Senin, 30 Maret 2015

Hidup di Dunia Quantum


Oleh Vlatko Vedral*

Mekanika quantum bukan cuma tentang partikel-partikel amat kecil. Ia berlaku pada benda segala ukuran: burung, tanaman, bahkan mungkin manusia.

Menurut buku-buku teks fisika standar, mekanika quantum adalah teori dunia mikroskopis. Ia menguraikan partikel, atom, dan molekul tapi memberi jalan kepada fisika klasik biasa mengenai skala makroskopis buah pear, manusia, dan planet. Di antara molekul dan buah pear terdapat batas di mana keanehan perilaku quantum berakhir dan kefamiliaran fisika klasik berawal. Kesan bahwa mekanika quantum terbatas pada dunia mikro telah merembesi pemahaman sains masyarakat. Contoh, fisikawan Universitas Columbia, Brian Greene, menulis di halaman pertama buku suksesnya (dan unggul), The Elegant Universe, bahwa mekanika quantum “menyediakan kerangka teoritis untuk memahami alam semesta pada skala terkecil.” Fisika klasik, yang meliputi segala teori non-quantum, termasuk teori relativitas Albert Einstein, mengurusi skala terbesar.

Tapi penyekatan dunia ini hanyalah mitos. Segelintir fisikawan modern berpikir bahwa fisika klasik memiliki status setara dengan mekanika quantum; ia tak lain adalah penaksiran berguna terhadap dunia yang quantum pada semua skala. Walaupun efek-efek quantum lebih sulit dijumpai di dunia-makro, penyebabnya tidak ada kaitan dengan ukuran melainkan dengan cara interaksi sistem-sistem quantum. Sampai dekade yang lalu, para pelaku eksperimen belum mengkonfirmasi bahwa perilaku quantum berlangsung pada skala makroskopis. Namun sekarang ini mereka biasa mengkonfirmasinya. Efek-efek ini lebih merembes daripada yang diduga siapapun. Mereka mungkin beroperasi dalam sel-sel tubuh kita.

Bahkan kami yang berkarir mempelajari efek-efek ini masih harus mencerna apa yang mereka sampaikan tentang cara kerja alam. Perilaku quantum mengelak dari visualisasi dan akal sehat. Ia memaksa kita meninjau ulang cara memandang alam semesta dan menerima gambaran dunia kita yang baru dan tak familiar.

Singkatnya, mekanika quantum lazimnya dikatakan sebagai teori benda-benda mikroskopis: molekul, atom, partikel sub-atom. Tapi hampir semua fisikawan berpikir teori ini berlaku pada segala sesuatu, tak peduli berapapun ukurannya. Alasan mengapa fitur-fitur khasnya cenderung tersembunyi bukanlah urusan skala belaka. Selama beberapa tahun terakhir para pelaku eksperimen telah menyaksikan efek-efek quantum pada sistem makroskopis yang kian bertambah banyak. Efek quantum quintesensial, yakni keterjeratan, dapat terjadi pada sistem besar dan juga hangat—termasuk organisme hidup—sekalipun goncangan molekul (molecular jiggling) mengacaukan keterjeratan.

Kisah Jeratan
Bagi fisikawan quantum, fisika klasik adalah citra hitam-putih dunia Technicolor. Kategori-kategori klasik kita gagal menangkap dunia tersebut dengan segala kekayaannya (richness). Dalam pandangan buku teks lama, corak kaya tercuci seiring peningkatan ukuran. Partikel-partikel individual adalah quantum; secara keseluruhan mereka klasik. Tapi petunjuk pertama bahwa ukuran bukanlah faktor penentu berasal dari eksperimen pikiran paling masyhur dalam fisika, kucing Schrödinger.

Erwin Schrödinger membuat skenario tak wajar ini pada 1935 untuk mengilustrasikan bagaimana dunia-mikro dan dunia-makro saling bergandengan, mencegah terbentuknya garis sembarang di antara mereka. Mekanika quantum menyatakan, sebuah atom radioaktif bisa busuk dan tidak busuk pada waktu yang sama. Jika atom tersebut terhubung dengan sebotol racun, sehingga kucing akan mati jika atom membusuk, maka sang binatang terlantar dalam status quantum yang sama sebagaimana atom. Keanehan satu menjangkiti yang lain. Ukuran tidak penting. Teka-tekinya adalah, kenapa para pemilik kucing hanya melihat peliharaan mereka hidup atau mati.

Paradoks Quantum (Mengamati Pengamat)
Ide bahwa mekanika quantum berlaku pada segala sesuatu di alam semesta, bahkan pada kita manusia, bisa berujung pada beberapa kesimpulan aneh. Pertimbangkan varian eksperimen pikiran kucing Schrödinger terkenal yang ditelurkan peraih Nobel Eugene P. Wigner pada 1961 dan dielaborasi oleh David Deutsch dari Universitas Oxford pada 1986.

Asumsikan seorang fisikawan eksperimen terampil, Alice, menempatkan temannya, Bob, di dalam sebuah ruangan bersama seekor kucing, sebuah atom radioaktif, dan racun kucing yang akan terlepas jika atom tersebut membusuk. Gunanya menempatkan manusia di situ adalah agar kita bisa berkomunikasi dengannya. (Mendapat jawaban dari kucing tidaklah semudah itu). Bagi Alice, atom memasuki status busuk dan tidak busuk, sehingga kucing mati sekaligus hidup. Namun, Bob dapat mengamati kucing secara langsung dan melihatnya hidup atau mati. Alice menyelipkan sehelai kertas ke bawah pintu, bertanya pada Bob apakah kucingnya berada dalam status definitif. Dia menjawab, “Ya.”

Camkan, Alice tidak bertanya apakah kucingnya mati atau hidup sebab baginya itu akan memaksa hasilnya atau, seperti kata para fisikawan, “mengkolapskan” status. Dia puas mengamati temannya melihat kucing itu hidup atau mati dan tidak bertanya [kondisi] mana persisnya. Karena Alice menghindar mengkolapskan status, teori quantum berpandangan bahwa penyelipan kertas ke bawah pintu merupakan aksi yang dapat dibalik (reversible act). Dia bisa membatalkan (undo) semua langkah yang diambilnya. Jika kucing itu mati, kini akan hidup, racun akan berada dalam botol, partikel belum membusuk, dan Bob tak punya ingatan pernah melihat kucing mati.

Tapi tersisa satu jejak: helai kertas tadi. Alice bisa membatalkan pengamatan sedemikian rupa tapi tidak lantas membatalkan tulisan di kertas. Kertas tersebut tetap menjadi bukti bahwa Bob telah mengamati kucing sebagai [objek] yang hidup definitif atau mati definitif.

Ini membawa kita pada kesimpulan mengherankan. Alice sanggup membalik pengamatan karena, baginya, dia menghindar mengkolapskan status; baginya, status Bob sama tidak tentunya dengan kucing. Tapi teman di dalam ruangan menganggap status tersebut memang kolaps. Orang ini memang melihat hasil definitif; kertas itu buktinya. Dengan demikian, eksperimen ini mendemonstrasikan dua prinsip yang tampaknya kontradiktif. Alice berpikir mekanika quantum berlaku pada objek-objek makroskopis: bukan hanya kucing, Bob juga berada dalam status terlantar quantum. Bob berpikir bahwa kucing-kucing hanya bisa mati atau hidup [tidak mati sekaligus hidup].

Mengerjakan eksperimen semacam ini terhadap seluruh manusia akan menimbulkan keputusasaan, tapi fisikawan dapat melaksanakan hal yang sama dengan sistem-sistem sederhana. Anton Zeilinger dan koleganya di Universitas Wina mengambil sebuah photon dan melambungkannya pada cermin besar. Jika photon terpantul, maka cermin terpental, tapi jika photon menembus, maka cermin tetap di tempatnya. Photon memainkan peran atom membusuk; ia bisa eksis secara serentak dalam lebih dari satu status. Cermin, tersusun dari miliaran atom, beraksi sebagai kucing dan Bob. Entah terpental atau tidak, ini analogis dengan [status] kucing yang hidup atau mati dan oleh Bob terlihat hidup atau mati. Proses ini dapat dibalik dengan memantulkan photon kembali ke cermin. Pada skala lebih kecil, tim-tim yang dipimpin Rainer Blatt dari Universitas Innsbruck dan David J. Wineland dari National Institute of Standards and Technology di Boulder, Colorado, telah membalik pengukuran ion-ion bervibrasi dalam perangkap ion.

Dalam mengembangkan eksperimen pikiran berliku-liku ini, Wigner dan Deutsch mengikuti jejak Erwin Schrödinger, Albert Einstein, dan teoris-teoris lain yang berargumen bahwa fisikawan masih harus memahami mekanika quantum secara dalam. Selama berdekade-dekade, kebanyakan fisikawan nyaris tidak peduli, sebab isu-isu mendasar tidak berefek terhadap penerapan praktis teori. Tapi kini setelah kita mampu melakukan eksperimen-eksperimen ini secara serius, tugas memahami mekanika quantum menjadi kian urgen.

Dalam sudut pandang modern, dunia tampak klasik karena interaksi kompleks sebuah objek dengan sekitarnya bersekongkol untuk menyembunyikan efek-efek quantum dari penglihatan kita. Informasi tentang status kesehatan kucing, misalnya, bocor dengan pesat ke lingkungannya dalam bentuk photon dan pertukaran panas/kalor. Fenomena quantum khas melibatkan kombinasi status klasik berlainan (seperti status mati dan hidup), dan kombinasi ini cenderung berdisipasi. Kebocoran informasi merupakan esensi sebuah proses yang dikenal sebagai dekoherensi [lihat “100 Tahun Misteri Quantum”, tulisan Max Tegmark dan John Archibald Wheeler, Scientific American, Februari 2001].

Benda-benda yang lebih besar cenderung lebih rentan terhadap dekoherensi dibanding benda-benda kecil. Ini menjadi alasan kenapa fisikawan biasanya dapat mengelak dari mengakui mekanika quantum sebagai teori dunia-mikro. Tapi dalam banyak kasus, kebocoran informasi dapat dilambatkan atau dihentikan, dan kemudian dunia quantum menampakkan diri kepada kita dengan segala keagungannya. Efek quantum quintesensial adalah keterjeratan, sebuah istilah yang diciptakan Schrödinger dalam makalah tahun 1935 yang sama yang memperkenalkan kucingnya kepada dunia. Keterjeratan mengikat partikel-partikel individual ke dalam kesatuan tak terbagi-bagi. Sistem klasik selalu dapat dibagi-bagi, setidaknya secara prinsip; apapun atribut kolektifnya, itu timbul dari komponen-komponen yang memiliki atribut tertentu. Tapi sistem terjerat tidak dapat dibongkar dengan cara ini. Keterjeratan mempunyai konsekuensi aneh. Sekalipun partikel-partikel terjerat terpisah jauh, mereka masih berperilaku sebagai entitas tunggal, membuat Einstein memberi julukan terkenal “tindakan menyeramkan di kejauhan”.

Biasanya fisikawan membicarakan keterjeratan pasangan-pasangan partikel unsur semisal elektron. Partikel semacam ini boleh dibayangkan, secara kasar, sebagai gasing mini yang berotasi searah atau berlawanan jarum jam, sumbu mereka menunjuk ke arah tertentu: horizontal, vertikal, 45 derajat, dan seterusnya. Untuk mengukur pusingan sebuah partikel, Anda harus memilih suatu arah lalu melihat apakah partikel berpusing ke arah tersebut.

Asumsikan, sebagai argumentasi, elektron-elektron berperilaku secara klasik. Anda dapat menyetel satu elektron agar berpusing horizontal searah jarum jam dan elektron lain berpusing horizontal berlawanan jarum jam; dengan begitu pusingan total mereka adalah nol. Sumbu mereka tetap terpaku di ruang, dan ketika Anda melakukan pengukuran, hasilnya tergantung pada apakah arah yang Anda pilih sejajar dengan sumbu partikel. Jika Anda mengukur dua-duanya secara horizontal, Anda melihat keduanya berpusing ke arah berlawanan; jika mengukur mereka secara vertikal, Anda tak mendeteksi pusingan sama sekali.

Namun, untuk elektron quantum, situasinya sangat berbeda. Anda dapat menyetel partikel-partikel ini agar memiliki pusingan total nol sekalipun Anda belum menentukan bagaimana pusingan mereka masing-masing. Ketika mengukur salah satu partikel, Anda akan melihatnya berpusing searah jarum jam atau berlawanan jarum jam, secara sembarang. Seolah-olah partikel menentukan sendiri ke arah mana berpusingnya. Meski demikian, tak peduli arah mana yang Anda pilih untuk mengukur elektron-elektron ini, asalkan sama untuk keduanya, mereka akan selalu berpusing ke arah berlawanan, satu searah jarum jam dan satu sebaliknya. Bagaimana mereka bisa tahu dan berbuat demikian? Ini masih menjadi misteri. Lebih jauh, jika Anda mengukur satu partikel secara horizontal dan partikel lain secara vertikal, Anda tetap akan mendeteksi pusingan untuk masing-masing; rupanya partikel-partikel ini tak memiliki sumbu rotasi pasti. Oleh karena itu, hasil pengukuran tidak dapat dijelaskan oleh fisika klasik.

Beraksi Sebagai Kesatuan
Sebagian besar demonstrasi keterjeratan paling banter melibatkan segenggam partikel. Semakin besar, semakin sulit untuk diisolasi dari lingkungan mereka. Partikel-partikel di dalam mereka semakin mungkin untuk terjerat dengan partikel-partikel nyasar, mengaburkan interkoneksi awal. Menurut bahasa dekoherensi, terlalu banyak informasi yang bocor ke lingkungan, mengakibatkan sistem berperilaku klasik. Kesulitan dalam mempertahankan keterjeratan adalah tantangan utama bagi kita yang berupaya mengeksploitasi efek-efek baru ini untuk kegunaan praktis, misalnya komputer quantum.

Sebuah eksperimen apik di tahun 2003 membuktikan sistem-sistem besar juga dapat tetap terjerat bilamana kebocorannya dikurangi atau ditiadakan. Gabriel Aeppli dan koleganya dari University College London menempatkan sepotong garam lithium flouride di sebuah medan magnet eksternal. Anda dapat membayangkan atom-atom dalam garam sebagai magnet mini berpusing yang mencoba menyejajarkan diri dengan medan eksternal, sebuah respon yang dikenal sebagai kerentanan magnetik (magnetic susceptibilty). Gaya yang dikerahkan atom-atom terhadap satu sama lain beraksi sebagai sejenis tekanan sebaya untuk membariskan mereka lebih cepat. Seraya mengubah-ubah kekuatan medan magnet, para periset mengukur seberapa cepat atom-atom menjadi sejajar. Mereka menemukan, atom-atom merespon jauh lebih cepat daripada yang diindikasikan oleh kekuatan interaksi timbal-balik mereka. Jelas suatu efek tambahan membantu atom-atom beraksi serempak, dan para periset berargumen keterjeratanlah pelakunya. Jika demikian, 1020 atom garam membentuk status amat terjerat (lihat gambar di bawah]. 


Untuk menghindari efek-efek gerak sembarang memalukan yang terkait dengan energi kalor, tim Aeppli melakukan eksperimen pada temperatur sangat rendah—beberapa mili-kelvin. Namun, sejak saat itu Alexandre Martins de Souza dan koleganya dari Brazilian Center for Physics Research di Rio de Janeiro telah menemukan keterjeratan makroskopis dalam material seperti karboksilat tembaga pada suhu ruangan dan lebih tinggi. Pada sistem-sistem ini, interaksi di antara pusingan-pusingan partikel cukup kuat untuk menahan balau termal (thermal chaos). Dalam kasus-kasus lain, sebuah gaya eksternal menangkis efek-efek termal [lihat “Easy Go, Easy Come”, tulisan George Musser, News Scan, Scientific American, November 2009]. Fisikawan telah menyaksikan keterjeratan pada sistem-sistem yang ukuran dan suhunya kian naik, mulai dari ion-ion yang diperangkap oleh medan elektromagnetik, atom-atom ultra-dingin pada kekisi, sampai bit-bit quantum superkonduktif [lihat tabel di bawah].


Sistem-sistem ini analogis dengan kucing Schrödinger. Pikirkan sebuah atom atau ion. Elektron-elektronnya dapat eksis dekat nukleus atau lebih jauh—atau dua-duanya pada waktu yang sama. Elektron semacam ini beraksi seperti atom radioaktif yang telah membusuk atau belum membusuk dalam eksperimen pikiran Schrödinger. Terlepas dari apa yang dikerjakan elektron tersebut, atom secara keseluruhan boleh jadi sedang bergerak, katakanlah, ke kiri atau ke kanan. Gerak ini memainkan peran kucing mati atau hidup. Menggunakan laser untuk memanipulasi atom, fisikawan dapat menggandengkan kedua atribut. Jika elektron dekat dengan nukleus, kita dapat membuat atom bergerak ke kiri, sedangkan jika elektron lebih jauh, kita gerakkan atom ke kanan. Jadi status elektron terjerat dengan gerakan atom, sebagaimana pembusukan radioaktif terjerat dengan status kucing. Kucing yang hidup sekaligus mati ditiru oleh atom yang bergerak ke kiri sekaligus ke kanan.

Eksperimen-eksperimen lain memperluas ide dasar ini, agar banyak atom menjadi terjerat dan memasuki status-status yang dianggap mustahil oleh fisika klasik. Dan jika benda-benda padat dapat terjerat sekalipun mereka besar dan hangat, cuma butuh lompatan imajinasi kecil untuk bertanya apakah hal yang sama berlaku untuk sistem besar dan hangat yang istimewa: kehidupan.

Burung Schrödinger
Robin Eropa adalah burung kecil yang cerdik. Setiap tahun mereka bermigrasi dari Skandinavia menuju dataran khatulistiwa Afrika yang hangat kemudian pulang di musim semi, ketika cuaca di utara lebih dapat ditolerir. Robin-robin mengarungi perjalanan pulang-pergi sejauh 13.000 kilometer ini dengan mudah dan alami.



Manusia sudah lama bertanya-tanya apakah burung dan binatang lain memiliki suatu kompas terintegrasi. Pada 1970-an, suami-isteri Wolfgang dan Roswitha Wiltschko dari Universitas Frankfurt di Jerman menangkap burung-burung robin yang sedang bermigrasi ke Afrika dan menempatkan mereka di medan magnet buatan. Anehnya, ternyata robin-robin tersebut tak menyadari pembalikan arah medan magnet, mengindikasikan bahwa mereka tak dapat membedakan utara dan selatan. Namun, burung-burung ini merespon inklinasi medan magnet bumi—yakni, sudut antara garis-garis medan dan permukaan. Cuma itu yang mereka butuhkan untuk berlayar. Yang menarik, robin-robin yang matanya ditutupi kain tidak merespon medan magnet sama sekali, mengindikasikan mereka mengindera medan dengan mata.

Pada tahun 2000, Thorsten Ritz, kala itu fisikawan di Universitas Southern Florida yang tertarik pada burung-burung migrasi, bersama koleganya mengemukakan bahwa keterjeratan adalah kuncinya. Dalam skenario mereka, yang memperluas penelitian terdahulu Klaus Schulten dari Universitas Illinois, mata burung mempunyai tipe molekul di mana dua elektron membentuk pasangan terjerat dengan pusingan total nol. Situasi semacam ini tak dapat ditiru dengan fisika klasik. Ketika molekul ini menyerap cahaya tampak (visible light), elektron-elektron mendapat cukup energi untuk berpisah dan menjadi rentan terhadap pengaruh eksternal, termasuk medan magnet bumi. Jika medan magnet berinklinasi, itu mempengaruhi dua elektron secara berbeda, menciptakan ketidakseimbangan yang mengubah reaksi kimiawi yang dialami molekul. Jalur kimiawi di mata menerjemahkan perbedaan ini ke dalam impuls syaraf, akhirnya menciptakan citra medan magnet di otak burung.

Walaupun bukti pendukung mekanisme Ritz adalah bukti tidak langsung, Christopher T. Rogers dan Kiminori Maeda dari Universitas Oxford telah mempelajari molekul-molekul yang serupa dengan milik Ritz di laboratorium (bukan di dalam binatang hidup) dan memperlihatkan bahwa molekul-molekul ini memang sensitif terhadap medan magnet akibat keterjeratan elektron. Menurut kalkulasi yang saya dan kolega lakukan, efek-efek quantum berlangsung di mata burung selama sekitar 100 mikrodetik—yang, dalam konteks ini, sangat lama. Rekor untuk sistem pusingan elektron yang direkayasa secara artifisial adalah sekitar 50 mikrodetik. Kami belum tahu bagaimana sistem alam dapat mempertahankan efek quantum begitu lama, tapi jawabannya bisa memberi kita ide bagaimana cara melindungi komputer quantum dari dekoherensi.

Satu proses biologis lain di mana keterjeratan beroperasi adalah fotosintesis, proses tanaman mengkonversi sinar matahari menjadi energi kimia. Cahaya masuk (incident light) mengeluarkan elektron yang berada di dalam sel-sel tanaman, dan elektron-elektron ini perlu menemukan jalan menuju tempat yang sama: pusat reaksi kimia di mana mereka dapat menyimpan energi dan memicu reaksi yang mentenagai sel-sel tanaman. Fisika klasik gagal menjelaskan efisiensi nyaris sempurna ini.

Eksperimen oleh beberapa kelompok, seperti Graham R. Fleming, Mohan Sarovar dan kolega mereka di Universitas California, Berkeley, dan Gregory D. Scholes dari Universitas Toronto, menyiratkan bahwa mekanika quantum-lah yang bertanggungjawab atas efisiensi tinggi proses tersebut. Di dunia quantum, sebuah partikel tidak harus menempuh satu jalur pada satu waktu; ia dapat menempuh semuanya sekaligus. Medan-medan elektromagnetik dalam sel tanaman bisa membuat sebagian jalur ini saling menghapuskan dan sebagian lainnya saling menguatkan, dengan begitu mengurangi peluang elektron mengambil jalan memutar yang boros dan meningkatkan peluang ia dikemudikan lurus ke pusat reaksi.

Keterjeratan hanya berlangsung sepecahan detik dan melibatkan molekul-molekul yang memiliki tak lebih dari 100.000 atom. Apakah contoh-contoh keterjeratan yang lebih besar dan lebih lama eksis di alam? Kita belum tahu, tapi pertanyaan ini cukup menggairahkan untuk merangsang disiplin ilmu yang sedang muncul: biologi quantum.

Makna Semua Ini
Bagi Schrödinger, prospek kucing yang hidup sekaligus mati adalah keabsurdan; teori apapun yang membuat prediksi semacam itu pasti bercacat. Bergenerasi-generasi fisikawan sama-sama memikul kegelisahan ini dan menganggap mekanika quantum akan berhenti berlaku pada skala lebih besar lagi. Pada 1980-an, Roger Penrose dari Oxford menyatakan gravitasi mungkin dapat membuat mekanika quantum mengalah pada fisika klasik untuk objek-objek yang lebih besar dari 20 mikrogram, dan trio fisikawan Italia—Gian Carlo Ghirardi dan Thomas Weber dari Universitas Trieste dan Alberto Rimini dari Universitas Pavia—mengemukakan partikel-partikel dalam jumlah besar secara spontan berperilaku klasik. Tapi eksperimen-eksperimen kini menyisakan ruang sedikit sekali untuk beroperasinya proses demikian. Pembagian antara dunia quantum dan dunia klasik rasanya tidak fundamental. Ini cuma soal kecerdikan eksperimen, dan segelintir fisikawan kini berpikir fisika klasik bagaimanapun akan bangkit kembali. Meskipun terdapat perbedaan, keyakinan umumnya adalah, jika sebuah teori yang lebih dalam menggantikan fisika quantum, itu akan menunjukkan bahwa dunia lebih kontraintuitif lagi daripada yang kita pahami sejauh ini.

Jadi, fakta bahwa mekanika quantum berlaku pada semua skala memaksa kita menghadapi misteri-misteri terdalamnya. Kita tidak boleh mencoretnya sebagai rincian belaka yang hanya berarti pada skala terkecil. Contoh, ruang dan waktu adalah dua dari konsep-konsep klasik paling fundamental, tapi menurut mekanika quantum mereka adalah sekunder. Keterjeratanlah yang primer. Keterjeratan menginterkoneksi sistem-sistem quantum tanpa menyinggung ruang dan waktu. Jika ada garis pemisah antara dunia quantum dan dunia klasik, kita dapat menggunakan ruang dan waktu dunia klasik guna menyediakan kerangka untuk melukiskan proses-proses quantum. Tapi tanpa garis pemisah semacam itu—dan bahkan tanpa dunia klasik—kita kehilangan kerangka ini. Kita harus menjelaskan ruang dan waktu muncul dari fisika tanpa ruang dan tanpa waktu.

Pemahaman ini, pada gilirannya, akan membantu kita merukunkan fisika quantum dengan pilar besar fisika lainnya, teori relativitas umum Einstein, yang menggambarkan gaya gravitasi dari segi geometri ruang-waktu. Relativitas umum berasumsi bahwa objek-objek memiliki posisi pasti dan tak pernah berada di lebih dari satu tempat pada waktu yang sama—kontradiktif dengan fisika quantum. Banyak fisikawan, seperti Stephen Hawking dari Universitas Cambridge, berpikir bahwa teori relativitas harus mengalah pada teori yang lebih dalam di mana ruang dan waktu tidak eksis. Ruang-waktu klasik muncul dari keterjeratan quantum melalui proses dekoherensi.

Satu kemungkinan yang lebih menarik lagi adalah bahwa gravitasi sendiri bukan gaya melainkan derau (noise) sisa yang timbul dari kekaburan quantum gaya-gaya lain di alam semesta. Ide “gravitasi terangsang” (induced gravity) ini berasal dari fisikawan nuklir dan pembangkang Soviet, Andrei Sakharov, pada tahun 1960-an. Jika benar, ini tak hanya akan menurunkan gravitasi dari status gaya fundamental tapi juga mengindikasikan upaya-upaya “quantisasi” gravitasi telah salah jalan. Bahkan gravitasi mungkin tidak eksis di level quantum.

Implikasi status terlantar quantum objek-objek makroskopis seperti kita memang cukup mengagetkan, sampai-sampai fisikawan masih terjerat dalam status bingung dan kagum.

*Vlatko Vedral menjadi terkenal setelah mengembangkan cara baru dalam mengquantisasi keterjeratan dan menerapkannya pada sistem-sistem fisikal makroskopis. Dia menempuh studi prasarjana dan sarjana di Imperial College London. Sejak Juni 2009, dia terjerat status gurubesar di Universitas Oxford dan National University Singapura. Selain fisika, Vedral menghabiskan waktu bersama ketiga anaknya dan bermain gitar listrik Yamaha dengan amplifier Marshall yang dikeraskan sampai angka 11 (Sumber: Scientific American, Juni 2011, hal 38-43).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar