Oleh Thomas S. Kuhn
Sebuah peran bagi sejarah
Sejarah –jika dipandang
lebih sebagai khasanah daripada sebagai anekdot atau kronologi, dapat
menghasilkan transformasi yang menentukan dalam citra sains yang merasuki kita
sekarang. Citra itu telah dibuat sebelumnya, bahkan oleh para ilmuwan sendiri,
terutama dari studi tentang pencapaian ilmiah yang tuntas seperti yang direkam
dalam karya-karya klasik dan, yang lebih baru, dalam buku-buku teks yang
dipelajari oleh setiap generasi ilmuwan yang baru untuk mempraktekkan
kejujurannya. Namun, dari sejarah pun konsep yang baru itu tidak akan datang
jika data-data historis masih terus dicari dan diteliti dengan cermat terutama
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan oleh stereotip yang tidak
historis dan diambil dari buku-buku teks sains. Jika sains itu konstelasi
fakta, teori dan metode yang dihimpun dalam buku-buku teks yang ada sekarang,
maka para ilmuwan adalah orang-orang yang berhasil atau tidak berhasil,
berusaha untuk menyumbangkan suatu unsur kedalam konstelasi tertentu itu.
Perkembang sains menjadi suatu proses timbunan yang semakin membesar yang membentuk
tekhnik dan pengetahuan sains.
Tetapi dalam tahun-tahun
belakangan ini beberapa sejarahwan sains berpendapat bahwa memenuhi fungsi yang
diberikan kepada mereka oleh konsep perkembangan dengan akumulasi itu semakin
bertambah sulit. Sebagai pencatat rangkain proses pertambahan mereka menemukan
bahwa riset tambahan itu menyebabkan lebih sukar, bukan lebih mudah, untuk
menjawab pertanyaan seperti: kapan oksigen ditemukan? Siapa yang pertama kali
menemukan konsep tentang penghematan energi? Penemuan baru dalam teori juga
bukan satu-satunya peristiwa ilmiah yang mempunyai dampak revolusioner terhadap
para spesialisasi yang wilayahnya menjadi tempat terjadinya peristiwa itu.
Komitmen–komitmen yang menguasai sains yang normal juga tidak hanya menetapkan
jenis-jenis maujud (entity) apa yang dikandung oleh alam semesta, tetapi juga,
dengan implikasi, maujud-maujud yang tidak dikandungnya.
Jalan Menuju Sains yang Normal
Dalam esai ini, sains yang
normal berarti riset yang dengan teguh berdasar satu atau lebih pencapaian
ilmiah yang lalu, pencapaian yang oleh masyarakat ilmiah tertentu pada suatu
ketika dinyatakan sebagai pemberi fondasi pada praktek selanjutnya. Sekarang
pencapaian-pencapaian itu diceritakan, meskipun jarang dalam bentuk aslinya,
oleh buku-buku teks sains tingkat dasar maupun tingkat lanjutan. Buku-buku
tersebut populer pada awal abad 19, buku-buku klasik termasyur karya: Physica
karya Aristoteles, Almagest karya Ptolemaeus, Principia dan Opticks karya
Newton, Electricity karya Franklin, Chemistery karya Lavoisier, dan Geology
karya Lyell. Mereka bisa berbuat demikian karena sama-sama memiliki
karateristik yang esensial. Pencapaian mereka cukup baru, dan belum pernah ada
sebelumnya.
Pencapaian yang turut
memiliki kedua karateristik ini selanjutnya akan saya sebut “Paradigma”, istilah
yang erat kaitannya dengan “sains yang normal “. Dengan memilih istilah ini
saya bermaksud mengemukakan bahwa beberapa contoh praktek ilmiah nyata yang
diterima – contoh-contoh yang bersama-sama mencakup dalil, teori, penerapan dan
intrumentasi – menyajikan model-model yang daripadanya lahir tradisi-tradisi
padu tertentu dari riset ilmiah. Karena dalam esai ini konsep paradigma akan
sering menggantikan berbagai gagasan yang dikenal, maka lebih banyak yang
perlu dikatakan tentang alasan penggunaannya.
Pemisahan bidang-bidang
yang di dalamnya telah terdapat paradigma yang mantap sejak zaman pra-sejarah,
seperti matematika dan astronomi, dan juga bidang-bidang yang muncul dengan
pembagian dan penggabungan ulang, seperti biokimia, keadaan di atas merupakan
kekhasan historis. Namun sejarah juga mengemukakan beberapa alasan bagi
kesulitan yang dijumpai di jalan itu. Dalam ketiadaan paradigma atau calon
paradigma, semua fakta yang mungkin dapat merupakan bagian dari perkembangan
sains tertentu cenderung tampak sama relevannya.
Sifat Sains yang Normal
Dalam penggunaannya yang
telah mapan, paradigma adalah model atau pola yang diterima, dan aspek maknannya
itu telah memungkinkan, karena tidak memiliki kata yang lebih baik untuk
mengambil paradigma, bagi keperluan sendiri di sini. Akan tetapi tidak
lama lagi akan jelas bahwa pengertian model dan pola yang memungkinkan
pengambilan paradigma itu tidak sama benar dengan pengertian yang biasa
digunakan untuk mendefinisikan Paradigma. Dalam penerapan yang baku ini,
paradigma berfungsi dengan memperbolehkan replikasi contoh-contoh yang
masing-masing pada prinsipnya dapat menggantikannya. Di pihak lain, dalam
sebuah sains, paradigma jarang merupakan obyek dari replikasi, akan tetapi,
seperti keputusan yudikatif yang diterima dalam hukum tak tertulis, ia adalah
objek bagi pengutaraan dan rincian lebih lanjut dalam keadaan yang baru atau
lebih keras.
Untuk mengetahui bagaimana
hal itu bisa terjadi, kita harus ingat betapa sangat terbatasnya suatu
paradigma, baik dalam cakupannya maupun dalam ketepatannya, pada saat pertama
kali muncul. Paradigma memperoleh statusnya karena lebih berhasil daripada
saingannya dalam memecahkan beberapa masalah yang mulai diakui oleh kelompok
pemraktek bahwa masalah-masalah itu rawan. Tiga fokus penyelidikan sains yang
aktual yaitu: Pertama adalah kelas fakta-fakta yang telah diperlihatkan oleh
paradigma bahwa sangat menyingkapkan sifat tertentu. Kedua yang biasa tetapi lebih kecil dari penetapan-penetapan fakta
ditujukan kepada fakta-fakta yang, meskipun sering tanpa banyak kepentingan
hakiki, dapat dibandingkan secara langsung dengan prakiraan-prakiraan teori
paradigma. Ketiga adalah yang
ditujukan untuk mengartikulasikan suatu paradigma. Eksperimen ini, lebih dari
yang lain-lain, dapat menyerupai eksplorasi, dan terutama sangat sering
digunakan dalam periode-periode itu dan dalam sains-sains yang lebih banyak
berurusan dengan aspek-aspek kualitatif daripada aspek-aspek kuantitatif dari
regularitas alam.
Sains Normal Sebagai Pemecah Teka-Teki
Pada abad ke 18, misalnya
hanya sedikit perhatian yang diberikan kepada eksperimen-eksperimen yang
mengukur tarikan listrik dengan piranti seperti neraca. Karena memberikan hasil
yang konsisten maupun yang sederhana, eksperimen-eksperimen itu tidak bisa
digunakan untuk mengartikulasikan paradigma yang menurunkannya. Oleh sebab itu,
eksperimen-eksperimen itu tetap merupakan kenyataan yang tidak berhubungan dan
tidak dapat dihubungkan dengan kemajuan yang berlanjut dalam riset kelistrikan.
Mengantarkan pada masalah riset yang normal kepada kesimpulan adalah mencapai
apa yang diantisipasi dengan suatu cara baru, dan hal ini memerlukan pemecahan
segala jenis teka-teki instrumental, konseptual dan matematis yang rumit. Orang
yang berhasil membuktikan bahwa ia adalah seorang pakar pemecah teka-teki, dan
tantangan teka-teki itu merupakan bagian penting dari apa yang biasanya
mendorongnya.
Meskipun demikian ,
individu yang terlibat di dalam masalah riset yang normal itu hampir tidak
pernah mengerjakan yang manapun diantara hal-hal ini. Begitu terlibat,
motivasinya agak berbeda jenisnya. Yang kemudian menantangnya ialah keyakinan
bahwa, jika ia cukup terampil, ia akan terampil memecahkan teka-teki yang belum
pernah dipecahkan atau dipecahkan lebih sempurna oleh siapapun. Adanya jaringan
komitmen yang kuat ini, yang konseptual, teoritis dan instrumental, dan
metodologis, merupakan sumber utama metafora yang menghubungkan sains yang
normal kepada pemecahan teka-teki. Karena ia menyajikan kaidah-kaidah yang
mengatakan kepada pemraktek spesialisasi yang telah matang seperti apa dunia
dan sainsnya itu, pemraktek dengan yakin memusatkan perhatiannya kepada
masalah-masalah esoterik yang didefinisikan baginya oleh pengetahuan yang ada
dan oleh kaidah-kaidah ini.
Keunggulan Paradigma
Penyelidikan historis yang
cermat terhadap suatu spesialitas tertentu pada masa tertentu pada masa
tertentu menyingkapkan seperangkat keterangan yang berulang-ulang dan kuasi standard
tentang berbagai teori dalam penerapan konseptual, observasional, dan
instrumental. Inilah paradigma-paradigma masyarakat yang diungkapkan dalam
buku-buku teks, ceramah-ceramah, dan praktek-praktek laboratoriumnya. Meskipun
kadang-kadang terdapat ambiguitas, paradigma-pardigma masyarakat sains yang
matang bisa ditentukan dengan relatif mudah. Dan memang kehadiran suatu
paradigma tidak perlu menyiratkan pun bahwa ada seperangkat kaidah yang
lengkap. Paradigma–paradigma bisa lebih unggul, lebih mengikat, dan lebih
lengkap darpada perangkat manapun dari kaidah-kaidah untuk riset, yang tidak
diragukan pasti disarikan dari paradigma-paradigma itu.
Anomali dan Munculnya Penemuan Sains
Penemuan diawali dengan
kesadaran akan anomali, yakni dengan pengakuan bahwa alam, dengan suatu cara,
telah melanggar pengharapan yang didorong oleh paradigma yang menguasai sains
yang normal. Kemudian ia berlanjut dengan eksplorasi yang sedikit banyak
diperluas pada wilayah anomali. Dan ia hanya berakhir jika teori paradigma itu
telah disesuaikan sehingga yang menyimpang itu menjadi yang diharapkan.
Pengasimilasian suatu fakta jenis baru menuntut lebih dari penyesuaian tambahan
pada teori, dan sebelum penyesuaian itu selesai, sebelum ilmuwan itu tahu
bagaimana melihat alam dengan cara yang berbeda, fakta yang baru itu sama
sekali bukan fakta ilmiah.
Krisis dan Munculnya Teori Sains
Perubahan yang melibatkan
penemuan-penemuan ini semuannya destruktif dan sekaligus konstruktif. Namun
penemuan atau bukan, satu-satunya sumber paradigma destruktif– kostruktif ini
berubah. Kita akan mulai meninjau perubahan yang serupa, tetapi biasanya lebih
luas, yang disebabkan oleh penciptaan teori-teori baru. Dalam memahami
munculnya teori-teori baru, tidak bisa tidak kita pun akan memperluas pandangan
dan pemahaman kita tentang penemuan. Meskipun demikian kesaling-lingkupan itu
bukan identitas. Jika kesadaran akan anomali memainkan peran dalam munculnya
jenis-jenis gejala yang baru, maka tidak akan mengejutkan bahwa kesadaran yang
serupa, tetapi lebih mendalam, merupakan prasarat bagi perubahan teori yang
akan diterima. Karena menuntut paradigma secara besar-besaran dan
perubahan-perubahan besar dalam masalah-masalah dan tekhnik-tekhnik sains yang
normal. Munculnya teori-teori itu pada umumnya didahului oleh periode
ketidakpastian yang sangat tampak pada profesi. Para filsuf sains telah
berulang-ulang mendemonstrasikan bahwa terhadap sekelompok data tertentu selalu
dapat diberikan lebih dari satu konstruksi teoritis. Sejarah sains menunjukkan
bahwa, terutama pada tahap-tahap awal perkembangan suatu paradigma baru, bahkan
tidak begitu sulit menciptakan alternatif seperti itu.
Tanggapan Terhadap Krisis
Kita asumsikan bahwa
krisis merupakan prakondisi yang diperlukan dan penting bagi munculnya
teori-teori baru. Meskipun mereka mungkin kehilangan kepercayaan dan kemudian
mempertimbangkan alternatif-alternatif, mereka tidak meninggalkan paradigma
yang telah membawa mereka kedalam krisis. Artinya mereka tidak melakukan anomali-anomali
sebagai kasus pengganti meskipun dalam perbendaharaan kata filsafat sains
demikian adanya. Akan tetapi, ini memang berarti-apa yang akhirnya akan menjadi
masalah pokok – bahwa tindakan mempertimbangkan yang mengakibatkan para ilmuwan
menolak teori yang semula diterima itu selalu didasarkan atas lebih daripada
perbandingan teori itu dengan dunia. Putusan untuk menolak sebuah paradigma
selalu sekaligus merupakan putusan untuk menerima yang lain, dan pertimbangan
yang mengakibatkan putusan itu melibatkan perbandingan paradigma-paradigma
dengan alam maupun satu sama lain.
Sains yang normal berupaya
dan harus secara berkesinambungan berupaya membawa teori dan fakta kepada
kesesuaian yang lebih dekat, dan kegiatan itu dapat dengan mudah dilihat
sebagai penguji atau pencari pengukuhan dan falsifikasi. Ini berarti bahwa jika
suatu anomali akan menimbulkan krisis, biasanya harus lebih daripada sekadar
sebuah anomali. Selalu ada kesulitan dalam kecocokan paradigma alam; kebanyakan
diantara cepat atau lambat diluruskan, seringkali dengan proses-proses yang
mungkin tidak diramalkan.
Kadang-kadang sains yang
normal akhirnya ternyata mampu menangani masalah yang membangkitkan krisis
meskipun ada keputusan pada mereka yang melihatnya sebagai akhir dari
suatu paradigma yang ada. Transisi dari paradigma dalam krisis kepada paradigma
baru yang daripadanya dapat muncul dari tradisi baru sains yang normal itu jauh
dari proses kumulatif yang dicapai dengan artikulasi atau perluasan paradigma
yang lama. Antisipasi sebelumnya bisa membantu kita mengenal krisis sebagai
pendahuluan yang tepat bagi munculnya teori-teori baru, terutama karena kita
telah meneliti versi kecil-kecilan dari proses yang sama dalam membahas
munculnya sebuah penemuan. Paradigma baru sering muncul, setidak-tidaknya
sebagai embrio, sebelum krisis berkembang jauh atau telah diakui dengan tegas.
Bertambah banyaknya artikulasi yang bersaingan, kesediaan untuk mencoba apapun,
pengungkapan ketidakpuasan yang nyata, semuannya merupakan gejala transisi dari
riset yang normal kepada riset istimewa. Gagasan sains yang normal lebih
bergantung eksistensi semua ini ketimbang pada revolusi-revolusi.
Sifat dan perlunya Revolusi Sains
Pada saat masyarakat
terbagi kedalam dua kelompok atau partai yang bersaing, yang satu berusaha
mempertahankan konstelasi kelembagaan yang lama dan yang lain berupaya
mendirikan yang baru. Dan jika polarisasi itu terjadi, maka penyelesaian secara
politis gagal. Karena mereka berselisih tentang matrik kelembagaan tempat
mencapai dan menilai perubahan politik, karena tidak ada supra-intitusional
yang diakui oleh mereka untuk mengadili perselisihan revolusioner ini
menggunakan bantuan tekhnik-tekhnik persuasi massa, seringkali dengan
melibatkan kekuatan. Meskipun revolusi mempunyai peran yang vital dalam evolusi
lembaga-lembaga politik, peran ini bergantung pada apakah revolusi itu
merupakan peristiwa yang sebagian ekstra-politis dan ekstra-intitusional.
Seperti dalam revolusi
politik, dalam pemilihan paradigm pun tidak ada standard yang lebih tinggi
daripada persetujuan masyarakat yang bersangkutan. Untuk menyingkapkan
bagaimana revolusi sains dipengaruhi, kita tidak hanya harus meneliti dampak
sifat dan dampak logika, tetapi juga tekhnik-tekhnik argumentasi persuasif dan
efektif di dalam kelompok-kelompok yang sangat khusus yang membentuk masyarakat
sains itu. Sesuatu yang bahkan lebih fundamental daripada standard-standard dan
nilai-nilai, bagaimanapun juga dipertaruhkan. Sampai di sini saya
berargumentasi hanya bahwa paradigma-paradigma adalah esensial bagi sains.
Sekarang saya ingin memperagakan suatu pengertian bahwa paradigma-paradigma itu
esensial bagi alam.
Revolusi Sebagai Perubahan Atas Dunia
Yang lebih penting lagi,
selama revolusi para ilmuwan melihat hal-hal yang baru dan berbeda ketika
mereka menggunakan instrumen-instrumen yang sangat dikenalnya untuk menengok
tempat-tempat yang pernah dilihatnya. Dalam sains, jika perubahan persepsi
menyertai perubahan paradigma, kita tidak mengharapkan para ilmuwan secara
langsung menyokong perubahan ini, ketika memandang bulan, orang yang beralih
kepada Copernicanisme tidak berkata, ”saya biasanya melihat planet, tetapi
sekarang saya melihat satelit,” ungkapan itu akan menyiratkan pada sistem
Ptolomeus pernah benar. Alih-alih orang yang beralih ke Astronomi baru berkata,
“Dulu saya menganggap bulan sebagai planet, tetapi saya keliru.” Pernyataan itu
memang berulang setelah terjadi revolusi sains. Jika hal itu biasanya
menyamarkan perubahan pandangan ilmiah atau transformasi mental yang lain yang
efeknya sama, kita tidak bisa mengharapkan kesaksian langsung tentang perubahan
itu. Akan tetapi, kita harus mencari bukti tak langsung atau bukti berupa
prilaku yang oleh ilmuwan dengan paradigma baru terlihat berbeda dari yang
telah dilihatnya sebelum itu.
Tak Tampaknya Revolusi
Sampai di sini saya telah
mencoba memperagakan revolusi-revolusi dengan ilustrasi, dan contoh-contohnya
dapat dilipat-gandakan sampai tingkat yang memuakkan. Akan tetapi, jelas bahwa
kebanyakan di antarannya, yang dengan sengaja dipilih karena sudah dikenal,
biasanya dipandang bukan sebagai revolusi, melainkan tambahan kepada
pengetahuan sains. Namun, sebagai wahana pedagogis untuk melestarikan sains
yang normal, buku teks harus ditulis ulang seluruhnya atau sebagian apabila
bahasa, struktur masalah, atau standard sains yang normal berubah. Singkat
kata, buku teks harus ditulis ulang setelah revolusi sains dan, setelah ditulis
ulang, mau tak mau ia akan menyamarkan bukan hanya peran, melainkan juga adanya
revolusi yang menghasilkannya. Kecuali jika masa hidupnya pribadi mengalami
revolusi, kesadaran historis ilmuwan yang berkarya maupun orang awam
pembaca kepustakaan buku teks hanya memperluas akibat revolusi yang paling baru
dalam bidangnya. Lebih dari aspek manapun dari sains, bentuk pedagogis itu
lebih menekankan citra kita tentang sifat sains dan tentang peran
penemuan dan penciptaan dalam kemajuan.
Pemecahan Revolusi
Buku-buku teks yang baru
saja kita bahas hanya dihasilkan sebagai akibat revolusi sains. Mereka
merupakan dasar tradisi baru sains yang normal. Tak dapat dihindarkan pada
masa-masa revolusi nampaknya keyakinan tangguh dan bandel, dan kadang-kadang
memang menjadi demikian. Akan tetapi, ia juga suatu kelebihan. Keyakinan yang
sama itulah yang memungkinkan adanya sains yang normal atau sains yang memecah
teka-teki. Dan hanya yang melalui sains yang normal-lah masyarakat profesional
para ilmuwan berhasil, pertama dalam memanfaatkan lingkup potensial dan petisi
paradigma yang lama, dan kemudian dalam mengisolasi kesukaran melalui studi
yang bisa memunculkan paradigma baru. Ini
tidak menyatakan bahwa paradigma baru pada akhirnya meraih kemenangan melalui
estetika mistik. Sebaliknya, sangat sedikit orang yang meninggalkan tradisi
hanya karena alasan-alasan ini. Seringkali mereka yang berbalik itu disesatkan.
Akan tetapi jika suatu paradigma bagaimanapun harus menang, ia harus memperoleh
beberapa pendukung, yakni orang-orang yang akan mengembangkannya sampai titik
ketika argumen-argumen yang keras kepala itu dapat dibuat dan dilipat-gandakan.
Kemajuan Melalui Revolusi
Mengapa kemajuan itu
merupakan keuntungan yang dicadangkan hampir eksclusif bagi kegiatan yang kita
sebut sains? Jawaban yang paling biasa atas pertanyaan itu adalah telah ditolak
dalam tubuh esai ini. Kita harus menyimpulkannya dengan bertanya apakah dapat
ditemukan pengganti. Kita harus belajar menyadari apa yang biasanya kita anggap
efek itu sebagai suatu penyebab. Jika kita dapat melakukannya, frase-frase
seperti “kemajuan sains” dan “objektivitas sains” akan menjadi tampak
seolah-olah sebagian dibesar-besarkan. Sebenarnya, satu aspek dari pleonasme
itu baru saja dilukiskan. Namun, jika dipandang dari dalam suatu masyarakattersendiri
yang mana saja, apakah masyarakat ilmuwan atau non -ilmuwan, hasil dari karya
yang kreatif yang berhasil itu adalah kemajuan.
Paragraf terakhir
menunjukkan arah, yang saya percaya pemecahan yang lebih baik bagi masalah
kemajuan sains harus dicari. Barangkali mereka memberi petunjuk bahwa kemajuan
sains itu tidak benar-benar seperti yang kita anggap. Akan tetapi kesemertaan
mereka menunjukkan bahwa suatu jenis kemajuan akan memberi karakter pada
kegiatan sains selama kegiatan itu bertahan. Dalam sain tidak perlu ada kemajuan
jenis lain. Agar lebih persis, mungkin kita harus melepaskan pikiran, secara
tegas dan tersirat, bahwa perubahan paradigma membawa ilmuwan dan mereka yang
belajar daripadanya semakin mendekati kebenaran.
Pascawacana – 1969
Sampai sekarang sudah
hampir tujuh tahun sejak buku pertama kali diterbitkan. Sementara itu , baik
tanggapan para kritikus maupun karya saya sendiri yang selanjutnya telah
meningkatkan pemahaman saya tentang sejumlah masalah yang ditimbulkan. Beberapa
kesulitan pokok dari teks asli saya berkelompok di sekitar konsep paradigma.
Dan pembahasan saya dimulai dari kesulitan itu. Setidak-tidaknya secara
fisiologis, arti kedua dari paradigma ini adalah yang lebih dalam dari yang
dua, dan klaim yang saya buat atas namannya merupakan sumber utama berbagai
kontroversi dan kesalahpahaman yang ditimbulkan buku ini, terutama untuk
tuduhan yang saya buat dari sains menjadi kegiatan yang subyektif dan
irasional. Istilah paradigma sejak dini memasuki halaman-halaman yang
terdahulu, dan cara masuknya itu hakikatnya sirkular. Paradigma ialah apa yang
dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains, dan sebaliknya,
masyarakat sains terdiri atas orang-orang yang memiliki paradigma bersama. Pengetahuann
sains, seperti bahasa, pada hakikatnya adalah milik bersama suatu kelompok,
kalau tidak sama sekali tidak ada apa-apa. Untuk memahaminya kita perlu
mengetahui karateristik-karateristik khusus dari kelompok yang menciptakan dan
menggunakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar