Dahulu kala, yaitu era
1900-an, di masa Ottoman mulai rapuh secara internal dan eksternal, di Turki
terjadi tarik-menarik kekuasaan antara gerakan modern-konstitusional (sekular)
dan gerakan syariah-monarkial (khilafah), yang bermuara pada berakhirnya
pemerintahan Dinasti Utsmaniyah yang terkenal mempraktekkan ragam macam hukuman
kejam itu, sebagaimana digambarkan dalam beberapa prosanya Orhan Pamuk, semisal
White Castle.
Dari kelompok
ultranasionalis Turki Muda (Young Turk) yang mengambil alih kekuasaan,
terbentuk kelompok Komite Persatuan dan Kemajuan (KPM, Committee of Union and
Progress) yang kemudian secara de facto menjadi penguasa. Para pemimpin KPM,
dikenal dengan Trio Pasha yang berasal dari wilayah Utsmaniyah Eropa,
menggiring negara mereka masuk ke dalam PD I (Perang Dunia Pertama), dan
melaksanakan pembantaian etnis Armenia, termasuk Assiria dan Yunani.
Wilayah-wilayah seperti
Deir El-Zour di Suriah, Gurun Mesopotamia dan Mosul di Irak, tak pelak lagi
menjadi neraka bagi rakyat Armenia yang dideportasi dan dibantai Turki di
kawasan-kawasan tersebut.
Tetapi sesungguhnya,
permusuhan Turki terhadap bangsa Armenia sudah sejak lama. Sebutlah contoh
kasusnya yaitu di tahun 1894-1896, yaitu kala rakyat Armenia yang terus
mendapat perlakuan tidak adil menuntut penghargaan atas hak-hak mereka, yang
malah ditanggapi oleh Sultan Abdul Hamid II dengan pembunuhan massal terhadap
etnis Armenia pada 1894-1896.
Thomas de Waal dalam
bukunya Great Catastrophe: Armenians and Turks in the Shadow of Genocide
(Oxford University Press 2015) menyebut 88.000 warga Armenia menjadi korban
ketika itu. Sumber-sumber lain memperkirakan antara 100.000-300.000 orang
menjadi korban.
Sementara itu, pada perang
dunia pertama, sekira satu setengah juta warga Armenia dibantai Turki,
perempuan-perempuan Armenia disalib dalam keadaan telanjang setelah diperkosa.
Demikianlah ketika Bashar Al-Assad mengetahui Turki mendukung salah-satu faksi
geng perang, yaitu Teroris Front Al-Nusra (bersamaan dengan ketika agressi
terhadap Suriah dilancarkan), Bashar Al-Assad segera menekan Rusia agar Rusia
turun tangan demi menghindari tragedi itu terulang.
Kala itu, di tahun 1913,
kaum ultranasionalis Young Turks mengambil alih kekuasaan di Konstantinopel
(Istanbul). Mereka adalah Mehmed Talat Pasha, Ismail Enver Pasha, dan Ahmed
Djemal Pasha (arsitek pembantaian). Pada 1914, Turki masuk dalam kancah Perang
Dunia I, berpihak kepada Jerman dan Kekaisaran Austro-Hongaria setelah
menandatangani perjanjian rahasia dengan Jerman dan mendirikan Aliansi
Ottoman-Jerman pada Agustus 1914, dengan tujuan melawan Rusia sebagai musuh.
Pada Oktober 1914, Turki
melancarkan serangan ke pelabuhan-pelabuhan Rusia dan menyatakan orang Armenia
”musuh internal”. Para pemimpin militer berargumentasi bahwa orang-orang
Armenia adalah pengkhianat. Orang Armenia membentuk batalion relawan untuk
membantu tentara Rusia melawan orang Turki di kawasan Kaukasus. Hal ini membuat
orang Turki curiga kepada orang Armenia dan memaksa mereka keluar dari zona
perang di front timur.
Pada Februari 1915, Talat
Pasha memberi tahu kepada Duta Besar Jerman bahwa inilah saatnya memberi
jawaban atas pertanyaan tentang Armenia. Komite Pusat Ottoman membahas rencana
”menghapus bangsa Armenia”.
Pada 24 April 1915,
pembantaian dimulai. Pada hari itu pemerintahan Ottoman menangkap dan
mengeksekusi ratusan intelektual Armenia di Konstantinopel. Setelah itu, rakyat
Armenia dipaksa keluar dari rumah mereka dan dibiarkan mati ketika berjalan
kaki di tengah gurun Mesopotamia tanpa makanan dan tanpa air. Mereka
ditelanjangi dan dipaksa berjalan kaki di bawah sengatan terik matahari sampai
akhirnya meninggal dunia. Mereka yang berhenti untuk beristirahat ditembak
mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar