Stephen Hawking menempati
posisi penting dalam ilmu pengetahuan populer yang bisa kita bandingkan dengan
kepopuleran Einstein enam puluh tahun lalu: dia adalah orang bijaksana terakhir
yang bisa berbicara dengan otoritas total tentang kemajuan ilmu pengetahuan.
Hingga buku terbarunya, The Grand Design, muncul, yang ditulis bersama
dengan profesor fisika Caltech (dan penulis mahir) Leonard Mlodinow, Hawking
telah membuka kemungkinan bahwa keberadaan Tuhan mungkin bisa diuji dengan
pemeriksaan ilmiah. Einstein pernah memiliki perasaan yang kuat akan adanya
kehadiran yang mengagumkan dan bertanya-tanya di cakrawala yang jauh dari alam
semesta dan mencoba melihat bukti adanya keberadaan dari yang menyatukan, yang
secara rasional bisa dibuktikan dalam sebuah rumus matematika. Tapi sejak itu
alam semesta dari fisika teoretis telah menjadi sesuatu yang acak, kompleks,
paradoks, dan seolah mengabaikan kehadiran ilahi. Karena itu, ketika Hawking
menjadi berita di seluruh dunia baru-baru ini dengan menyatakan bahwa “tidak
perlu melibatkan Tuhan … untuk mengatur Universe,” ini seperti dukungan
mengejutkan bagi para ateis sementara bagi yang taat beriman pada agama
tertentu sebaliknya – ucapannya kali ini dianggap menghancurkan iman- untuk
kemudian mempertimbangkan ilmu pengetahuan sebagai musuh dari agama.
Namun, ketika Anda membaca
buku baru ini, menjadi jelas bahwa Hawking dan Mlodinow sesungguhnya membawa
kita dalam suatu perjalanan ke tepi dari yang “bukan apa-apa/nothing,” sumber
yang mendasari semua ruang, waktu, materi, dan energi, dan semakin mendekati,
semakin mereka menemukan kontradiksi terhadap kehadiran sosok universal, yang
sering disebut sebagai Tuhan. Dasar utama eksistensi material yang dijuluki
oleh fisikawan sebagai kehampaan ini adalah titik nol penciptaan. Hal ini
diilhami dengan deretan matematika murni yang menghasilkan hukum-hukum
alam yang mengatur dan menyeimbangkan alam semesta, dan penciptaan itu sendiri
masih tetap misterius , yang harus dilakukan dengan melakukan pemantauan
interaksi kuantum yang melampaui kecepatan cahaya. Jika ini terdengar seperti
Tuhan, harus dikatakan bahwa alam pra-kuantum ini adalah mode fisika terbaik
yang telah diciptakan untuk diketahui – dan yang mengarahkan Hawking pada
sebuah paradoks. Jika yang “bukan apa-apa/nothingness” ini yang menimbulkan
hasrat manusia atas makna kehidupan, bagaimana bisa yang menimbulkannya adalah
sesuatu yang tanpa makna? Jika alam semesta beroperasi secara acak, dan
keacakan ini menciptakan otak manusia yang melakukan segala macam hal non-acak
(seperti tulisan Shakespeare dan kata “Aku cinta padamu”), bagaimana yang tidak
memiliki tujuan melahirkan sesuatu yang memiliki tujuan?
Grand Desain menjelajah, dengan cukup cemerlang dan secara
imparsialitas, keterkaitan dari “teori yang terbaru,” yang disebut
M-teori, tentang bagaimana alam semesta diciptakan. Masyarakat ilmu pengetahuan
populer telah mendengar tentang “theory of everything” yang diusulkan dan
diidentifikasikan dengan nama Hawking. Dalam buku terbaru mereka, ia dan
Mlodinow mempromosikan M-teori sebagai “teori dasar fisika yang merupakan calon
dari teori segalanya,” Namun untuk menjadi sebuah penjelasan menyeluruh yang
tunggal, kita mendapatkan semacam kendala serius. “Tampaknya tidak ada model
matematika tunggal atau teori yang dapat menggambarkan setiap aspek dari alam
semesta … Setiap teori dalam jaringan M-teori adalah baik untuk menjelaskan
fenomena dalam kisaran tertentu.” Mungkin bagian yang paling mencolok dari
teori ini adalah teori alam semesta banyak/Multiverses, hipotesis yang juga
didukung oleh Hawking dan Mlodinow. Namun apa yang lebih penting untuk budaya
pada umumnya adalah bahwa “desain” dari judul mereka mungkin bukan seperti
seperti yang diharapkan oleh mereka yang percaya kepada Tuhan. Sebaliknya, ini
adalah kemungkinan untuk menjelaskan secara matematika sebanyak yang bisa
dijelaskan.
Mereka gagal untuk
mengatasi Teorema ketidaklengkapan Gödel yang secara kategoris menyiratkan
bahwa tidak ada model matematika dari kosmos yang pernah dapat selesai.
Akhirnya, Hawking berpendapat bahwa sumber kita tidak dapat sepenuhnya
diketahui oleh pikiran rasional, dan versi-nya dari M-teori menawarkan semesta
alternatif yang sangat banyak – jauh lebih banyak daripada bintang-bintang di
alam semesta – bahwa itupun harus diluar dari jangkauan pikiran rasional. Manusia
terjebak dalam satu alam semesta saja diluar dari trilyun-trilyun alam semesta
lain, kita dibatasi oleh hukum-hukum alam tertentu yang menciptakan kita.
Pikiran kita tidak dapat memahami kenyataan di luar hukum-hukum alam, sehingga,
satu-satunya desain yang diperbolehkan untuk dirumuskan dalam fisika adalah
yang tidak memiliki tujuan, makna, atau pencipta. Ini adalah murni, teori
kemungkinan matematika yang dirancang dalam superposisi dengan klausul bahwa
ada spesies lain berdasarkan rumus matematika yang sesuai dengan adanya alam
semesta lainnya. Secara efektif, bahkan jika Tuhan itu ada, kita tidak akan
pernah tahu pasti karena pikiran kita hanya dapat melihat refleksinya sendiri.
Seperti halnya seseorang bisa mendengar melalui jendela ke pikiran Tuhan yang
dibuka oleh Einstein dengan perlahan, tetapi kemudian secepatnya menutup lagi.
Dalam bagian kedua dari
posting ini kita akan membahas kemungkinan lubang-lubang dalam ilmu pengetahuan
yang Hawking dan Mlodinow serukan untuk mendukung pendapat mereka. The Grand
Design secara elegan dan perlahan membuat sketsa ini, namun lusinan konsep
penting tersembunyi antara jalinan-jalinan tersebut. Yang lebih
penting bagi budaya kita adalah otoritas ikon yang dibawa Hawking untuk
mempopulerkan hiper-materialisme. Multiverse yang ia gambarkan adalah sesuatu
yang mampu membentuk dirinya sendiri jutaan masa lalu, sekarang, dan skenario
masa depan yang sepenuhnya sesuai dengan probabilitas matematika, dan dia
mengabaikan adanya kebutuhan semua-manusia untuk menjadikan kosmos seperti
rumah yang bemakna, tempat untuk mendapatkan cinta, kebenaran, belas kasih,
harapan, moralitas, keindahan, etika, dan setiap nilai lain yang dinisbahkan
kepada Tuhan. Karena kualitas-kualitas ini tidak memiliki validitas matematika,
hiper materialis merasa bebas untuk membuang hal tersebut dari model mereka.
Namun, satu hal untuk dikatakan, sebagaimana sebagian besar ilmuwan inginkan,
bahwa metafisika bukanlah bagian dari fisika, karena metafisika itu
sendiri berada di luar ruang dan waktu, sedangkan fisika dan ilmu pengetahuan
pada umumnya beroperasi di dalam ruang dan waktu. Ini adalah hal lain untuk
mengklaim bahwa fisika telah membongkar metafisika. Hawking dan Mlodinow
menghindari sindiran sinis dari beberapa ateis dan pemahaman mereka tentang
sebuah medan adalah sempurna. Tapi apakah ada cara untuk melihat alam semesta
yang mengabaikan sama sekali mereka yang tidak religius namun tetap
transendensi yang merupakan hal penting untuk pengalaman spiritual? Hanya
karena Anda tidak dapat mengukur kasih sayang dalam sains masa kini, tidak
membuat Buddha sebagai penipuan atau ilusi.
Grand Design adalah buku yang menyenangkan bagi pembaca
intelektual dengan banyak wawasan, dan namun ini menghancurkan harapan. Dalam
sebuah wawancara, Hawking mengatakan bahwa “karena ada hukum seperti gravitasi,
maka alam semesta dapat dan akan membentuk dirinya sendiri dari bukan apa apa.
Penciptaan spontan adalah alasan dari adanya segala sesuatu dari yang
bukan apa-apa., Mengapa alam semesta ada, mengapa kami ada.” Ini kedengarannya
seperti filosofis naif. Dalam Alam semesta ada suara-suara yang dihasilkan oleh
satu frekuensi yang membagi dua, lalu dibagi lagi dan lagi – mengikuti aturan
murni matematika – tetapi kita tidak dapat mengatakan bahwa suara-suara
itu yang menyebabkan musik ada. Foton bukanlah yang menyebabkan bahwa
seni itu ada. Sarana yang hilang dari musik dan seni – kecerdasan dan
kreativitas, inspirasi dan penemuan – tidak dapat dibawa keluar berputar-putar
dalam bentuk materi yang kemudian tunduk pada hukum gravitasi. Harus ada titik
di mana bahan-bahan itu dibuat atau sebaliknya, sebuah titik di mana manusia
melihat dunia dan menyadari bahwa kecerdasan dan kesadaran adalah mesin
penciptaan yang utama. Sebuah argumen rapi telah dibuat oleh Sir Roger Penrose,
fisikawan terkenal Oxford dan kerap menjadi kolega bagi Hawking, bahwa
benih kesadaran tertanam di alam semesta pada tingkat kuantum. Penrose
berbicara tentang kebenaran matematika, misalnya, sebagai nilai Platonik.
Secara keseluruhan, matematika adalah lebih dari angka: itu adalah ketertiban,
keseimbangan, harmoni, logika, dan keindahan abstrak. Anda tidak dapat
mengambil angka-angka tertentu dan meninggalkan sisanya di belakang.
Sejak Hawking dan Mlodinow
mengakui eminensia pra-matematika dalam skema mereka, sulit untuk melihat
bagaimana mereka bisa mengabaikan kualitas yang mengikutinya. Dan ketika Anda
menanamkan keharmonisan, logika, keseimbangan, dll ke dalam tenunan kuantum
kosmos, tidak ada alasan untuk mengecualikan kesadaran itu sendiri.
Hawking telah meminjamkan
ketenaran besarnya untuk sebuah pengejaran buta, di mana masih tak terhingga
banyak yang tidak terlihat, alam semesta benar-benar sebuah hipotetis, yang
terus bermunculan pada setiap milidetik dan terus memperluas dirinya dalam dimensi
yang tak terbatas, dan yang terlihat ada semata-mata untuk menjaga
kesadaran. Sekali Anda mengakui bahwa alam semesta mungkin mengurus dirinya
sendiri – sebuah teori yang telah memiliki pendukung terpercaya sendiri – tidak
ada misteri mengapa manusia menjadi cerdas, kreatif, dan sadar. Ini ada
udara yang kita hirup, ini ada pemandangan lingkungan di mana kita dibesarkan.
Hawking dan Mlodinow menentang adanya Tuhan yang eksternal dan dalam hal ini
kita setuju dengan mereka. Tapi pekerjaan mereka benar-benar dapat memberikan
kepercayaan kepada prinsip adanya pemersatu dan kreatif yang merupakan bagian
dari alam semesta, dan tidak terpisah dari itu. Istilah Tuhan tidak harus
menjadi bagian dari argumen sini. Kita bisa menggantikannya dengan istilah
“ketiadaan”, yang jauh lebih misterius dan di luar pikiran daripada sekedar
pemikiran religius tentang Tuhan.
Memang, dalam tradisi Veda
kuno, alam semesta telah dibentuk dengan sendirinya, seperti Hawking berteori,
dan tiada akhir untuk banyaknya kreasi yang terungkap dari ketiadaan. Tapi
sumber misterius ini, tanpa kualitas apa pun yang terukur, bukan tidak bisa
diketahui. Ini adalah hal yang paling dekat dengan kita, kecerdasan, kesadaran
diri, dan kreatifitas kita. Jika tidak, semua kisah-kisah penciptaan dunia, sampai
saat ini dan termasuk Hawking, harus menciptakan proses hipotetis yang sama
sekali diluar dari ketertiban dan bagaimana kreativitas yang mengelilingi kita
muncul menjadi ada. ” Dalam lelucon tua Yahudi, Tuhan menciptakan dunia dan
berkata, “Mari kita berharap bahwa ini bisa berfungsi.” Dalam mitos penciptaan
Hawking, yang tidak ada menciptakan dunia dan alam semesta tidak tahu apa yang
dilakukannya.
Bagi banyak orang, The
Grand Design akan memberikan kesimpulan mengecewakan dengan menyangkal
Tuhan melalui pemahaman yang terbatas tentang keilahian. Sama seperti konsep
kita tentang realitas yang harus direvisi terus-menerus, begitu juga pemahaman
kita tentang Tuhan perlu direvisi untuk menyesuaikannya. Ironisnya, dengan
mengabaikan superhuman, dan Tuhan eksternal Yahudi-Kristen, M-teori mungkin
hanya memunculkan Tuhan yang lebih sangat kompleks. Jika Tuhan lama dapat
menyembunyikan diri dari pandangan luar langit biru di atas, apa yang membuat
Tuhan baru tetap bersembunyi di balik jutaan langit yang berwarna di
dimensi-dimensi lainnya?
Para penulis The Grand
Design menulis bahwa teori-teori dalam buku mereka didasarkan pada
“realisme yang tergantung pada model.” Realisme terikat pada Model adalah
gagasan bahwa suatu teori fisik berisi seperangkat aturan yang menghubungkan
unsur-unsur dari model-model untuk observasi. Sebagai contoh, teori gravitasi
harus sesuai dengan cara apel jatuh dari pohon. Ini adalah materialisme umum.
Fisika Quantum menawarkan kemungkinan bahwa sebuah apel bisa saja terbang ke
atas daripada jatuh ke tanah, model ini didasarkan pengamatan-pengamatan
juga, bukan terhadap apel tapi terhadap foton dan elektron sebagai fungsi
gelombang runtuh untuk menciptakan peristiwa yang terlihat. Namun, materialisme
umum mengabaikan fakta-fakta dasar: bahwa model itu hanyalah ada dalam
kesadaran. Tidak ada gambar atau teori yang dicantumkan ke dalam neuron-neuron
dan sinapsis-sinapsis dalam otak kita. Jika ada, maka kami semua akan menerima
gambaran dunia yang sama dan memberikan penjelasan yang sama untuk apa yang
kita lihat. Jelas kita tidak sependapat pada ribuan hal. Ini bukan penyimpangan
sepele dari kemurnian matematika. Ini adalah kesadaran yang berlangsung dengan
cara yang kreatif.
Ilmu pengetahuan
juga ada dalam kesadaran, itu merupakan kegiatan manusia yang sadar dan tidak
hadir secara independen dari makhluk sadar. Hawking dan Mlodinow melewatkan
fakta ini, yang juga berlaku bagi semua materialis. Mengabaikan beberapa
penemuan rumit tentang pengaruh pengamat dalam fisika kuantum, buku mereka
seolah mengatakan, “Baik pengamat dan yang diamati adalah bagian dari dunia
yang memiliki keberadaan objektif, dan setiap perbedaan di antara mereka tidak
memiliki eksistensi yang berarti.” Mereka tidak pernah mendefinisikan pengamat.
Namun apakah pengamat itu materi atau nonmateri? Bagaimana pengamat memiliki
eksistensi material tanpa pikiran, dan jika pengamat memiliki pikiran (tidak
seperti kamera penghitung Geiger atau digital) maka mereka harus berbagi
objektivitas yang sama sebagai pengamat. Pengamat mindless yang dianggap
merekam data seperti mesin jelas tidak ada. Pikiran, kemudian, harus dihitung
sebagai sifat dasar pengamat dan yang diamati secara bersamaan dengan atom dan
quark.
Para penulis telah
memasukkan subjektivitas dalam skema mereka: “Tidak ada cara untuk menghapus
pengamat – kita – persepsi kita tentang dunia, diciptakan melalui proses
sensorik kita dan melalui cara kita berpikir dan bernalar. Persepsi kita –
pengamatan dimana teori kita didasarkan – adalah tidak langsung, dibentuk oleh
semacam lensa, struktur interpretatif dari otak kita. Kita berasumsi bahwa
seperti halnya mengatakan bahwa dunia tampak merah muda jika Anda mengenakan
kacamata berwarna merah muda. Apa yang mungkin bisa dianggap sebagai “struktur
interpretatif otak” ? Otak bukanlah struktur tetap seperti lensa tapi benda
hidup, proses perkembangan yang dibentuk oleh pengalaman dalam kesadaran.
Tampaknya Hawking dan Mlodinow ingin memberi kita sesuatu yang sangat aneh:
subjektivitas yang objektif. Mereka kurang lebih memaksakan untuk posisi
ini, karena kalau tidak mereka harus mengakui pergeseran subjektivitas yang
kita semua alami sebagai dunia di sini. “
Mereka melanjutkan: “Otak,
dengan kata lain, membangun sebuah gambar atau model.” Tapi tidak ada gambar di
otak, yang hanya dipenuhi dengan sinyal elektrokimia. Hanya menyatakan bahwa
otak membangun gambar, tanpa memberitahu kita bagaimana hal tersebut dapat
dilakukan, tidak menjelaskan dasar realisme yang tergantung model. Apa yang
mencolok adalah bahwa dengan kaku mereka mengabaikan adanya kesadaran, dan
mengubahnya menjadi gajah yang ada di ruang yang tidak pernah harus
diperhatikan, The Grand Design mendistorsi pengalaman biasa. Kita
diberitahu, misalnya, bahwa kehendak bebas adalah ilusi. “Eksperimen terbaru
dalam neuroscience mendukung bahwa tampilan itu ada di dalam otak fisik
kita, mengikuti hukum ilmu pengetahuan yang dikenal, yang menentukan tindakan
kita, dan bukan sesuatu yang ada di luar hukum mereka. Sebagai contoh, sebuah
studi dari pasien yang menjalani operasi otak dan kemudian terjaga ditemukan
bahwa dengan stimulasi elektrik pada daerah tertentu di otak, orang bisa
menciptakan pada pasien keinginan untuk menggerakkan tangan, lengan atau kaki,
atau untuk menggerakkan bibir dan bicara. Sangatlah sulit untuk membayangkan
bagaimana itu akan dapat beroperasi bebas jika perilaku kita ditentukan oleh
hukum fisika. Jadi nampaknya kita adalah tidak lebih dari mesin biologis
dan kehendak bebas hanyalah ilusi.. “
Ini adalah referensi
satu-satunya tentang neuroscience di seluruh buku ini, dan dengan satu
percobaan tersebut, kehendak bebas bisa diabaikan. Bagaimana dengan melakukan
percobaan yang sama dan meminta pasien untuk menahan keinginannya? Tidak ada
kapasitas pada hewan yang lebih rendah untuk menolak tawaran makanan jika
mereka lapar. Tapi manusia, berdasarkan selera, diet, keinginan
memilih makanan mereka, membentuk selera aneh, Sehingga daging baik bagi
satu orang adalah racun bagi orang lain. Bagaimana hukum fisika yang sama
membuat A dan kebalikan dari A? Dalam penelitian awal seminalis stimulasi otak
yang dilakukan oleh ahli bedah saraf Wilder Penfield, ia secara eksplisit
menyangkal percobaan yang dikutip Hawking. Pasien dalam operasi otak terbuka
menstimulasi korteks motor mereka, yang menyebabkan lengan mereka terangkat ke
atas. Mereka kemudian diminta untuk mengangkat tangan mereka, dan semua bisa
melihat perbedaan antara refleks dan gerakan yang ingin mereka lakukan. “Lengan
saya begitu saja terangkat” adalah tidak sama dengan “Aku hanya mengangkat
tangan saya.”
Dalam kasus apapun, dengan
begitu saja mengabaikan kehendak bebas, dengan implikasi bahwa mereka
menolak wawasan, intuisi, kreativitas, inspirasi, imajinasi, niat, refleksi
diri, kesadaran atas pilihan, dan bahkan pembuatan model dunia yang tergantung
seluruh teori mereka. Bagaimana alam semesta deterministik menciptakan makhluk
yang percaya akan kehendak bebas? Dan dalam glossary, teori kuantum
didefinisikan sebagai “teori di mana objek tidak memiliki satu latar belakang
yang pasti.” Mengingat bahwa mereka melihat teori ini sebagai sama
kompatibelnya dengan mekanika kuantum, tidakkah definisi ini dalam dirinya
sendiri bertentangan dengan prinsip determinisme?
Atau untuk mengatasi
masalah ini dalam skala besar: “Hukum-hukum M-teori memungkinkan untuk semesta
yang berbeda dengan hukum yang jelas berbeda, tergantung pada bagaimana ruang
internal yang didiami. M- Teori memiliki solusi yang memungkinkan untuk ruang
internal yang banyak, yang mungkin sebanyak 10 pangkat 500, yang berarti
memungkinkan untuk 10 pangkat 500 alam semesta yang berbeda yang
masing-masing memiliki hukumnya sendiri. Untuk mendapatkan gambaran tentang
berapa banyak hal ini, pikirkan hal ini: jika ada yang bisa menganalisis hukum
yang bisa diprediksi untuk masing-masing alam semesta yang hanya dalam satu
milidetik dan mulai bekerja dari situ setelah Ledakan besar, saat ini yang
sedang akan dipelajari hanya 10 pangkat 20 dari mereka. ” Untuk melarang makna,
tujuan, kecerdasan, kehendak bebas, dan kreativitas, versi M-teori ini harus diciptakan
terisolasi, benar-benar alam semesta yang deterministik untuk setiap peristiwa
yang menyimpang dari penjelasan mekanik tetap. Ini agak mirip dengan memutuskan
bahwa setiap pikiran yang baru harus memasukki kosmos itu sendiri, karena jika
tidak, Anda harus menyatakan bahwa mereka semua datang dari satu pemikiran yang
kebetulan punya banyak keinginan, suasana hati, keinginan, dan mimpi. Namun,
seperti para pemikir yang ada; Hawking dan Mlodinow adalah dua contoh yang
baik, seperti juga semua fisikawan besar mulai dari Newton, Einstein, hingga
Heisenberg, Bohr, Dirac dan para ilmuwan besar lainnya seperti Stephen Jay
Gould, yang melakukan lebih dari sekedar mengulang mekanis apa telah dimasukkan
ke dalam otak mereka. Bagian dari evaluasi teori fisika adalah keanggunan dan
kesederhanaannya. Tidakkah adanya hipotetis dari miliaran miliaran semesta
lainnya, tidak satupun dari mereka bisa diamati, tidakkah keduanya melanggar?
Namun ilmu pengetuahuan
terus datang kembali dengan cara-cara yang saling melengkapi Grand Design adalah
sesuai dengan tradisi kebijaksanaan sejati dunia, seakan mengintip dari tepi ke
dalam misteri dan menggambar kembali pada saat terakhir. Meskipun Stephen
Hawking menarik perhatian dunia dengan alam semesta yang “dapat dan akan terus membuat
dirinya dari bukan apa-apa,” ia tidak dapat mengecualikan melalui observasi
atau matematika tentang ketiadaan (bukan-sesuatu) dari pandangan Veda, yang
bukan merupakan kekosongan tetapi rahim penciptaan. Dalam Upanishad ini disebut
Brahman dan digambarkan sebagai bidang ketiadaan dan bidang
yang MahaMengetahui . Dalam Bhagavad-Gita, Tuhan melalui Krishna
berkata, “Dengan kembali pada diri saya, saya mencipta diri lagi
dan lagi.” Tujuh ratus tahun yang lalu tokoh Sufi bernama Rumi berkata,
“Kami datang pergi dari ketiadaan, dari hamburan bintang seperti debu” dan
“Lihatlah dunia ini diciptakan dari ketiadaan. Itu ada dalam kekuatan
Anda..” Rumi tidak hanya memahami penciptaan dari ketiadaan, tetapi memiliki
wawasan yang lebih dalam menghubungkan ketiadaan dengan kesadaran.
Dalam
berbagai istilah sumber penciptaan transenden yang sama disebut Shunyata,
Allah, Yahweh, Einsoff, atau hanya kesadaran universal. Dilucuti dari
setiap potongan konotasi spiritual, ilmu yang diperoleh secara transenden
dengan matematika itu sendiri, yang formulanya tampaknya ada di luar dunia
terlihat, yang akan ditemukan oleh pikiran yang melampaui tampilan untuk
menggali ke dalam wilayah di luar pengamatan dan data. Dalam hal apa jenis
transendensi ini berbeda dari transendensi religius? Ketika Einstein
berbicara tentang hukum fisika yang hanya ada dalam pikiran Tuhan, ia
menunjukkan kecerdikan tentang pikiran, Tuhan, dan ilmu pengetahuan pada saat
yang sama.
Untuk memperluas konsep
kita tentang Tuhan, adalah perlu untuk melihat tiga ide utama yang
mendasarkan semua agama:
[1] Sebuah realitas
transenden.
[2] Yang saling
menghubungkan Semua yang ada .
[3] Yang menanamkan
nilai-nilai kebenaran, cinta, kasih sayang, dan kebaikan lainnya yang
dialami oleh umat manusia sebagai turunan dari domain yang lebih tinggi.
Ilmu pengetahuan yang
paling spekulatif saat ini mendukung ketiga hal tersebut termasuk
gagasan bahwa nilai-nilai Platonik tertanam dalam geometri ruang-waktu pada
skala Planck. Adalah tidak mengherankan bahwa kita tidak perlu melibatkan
Tuhan yang eksternal, untuk menjelaskan ciptaanNya, jika Tuhan sudah menjadi
bentuk realitas/keseluruhannya dari alam semesta itu sendiri. The Grand
design berada pada posisi paling menarik karena mengingkari
keberadaan Tuhan tapi dengan berpendapat tentang adanya semua bahan,
baik secara eksplisit maupun secara tersirat, yang pencipta gunakan untuk
menciptakan diriNya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar