Kamis, 31 Desember 2015

Muawwiyah Meracun Imam Hasan Bin Ali & Membunuh Muhammad Bin Abu Bakar


Oleh O Hashem (penulis buku Saqifah)

Setelah Alî bin Abî Thâlib meninggal dibunuh oleh Abdurrahmân bin Muljam dengan pedang pada waktu subuh tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H, 24 Januari 661 M, Hasan bin Alî dibaiat dan pertempuran-pertempuran dengan Mu’âwiyah berlanjut. Pada pertengahan Jumadil Awal tahun 41 H, 16 September 661 M. tercapai persetujuan damai antara Hasan bin Alî dan Mu’âwiyah. Surat perdamaian berbunyi sebagai berikut:

Bismillâhirrahmânirrahim.

Ini adalah pernyataan damai dari Hasan bin Alî kepada Mu’âwiyah bin Abî Sufyân, bahwa Hasan menyerahkan kepada Mu’âwiyah wilayah Muslimîn, dan Mu’âwiyah akan menjalankan Kitâb Allâh SWT dan Sunnah Rasûl Allâh saw. dan tata cara Khulafâ’ur-Râsyidîn yang tertuntun, dan Mu’âwiyah bin Abî Sufyân tidak boleh mengangkat seseorang jadi khalîfah sesudahnya, tetapi akan diadakan lembaga syura di antara kaum Muslimîn dan bahwa masyarakat akan berada dalam keadaan aman di daerah Allâh SWT di Syam, Iraq, Hijaz dan Yaman, dan bahwa sahabat-sahabat Alî dan Syî’ah-nya terpelihara dalam keadaan aman, bagi diri, harta, para wanita dan anak-anak mereka, dan bahwa Mu’âwiyah bin Abî Sufyân setuju dan berjanji dengan nama Allâh bahwa Mu’âwiyah tidak akan mengganggu dan menganiaya secara tersembunyi atau terbuka terhadap Hasan bin Ali atau saudaranya Husien bin Ali atau salah seorang ahlu’l-bait Rasul Allâh saw. dan tidak akan mengganggu mereka yang berada di seluruh penjuru..dan bahwa Mu’âwiyah akan menghentikan pelaknatan terhadap Alî...”[1]

Dan sebagaimana biasa Mu’âwiyah melanggar janji. Ia meracuni Hasan bin Alî bin Abî Thâlib, dan setelah Hasan meninggal ia bersujud yang diikuti semua yang hadir seperti dilakukannya tatkala Imâm Alî meninggal dunia.

Ibnu Sa’d menceritakan: “Mu’âwiyah meracuni Hasan berulang-ulang.” Wâqidî berkata: “Mu’âwiyah meminumkan racun kepada Hasan, kemudian ia selamat, kemudian diminumkan racun lagi dan selamat, kemudian yang terakhir Hasan meninggal. Tatkala maut mendekat, dokter (thabib) yang menjenguknya berulang-ulang mengatakan bahwa Hasan diracun orang.”

Adiknya Husain berkata: “Ya ayah Muhammad, beritahukan saya, siapa yang meminumkan racun kepadamu?”

Hasan menjawab: “Mengapa, wahai saudaraku?”

Husain: “Demi Allâh, aku akan membunuhnya sebelum engkau dimakamkan. Dan bila aku tidak berhasil, akan aku meminta orang mencarinya.”

Hasan berkata: “Wahai saudaraku, sesungguhnya dunia ini adalah malam-malam yang fana. Doakan dia, agar dia dan aku bertemu di sisi Allâh, dan aku melarang meracuninya.”[2]

Mas’ûdî mengatakan: “Tatkala ia diberi minum racun, ia bangun menjenguk beberapa orang kemudian, setelah sampai di rumah, ia berkata: “Aku telah diracuni, berkali-kali tetapi belum pernah aku diberi minum seperti ini, aku sudah keluarkan racun itu sebagian, tetapi kemudian kembali biasa lagi.”

Husain berkata: “Wahai saudaraku, siapa yang meracunimu?”

Hasan menjawab: “Dan apa yang hendak kau lakukan dengannya? Bila yang kuduga benar, maka Allâh-lah yang melakukan hisab terhadapnya. Bila bukan dia, aku tidak menghendaki orang membebaskan diriku.”

Dan dia berada dalam keadaan demikian sampai 3 hari sebelum ia ra. akhirnya meninggal. Dan yang meminumkan racun kepadanya adalah Ja’dah binti Asy’ats bin Qais al-Kindî, dan Mu’âwiyah yang memerintahkan kepadanya, dan bila ia berhasil membunuh Hasan ia akan dapat 100.000 dirham dan “aku akan mengawinkan kau dengan Yazîd.” Ialah yang mengirim racun kepada Ja’dah, istri Hasan. Dan tatkala Hasan meninggal, ia mengirim uang tersebut dengan surat: “Sesungguhnya kami mencintai nyawa Yazîd, kalau tidak maka tentu akan kami penuhi janji dan mengawinkan engkau dengannya.”[3]

Abû’l-Faraj al-Ishfahânî menulis: “Hasan telah mengajukan syarat perdamaian kepada Mu’âwiyah: “Mu’âwiyah bin Abî Sufyân tidak boleh mengangkat seseorang jadi khalîfah sesudahnya. Dan bila Mu’âwiyah akan mengangkat Yazîd, anaknya, jadi khalîfah, maka yang memberatkannya adalah Hasan bin Alî dan Sa’d bin Abî Waqqâsh”[4], maka Mu’âwiyah meracuni mereka berdua dan mereka meninggal. Ia mengirim racun kepada putri Asy’ats bin Qais: “Aku akan kawinkan kau dengan anakku Yazîd, bila kau racuni Hasan”, dan ia mengirim 100.000 dirham dan ia tidak mengawinkannya denganYazid.[5]

Abul Hasan al-Madâ’inî berkata: “Hasan meninggal tahun 49 H, 669 M. setelah sakit selama 40 hari pada umur 47 tahun. Ia diracuni Mu’âwiyah melalui tangan Ja’dah binti Asy’ats, istri Hasan dengan kata-kata: “Bila engkau membunuhnya dengan racun, maka engkau dapat 100.000 dan akan aku kawinkan kau dengan Yazîd, anakku.” Dan tatkala Hasan meninggal, maka ia memberikan uang tersebut dan tidak mengawinkannya dengan Yazîd. Ia berkata: “Aku takut kau akan lakukan terhadap anakku seperti yang engkau lakukan terhadap anak Rasûl Allâh saw.”[6]

Hushain bin Mundzir ar-Raqasyi berkata: “Demi Allâh Mu’âwiyah tidak memenuhi sama sekali janjinya, ia membunuh Hujur dan teman-temannya, membaiat anaknya Yazîd dan meracuni Hasan.”[7]

Abû Umar berkata dalam al-Istî’âb: “Qatâdah dan Abû Bakar bin Hafshah berkata: “Mu’âwiyah meracuni Hasan bin Alî, melalui istri Hasan, yaitu putri Asy’ats bin Qais al-Kindî. Sebagian orang berkata: “Mu’âwiyah memaksanya, dan tidak memberinya apa-apa, hanya Allâh yang tahu!” Kemudian ia menyebut sumbernya, yaitu Mas’ûdî.[8]

Ibnu al-Jauzî mengatakan dalam “at-Tadzkirah Khawâshsh’l Ummah”: “Para ahli sejarah di antaranya Abdul Barr meriwayatkan bahwa ia diracuni istrinya Ja’dah binti Asy’ats bin Qais al-Kindî.”

As-Sûdî berkata: “Yang memerintahkannya adalah Yazîd bin Mu’âwiyah agar meracuni Hasan dan bahwa ia berjanji akan mengawininya. Dan tatkala Hasan meninggal Ja’dah mengirim surat kepada Yazîd menagih janjinya. Dan Yazîd berkata: “Hasan saja kamu bunuh, apalagi aku, demi Allâh, aku tidak rela.”

Asy-Sya’bî mengatakan: “Sesungguhnya yang melakukan tipu muslihat adalah Mu’âwiyah. Ia berkata kepada istri Hasan: “Racunilah Hasan, maka akan aku kawinkan engkau dengan Yazîd dan memberimu 100.000 dirham.” Dan tatkala Hasan meninggal Ja’dah menuntut janjinya. Mu’âwiyah lalu mengiriminya uang tersebut dan menambahkan : “Sesungguhnya aku mencintai Yazîd, dan mengharapkan agar ia tetap hidup, kalau tidak demikian tentu aku akan kawinkan engkau dengannya.”

Sya’bî berkata lagi: “Dan ini benar dengan berdasarkan saksi yang dapat dipercaya: “Sesungguhnya Hasan berkata tatkala akan mati dan telah sampai kepadanya apa yang dilakukan Mu’âwiyah: “Aku telah tahu minumannya dan kebohongannya, demi Allâh ia tidak memenuhi janjinya, dia tidak jujur dalam perkataannya.”

Kemudian Sya’bî mengutip ath-Thabaqât dari Ibnu Sa’d: “Mu’âwiyah meracuninya berulang ulang.”[9]

Ibnu Asâkir berkata: “Ia diberi minum racun, berulangulang, banyak, mula-mula ia bisa pulih, lalu diberi minum lagi dan ia tidak bisa pulih dan dikatakan: “Sesungguhnya Mu’âwiyah telah memperlakukan dengan ramah seorang pembantunya agar meracuninya dan ia lalu melakukannya dan berpengaruh sedikit demi sedikit, sampai ia memakai alat untuk bisa duduk dan ia bertahan sampai 40 kali.”

Muhammad bin al-Mirzubân meriwayatkan: “Ja’dah binti Asy’ats bin Qais adalah istri Hasan dan Yazîd melakukan tipu muslihat agar ia mau meracuni Hasan. Dan saya akan mengawininya, dan Ja’dah melakukannya. Dan tatkala Hasan meninggal Ja’dah menanyakan janji Yazîd dan Yazîd berkata: “Sesungguhnya, demi Allâh, kalau Hasan saja kamu bunuh, apalagi kami.”[10]

Hasan bin Alî sakit yang berakhir dengan kematiannya. Ia diracun istrinya, atas suruhan Mu’âwiyah dengan bayaran 100.000 dinar. Ia lalu memerintahkan Marwân bin Hakam yang diangkatnya jadi gubernur Madînah untuk terus mengamati Hasan dan menyuratinya. Tatkala datang berita bahwa Hasan telah meninggal seluruh penduduk Syam bertakbir. Seorang wanita, Fakhîtah binti Quraidhah bertanya kepada Mu’âwiyah: “Apakah kamu bertakbir bagi matinya putri Fâthimah?”

“Ya aku bertakbir karena hatiku gembira.”[11]

Ia sangat gembira dan bahagia dan bersujud, dan semua yang hadir ikut bersujud.[12]

Ia juga terkenal karena membunuh sahabat Rasûl Allâh saw. Hujur bin Adî dan kawan-kawannya pada tahun 51 H, 671 M. karena tidak mau melaknat Alî.

MUAWWIYAH MEMBUNUH MUHAMMAD BIN ABÛ BAKAR
Mu’âwiyah membunuh Muhammad bin Abû Bakar, anak khalîfah Abû Bakar. Mula-mula ia disiksa, tidak diberi minum, kemudian dimasukkan ke dalam perut keledai dan dibakar.

Untuk pertama kali dalam sejarah Islam, penguasa mempermainkan jenazah yang mereka bunuh.Dan jenazah ini adalah jenazah kaum Muslimîn.

Penguasa memenggal kepala mereka setelah diikat kedua tangan ke belakang, menyayat-nyayat mayat, mengarak kepala-kepala mereka berkeliling kota, membawanya dari kota ke kota dan akhirnya dikirim ke ‘khalîfah’ di Damaskus dengan menempuh jarak beratus-ratus kilometer.

Cukup dengan sedikit curiga bahwa seorang itu Syî’ah, maka mereka akan memotong tangan, kaki atau lidah mereka. Bila ada yang menyebut mencintai anak cucu Rasûl saja maka ia akan dipenjarakan atau hartanya dirampas, rumah dimusnahkan.

Bencana makan bertambah dan makan menyayat hati. Sampai gubernur Ubaidillâh bin Ziyâd membunuh Husain, kemudian gubernur Hajjâj bin Yûsuf yang membunuh mereka seperti membunuh semut. Ia lebih senang mendengar seorang mengaku dirinya zindîq atau kafir dari mendengar orang mengaku dirinya Syî’ah Alî.

Abû al-Husain Alî bin Muhammad bin Abî Saif al-Madani dalam kitabnya al-Ahdats, berkata: “Mu’âwiyah menulis sebuah surat kepada semua gubernurnya setelah tahun perjanjian dengan Hasan agar mereka mengucilkan orang yang memuliakan Alî dan keluarganya. “Pidatokan dan khotbahkan di tiap desa dan di tiap mimbar pelaknatan Alî dan kucilkan dia dan keluarganya.” Dan alangkah besar bencana yang menimpa Syî’ah Alî di Kûfah.

Diangkatlah Ziyâd bin Sumayyah diangkat jadi gubernur Kûfah. Ia lalu memburu kaum Syî’ah. Ia sangat mengenal kaum Syî’ah karena ia pernah jadi pengikut Alî. Dan ia lalu memburu dan membunuh mereka di mana pun mereka berada, tahta kulli hajar wa madar, membuat mereka ketakutan, memotong tangan dan kaki mereka, menyungkil bola mata mereka, samala al ‘uyun, dan menyalib mereka di batang-batang pohon korma. Ia memburu dan mengusir mereka ke luar dari Irak dan tiada seorang pun yang mereka kenal, luput dari perburuan ini.[13]

Di samping itu istri dan putri-putri Syî’ah dijadikan budak dan untuk pertama kali dilakukan Mu’âwiyah dengan Busr bin Arthât pada akhir tahun 39 H, 660 M. Mereka memaksa kaum Syî’ah membaiat khalîfah yang sebenarnya adalah raja yang lalim.

Setelah membaiat, biasanya mereka belum merasa puas, sehingga mereka merasa perlu membumi hanguskan desa mereka seperti diriwayatkan Bukhârî dalam tarikhnya.

Mu’âwiyah melalui jenderalnya Busr bin Arthât tersebut membakar rumah-rumah Zarârah bin Khairun, Rifâqah bin Rafî, Abdullâh bin Sa’d dari Banû Abdul Asyhal, semua adalah para sahabat kaum Anshâr. Celakanya Ziyâd bin Abih, yang mula-mula berpihak kepada Alî bin Abî Thâlib, menyeberang ke Mu’âwiyah, karena pengakuan Abû Sufyân bahwa Ziyâd yang lahir dari seorang budak perempuan asal Iran adalah anaknya.

Mu’âwiyah yang melihat Ziyâd sebagai seorang yang berbakat, mengakuinya sebagai saudaranya. Ummu Habîbah, istri Rasûl Allâh, saudara Mu’âwiyah tidak pernah mau mengakui Ziyâd sebagai saudaranya.

Karena pernah bersama Alî maka Ziyâd mengenal semua pengikut Alî dalam Perang Shiffîn dan dengan mudah memburu dan membunuhi mereka.

Orang pertama yang dipenggal kepalanya oleh Mu’âwiyah adalah Amr bin Hamaq sebagai Syî’ah Alî yang turut mengepung rumah Utsmân dan dituduh membunuh Utsmân dengan 9 tusukan. Ia melarikan diri ke Madâ’in bersama Rifâ’ah bin Syaddâd dan terus ke Mosul. Ia ditangkap dan gubernur Utsmân mengenalnya. Ia mengirim surat ke Mu’âwiyah. Mu’âwiyah menjawab seenaknya: “Ia membunuh Utsmân dengan 9 tusukan dengan goloknya (masyâqish) dan kita tidak akan bertindak lebih, tusuklah dia dengan sembilan tusukan.” Setelah ditusuk, baru tusukan pertama atau kedua, kelihatannya ia sudah mati,kepalanya dipenggal dan dikirim ke Syam, diarak kemudian diserahkan kepada Mu’âwiyah dan Mu’âwiyah mengirim kepala ini kepada istrinya Âminah binti al-Syarid yang sedang berada di penjara Mu’âwiyah. Kepala itu dilemparkan ke pangkuan istrinya. Istrinya meletakkan tangannya di dahi kepala suaminya kemudian mencium bibirnya dan berkata:

“Mereka hilangkan dia dariku amat lama,
Mereka bunuh dan sisakan untukku kepalanya,
Selamat datang, wahai hadiah,
Selamat datang, wahai wajah tanpa roma”[14]

CATATAN:
[1] Ibnu Hajar, Shawâ’iq, hlm. 81.
[2] Ibnu Katsîr, Târîkh, jilid 8, hlm. 43.
[3] Mas’ûdî, Murûj adz-Dzahab, jilid 2, hlm. 50.
[4] Sa’d adalah satu-satunya anggota Syûrâ yang dibentuk Umar yang masih hidup, pen.
[5] Al-Ishfahânî, Maqâtil ath-Thâlibiyîn, hlm. 29; Diriwayatkan Ibn Abîl Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 4, hlm. 11, 17.
[6] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 4, hlm. 4.
[7] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 4, hlm. 7.
[8] Ibnu Abd al-Barr, Kitâb al-Istî’âb, jilid 1, hlm. 141.
[9] Ibnu al-Jauzî, ’al-Tadzkirah’, hlm. 121.
[10] Ibnu Asâkir, Târîkh, jilid 4, hlm. 229.
[11] Ad-Damîrî, Hayât al-Hayawân, jilid 1, hlm. 58; Diyâr Bakrî, Tarikh Yaum al-Khamîs, jilid 2, hlm. 294.
[12] 118 Ibnu Qutaibah, al-Imâmah was-Siyâsah, jilid 1, hlm. 144; Ibnu Abdu Rabbih, al-‘Iqd al-Farîd, jilid 2, hlm. 298; ar-Raghib al-Ishfahânî, Al-Muhâdharât, jilid 2, hlm. 224 dll.
[13] Lihat Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 11, hlm. 43, 44.

[14] Amr bin Hamaq adalah orang pertama dalam sejarah Islam yang kepalanya dipenggal dan diarak dari kota ke kota, lihat Ibn Qutaibah, Al-Ma’ârif, hlm. 127; Al-Istî’âb, jilid 2, hlm. 404; Al-Ishâbah, jilid 2, hlm. 533; Ibn Katsîr, Târîkh, jilid 8, hlm. 48.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar