jawab Qatadah. “Mengapa Anda tidak menjawab seperti Nabi
Ibrahim “ya, aku beriman” (Q.S 2:260) “Penganglah tanganku! Demi Allah, aku
tidak akan datang ke kota ini lagi!” ujar Qatadah dengan malu (Al-Intiqa`, hal.
156).
Riwayat di atas dikutip dari Muhammad Ridha Al-Hakimi, Mengungkap Untaian
Kecerdasan Sayidina Ali Bin Abi Thalib (MUKSA), hal 11-16.
Lalu bagaimana dengan Imam Ali sendiri? Beliau berkata, “Sebelum aku
meninggalkan kalian, tanyakanlah kepadaku tentang Al-Qur’an. Demi Allah! Tidak
satupun dari ayat Al-Qur’an yang turun, kecuali RAsulullah membacakannya
untukku, dan mengajarkan tafsirannya.”
Ibnu Abil Hadid
menuturkan: Umar Ibn Khatab berkata kepada Ali bin Abi Thalib,” aku heran
kepadamu wahai Ali, karena setiap kesulitan yang aku tanyakan kepadamu, engkau
tidak pernah mengatakan tidak tahu, dan engkau selalu dapat menjawabnya secara
langsung, bahkan tanpa berpikir sejenak pun.” Lalu Imam Ali menunjukan lima
jarinya ke hadapan Umar seraya berkata: “Wahai Umar, berapakah ini?” Seketika
Umar menjawab, “lima.” “Ketahuilah wahai Umar! Sesungguhnya bagiku semua ilmu
pengetahuan dan jawaban dari segala masalah adalah semudah engkau menjawab
pertanyaanku tadi.” (Ilmu pengetahuan dan kebenaran itu jelas bagi Ali, seperti
jelasnya Umar melihat lima jari tangan Ali).
Ammar bin Yasir
bertutur: Pada satu peperangan, aku dan Imam Ali bin Abi Thalib as
melewati sebuah gurun yang dipenuhi oleh semut. Aku pun berkata kepada Imam Ali,
“wahai Tuanku, apakah ada yang mengetahui jumlah semut ini?” “Ya Wahai Ammar,
aku mengetahuinya.” Jawab Imam Ali. “Bagaimana engkau
mengetahuinya?” tanya Ammar lagi. “Wahai Ammar, tidakkah engkau membaca surah
Yasin? Yang mengatakan:
وكل شيء أحصيناه في إمام مبين
“Dan segala sesuatu kami kumpulkan dalam imam yang nyata” (Q.S 36:12) ?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar