Minggu, 24 Agustus 2014

Islam, Seni, dan Sains Menurut Seyyed Hossein Nasr

Oleh Sudarman (Mahasiswa S-3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Seyyed Hossein Nasr adalah seorang tokoh pemikir yang unik di dunia Islam. Keunikan pribadi dan pemikiran Seyyed Hossein Nasr karena lahir dari tradisi Sufi-Syi'ah yang dipadu dengan pemikiran Barat modern. Nasr lahir dari keluarga berlatar belakang Sufi terkenal di Persia yang memiliki afiliasi-afiliasi dengan tarekat-tarkat sufi di Persia. Persia, selama ini memang dikenal sebagai gudangnya ilmu, terutama khazanah ilmu-ilmu Islam klasik, semisal filsafat Islam klasik. Dengan latar belakang seperti itu, Nasr mampu mengapresiasi dengan baik khazanah keilmuan tradisional Islam seperti karya Suhrawardi, Ibn Arabi dan Mulla Sadra. Tokoh-tokoh tersebut bahkan kemudian menjadi model dan banyak mempengaruhi pemikirannya. Disamping itu, latar belakang pendidikan Baratnya yang cukup kuat membuatnya mampu mengapresiasi khazanah intelektual Barat. Kombinasi latar belakang kultural dan intelektual Seyyed Hossein Nasr membuatnya menempati posisi khusus dalam berbicara dan berkarya, mempunyai otoritas dalam berbicara mengenai banyak topik, terutama mengenai perjumpaan Timur dan Barat, tradisi dan modernisasi. Ditambah lagi pergaulannya yang luas, baik dengan muslim maupun non-muslim, menjadikan Nasr sebagai figur yang langka dan  jarang ada bandingannya.

Tulisan sederhana ini berusaha mendeskripsikan pemikiran Seyyed Hossein Nasr dalam kaitannya dengan sains modern. Tokoh ini dipilih karena diskusi-diskusi program doktor UIN Sunan Kalijaga angkatan tahun 2005 selama ini, dalam pengamatan saya belum ada yang mengangkat tokoh pemikir dari kalangan ortodoksi Islam, seperti Nasr. Tulisan ini diawali dengan menguraikan latar belakang sosiokultural dan karir inelektual Nasr, diikuti dengan uraian mengenai pokok-pokok pikiran Nasr yang dapat ditangkap dari dua buah karyanya seperti tertera dalam sub judul di atas, baru kemudian dianalisis dengan dua "senter", yaitu model-model inegrasi sains dan agama dan trilogi rastorasionis, rekonstruksionis dan pragmatis. Kedua "senter' ini dimaksudkan untuk mendapatkan peta pemikiran Nasr dalam kaitan dengan agama dan sains.

Setting Sosio-Kultural Dan Karir Intelektual Nasr

Seyyed Hossein Nasr terlahir pada tanggal 7 April 1933 dan dididik sebagai seorang Syi'ah Iran. Ia berasal dari keluarga cendekiawan terkenal. Ayah dan kakeknya adalah fisikawan di kerajaan Iran, disamping keduanya juga terkenal di kalangan muslim Syi'ah sebagai tokoh sufi. Seyyed Hossein Nasr ketika kecil tidak banyak perbedaannya dengan anak-anak seusianya, ia belajar pada sekolah dengan standar bangsa Persia. Ayahnyalah yang membuat Nasr kecil lebih banyak memberikan inspirasi dan semangat.[1] Virus semangat yang disuntikkan ayahnya membuat Nasr begitu antusias pergi ke Amerika ketika usianya masih 12 tahun. Ia masuk sekolah Peddie di Haghtown, New Jersey, dan ketika tahun 1950 ia lulus berhasil memenagkan piala Wyclifte yang merupakan penghargaan tertinggi bagi siswa berprestasi. Pada sekolah inilah Nasr bersemangat menghimpun pengetahuan tentang sains, searah Amerika, peradaban Barat dan Kristologi.

Berbeda dengan ketika ia belajar  pada Sekolah Menengah di Peddie, pada tahun kedua kuliah strata satu-nya pada jurusan fisika, ia merasa tertekan dan bosan karena menurutnya terlalu berlebihan dalam mengagungkan sisi ilmiah dan cenderung positivisme. Ia menganggap banyak pertanyaan mengenai masalah-masalah metafisik yang menjadi minatnya, tidak mendapat tempat di jurusan fisika tersebut. Oleh karena itu dia mulai meragukan apakah fisika dapat menghantarkan manusia kepada hakekat ralitas fisik  Satu-satunya orang yang bisa sedikit memberikan jawaban terhadap kegelisahan Nasr adalah Bertrand Russell, filosof Inggris yang suka mengadakan diskusi dengan para mahasiswa di tempat Nasr menuntut ilmu.[2]

Pengalaman pahit Seyyed Hossein Nasr ketika studi S-1 membuatnya harus mengambil keputusan mengambil bidang lain unuk studi lanjutnya. Ia mulai menekuni dan membaca secara intensif buku-buku dalam rumpun ilmu humaniora. Lebih-lebih ketika ia bertemu dengan professor Giorgio de Santillana,[3] filosof sains dan sejarawan dari Italia, Nasr banyak mempelajari filsafat Yunani, filsafat Eropa, Hinduisme dan pemikiran Barat Modern. Nasr kemudian menekuni konsentrasi geologi dan geofisik pada Program Pascasarjana di Universitas Harvard. Setelah mendapatkan gelar magister geologi dan geofisik tahun 1956, meneruskan studi guna memperoleh Ph.D dalam bidang sejarah ilmu dan filsafat di Universitas Harvard. Selama studi di Harvard yang terakhir ini Nasr banyak berhubungan dengan para penulis dan tokoh philosophia perennis seperti Fritjof Schuon dan Titus Burckhardt, yang banyak memberikan sumbangan dan pengaruh bagi perkembangan  intelektual dan spiritualnya.

Ketika lulus dan mendapat gelar Ph.D Nasr baru berusia 25 tahun. Disertasinya berjudul Conception of  Nature in Islamic Thought, diterbitkan oleh Universitas Harvard dengan judul Introduction to Islamic Cosmological Doctrines. Masa-masa penulisan disertasi digunakan juga oleh Nasr untuk menulis sebuah buku yang kemudian diterbitkan dengan judul Science and Civilization in Islam, yang nanti akan kita lihat pada bab berikutnya.

Seyyed Hossein Nasr setelah purna studi kemudian kembali ke Iran, diangkat menjadi guru besar madya dalam bidang filsafat dan sejarah sains, hampir berbarengan waktunya dengan berlangsungnya pernikahannya dengan seorang wanita dari keluarga terhormat. Pada usianya ke-30 Nasr menjadi orang termuda yang menyandang gelar professor penuh pada Universitas Teheran. Sesuatu yang baru ditawarkan oleh Nasr pada lembaga ini, yakni bahwa ia menganggap pentingnya pengajaran filsafat Islam yang berbasis sejarah dan perspektif Islam. Nasr berpendapat bahwa orang seyogyanya tidak mengharapkan dapat memahami dan mengapresiasi tradisi intelektualnya sendiri dari sudut pandang orang lain, seperti juga tidak mungkinnya seseorang dapat melihat sesuau dengan mata orang lain.[4] Nasr juga menumbuhkan kesadaran dan minat untuk mempelajari filsafat Timur pada program studi filsafat. Nasr juga terlibat dalam program doktor bidang bahasa dan sastera Persia bagi yang bahasa ibunya bukan Persia, banyak asuhan Nasr di bidang ini yang menjadi cendekiawan penting diantaranya dari Amerika William Chittick, dan cendekiawati dari Jepang Sachiko Murata.[5]

Seyyed Hossein Nasr menjabat sebagai rektor Universitas Aryamehr, universitas sains dan teknik terkenal di Iran, tahun 1972-1975. Shah Reza Pahlevi, penguasa Iran saat itu, menginginkan agar Nasr mengembangkan Universitas Aryamehr dengan model perguruan tinggi terkenal di Amerika tetapi mempunyai dasar yang kuat pada kebudayaan Iran. Nasr membawa perguruan tinggi ini membuka program pascasarjana dengan bidang filsafat ilmu dengan landasan filsafat ilmu Islam, untuk pertama kalinya di dunia Islam, bahkan di dunia pada umumnya.

Seyyed Hossein Nasr di sela-sela kesibukannya masih sempat menimba ilmu hikmah, di bawah master-master otoritatif di Iran. Diantara guru-guru terhormat itu adalah Sayyid Muhammad Kazim Assar, seorang alim yang mempunyai otoritas dalam bidang hukum Islam dan filsafat, yang merupakan sahabat ayah Nasr, Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabataba’i dan Sayyid Abu Hasan Qazwin, ahli hukum Islam yang menguasai juga matematika, astronomi dan filsafat dengan baik. Terlihat bahwa Nasr telah mendapatkan pendidikan Barat Modern dan dikombinasikan dengan pendidikan Timur Tradisional. Kombinasi langka ini membuat dirinya berada pada posisi langka ketika berbicara dan menulis, yang menguasai banyak isu yang terkait dengan perjumpaan Barat-Timur, tradisi dan modernitas.

Nasr juga menulis secara aktif ketika berada di Iran dalam bahasa Inggris, Perancis dan Arab. Disertasinya ditulis kembali dalam bahasa Persia yang kemudian mendapat penghargaan raja Iran. Nasr juga menulis buku-buku Suhrawardi dan Mulla Sadra dalam bahasa Persia dan  karya Ibnu Sina dan al-Biruni dalam bahasa Arab.

Kiprah Seyyed Hossein Nasr tidak terbatas pada Iran saja tetapi merambah dunia "luar" baik kawasan muslim maupun bukan. Ia pernah menjadi direktur Caultural Institute, dimana Iran, Pakistan dan Turki menjadi anggotanya. Di Beirut ia mendirikan Aga Khan Chair of Islamic Studies pada Universitas Amerika di Beirut (1964-1965). Mskipun tinggal di Amerika, Nasr sering keluar dan berhubungan dengan negara lain. Tahun 1977 ia menyampaikan Kevorkian Lectures dalam seni Islam di New York, ia berbicara mengenai seni dan Islam. Pada tahun 1979, ketika meletus Revolusi Iran, Nasr pindah ke Amerika, dan mulai aktif lagi menulis di sana.

Tahun 1980 ia aktif menulis dan berdiskusi dalam forum prestisius yang disebut Gifford Lectures, karena diikuti oleh para ilmuwan terkemuka, dan Nasr adalah orang Timur dan orang Islam pertama yang mendapatkan kesempatan berharga tersebut. Karyanya Knowledge and The Sacred adalah judul yang telah dipresentasikannya di forum Gifford Lectures tersebut. Nasr mengungkapkan bahwa Knowledge and The Sacred merupakan hadiah dari langit karena penulisannya dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari tiga bulan. Sebenarnya banyak sekali karya Seyyed Hossein Nasr selain yang disebutkan di atas, tetapi karena mengingat berbagai keterbatasan, tidak mungkin ditampilkan dan diulas semua di sini. Oleh karena itu dicukupkan di sini agar bisa lebih banyak mengulas pemikiran Nasr di dalam buku yang menjadi pusat perhatian artikel ini.

Sains Dan Islam Perspektif Seyyed Hossein Nasr
           
Kaum modernis Islam umumnya mempunyai kecenderungan ingin menunjukkan kesesuaian antara Islam dengan sains modern. Diantara bukti yang mendukungnya adalah kenyataan bahwa sains pernah berkembang di bumi Islam dan dapat mempertahankan kecemerlangannya selama hampir lima abad. Maka sering dijumpai kesimpulan kaum modernis bahwa Islam pasti mendukung sains modern. Argumen kaum Islam modernis ini ditanggapi oleh para pemikir Islam ortodoks, diantaranya adalah Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh yang paling berpengaruh di kalangan ini. Seyyed Hossein Nasr tidak sepakat dengan argumen umum kaum modernis tentang kesesuaian Islam dengan sains tersebut. Menurutnya mereka secara sewenang-wenang mengubah agama Islam agar sesuai dengan tujuan akhir mereka sendiri. Dia dengan keras mencela: “Tulisan-tulisan apologetik kaum modernis Islam yang ingin berdamai dengan modernisme dan mau melakukan apa saja untuk menunjukkan bahwa Islam bagaimanapun juga adalah agama 'modern' dan, berbda dengan Kristen, sama sekali tidak bertentanagan dengan sains”.[6]

Menurut Nasr tulisan-tulisan kaum Islam modernis yang mengklaim Islam sesuai dengan sains modern, yaitu sains yang dianggap dipelopori oleh Galileo dan Newton, jelas-jelas mengandung cacat. Kesalahan mereka, menurut Nasr, adalah bahwa ilm dalam bahasa Arab yang berarti menuntut ilmu sesuai dengan kewajiban agama, sengaja diubah agar menjadi sains dan pengetahuan sekuler. Nasr menganggap keliru karena term ilm, tidak hanya menyangkut masalah duniawi tetapi juga menyangkut pengetahuan tentang Tuhan, dan lain-lain hal gaib lainnya. Jika mengikuti pandangan kaum Islam modernis, menurut Nasr, berarti menggerogoti tauhid.[7]

Menurut Nasr seorang ilmuwan yang secara konsisten menggunakan peralatan dan teknik-teknik sains modern, jika tidak hati-hati akan menghancurkan struktur agama Islam. Masalahnya, sains modern hanya mengandalkan akal dan pengamatan sebagai wasit penentu kebenaran. Bagi ortodoksi Islam, sejenis Nasr, ini sama sekali tidak dapat diterima. Hal ini sangat berbeda dengan sains zaman dulu. Mengenai sains zaman dulu Nasr mempunayi pendapat yang baik: “Tidak pernah menjadi tantangan bagi Islam seperti halnya sains modern. Para pelajar Islam di madrasah-madrasah tradisional tidak berhenti melaksanakan shalat waktu mereka mempelajari Aljabar Khayyam atau risalat al-Kimia dari Jabir ibn Hayyan. Tidak seperti pelajar-pelajar zaman sekarang yang begitu banyak kehilangan semangat beragama mereka setelah mempelajari matematika dan kimia modern”.[8]

Jika kita ingat perbedaan mendasar kerangka konseptual sains abad pertengahan dan abad modern, sesungguhnya pemikiran Syyed Hossein Nasr tersebut tidaklah sulit dipahami. Ilmuwan abad pertengahan, baik yang Islam maupun Kristen, bekerja dalam batas-batas, paradigma teologis. Sains harus menemukan perintah ketuhanan dari alam semesta yang ciri-cirinya sudah ditetapkan oleh apa yang diyakini sebagai wahyu. Secara umum, sains secara prinsip dipandang sebagai cara untuk menggambarkan kebenaran teologis. Maka sains, sebagai kaki tangan teologi,  harus membuktikan bahwa iman didukung oleh alasan dan faka-fakta fisik.[9] Sains modern dalam pandangan Nasr, terutama yang berkembang di Barat, sejak Renaissance telah menciptakan bentuk dan paradigma baru yang merupakan manifesasi corak pemikiran rasionalistis dan antroposentris serta sekularisasi kosmos.[10] Ilmu dalam konsepsi Barat seperti inilah yang disebut oleh Nasr telah menempati mode khusus, yaitu sama sekali tidak berhubungan dengan Kesucian.[11]

Sekularisasi ilmu yang terjadi di Barat, antara lain dilatarbelakangi oleh pecahnya kesatuan gereja Kristen bersamaan dengan gelombang Renaissance. Gelombang sekularisasi tersebut menggempur peradaban Barat pada waktu itu sehingga mistisisme Kristen, yang dimotori antara lain oleh Lutherian, tidak dapat mencegah dahsyatnya gelombang sekularisasi tersebut.[12] Pemikiran yang bercorak rasional dan empiris juga ikut menyumbangkan peran bagi proses  sekularisasi ilmu di Barat. Empirisme yang berkembang di Barat, terutama di Inggris, membuat fungsi suci intelek tidak lagi berguna. Isaac Newton, bapak fisika klasik yang menulis Principia, ketika mempropagandakan rasionalisme ilmu juga turut berperan dalam proses desakralisasi ilmu.[13] Menurut analisis Seyyed Hossein Nasr, Descartes adalah orang yang sangat banyak memberikan andil terhadap desakralisasi ilmu di Barat. Ketika Descartes membuat basis baru bagi ilmu, dengan memunculkan kesadaran individu sebagai subjek berpikir, cogito ergo sum, dimaknai secara profan dan sama sekali tidak merujuk kepada "Aku" ilahi. Menurut Nasr habitus baru yang dimunculkan Descartes ini berbeda jauh dengan tradisi para Sufi Islam yang menafikan banyak hal profan dan muncullah "Aku" ilahi.[14] mengacu pada diri manusia, yang memiliki makna semu dalam pandangan orang arif. Descartes dalam kondisi ini, demikian Nasr, telah menempatkan pengalaman dan kesadaran berpikir sebagai landasan ontologism.

Kata "aku" dalam ucapan Descartes sebagai dasar epistemologi serta sumber kepastian. Akibat dari pengaruh pikiran Descartes ini banyak orang yang menjadikan pikiran individu sebagai standar dan mengubah arah filsafat menjadi bentuk rasionalisme murni. Implikasi dari bentuk pemikiran seperti ini sering obyek diketahui lain sama sekali dengan yang dikehendaki obyek tiu sendiri, dan sering pula banyak persoalan yang direduksi sekedar menjadi "it" atau "thing" dalam dunia yang mekanistik, padahal mungkin saja jika melihanya dari sudut pandang lain "it" atau "thing" tersebut sangat sarat dengan nilai-nilai sakral.[15] Proses desakralisasi sesungguhnya telah terjadi jauh sebelum masa Renaissance dan masa Descartes, yakni sejak masa Yunani kuno. Pentingnya jiwa simbolis yang diserukan Plato, pengosongan kosmos dari unsur suci pada agama Olympia yang membawa kepada filsafat naturalistik, munculnya rasionalisme dan transformasi lain, adalah beberapa bukti proses desakralisasi ilmu di Barat ini.

Lebih mencolok lagi proses sekularisasi di Barat ketika kita melihat kasus Ibnu Sina dan Ibn Rushd. Filsafat Ibn Sina di dunia Islam menjadi basis penting bagi penekanan kembali sakralitas pengetahuan dan intelek seperti versi Suhrawardi, tetapi ketika karya-karya Ibn Sina sampai di Barat dia berupah hanya sekedar menjadi potongan-potongan pengetahuan yang bercorak rasionalistik. Begitu juga dalam kasus Ibn Rusyd, ia kelihatan lebih rasional dan sekuler di Barat ketimbang Ibn Rusyd asli yang dibaca di dunia Arab.[16] Seyyed Hossein Nasr memandang proses desakralisasi ilmu di Barat antara lain ditandai dengan pereduksian intelek menjadi akal (reason) dan intelligence dibatasi dengan sekedar cunning dan cleverness, yang semua itu merusak teologi, termasuk teologi natural, baik di kalangan Islam maupun Kristen. Pencabutan pengetahuan dari karakter sucinya dan menumbuhkan ilmu profan, membuat orang lupa akan keunggulan spiritual dalam berbagai tradisi, maka ilmu pengetahuan Barat yang profan menjadi sentral sementara intuisi dan unsur-unsur yang bercorak ilahi menjadi periferal.[17]

Pemikiran sekuler yang terjadi pada desakralisasi ilmu tersebut merambah juga pada bidang-bidang lain. Bahkan sampai kepada bahasa pun terkena pengaruh desakralisasi ini. Bahasa-bahasa yang berkembang di Barat kehilangan ragam makna mendalam karena pengaruh desakralisasi ini. Pandangan Nasr yang kritis terhadap perkembangan ilmu di Barat, membawanya pada penilaian bahwa ilmu di Barat mengalami kritis yang, dalam pandangannya, membawa ancaman serius sebagai akibat skularisasi. Nasr melihat sisi lemah sains di Barat dengan kacamata perennisnya, kemudian untuk solusinya ia menawarkan konstruksi ilmu Islam sebagai alternatif, yang dianggapnya mampu mengatasi krisis kemanusiaan yang diderita manusia modern. Ilmu Islam menurut Nasr bukanlah sesuatu yang lahir begitu saja. Munculnya ilmu Islam merupakan persinggungan dan interaksi mendalam dengan pradaban lain seperti Yunani, Persia, India, Kaldea, dan Cina. Ketika berjumpa dengan berbagai peradaban tersebut, umat Islam terbuka terhadap berbagai perkembangan ilmu dan peradaban tetapi juga menyeleksinya dengan seksama sehingga gabungan dari keterbukaan dan daya selektif yang ketat itu melahirkan corpus baru yang unik.[18]

Secara ontologism, ilmu Islam didasarkan pada metafisika simbolis. Alam yang terbentang luas ini, dalam pandangan Nasr, harus dipahami secara simbolis, sehingga hubungan dengan realitas yang lebih tinggi tidak hilang. Alam semesta tidak bisa direduksi menjadi sekedar fakta empiris, tetapi lebih dari itu harus membantu intelektual manusia untuk sampai kepada berbagai eksistensi, bukan hanya sebagai fakta mati tetapi ia juga sebagai simbol, sebagai cermin yang memantulkan wajah agung sang pencipta.[19] Dalam tataran epistemologi, ilmu Islam berlandaskan pada iluminasi akal dan intelek. Intelek adalah alat, akal adalah aspek pasifnya dan refleksinya pada diri manusia. Intelek adalah dasar akal, akal perlu dilatih secara sehat untuk dapat sampai kepada intelek. Itulah sebabnya ahli fisika muslim menyatakan bahwa ilmu rasional secara alamiah akan mmbimbing manusia sampai kepada yang ilahi. Intelek, dalam pandangan Nasr, adalah kapasitas batin, namun sering dikaitkan dengan fungsi analitis pikiran sehingga dianggap tidak ada sangkut pautnya dengan sifat kontemplatif. Pereduksian makna ini sering menimbulkan semangat manusia untuk menaklukkan alam semesta. Padahal seharusnya, demikian Nasr, hubungan antara ilmuwan dengan alam bersifat intelektif, tidak abstrak, tidak analitis dan tidak sentimental.[20]

Terma intelek dalam pemahaman Nasr berkaitan dengan terma lain seperti qalb,  fu'ad, dan bashirah. Qalb, sebagaimana fu'ad, memiliki muatan makna yang identik dengan sesuatu alat untuk memahami realitas dan nilai-nilai. Sehingga konsep intelek dalam terminologi Islam berbeda dengan reason, karena intelek dalam pengertian Islam tidak semata-mata berkaitan dengan rasionalisme tetapi juga berhubungan erat dengan persoalan wahyu,[21] sehingga bagi seorang muslim kegiatan ilmiah tidaklah harus menjauhkan dirinya dari ibadah dan Tuhan. Struktur keilmuan seperti tersebut di atas adalah fondasi yang paling kuat dan telah terbukti keampuhannya ketika berhadapan dengan peradaban-peradaban lain. Sesungguhnya konstruksi model ini juga tidak bertentangan dengan konstruksi peradaban lain yang berlandaskan wahyu, karena konstruksi keilmuan itu  merupakan "heart of all revelations".[22] Perbedaan mendasar konstruksi ilmu di Barat dengan Islam, jika di Barat sains identik dengan teknologi dan aplikasinya, sebaliknya sains dalam pandangan Islam, disamping bermakna seperti pengertian sains dalam perspektif Barat, juga bermakna pengetahuan yang berkaitan dengan spiritualitas.[23]       

Peta Pemikiran Seyyed Hossein Nasr

Ada banyak model yang diajukan orang untuk integrasi sains dan agama. Model-model itu dapat diklasifikasikan dengan menghitung jumlah konsep dasar yang menjadi komponen utama model itu. Jika hanya ada satu, model itu disebut model monadic.Jika ada dua, tiga, empat atau lima komponen, model itu masing-masingnya bisa disebut sebagai model-model diadik, triadik, tetradik dan pentadik. Berikut ini akan dibahas secara singkat masing-masing model tersbut.[24]

Model pertama yang popular di kalangan fundamentalis, religius maupun sekuler. Fundamentalis religius memandang bahwa agama adalah keseluruhan yang mengandung semua cabang ilmu dan kebudayaan. Sedangkan yang sekuler memandang bahwa agama sebagai salah satu cabang kebudayaan. Dalam fundamentalisme religius, agama dianggap sebagai satu-satunya kebenaran, sains hanyalah salah satu cabang kebudayaan, sementara bagi fundamentalisme sekuler kebudayaanlah yang merupakan ekspresi manusia dalam mewujudkan kehidupan yang berdasarkan sains sebagai satu-satunya kebenaran. Dengan model monadik totalistik semacam ini tidak mungkin terjadi koeksistensi antara sains dan agama, karena keduanya menegasikan eksistensi atau kebenaran lainnya. Maka hubungan antara kedua sudut pandang ini, tidak bisa tidak berupa konflik, seperti yang dikonsepsikan Barbour[25] atau Haught[26] mengenai hubungan sains dan agama.

Mengingat kelemahan model monadik tersebut, diajukanlah model kedua, yaitu model diadik. Ada beberapa varian model kedua ini. Varian pertama mengatakan bahwa sains dan agama merupakan dua kebenaran yang setara. Sains membicarakan fakta alamiah, sedangkan agama membicarakan nilai-nilai ilahiah. Secara geometris dapat didiagramkan model ini sebagai dua buah lingkaran yang tidak berpotongan. Model ini dapat disebut sebagai model diadik kompartementer.

Varian kedua model diadik ini mungkin dapat dinyatakan oleh gambar sebuah lingkaran yang terbagi oleh sebuah garis lengkung menjadi dua bagian yang bentuk dan luasnya sama, seperti pada simbol Tao dalam tradisi Cina. Berbeda dengan model interpendensi, dalam varian kedua antara sains dan agama adalah bagian yang tak terpisahkan. Seorang tokoh yang patut dipertimbangkan dalam kaitan ini adalah Fritjof Capra ketika ia mengeluarkan sebuah ungkapan: "Sains tak membutuhkan mistisisme dan mistisisme takmembutuhkan sains. Akan tetapi, manusia membutuhkan keduanya".[27] Varian kedua ini adalah model diadik komplementer.

Varian ketiga dapat dilukiskan secara diagram dengan dua buah lingkaran sama besar yang saling berpotongan. Jika kedua lingkaran itu menggambarkan sains dan agama, akan terdapat sebuah kesamaan. Kesamaan itulah yang merupakan bahan dialog antara sains dan agama. Misalnya Maurice Buccaille mnemukan sejumlah data ilmiah di dalam kitab suci Al-Qur'an. Atau para ilmuawan yang menemukan sebuah bagian pada otak yang disebut sebagai "The God Spot" yang dipandang sebagai pusat kesadaran religius manusia. Model ini dapat disebut sebagai model diadik dialogis. Model ketiga adalah model triadik sebagai koreksi terhadap model diadik independent. Dalam model triadik ada unsur ketiga yang menjembatani sains dan agama. Jembatan itu adalah filsafat. Model ini diajukan oleh para kaum teosofis yang bersemboyan "There is no religion higher than Truth". Kebenaran atau "Truth" adalah kesamaan antara sains, filsafat dan agama. Model ketiga ini merupakan perluasan saja dari model diadik komplementer dengan memasukkan filsafat sebagai komponen ketiga yang letaknya diantara sains dan agama.

Sebagai koreksi terhadap model diadik dan triadik komplementer, telah dikembangkan sebuah model tetradik. Salah satu interpretasi dari model diadik komplementer adalah identifikasi komplementasi "sains/agama" dengan komplementasi "luar/dalam". Pemilahan "luar/dalam" identik dengan pemilahan "objek/subjek" dalam perspektif epistemologi. Menurut Wilber,[28] pemilahan ini tidak mencukupi lagi untuk memahami fenomena budaya. Wilber kemudian memasukkan komplementasi baru untuk melengkapi komplementasi-komplementasi modernis terdahulu. Komplementasi itu adalah komplementasi "satu/banyak", yang oleh Wilber disebut "individual/sosial". Dengan adanya dua komplementasi, yang lama dan yang baru, maka realitas budaya dibagi menjadi empat kuadran dimana satu lingkaran dipecah oleh dua buah sumbu komplementasi yang saling tegak lurus satu sama lainnya: horizontal dan vertikal. Pada diagram empat kuadran Wilber ini sumbu individual/sosial diletakkan secara horizontal, dengan individualitas di sebelah kiri dan sosialitas di sebelah kanan, dan sumbu interior/eksterior pada arah vertikal dengan interioritas di sebelah kiri dan eksterioritas di sebelah kanan.
           
Menurut Wilber kuadran kiri atas berkaitan dengan subjektivitas, yang menjadi topik bagi psikologi Barat dan mistisisme Timur, dan kuadran kanan atas berkaitan dengan objektivitas yang menjadi topik bagi ilmu-ilmu kealaman atau sains. Sedangkan kiri bawah berkaitan dengan intersubjektivitas yang menjadi topik bahasan humaniora atau kebudayaan. Sementara itu, kuadtran kanan bawah menyangkut inter-objektivitas yang mempelajari gabungan objek-objek yang disebut Wilber sebagai masyarakat atau teknologi. Dengan demikian, ada empat kuadran keilmuan, yaitu ilmu-ilmu kealaman (kanan atas), ilmu-ilmu keagamaan (kiri atas), ilmu-ilmu kebudayaan (kiri bawah) dan ilmu-ilmu keteknikan (kanan bawah).[29] Jika dilihat dengan ketiga model di atas pemikiran Seyyed Hossein Nasr kelihatannya cenderung masuk dalam kategori model perama. Bagi Nasr agama, yang diwakili oleh teologi, adalah segala-galanya. Sains dan ilmu-ilmu lain tidak boleh keluar dari kerangka dan dalam rangka membela teologi. "Senter" kedua tentang trilogi Restorasionis, Rekonstruktionis dan Pragmatis perlu dikemukakan di sini untuk melihat formulasi pemikiran Nasr. Konstruksi trilogi yang dipakai adalah apa yang telah dibangun oleh Pervev Hoodbhoy.[30]

Pertumbuhan pesat sains modern mengundang anggapan dari banyak pihak, termasuk umat Islam. Beberapa diantara tanggapan itu  ada yang masuk dalam kategori restorasionis, rekonstruktionis dan pragmatis. Ketiga kategori kelompok tanggapan terhadap sains tersebut dilihat secara sepintas dalam tulisan ini untuk "menyorot" pemikiran Seyyed Hossein Nasr, sehingga peta pemikirannya dalam hal sains modern mudah dipahami. Pertama, Kaum Restorasionis. Kaum restorasionis adalah kelompok yang paling bersemangat mengembalikan kejayaan Islam di masa lampau. Kelompok ini juga berargumen bahwa kemunduran umat Islam saat ini karena mereka tidak mampu memegang fikrah dan thariqah Islam secara istiqamah. Menjamurnya gerakan fundamenalis pada sekita tahun 1970-1980-an adalah manifestasi yang paling nyata dari gerakan kaum restorasionis ini. Salah satu contoh gerakan kaum restorasionis adalah gerakan Jemaat-e Islami di Pakistan, suatu kelompok politik-agama yang mendapatkan dukungan dari masyarakat urban kelas menengah dan para mahasiswa. Walaupun belum pernah mendapat kemenangan dalam pemilu di Pakistan, tetapi pengaruh kelompok ini sangat kuat di Pakistan. Maryam Jameelah, seorang Yahudi Amerika yang masuk Islam, adalah juru bicara Jemaat-e Islami yang paling cakap tentang masalah-masalah sains dan modernitas. Jameelah berpandangan bahwa semua ideologi modernis dicirikan dengan pemujaan manusia. Pemujaan manusia paling sering muncul di bawah kedok sains. Kepada modernis ditayangkan bahwa kemajuan dalam sains pada akhirnya akan menganugerahkan pada mereka kekuatan ilahi.[31]  Bagi Maryam Jameelah umat Islam seyogyanya tidak perlu "mengejar Barat" karena sifat sains Barat jahat dan tidak bertuhan. Masa lampau Islam jauh lebih baik, sementara modernitas tidak menghasilkan apapun kecuali kerusakan.[32]

Kedua, Kaum Rekonstruksionis. Posisi kaum rekonstruksionis sangat bertentangan dengan posisi ortodoks yang sangat anti-sains dan anti modernisme. Rekonstruksionis secara esensial menafsirkan kembali keimanan untuk mendamaikan tuntunan peradaban modern dengan ajaran dan tradisi Islam. Kelompok ini berpandangan bahwa Islam di masa Nabi dan masa khulafa' al-Rasyidin adalah Islam yang progersif, revolusioner, liberal dan rasional. Maka kelompok yang dogmatis reaksioner dianggap taqlid dan menolak inovasi (ijtihad). Diantara tokoh kaum rekonstruksionis adalah Syed Ahmad Khan (1817-1898) dan Syed Ameer Ali (1849-1924). Ahmad Khan berpendapat bahwa Al-Qur'an harus ditafsirkan ulang berkaitan dengan realitas yang berubah. Sementara Ameer Ali berpendapat bahwa Islam adalah agama revolusioner, rasional dan berorientasi maju. Ketiga, Kaum Pragmatis. Kaum pragmatis sesungguhnya merupakan jumlah terbesar dari umat Islam, tetapi kelompok ini lebih banyak memilih bungkam terhadap masalah modernitas dan sains. Mereka lebih suka memperlakukan persyaratan-persayaratan agama dan keimanan sebagai sesuatu yang secara esensial tidak langsung berkaitan dengan masalah kehidupan politik ekonomi, atau dengan sains dan pengetahuan sekular lainnya. Kaum pragmatis merasa puas dengan keyakinan bahwa Islam dan modernitas tidak bertentangan, tetapi mereka enggan menguji masalah-masalah tersebut dengan lebih mendalam. Salah satu contoh tokoh pro modernis dan pro sains adalah Jamaluddin al-Afghani (1838-1897). Jika dilihat dengan senter trilogi tersebut di atas tampak bahwa pemikiran Seyyed Hossein Nasr berada pada kategori perama, yaitu kelompok restorianis. Hal ini wajar saja mengingat Nasr adalah tokoh terkemuka ortodoksi Islam, sehingga sangat mudah dipahami jika pola berpikirnya berada dalam frame restorianis.

Pemikiran Seyyed Hossein Nasr berangkat dari keprihatinannya bahwa seolah-olah teologi ditaklukkan oleh sains, teologi diubah demi untuk mempertimbangkan penemuan-penemuan sains. Bagi Nasr, yang merupakan pendukung filsafat perennial, yang sebaliknyalah yang semestinya harus terjadi, teologi menjadi tolok ukur teori-teori ilmiah. Nama Seyyed Hossein Nasr sering disandingkan dengan Syed M. Naquib Al-Attas, Ismail Razi Al-Faruqi dan Ziauddin Sardar. Al-Attas menyebut gagasannya dengan "dewesternisasi ilmu", Ismail Razi al-Faruqi berbicara tentang "Islamisasi ilmu" dan Sardar tentang penciptaan suatu "sains Islam kontemporer". Gagasan para pemikir itu tentu berbeda-beda dan terkadang bahkan berseberangan. Kelemahan pemikiran mereka ini sampai saat ini belum bisa menjelaskan secara jelas bagaimana gagasan filosofis itu bisa menjadi relevan dengan kegiatan praktis. Hal-hal inilah barangkali yang menjadikan tokoh-tokoh seperti Ian G Barbour, John F Haught dan Gholshani menjadi relevan untuk dikaji secara lebih mendalam.

Pustaka

Ian G Barbour, When Science Meets Religion: Enemies, Strangers or Partners? . San Francisco: Harper Collins, 2000.

John F. Haught, Science and Religion: From Conflict to Conservation. New York: Paulist Press, 1995.

Fritjof Capra, The Tao of Physics . New York: Bantam Book, 1976.

G. Sarton, Introduction to he History of  Science, vol. 1., New York: Krieger Publishing, 1975.

Ken Wilber, The Marriage of Sense and Soul: Integrating Science and Religion (Boston: Shambala Publication, 1998.

Maryam Jameelah, Islam and Modernism. Lahore: Muhammad Yusuf Khan Publisher, 1977.

Maryam Jameelah, Modern Technology and The Dehumanization of Man . Lahore: El-Matbaat-ul-Arabia, 1983.

Pervev Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalittas Antara Sains dan Ortodoksi Islam, terj. Sari Meutia (Bandung: Mizan, 1996.

Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred (Edinburg: Edinburg University Press, 1981.

___________, Scince and Civilization in Islam. New York: New American Library, 1970.

___________, Islam and Contemporary Society (London: Longman Group, 1982

Zaenal Abidin Bagir, Jarot Wahyudi dan Afnan Anshori (Ed), Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi (Bandung: Mizan, 2005

"Biography"/Dr. Seyyed Hossein Nasr, tersedia di http//www.nasr.org.

"Seyyed Hossein Nasr", tersedia di http//www.seriousseekers.com


[1] "Biography"/Dr. Seyyed Hossein Nasr, tersedia di http//www.nasr.org., diakses 18 Juni  2006 pukul 16.00 WIB.
[2] "Seyyed Hossein Nasr", tersedia di http//www.seriousseekers.com., diakses tanggal 18 Juni 2006 pukul 16.00.

[3] Hubungan Seyyed Hossein Nasr dengan Giorgio de Santallana semakin hari semakin intensif, sebagai kawan dalam bergaul dan berdiskusi. Santillana juga memberikan kata pengantar dalam buku Nasr yang sedang kita bahas ini. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (New York, : New American Library, 1970), hlm. vii-xiv.
[4] "Biography"/Dr. Seyyed Hossein Nasr, tersedia di http//www.nasr.org., diakses 18 Juni 2006 pukul 16.00 WIB.

[5] Ibid.
[6] Seyyed Hossein Nasr, Islam and Contemporary Society (London: Longman Group, 1982), hlm. 176.

[7] Ibid., hlm. 179.
[8] Ibid.

[9] G. Sarton, Introduction to he History of  Science, vol. 1., (New York: Krieger Publishing, 1975), hlm. 5.

[10] Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred (Edinburg: Edinburg University Press, 1981), hlm. 45-46.

[11] Ibid., hlm. 9
[12] Ibid., hlm. 26-27.

[13] Ibid., hlm. 29-32.

[14] Ibid., hlm. 41.

[15] Ibid., hlm. 46
[16] Ibid., hlm. 38.

[17] Ibid., hlm. 4-6.
[18]Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (New York: American Library, 1970), hlm. 30.

[19] Ibid., hlm. 24. Untuk argumen ini Seyyed Hossein Nasr mengutip Al-Qur'an Surat Fusshilat (41) ayat 53, disana dejelaskan bahwa alam semesta juga merupakan ayat Tuhan. Dengan demikian ayat Tuhan itu ada dua macam, ayat yang tertulis di dalam kitab suci, Al-Qur'an, dan ayat yang tidak tertulis, tetapi mewujud yaitu alam semesta. Ayat yang tertulis dalam Al-Qur'an biasanya disebut dengan ayat qauliyyah sedangkan alam semesta disebut dengan ayat kauniyyah. Ayat qauliyyah dan ayat kauniyyah sama-sama perlu "dibaca" karena keduanya sama-sama merupakan cara Tuhan memberi pelajaran, dan keduanya sama-sama dapat menghantarkan manusia sampai kepada Tuhan.
[20] Ibid., hlm 24.
[21] Ibid., hlm. 27.
[22] Ibid., hlm. 30.
[23] Ibid., hlm. 29-30.
[24] Model-model integrasi agama dan sains yang digunakan dan ditampilkan dalam  tulisan ini merujuk kepada apa yang ditulis oleh Armahedi Mahzar. Hampir semua diderivasi dari konstruksi Mahzar kecuali yang disebut secara khusus. Armahedi Mahzar "Integrasi Sains dan Agama: Model dan Metodologi" dalam Zaenal Abidin Bagir, Jarot Wahyudi dan Afnan Anshori (Ed), Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 92-99.
[25] Ian G Barbour, When Science Meets Religion: Enemies, Strangers or Partners? (San Francisco: Harper Collins, 2000).
[26] John F. Haught, Science and Religion: From Conflict to Conservation (New York: Paulist Press, 1995).
[27] Fritjof Capra, The Tao of Physics (New York: Bantam Book, 1976).
[28] Ken Wilber, The Marriage of Sense and Soul: Integrating Science and Religion (Boston: Shambala Publication, 1998).
[29] Selain ketiga model integrasi antara sains dan agama seperti tersebut di ats Armahedi Mahzar masih mengajukan satu lagi model integrasi agama dan sains yang disebutnya dengan "Model Penadik: Paradigma Integralisme Islam".  Tetapi model ini kurang relevan untukmenganalisis pemikiran Seyyed Hossein Nasr, sehingga tidak diampilkan. Lihat Armahedi Mahzar, Integrasi…hlm. 100-106.

[30] Pervev Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalittas Antara Sains dan Ortodoksi Islam, terj. Sari Meutia (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 97-118.
[31] Maryam Jameelah, Islam and Modernism (Lahore: Muhammad Yusuf Khan Publisher, 1977), hlm. 16-17.

[32] Maryam Jameelah, Modern Technology and The Dehumanization of Man (Lahore: El-Matbaat-ul-Arabia, 1983), hlm. 8. Senada dengan Maryam Jameelah di atas adalah Abu al-A'la al-Maududi, pendiri Jemaat-e Islami Pakistan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar