Oleh Doris Schattschneider (Sumber: Scientific American, November
1994, hal. 66-71)
Potret dan
gambar karya M.C. Escher memberi ekspresi pada konsep abstrak matematika dan
sains.
Möbius Strip II,
1963. Ini memuat arak-arakan semut yang merayap dalam siklus tiada akhir.
Dengan jumlah sosok terhingga, Escher melukiskan ketakterhinggaan melalui
lintangan terus-menerus pada simpal tak berujung pangkal. Semut-semut juga
mendemonstrasikan bahwa simpal tak biasa ini (aslinya dicetak vertikal)
memiliki satu sisi saja.
Sepanjang hidupnya, Maurits Cornelis Escher
(dia hanya menyingkat dengan M.C.) berkata tentang ketidakmampuan dirinya dalam
memahami matematika, menyatakan dirinya “sama sekali tidak memiliki pelatihan
atau wawasan dalam ilmu-ilmu eksak”. Tapi sewaktu kecil, Escher tergugah oleh
keteraturan dan kesimetrian. Pesona itu kemudian menggiringnya untuk
mempelajari pola-pola ubin di Alhambra, Granada, untuk mencermati gambar
geometris dalam makalah-makalah matematika (dengan nasehat dari saudaranya yang
seorang geolog), dan akhirnya untuk mengejar ide-ide uniknya sendiri untuk
merangkai ubin bidang.
Perhatian Escher pada pewarnaan gambar-gambar
ubin sambung buatannya mendahului karya para matematikawan dan kristalografer
di bidang kesimetrian warna. Karyanya kini lazim dipakai untuk mengilustrasikan
konsep-konsep ini. Pamerannya beriringan dengan Kongres Matematika Internasional
1954 di Amsterdam dan penerbitan buku pertamanya (The Graphic Work of M.C.
Escher) pada tahun 1959 telah menimbulkan simpati dari matematikawan dan
ilmuwan yang masih menggema kuat. Dia menulis bahwa pendorong utama karyanya
adalah “minat hebat pada hukum geometri yang dikandung oleh alam di sekitar
kita”. Dalam mengekspresikan idenya ke dalam karya grafis, dia memberikan
metafora visual yang menawan untuk ide fundamental dalam sains.
Escher lahir tahun 1898 di kota kecil
Leeuwarden, Belanda. Putra bungsu seorang insinyur teknik sipil, dia tumbuh
bersama empat saudaranya di Arnhem. Walaupun tiga di antara saudara-saudaranya
menekuni sains atau teknik, Escher adalah pelajar matematika yang jelek. Dengan
dorongan dari guru seni di SMU-nya, dia jadi tertarik pada seni grafis,
pertama-tama membuat potongan linolium.
Pada 1919, dia masuk School for Architecture
and Decorative Arts di Haarlem, berniat mempelajari arsitektur. Tapi saat dia
menunjukkan karyanya pada Samuel Jesurun de Mesquita, yang mengajar seni grafis
di sana, dia diajak untuk berkonsentrasi di bidang itu. De Mesquita punya
pengaruh mendalam pada Escher, baik sebagai guru (terutama teknik klise kayu)
maupun sebagai teman dan sesama seniman di kemudian hari.
Setelah menyelesaikan studinya di Haarlem,
Escher menetap di Roma dan melakukan banyak tur pembuatan sketsa, sebagian
besar di Italia selatan. Matanya melihat efek visual mencolok pada hal-hal
biasa—detil-detil arsitektural monumen dari titik pandang tak biasa, cahaya dan
bayangan yang dipantulkan oleh susunan tangga-tangga di desa-desa kecil,
gugusan rumah yang melekat pada lereng-lereng gunung yang turun sampai ke
lembah-lembah jauh, dan, pada skala sebaliknya, detil-detil kecil alam seolah
dipandang lewat kaca pembesar. Di studionya, dia mentransformasi sketsa-sketsa
itu menjadi klise kayu dan litograf.
Pada 1935 situasi politik memburuk, dan
bersama isteri dan putera-puteranya yang masih belia, Escher meninggalkan
Italia selama-lamanya. Setelah dua tahun di Swiss lalu tiga tahun di Uccle, dekat
Brussels, mereka menetap permanen di Baarn, Belanda. Tahun-tahun ini juga
membawakan perubahan mendadak pada karya Escher. Mulai saat itu hampir semua
karyanya mendapat inspirasi bukan dari apa yang diamati mata fisiknya,
melainkan dari mata pikirannya. Dia berusaha memberi ekspresi visual pada
konsep-konsep dan melukiskan ambiguitas observasi dan pemahaman manusia. Dalam
melakukannya dia sering mendapati dirinya berada di sebuah dunia yang diatur
oleh matematika.
Escher terpesona, nyaris terobsesi, dengan
konsep “pembagian reguler bidang”. Semasa hidupnya dia menghasilkan lebih dari
150 gambar berwarna yang menjadi saksi atas kecerdikannya dalam menciptakan
sosok-sosok yang merayap, berkerumun, dan membumbung, tapi memenuhi bidang
bersama klon mereka. Gambar-gambar ini mengilustrasikan berbagai jenis
kesimetrian. Tapi bagi Escher, pembagian bidang juga merupakan sarana untuk
menangkap ketakterhinggaan. Walaupun merangkai ubin sebagaimana dalam karya
kupu-kupu [lihat ilustrasi di bawah] pada prinsipnya dapat diteruskan
tanpa batas, sehingga memberi kesan ketakterhinggaan, Escher tertantang memuat
ketakterhinggaan dalam batas-batas satu halaman.
Triangle System I B3 Type 2,
1948. Kesimetrian adalah konsep struktural yang membentuk banyak model
matematis dan fisikal. Dalam gambar buatan Escher, kupu-kupu mengisi halaman
secara acak, tapi masing-masingnya ditempatkan secara tepat dan dikelilingi
dengan cara yang persis sama. Selalu enam kupu-kupu (dalam warna
bertukar-tukar) berputar mengelilingi satu titik di mana ujung-ujung sayap kiri
depan saling bertemu; selalu tiga kupu-kupu (dalam warna berbeda-beda)
berpusing mengelilingi satu titik di mana sayap-sayap kanan belakang saling
bersentuhan; dan selalu sepasang kupu-kupu (warna berlainan) menjajarkan pinggiran
sayap kanan depan mereka (selalu ada dua kupu-kupu saling berhadapan, sehingga
sayap kanan depan mereka sejajar). Bersamaan dengan kesimetrian rotasional,
gambar ini memiliki kesimetrian translasional berdasarkan kisi segitiga. Pola
itu bisa terus berlangsung tanpa akhir ke semua arah sehingga memberikan
metafora ketakterhinggaan yang implisit. Perhatian Escher pada pewarnaan
mendahului penemuan-penemuan matematikawan di bidang kesimetrian warna.
“Siapapun yang terjun ke dalam
ketakterhinggaan, baik waktu maupun ruang, semakin jauh dan jauh tanpa
berhenti, memerlukan titik tetap, tonggak-tonggak mil seraya dirinya berlalu,
sebab kalau tidak, gerakannya tak bisa dibedakan dari berdiri diam,” tulis
Escher. “Dia harus menandai alam semestanya ke dalam satuan-satuan panjang
tertentu, ke dalam kompartemen-kompartemen yang berulang-ulang satu sama lain
dalam suksesi tiada habisnya.”
Whirlpools,
1957. Ketakterhinggaan terkurung dalam ruang potret terhingga dalam ilustrasi Whirlpools
ini. Sang seniman menggambar proyeksi kurva flat (loksodrom) yang disketsakan
pada bulatan dengan sebuah jalur yang melintasi semua garis bujur dengan sudut
tetap. Sebagaimana diketahui navigator manapun, mengarungi “garis mata kompas”
semacam ini akan menghasilkan spiral tiada putus dan kian mengetat di
sekeliling kutub bumi. Escher memakai satu balok kayu untuk dua warna. Setelah
membuat potret merah, dia memutarnya setengah putaran lalu membuat potret
abu-abu.
Setelah merampungkan beberapa potret di mana
ukuran sosok-sosok menyusut tanpa akhir seraya mereka mendekati titik lenyap
pusat [lihat ilustrasi di atas], Escher mencari cara untuk melukiskan
penyusutan progresif ke arah berlawanan. Dia menginginkan sosok-sosok yang
senantiasa berulang, selalu mendekati—tapi tidak mencapai—perbatasan yang
melingkunginya. Pada 1957, matematikawan H.S.M Coxeter mengirimi Escher cetakan
ulang sebuah artikel jurnal di mana dia mengilustrasikan kesimetrian bidang
dengan beberapa gambar karya Escher. Di sana Escher menemukan sebuah gambar
yang memberinya “goncangan besar”—sebuah mosaik hiperbolik segitiga yang persis
menunjukkan efek yang dicarinya. Dari penyelidikan seksama terhadap diagram
itu, Escher melihat aturan pengubinan di mana busur-busur sirkuler bertemu
dengan tepi sebuah lingkaran yang melingkupinya pada sudut 90 derajat. Selama
tiga tahun berikutnya, dia menghasilkan empat potret berbeda berdasarkan tipe
kisi ini, di mana Circle Limit IV [lihat ilustrasi di bawah]
adalah yang terakhir.
Circle Limit IV,
1960. Dualitas mungkin merupakan tema paling lazim dalam potret-potret buatan
Escher belakangan. Dalam matematika, sebuah pernyataan memiliki
negasi/sangkalan, dan sebuah set memiliki komplemen/imbangan; dalam setiap
kasus, objek dan dualnya saling menetapkan sepenuhnya. Dalam Circle Limit IV,
tak ada garis bentuk. Kontur malaikat dan iblis menetapkan satu sama lain. Baik
berupa sosok ataupun latar (Escher mengingatkan kita dengan menghilangkan detil
pada sebagian sosok). Dalam pengubinan hiperbolik ini, menurut mata Euclidean
kita, sosok-sosoknya tampak semakin terdistorsi seiring menyusutnya ukuran
mereka. Tapi jika diukur menurut geometri intrinsik dunia potret tersebut,
setiap malaikat memiliki ukuran dan bentuk persis sama, begitu pula setiap
iblis. Salinan berjumlah tak terhingga berulang tiada habisnya, tak pernah
meninggalkan perbatasan lingkaran.
Empat tahun kemudian Escher menemukan
solusinya sendiri untuk persoalan ketakterhinggaan dalam persegi [lihat
ilustrasi di bawah]. Algoritma rekursifnya—serangkaian arah yang diterapkan
berulang-ulang pada sebuah objek—menghasilkan pola serupa-diri di mana setiap
elemen terkait dengan elemen lain melalui perubahan skala. Escher mengirimi
Coxeter sebuah sketsa kisi dasar, sambil meminta maaf: “Saya khawatir subjek
ini tidak terlalu menarik, dilihat dari sudut pandang matematika Anda, sebab
pengubinan flat ini sangat sederhana. Meskipun begitu, menemukan metode memadai
untuk menyadari subjek ini dengan cara paling sederhana adalah pekerjaan yang
memusingkan.” Dalam kuliah beberapa musim panas lalu, matematikawan William P.
Thurston, direktur Mathematical Sciences Research Institute di Universitas
California di Barkeley, mengilustrasikan konsep pengubinan serupa-diri dengan
kisi sama persis, tak mengetahui temuan Escher yang lebih duluan.
Square Limit,
1964. Keserupaan-diri diilustrasikan dalam potret Square Limit,
dikonstruksi menggunakan skema rekursif temuan Escher sendiri. Serangkaian arah
yang diterapkan pada sebuah objek untuk menghasilkan objek-objek baru, lalu
diterapkan pada objek-objek baru tersebut dan demikian seterusnya, tiada henti,
disebut algoritma rekursif. Produk akhirnya [bersifat] serupa-diri ketika semua
objek akhir sama dengan objek awal, kecuali perubahan skala, orientasi, atau
posisinya. Sebuah sketsa (lihat bawah) yang dikirim Escher kepada
matematikawan H.S.M. Coxeter untuk menjelaskan potret di atas menunjukkan bahwa
kisi dasarnya melibatkan pembelahan segitiga-segitiga samakaki secara rekursif.
Dalam mengeksekusi potret, Escher memahat balok kayu hanya untuk sebuah segitiga
yang puncaknya ada di pusat persegi dan dasarnya menjadi sisi persegi—lalu
membuat potret balok tersebut empat kali
Herannya, pola-pola serupa-diri menyediakan
contoh gambar yang memiliki dimensi fraksional, atau fraktal, sebuah ambiguitas
yang pasti disenangi Escher. Pada 1965, dia mengakui: “Saya tak tahan untuk
mencemooh semua ketidakpastian kokoh kita. Menyenangkan sekali, misalnya,
menukar dua dimensi dan tiga dimensi, bidang dan ruang, dan bermain-main dengan
gravitasi.” Escher sangat ahli dalam menukar dimensi-dimensi, sebagaimana dalam
Day and Night [lihat ilustrasi kesatu di bawah], di mana dua
ladang tani dua-dimensi bermetamorfosis secara misterius menjadi angsa-angsa
tiga-dimensi. Dia juga senang menguraikan ambiguitas dan kontradiksi yang inheren
dalam praktik lumrah sains: merekatkan beberapa tampilan lokal sebuah objek
guna membentuk keseluruhan global [lihat ilustrasi kedua di bawah].
Day and Night,
1938. Dimensi adalah konsep yang jelas-jelas memisahkan titik, garis, bidang,
dan ruang. Untuk mengilustrasikan ambiguitas persepsi dimensi, Escher
mengeksplotasi halaman potret—yang selalu mengecoh pelihat ketika melukiskan
pemandangan tiga-dimensi. Dalam Day and Night, papan main dam yang flat
berupa ladang tani di dasar potret bermetamorfosis menjadi dua kawanan angsa.
Potret ini juga mengilustrasikan konsep perubahan topologis, di mana sosok
diubah bentuk tanpa dipotong atau ditusuk. Pantulan dan dualitas hadir pula:
angsa-angsa hitam terbang di atas desa yang diterangi mentari, sedangkan angsa-angsa
putih mengepakkan sayap di atas tampilan malam sebuah citra cermin pemandangan
yang sama.
High and Low,
1947. Relativitas menyatakan bahwa apa yang dilihat pengamat dipengaruhi oleh
konteks dan titik pandang menguntungkan. Dalam litograf High and Low
ini, Escher menyajikan dua tampilan berbeda pemandangan yang sama. Pada gambar
bawah, pelihat berada di emper terbuka; pada gambar atas, pelihat menatap ke
bawah. Nah sekarang kita mundur dari potret: apakah ubin wajik di tengah-tengah
potret adalah lantai ataukah atap? Escher menggunakannya sebagai lantai dan
atap demi mengawinkan kedua tampilan. Mustahil kita bisa melihat seluruh potret
secara logis. Pemandangan ini juga mengilustrasikan betapa perekatan
tampilan-tampilan lokal untuk membentuk keseluruhan global dapat menghasilkan
kontradiksi.
Menjelang akhir hayatnya (dia meninggal tahun
1972), Escher menulis, “Di atas semua ini, saya bahagia atas jalinan dan
persahabatan matematikawan yang dihasilkan. Mereka sering memberi saya ide-ide
baru, dan bahkan terkadang ada interaksi di antara kami. Alangkah jenaka
mereka, para wanita dan lelaki terpelajar ini!”
Puddle,
1952. Pantulan memperkenankan teramatinya sebuah fenomena yang terlalu kecil,
terlalu jauh, atau terlalu kabur untuk dilihat secara langsung. Puddle
mengarahkan mata kita pada sebuah jalan kecil di hutan yang dicetak oleh sepatu
dan ban—tapi dalam genangan (puddle) juga terungkap siluet
pepohonan yang membusur di atas kepala dengan latar belakang langit yang
diterangi bulan. Escher mengingatkan kita pada dunia-dunia tak nampak di bawah,
di balik, dan di atas penglihatan kita yang terbatas.
Doris
Schattschneider adalah profesor matematika di
Moravian College di Bethlehem, Pennsylvania, menerima gelar Ph.D. dari
Universitas Yale pada 1966. Aktif sebagai guru, penulis, dan dosen, mantan
editor Mathematics Magazine ini punya perhatian kuat pada geometri maupun seni.
Dia penulis (bersama Wallace Walker) buku populer model-model geometris, M.C.
Escher Kaleidocycles. Bukunya tahun 1990, Visions of Symmetry,
menjadi puncak proyek riset mengenai studi-studi kesimetrian M.C. Escher.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar