Sabtu, 17 Januari 2015

Metafora Escher



Oleh Doris Schattschneider (Sumber: Scientific American, November 1994, hal. 66-71)

Potret dan gambar karya M.C. Escher memberi ekspresi pada konsep abstrak matematika dan sains.


Möbius Strip II, 1963. Ini memuat arak-arakan semut yang merayap dalam siklus tiada akhir. Dengan jumlah sosok terhingga, Escher melukiskan ketakterhinggaan melalui lintangan terus-menerus pada simpal tak berujung pangkal. Semut-semut juga mendemonstrasikan bahwa simpal tak biasa ini (aslinya dicetak vertikal) memiliki satu sisi saja.

Sepanjang hidupnya, Maurits Cornelis Escher (dia hanya menyingkat dengan M.C.) berkata tentang ketidakmampuan dirinya dalam memahami matematika, menyatakan dirinya “sama sekali tidak memiliki pelatihan atau wawasan dalam ilmu-ilmu eksak”. Tapi sewaktu kecil, Escher tergugah oleh keteraturan dan kesimetrian. Pesona itu kemudian menggiringnya untuk mempelajari pola-pola ubin di Alhambra, Granada, untuk mencermati gambar geometris dalam makalah-makalah matematika (dengan nasehat dari saudaranya yang seorang geolog), dan akhirnya untuk mengejar ide-ide uniknya sendiri untuk merangkai ubin bidang.

Perhatian Escher pada pewarnaan gambar-gambar ubin sambung buatannya mendahului karya para matematikawan dan kristalografer di bidang kesimetrian warna. Karyanya kini lazim dipakai untuk mengilustrasikan konsep-konsep ini. Pamerannya beriringan dengan Kongres Matematika Internasional 1954 di Amsterdam dan penerbitan buku pertamanya (The Graphic Work of M.C. Escher) pada tahun 1959 telah menimbulkan simpati dari matematikawan dan ilmuwan yang masih menggema kuat. Dia menulis bahwa pendorong utama karyanya adalah “minat hebat pada hukum geometri yang dikandung oleh alam di sekitar kita”. Dalam mengekspresikan idenya ke dalam karya grafis, dia memberikan metafora visual yang menawan untuk ide fundamental dalam sains.

Escher lahir tahun 1898 di kota kecil Leeuwarden, Belanda. Putra bungsu seorang insinyur teknik sipil, dia tumbuh bersama empat saudaranya di Arnhem. Walaupun tiga di antara saudara-saudaranya menekuni sains atau teknik, Escher adalah pelajar matematika yang jelek. Dengan dorongan dari guru seni di SMU-nya, dia jadi tertarik pada seni grafis, pertama-tama membuat potongan linolium.

Pada 1919, dia masuk School for Architecture and Decorative Arts di Haarlem, berniat mempelajari arsitektur. Tapi saat dia menunjukkan karyanya pada Samuel Jesurun de Mesquita, yang mengajar seni grafis di sana, dia diajak untuk berkonsentrasi di bidang itu. De Mesquita punya pengaruh mendalam pada Escher, baik sebagai guru (terutama teknik klise kayu) maupun sebagai teman dan sesama seniman di kemudian hari.

Setelah menyelesaikan studinya di Haarlem, Escher menetap di Roma dan melakukan banyak tur pembuatan sketsa, sebagian besar di Italia selatan. Matanya melihat efek visual mencolok pada hal-hal biasa—detil-detil arsitektural monumen dari titik pandang tak biasa, cahaya dan bayangan yang dipantulkan oleh susunan tangga-tangga di desa-desa kecil, gugusan rumah yang melekat pada lereng-lereng gunung yang turun sampai ke lembah-lembah jauh, dan, pada skala sebaliknya, detil-detil kecil alam seolah dipandang lewat kaca pembesar. Di studionya, dia mentransformasi sketsa-sketsa itu menjadi klise kayu dan litograf.

Pada 1935 situasi politik memburuk, dan bersama isteri dan putera-puteranya yang masih belia, Escher meninggalkan Italia selama-lamanya. Setelah dua tahun di Swiss lalu tiga tahun di Uccle, dekat Brussels, mereka menetap permanen di Baarn, Belanda. Tahun-tahun ini juga membawakan perubahan mendadak pada karya Escher. Mulai saat itu hampir semua karyanya mendapat inspirasi bukan dari apa yang diamati mata fisiknya, melainkan dari mata pikirannya. Dia berusaha memberi ekspresi visual pada konsep-konsep dan melukiskan ambiguitas observasi dan pemahaman manusia. Dalam melakukannya dia sering mendapati dirinya berada di sebuah dunia yang diatur oleh matematika.

Escher terpesona, nyaris terobsesi, dengan konsep “pembagian reguler bidang”. Semasa hidupnya dia menghasilkan lebih dari 150 gambar berwarna yang menjadi saksi atas kecerdikannya dalam menciptakan sosok-sosok yang merayap, berkerumun, dan membumbung, tapi memenuhi bidang bersama klon mereka. Gambar-gambar ini mengilustrasikan berbagai jenis kesimetrian. Tapi bagi Escher, pembagian bidang juga merupakan sarana untuk menangkap ketakterhinggaan. Walaupun merangkai ubin sebagaimana dalam karya kupu-kupu [lihat ilustrasi di bawah] pada prinsipnya dapat diteruskan tanpa batas, sehingga memberi kesan ketakterhinggaan, Escher tertantang memuat ketakterhinggaan dalam batas-batas satu halaman. 


Triangle System I B3 Type 2, 1948. Kesimetrian adalah konsep struktural yang membentuk banyak model matematis dan fisikal. Dalam gambar buatan Escher, kupu-kupu mengisi halaman secara acak, tapi masing-masingnya ditempatkan secara tepat dan dikelilingi dengan cara yang persis sama. Selalu enam kupu-kupu (dalam warna bertukar-tukar) berputar mengelilingi satu titik di mana ujung-ujung sayap kiri depan saling bertemu; selalu tiga kupu-kupu (dalam warna berbeda-beda) berpusing mengelilingi satu titik di mana sayap-sayap kanan belakang saling bersentuhan; dan selalu sepasang kupu-kupu (warna berlainan) menjajarkan pinggiran sayap kanan depan mereka (selalu ada dua kupu-kupu saling berhadapan, sehingga sayap kanan depan mereka sejajar). Bersamaan dengan kesimetrian rotasional, gambar ini memiliki kesimetrian translasional berdasarkan kisi segitiga. Pola itu bisa terus berlangsung tanpa akhir ke semua arah sehingga memberikan metafora ketakterhinggaan yang implisit. Perhatian Escher pada pewarnaan mendahului penemuan-penemuan matematikawan di bidang kesimetrian warna.

“Siapapun yang terjun ke dalam ketakterhinggaan, baik waktu maupun ruang, semakin jauh dan jauh tanpa berhenti, memerlukan titik tetap, tonggak-tonggak mil seraya dirinya berlalu, sebab kalau tidak, gerakannya tak bisa dibedakan dari berdiri diam,” tulis Escher. “Dia harus menandai alam semestanya ke dalam satuan-satuan panjang tertentu, ke dalam kompartemen-kompartemen yang berulang-ulang satu sama lain dalam suksesi tiada habisnya.”

Whirlpools, 1957. Ketakterhinggaan terkurung dalam ruang potret terhingga dalam ilustrasi Whirlpools ini. Sang seniman menggambar proyeksi kurva flat (loksodrom) yang disketsakan pada bulatan dengan sebuah jalur yang melintasi semua garis bujur dengan sudut tetap. Sebagaimana diketahui navigator manapun, mengarungi “garis mata kompas” semacam ini akan menghasilkan spiral tiada putus dan kian mengetat di sekeliling kutub bumi. Escher memakai satu balok kayu untuk dua warna. Setelah membuat potret merah, dia memutarnya setengah putaran lalu membuat potret abu-abu.

Setelah merampungkan beberapa potret di mana ukuran sosok-sosok menyusut tanpa akhir seraya mereka mendekati titik lenyap pusat [lihat ilustrasi di atas], Escher mencari cara untuk melukiskan penyusutan progresif ke arah berlawanan. Dia menginginkan sosok-sosok yang senantiasa berulang, selalu mendekati—tapi tidak mencapai—perbatasan yang melingkunginya. Pada 1957, matematikawan H.S.M Coxeter mengirimi Escher cetakan ulang sebuah artikel jurnal di mana dia mengilustrasikan kesimetrian bidang dengan beberapa gambar karya Escher. Di sana Escher menemukan sebuah gambar yang memberinya “goncangan besar”—sebuah mosaik hiperbolik segitiga yang persis menunjukkan efek yang dicarinya. Dari penyelidikan seksama terhadap diagram itu, Escher melihat aturan pengubinan di mana busur-busur sirkuler bertemu dengan tepi sebuah lingkaran yang melingkupinya pada sudut 90 derajat. Selama tiga tahun berikutnya, dia menghasilkan empat potret berbeda berdasarkan tipe kisi ini, di mana Circle Limit IV [lihat ilustrasi di bawah] adalah yang terakhir. 


Circle Limit IV, 1960. Dualitas mungkin merupakan tema paling lazim dalam potret-potret buatan Escher belakangan. Dalam matematika, sebuah pernyataan memiliki negasi/sangkalan, dan sebuah set memiliki komplemen/imbangan; dalam setiap kasus, objek dan dualnya saling menetapkan sepenuhnya. Dalam Circle Limit IV, tak ada garis bentuk. Kontur malaikat dan iblis menetapkan satu sama lain. Baik berupa sosok ataupun latar (Escher mengingatkan kita dengan menghilangkan detil pada sebagian sosok). Dalam pengubinan hiperbolik ini, menurut mata Euclidean kita, sosok-sosoknya tampak semakin terdistorsi seiring menyusutnya ukuran mereka. Tapi jika diukur menurut geometri intrinsik dunia potret tersebut, setiap malaikat memiliki ukuran dan bentuk persis sama, begitu pula setiap iblis. Salinan berjumlah tak terhingga berulang tiada habisnya, tak pernah meninggalkan perbatasan lingkaran.

Empat tahun kemudian Escher menemukan solusinya sendiri untuk persoalan ketakterhinggaan dalam persegi [lihat ilustrasi di bawah]. Algoritma rekursifnya—serangkaian arah yang diterapkan berulang-ulang pada sebuah objek—menghasilkan pola serupa-diri di mana setiap elemen terkait dengan elemen lain melalui perubahan skala. Escher mengirimi Coxeter sebuah sketsa kisi dasar, sambil meminta maaf: “Saya khawatir subjek ini tidak terlalu menarik, dilihat dari sudut pandang matematika Anda, sebab pengubinan flat ini sangat sederhana. Meskipun begitu, menemukan metode memadai untuk menyadari subjek ini dengan cara paling sederhana adalah pekerjaan yang memusingkan.” Dalam kuliah beberapa musim panas lalu, matematikawan William P. Thurston, direktur Mathematical Sciences Research Institute di Universitas California di Barkeley, mengilustrasikan konsep pengubinan serupa-diri dengan kisi sama persis, tak mengetahui temuan Escher yang lebih duluan. 


Square Limit, 1964. Keserupaan-diri diilustrasikan dalam potret Square Limit, dikonstruksi menggunakan skema rekursif temuan Escher sendiri. Serangkaian arah yang diterapkan pada sebuah objek untuk menghasilkan objek-objek baru, lalu diterapkan pada objek-objek baru tersebut dan demikian seterusnya, tiada henti, disebut algoritma rekursif. Produk akhirnya [bersifat] serupa-diri ketika semua objek akhir sama dengan objek awal, kecuali perubahan skala, orientasi, atau posisinya. Sebuah sketsa (lihat bawah) yang dikirim Escher kepada matematikawan H.S.M. Coxeter untuk menjelaskan potret di atas menunjukkan bahwa kisi dasarnya melibatkan pembelahan segitiga-segitiga samakaki secara rekursif. Dalam mengeksekusi potret, Escher memahat balok kayu hanya untuk sebuah segitiga yang puncaknya ada di pusat persegi dan dasarnya menjadi sisi persegi—lalu membuat potret balok tersebut empat kali

Herannya, pola-pola serupa-diri menyediakan contoh gambar yang memiliki dimensi fraksional, atau fraktal, sebuah ambiguitas yang pasti disenangi Escher. Pada 1965, dia mengakui: “Saya tak tahan untuk mencemooh semua ketidakpastian kokoh kita. Menyenangkan sekali, misalnya, menukar dua dimensi dan tiga dimensi, bidang dan ruang, dan bermain-main dengan gravitasi.” Escher sangat ahli dalam menukar dimensi-dimensi, sebagaimana dalam Day and Night [lihat ilustrasi kesatu di bawah], di mana dua ladang tani dua-dimensi bermetamorfosis secara misterius menjadi angsa-angsa tiga-dimensi. Dia juga senang menguraikan ambiguitas dan kontradiksi yang inheren dalam praktik lumrah sains: merekatkan beberapa tampilan lokal sebuah objek guna membentuk keseluruhan global [lihat ilustrasi kedua di bawah]. 


Day and Night, 1938. Dimensi adalah konsep yang jelas-jelas memisahkan titik, garis, bidang, dan ruang. Untuk mengilustrasikan ambiguitas persepsi dimensi, Escher mengeksplotasi halaman potret—yang selalu mengecoh pelihat ketika melukiskan pemandangan tiga-dimensi. Dalam Day and Night, papan main dam yang flat berupa ladang tani di dasar potret bermetamorfosis menjadi dua kawanan angsa. Potret ini juga mengilustrasikan konsep perubahan topologis, di mana sosok diubah bentuk tanpa dipotong atau ditusuk. Pantulan dan dualitas hadir pula: angsa-angsa hitam terbang di atas desa yang diterangi mentari, sedangkan angsa-angsa putih mengepakkan sayap di atas tampilan malam sebuah citra cermin pemandangan yang sama. 


High and Low, 1947. Relativitas menyatakan bahwa apa yang dilihat pengamat dipengaruhi oleh konteks dan titik pandang menguntungkan. Dalam litograf High and Low ini, Escher menyajikan dua tampilan berbeda pemandangan yang sama. Pada gambar bawah, pelihat berada di emper terbuka; pada gambar atas, pelihat menatap ke bawah. Nah sekarang kita mundur dari potret: apakah ubin wajik di tengah-tengah potret adalah lantai ataukah atap? Escher menggunakannya sebagai lantai dan atap demi mengawinkan kedua tampilan. Mustahil kita bisa melihat seluruh potret secara logis. Pemandangan ini juga mengilustrasikan betapa perekatan tampilan-tampilan lokal untuk membentuk keseluruhan global dapat menghasilkan kontradiksi.

Menjelang akhir hayatnya (dia meninggal tahun 1972), Escher menulis, “Di atas semua ini, saya bahagia atas jalinan dan persahabatan matematikawan yang dihasilkan. Mereka sering memberi saya ide-ide baru, dan bahkan terkadang ada interaksi di antara kami. Alangkah jenaka mereka, para wanita dan lelaki terpelajar ini!” 


Puddle, 1952. Pantulan memperkenankan teramatinya sebuah fenomena yang terlalu kecil, terlalu jauh, atau terlalu kabur untuk dilihat secara langsung. Puddle mengarahkan mata kita pada sebuah jalan kecil di hutan yang dicetak oleh sepatu dan ban—tapi dalam genangan (puddle) juga terungkap siluet pepohonan yang membusur di atas kepala dengan latar belakang langit yang diterangi bulan. Escher mengingatkan kita pada dunia-dunia tak nampak di bawah, di balik, dan di atas penglihatan kita yang terbatas.

Doris Schattschneider adalah profesor matematika di Moravian College di Bethlehem, Pennsylvania, menerima gelar Ph.D. dari Universitas Yale pada 1966. Aktif sebagai guru, penulis, dan dosen, mantan editor Mathematics Magazine ini punya perhatian kuat pada geometri maupun seni. Dia penulis (bersama Wallace Walker) buku populer model-model geometris, M.C. Escher Kaleidocycles. Bukunya tahun 1990, Visions of Symmetry, menjadi puncak proyek riset mengenai studi-studi kesimetrian M.C. Escher.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar