Salah
seorang dari ulama Syiah bercerita, “Pada suatu hari aku berada di Madinah, di
Masjid Nabawi. Aku melihat di sebelahku ada peziarah yang datang dari Iran
mencium dinding dan pagar makam Rasulullah saw. Lalu tiba-tiba imam jama’ah
setempat, yang mana ia adalah seorang alim Wahabi, mendatanginya membentak
dengan berteriak: “Mengapa kamu mencium dinding yang tidak bisa berbuat
apa-apa?! Kamu telah syirik!”
Aku
pun merasa kesal dengan sikapnya lalu kudatangi dan kukatakan, “Kami mencium
dinding masjid ini karena kecintaan kami kepada Rasulullah saw. Tak ada bedanya
seperti seorang ayah yang mencium anaknya karena rasa cinta. Tidak ada
kesyirikan dalam hal seperti ini.” Ia berkata, “Tidak! Perbuatan ini tetaplah
syirik.”
Aku
berkata, “Bukankah anda pernah membaca ayat yang berbunyi: “Ketika pembawa
berita gembira datang kepada Ya’qub dan memberikan baju anaknya kepadanya,
Ya’qub mengusap baju itu ke mukanya lalu ia dapat melihat kembali.” (QS
Yusuf: 96). Pertanyaanku adalah, baju itu hanya sekedar kain. Lalu bagaimana
bisa menyembuhkan mata nabi Ya’qub as? Apa bukan karena baju itu milik anak
kecintaannya sehingga baju tersebut begitu istimewa bagi beliau?”
Imam
jama’ah Wahabi itu terlihat kebingungan dan tidak bisa menjawab. Demikian aku
berusaha memberitahu ia tentang bagaimana kami berkeyakinan. Penjelasannya yang
lebih detil begini: Bukannya nabi Ya’qub as pernah mencium bau anaknya dari
jarak yang sangat jauh karena begitu cintanya ia pada nabi Yusuf as? “Sungguh
aku mencium wangi Yusuf.” (QS Yusuf: 94)
Oleh
karena itu kami begitu mempercayai keistimewaan wali-wali Allah ini. Perbuatan
kami ini bukanlah Syirik. Bahkan kami berani bertaruh inilah Tauhid yang
sebenarnya!” Lalu kujelaskan lebih detil, “Saat menziarahi nabi, kami marasa
diri kami tidak pantas untuk menghadap Allah swt secara langsung, oleh karena
itu kami ingin menjadikan nabi sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada
Tuhan. Inilah Tawasul. Tak jauh beda dengan seorang anak yang nakal yang tidak
berani menemui ayahnya lalu meminta tolong orang lain yang dikenal baik ayahnya
untuk datang bersamanya meminta maaf dari sang ayah.
Dalam
Al Qur’an hal ini pun dijelaskan dengan sangat jelas. Saat anak-anak nabi
Ya’qub as merasa berdsa, mereka berkata kepada ayahnya: “Hai ayah kami,
mintakanlah ampun Allah untuk kami karena kami sungguh orang-orang yang salah.”
(QS Yusuf: 97). Dari ayat itu dapat kita fahami bahwa bertwasul dan menjadikan
hamba-hamba terdekat Allah sebagai perantara adalah hal yang wajar dan
boleh-boleh saja. Sedangkan mereka, orang-orang Wahabi menyebut Tawasul sebagai
perbuatan syirik, bertentangan dengan Tauhid, dan lain sebagainya. Allah swt
juga pernah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, carilah wasilah
(perantara) kepada-Nya.” (QS Al Maidah: 35)
Bukannya
ayat itu mengajak kita untuk ber-Tawasul? Wasilah atau perantara yang
dimaksud oleh ayat di atas tidak hanya terbatas pada menjalankan kewajiban dan
meninggalkan yang haram saja, namun juga menjalankan hal-hal mustahab, yang
salah satunya adalah Tawasul itu sendiri. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa
Mansur Dawaniqi (Khalifah kedua Dinasti Abbasiah) bertanya kepada Imam Malik
bin Anas (pemimpin Madzhab Maliki), “Di makam Rasulullah saw kita harus berdoa
menghadap Kiblat atau menghadap makam beliau?”
Ia
menjawab, “Mengapa kamu harus memalingkan wajahmu dari nabi? Ia adalah
perantara bagimu dan juga bagi ayahmu, nabi Adam As, di hari kiamat nanti.
Menghadaplah kepada nabi dan mintalah ia untuk menjadi pemberi syafaat kepadamu.
[1] Allah swt berfirman: “Dan
ketika orang-orang yang menzalimi dirinya datang kepada nabi untuk dimintakan
ampunan, lalu nabi memohon ampunan Allah untuk mereka, niscaya mereka mendapati
bahwa Allah maha maha penerima taubat dan pengasih.” (QS An Nisa’:64)
Dalam
riwayat-riwayat Syiah maupun Suni disebutkan bahwa Nabi Adam as saat bersimpuh
di pintu Ka’bah berdoa kepada Allah dan menjadikan nama Rasulullah Saw
sebagai perantara taubatnya. Ia berdoa, “Ya Allah, demi Muhammad ampunilah
aku.”[2] Kembali ke permasalahan.
Sederhana saja, bukti bahwa mencium kubur hamba-hamba dekat Allah swt adalah
beberapa riwayat ini:
Seseorang
pernah mendatangi nabi dan bertanya, “Wahai nabi, aku telah bersumpah untuk
mencium pintu surga… Lalu (jika terlanjur begini), apa yang harus kulakukan?” Beliau
menjawab, “Kalau begitu ciumlah kaki ibu dan kening ayahmu.” “Bagaimana jika
ayah dan ibuku telah mati?”, tanya lelaki itu. Nabi menjawab, “Maka ciumlah
kuburan mereka.”[3] Riwayat yang lain… Saat nabi
Ibrahim as datan dari Syam untuk menemui anaknya, nabi Ismail as di Makkah,
anaknya tidak ada di rumah. Lalu saat nabi Ismail as datang, istrinya
menceritakan bahwa tadi ayahnya datang mencarinya. Segera setelah itu ia
mencari jejak kaki ayahnya lalu sebagai penghormatan ia mencium jejak kaki
tersebut.
Riwayat
yang lain juga, diriwayatkan bahwa Sufyan Tsauri (seorang sufi Ahlu Sunah)
mendatangi Imam Ja’far Shadiq as dan berkata, “Mengapa orang-orang suka
menciumi kain Ka’bah padahal kain itu tidak akan berbuat apa-apa dan tak
berguna?” Imam Shadiq as menjawabnya dengan berkata, “Hal itu bagai kejadian
seseorang yang bersalah terhadap sesamanya lalu berusaha menarik bajunya dengan
berlutut dan menciumnya agar mau menerima permintaan maafnya.”[4]
Catatan Kaki:
[1] Wafa’ul Wafa’, jilid 2,
halaman 1376; Ad Durr As Sunniyah, Dzaini Dahlan, halaman 10.
[2] Ad Durr Al Mantsur,
jilid 1, halaman 59; Mustadrak Al Hakim, jilid 2, halaman 615;
Majma’ul Bayan, jilid 1, halaman 89.
[3] Al A’lam, Quthbuddin
Hanafi, halaman 24.
[4] Seratus Satu Dialog,
Muhammad Muhammadi Isytihardi, halaman 175.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar