Oleh
Prof.
Husein Ansariyan*
Malam
itu, seorang lelaki keluar dari rumahnya dan menengadahkan tangan ke angkasa.
Sesekali dari mulutnya terdengar kalimah istighfar. Dia bertutur lirih, Allahuma Barikli al-Maut, Tuhanku berkatilah
aku dengan kematian. Dialah Ali Bin Abi Thalib. Ali bergegas menuju masjid
untuk menunaikan shalat Subuh. Ia menunaikan beberapa rakaat shalat sunah.
Kemudian mengumandangkan azan Subuh yang biasa dikumandangkan Bilal. Ali lalu
memimpin shalat shubuh berjamaah.
Sesuai
dengan ketentuan shalat jemaah, para makmum mengikuti segala gerakan shalat
Imam. Para makmum melakukan ruku, ketika Imam ruku dan bersujud ketika imam
sujud. Ketika sampai sujud itu, seseorang yang berada di belakang Imam Ali
tampak belum menjatuhkan kepalanya untuk sujud. Tangannya disembunyikan di
balik pakaiannya. Seketika, tampak kilauan cahaya berkelebat di dinding. Imam
Ali masih tenggelam dalam suasana ubudiyah. Cahaya itu adalah kilauan pedang
yang kemudian terangkat, dan tanpa diduga pedang itu menghujam ke arah kepala
Imam Ali. Beliau tersungkur. Dahinya pecah bersimbah darah.
Pedang
itu dihujamkan oleh Ibnu Muljam, lelaki yang dibangunkan Imam Ali di masjid
dari tidurnya. Ibnu Muljam mengayunkan pedang yang sudah dilumuri racun.
Pukulan itu bukan hanya melukai Ali, tapi juga melukai umat Islam dari sumber
keutamaan ilmu dan amal itu. Dua hari kemudian Imam Ali menemui kesyahidannya
pada tanggal 21 Ramadhan.
Entah
sudah berapa ribu buku yang ditulis para ilmuwan dan penyair mengenai keutamaan
Imam Ali as. Ibn Abil Hadid dalam Syarah Nahjul Balaghah menjelaskan keutamaan,
kesempurnaan, dan keluasan ilmu Imam Ali bin Abi Thalib. Mengenai keluasan ilmu
Imam Ali, Abil Hadid berkata, "Ali bin Abi Thalib adalah sumber dan mata
air ilmu. Semua ilmu berujung kepadanya dan dia adalah penghulu ulama."
Salah
satu ilmunya yang paling mulia adalah ilmu kalam yang bersumber dari ucapan
Imam Ali. Mazhab Mu'tazilah mengembangkan pemikiran Washil bin Atha'. Dia
adalah murid Abu Hasyim, dan Abu Hasyim adalah murid Muhammad bin Hanafi yang
memperoleh ilmu dari ayahnya Ali bin Abi Thalib.
Dalam
ilmu fikih, Ali merupakan sumber ilmu dan mata air kebijaksanaan. Semua ahli
fikih adalah murid beliau secara langsung maupun tidak. Para sahabat Abu
Hanifah, seperti Yusuf, Muhammad, dan yang lainnya dalam fikih adalah murid Abu
Hanifah. Syafi'i juga belajar fikih dari Muhammad bin Hasan. Maka, fikih
Syafi'i, pada akhirnya, juga berujung kepada Abu Hanifah. Abu Hanifah dalam
fikih juga belajar dari Jakfar bin Muhammad yang berujung kepada Imam Ali bin
Abi Thalib.
Malik
bin Anas merupakan murid Rabiah ar-Ra'yu. Sedangkan Rabiah sendiri adalah murid
Akramah. Yang merupakan murid Abdullah bin Abbas, sementara Ibnu Abbas adalah
murid Ali bin Abi Thalib.
Ilmu
tafsir juga berujung kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Apabila kita membaca
kitab-kitab tafsir, kita akan melihat bahwa sebagian besar persoalan dikutip
dari beliau atau dari Ibnu Abbas yang merupakan murid beliau. Dikatakan kepada
ibnu Abbas, "Bagaimana perbandingan ilmumu dengan ilmu Ali." Dia
berkata, "Perbandingannya adalah ibarat setetes air hujan di hadapan
samudra."
Ilmu
tarekat, hakikat, dan irfan juga berujung kepada Ali bin Abi Thalib. Ulama
irfan di semua negeri Islam menisbatkan dirinya kepada Imam Ali, seperti Syibli,
Junaid, Abu Yazid Basthami, dan Abu Mahfudz yang dikenal dengan nama Karlhi.
Mereka menjelaskan sebuah persoalan dengan sanad yang menisbatkan dirinya
kepada Imam Ali bin Abi Thalib.
Ilmu
nahwu (tata bahasa) dan bahasa Arab juga dinisbatkan kepada Imam Ali bin Abi
Thalib. Imam Ali-lah yang mengajarkan kaidah-kaidah pokok dan universal ilmu
ini kepada Abul Aswad Ad-Duwali. Di antaranya, beliau mengatakan kepada Abul
Aswad mengenai kalam (kata) terbagi menjadi tiga: ism (kata benda), fi'il (kata
kerja), dan huruf (preposisi). Beliau juga mengatakan mengenai Ism makrifah
(definitive) atau nakirah (indefinitif). Selain itu, beliau mengatakan bahwa
i'rab ada empat macam: rafa', nashab, jar, dan jazam.
Salah
satu karakteristik terpenting Imam Ali as adalah komitmennya membentuk
masyarakat yang berkeadilan. Kekhususan sifat mulia Ali ini membuat banyak
orang terkagum-kagum. Bahkan ahli makrifat berharap terlahir lagi orang seperti
Ali ke dunia ini. Kami mengajak anda menyimak sifat mulia Ali dan komitmennya membentuk
pemerintahan yang adil.
Pandangan
Imam Ali terhadap pemerintahan sangat berbeda kontras dengan sikap para
politisi yang haus kekuasaan. Metode politik dan pemerintahan Imam Ali berpijak
pada prinsip-prinsip yang mendorong masyarakat yang mencapai kesempurnaan
secara material dan spiritual. Dalam pandangan Imam Ali, kezaliman dan
ketidakadilan menghalangi manusia mencapai kesempurnaan.
Mengenai
urgensi keadilan, Imam Ali as berkata, keadilan adalah salah satu prinsip yang
harus berdiri tegak di alam semesta. Beliau juga menuturkan, tidak ada yang
menyamai keadilan, karena prinsip itulah yang menyebabkan kota-kota menjadi
makmur. Menurut Imam Ali, keadilan bukan memperindah iman, tapi bagian dari
prinsip keimanan sendiri.
Imam
Ali memegang tampuk kekuasaan untuk mewujudkan keadilan di tengah masyarakat
dan memenuhi hak mereka. Di mata Imam Ali, kinerja terpenting pemerintahan
adalah menciptakan keadilan. Poros upaya hal tersebut adalah terpenuhinya hak
orang-orang yang terzalimi. Dalam pemerintahan Imam Ali, keadilan bukan hanya
slogan belaka, tapi sebuah program praktis yang membumi. Sebab, keadilan adalah
inti politik Imam Ali.
*Ayatullah Husein Ansariyan adalah seorang ulama dan pemikir
Islam kontemporer Iran yang masih hidup hingga kini. Ia merupakan salah
satu tokoh ulama populer Iran saat ini. Selain aktif mengisi kajian dan ceramah
Islam di berbagai media elektronik dan cetak Iran, beliau juga aktif melakukan
dakwah di luar Iran. Ia akrab dengan panggilan Ustadz Husein Ansariyan.
Ustadz Husein Ansariyan lahir di
kota Khunsari, Iran, 68 tahun silam. Khunsari adalah Sebuah kota yang sejak
berabad lalu banyak melahirkan sosok-sosok ilmuan Islam. Sosok terkemuka
seperti Almarhum Ayatullah Aqa Khunsari, Almarhum Ayatullah Jamal
Khunsari, Almarhum Ayatullah Sayyid Muhammad Taqi Khunsari dan Almarhum
Ayatullah Sayyid Ahmad Khunsari lahir di salah satu penjuru negeri Islam Iran
ini.
Ustadz Husein Ansariyan berasal dari
keluarga Haji Syaikh, sebuah keluarga ternama dari kota Khunsari yang banyak
mencetak ilmuan dan pakar Islam. Keluarga ini juga dikenal sebagai keluarga
yang banyak berjasa guna kepentingan Islam.
Berkenaan dengan salah satu tokoh
ilmuan Islam dari keluarga tersebut yang merupakan kakek dari ustadz husein
ansariyan, Imam Khomeini berkata, “Sebaik baik buku tentang shalat dalam fiqih
Syiah adalah buku yang ditulis oleh Ayatullah Syaikh Musa Ansariyan dan Ia juga
meninggalkan puluhan karya ilmiah dan buku.”
Ustadz Husein Ansariyan sangat
menyukai ilmu-ilmu keislaman sejak usia remaja. Di usia tersebut beliau aktif
di berbagai kajian keislaman dan mempunyai hubungan baik dengan banyak ulama
islam. Selepas jenjang pendidikan sekolah menengah atas, ia memutuskan untuk
melanjuti pendidikannya di Hauzah Ilmiah (pesantren) yang merupakan pusat pendidikan
ilmu Islam.
Ia mengawali pendidikan hauzahnya di
hauzah ilmiah Tehran. Di sana ia mengkaji ilmu-ilmu dasar hauzah seperti sastra
arab, ilmu sharf dan nahwu. Selepas mengkaji ilmu dasar hauzah, ia melanjutkan
pendidikannya di hauzah ilmiah Qom hingga sampai ke jenjang tingkat tinggi
fiqih dan ushul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar