Jumat, 06 Maret 2015

Diskusi dengan Dr Idris Samawi Seputar Syi’ah dan Krisis Spiritual Barat




Diterjemahkan oleh Nasir Dimyati (Dewan Penerjemah Situs Sadeqin)

Doktor Idris Samawi, cendekiawan Amerika yang kemudian memeluk Mazhab Syi’ah, dosen filsafat di Universitas Colorado Amerika, direktor jurnal internasional kajian Syi’ah [1] tentang konsep dan pemikiran Syi’ah di Barat serta daya tarik ideologi ini di tengah masyarakat Amerika. Tulisan ini adalah hasil wawancara majalah Syi'eh-Syenosi dengannya dalam rangka memperkenalkan para pembaca yang terhormat kepada kondisi komunitas Syi’ah dan metode pemaparan ajaran Syi’ah oleh mereka di dunia Barat.

Sebelum memasuki pembahasan, tolong perkenalkan Diri anda secara ringkas

Doktor Samawi: Saya lahir di Washington DC., ayah saya Muzafarudin, seorang pejuang yang merupakan salah satu murid Sayid Qutub –ulama Mesir yang mati syahid- dan A’lam Dauri –ulama Pakistan-. Dia punya yayasan di Amerika dan berusaha menciptakan kondisi yang pantas untuk sebuah masyarakat Islam. Pandangan dia cerah sekali. Itulah sebabnya banyak hal-hal tentang Syi’ah yang saya pelajari pada waktu kecil adalah dari kitab-kitab dia. Saya pernah hidup di Pakistan, Saudi Arabia, dan juga di berbagai penjuru dunia yang lain. Saya menempuh jenjang pendidikan S1 dan S2 di jurusan fisika, tapi kemudian saya menyelesaikan jenjang doktoral di bidang filsafat dengan spesialisi Syekh Ahmad Sa’i. Adapun sekarang, saya juga bertanggungjawab sebagai direktor jurnal internasional kajian Syi’ah. Ini adalah jurnal ilmiah pertama di kancah universitas yang secara khusus membidangi pemikiran Syi’ah.

Bagaimana anda menjelaskan ke-Syi’ahan Anda sendiri?

Doktor Samawi: Keyakinan pribadi saya berasaskan kepada kajian hikmah Ahlibait as. yang menjelaskan bahwa ke-Syi’ahan adalah prihal fitriah dan telah ditentukan di alam Zat serta menjelma di dalam kehidupan. Kesyi’ahan saya adalah sebuah proses gradual di dalam kehidupan. Waktu kecil, saya belajar tentang sahabat nabi, dan Amirul Mukminin Ali as. senantiasa menjadi sahabat nabi favorit saya. Ketika menginjak dewasa, beliau lebih menarik bagi saya, dan pada akhirnya ketika saya membaca Sahifah Sajjadiyah, saya berkata di dalam diri sendiri bahwa seandainya pengarang buku ini mengatakan dirinya adalah Hujjah Allah, maka tidak mungkin dia berbohong. Semua itu proses yang terjadi secara bertahap. Tapi jika Anda ingin mencari sebuah kejadian tertentu, saya katakan bahwa kejadian istimewa itu adalah telaah buku Sahifah Sajjadiyah. Namun demikian, dari sejak itu sampai sekarang saya senantiasa dalam kondisi perubahan; karena, setelah itu, saya membaca ziarah Jami’ah Kabirah dan banyak sekali aktivitas yang saya lakukan dalam rangka mengkaji keterangan ziarah ini. Oleh karena itu, pada kenyataannya, kajian tentang walayah Ahlibait as. memiliki banyak jenjang dan tingkatan serta merupakan proses perkembangan.

Tolong ceritakan pengalaman Anda tentang pemikiran Syi’ah di Barat

Doktor Samawi: Mungkin saja sebagian dari kalian pernah hidup di Barat dan sebagian yang lain tidak, namun apa yang ingin saya sampaikan di sini adalah di sana ada kehausan spiritual yang luar biasa mencekik. Berkenaan dengan pemikiran Syi’ah di Barat, pertama-tama saya harus menyampaikan sebuah pengantar.

Pengalaman terakhir saya bermula dengan pengalaman almarhum ayah pejuang saya, Yusuf Muzafarudin yang merupakan murid keluaga Sayid Qutub. Dia menghabiskan umurnya di jalan tablig dalam organisasi-organisasi Islam, sehingga jerih payah dia dan juga orang-orang yang bersamanya telah menyebabkan ratusan orang masuk agama Islam. Oleh karena itu, saya besar di lingkungan tablig yang revolusioner; yaitu lingkungan yang dibangun secara baik oleh ayah saya di bawah pengaruh pemikiran Imam Khomeini. Setelah menyelesaikan jenjang pendidikan umum, saya masuk universitas. Jurusan asli saya fisika, tapi pada saat yang sama saya juga menggeluti kajian-kajian Islam dan penelitian tentang dimensi-dimensi revolusi Islam. Mengingat Anda menginginkan saya untuk menceritakan sebuah pengalaman, saya ingin katakan bahwa saya hidup di lingkungan ilmiah akademi sekaligus di lingkungan islami-revolusioner. Berdasarkan kajian-kajian yang pernah saya lakukan dan pengalaman yang saya alami, saya sampai kepada kesimpulan-kesimpulan tertentu tentang apa saja yang urgen agar kita bisa memainkan peran yang seyogianya dalam misi tablig dan penyebaran ideologi Syi’ah secara kuat dan efektif.

Di dalam sistem pendidikan tradisional hauzah, kita harus membedakan antara dua hal; kulit dan isi. Berkenaan dengan isi dan substansi, sama sekali tidak perlu dikhawatirkan. Tapi dalam hal kulit dan bentuk, menurut saya kita memerlukan sebuah pendekatan revolusioner yang mampu memaparkan isi dan substansi Islam di Barat. Menurut saya, beda hal antara kosmologi dan praktik dari satu sisi, dan tarikat dari sisi yang lain. Waktu di Barat kita berbicara tentang agama, berarti kita sedang berbicara tentang akidah, spiritualitas, sistem dan lembaga; tapi di Barat, definisi mazhab atau agama terbatas sekali; terbatas dari sisi bahwa Kristen dan Yahudi dinilai sebagai mazhab, sedangkan Kapitalisme tidak dinilai demikian.

Apa yang saya simpulkan sekarang adalah, ulama muslim dari berbagai negara memaparkan agama Islam di Barat sebagaimana mereka memaparkan agama Kristen dan Yahudi. Agama tradisional di Barat sedang dalam kondisi musnah dan sirna. Boleh jadi skala lokal agama itu berkembang dan meluas, akan tetapi dalam skala internasional agama-agama itu sedang musnah. Saya ingin juga mengungkapkan masalah ini dengan bahasa yang berbeda; mengingat bahwa agama Kristen dan Yahudi sedang hancur bersama pandangan tradisionalnya, maka agama Islam juga apabila ingin dipaparkan dengan pola pandang dan cara yang sama maka sama-sama tidak akan menemukan ruang di sana. Satu contoh, di dalam lingkungan universitas, khususnya di tengah para mahasiswa yang hampir setiap hari saya bergaul dengan mereka, mayoritas mazhab atau agama tradisional itu hangus dan kadaluarsa. Tapi, kita juga tahu persis bahwa banyak sekali intelektual-intelektual muda dan kampus yang tertarik pada aliran-aliran seperti Budhisme dan aliran-aliran sufi lainnya yang terpisah dari mazhab dan agama tradisional.

Sebagaimana saya katakan tadi, mazhab atau agama tradisional adalah himpunan akidah, spiritualitas, sistem dan lembaga. Jika kita kembali ke masa lalu, maka persoalan ini jadi lebih jelas; contohnya, di dalam agama Islam banyak sekali penekanan terhadap “proses berpikir” bahkan di bidang akidah, sedangkan di dalam agama Kristen, mereka mengajukan akidahnya kepada Anda dan mengatakan bahwa mau tidak mau Anda harus meyakininya. Apakah muslimin juga melakukan hal yang sama? Mengajukan setumpuk akidah kepada Anda lalu berkata, jika kamu ingin menjadi muslim maka kamu harus meyakini akidah itu?! Poin penting yang harus kita perhatikan dan pandang di sini dengan pola yang berbeda adalah tentang pemikiran dan apa makna itikad? Masalah ini akan membuka pintu baru dalam memaparkan agama Islam dengan cara yang baru pula, bukan dengan cara yang tradisional. Itulah sebabnya agama Islam kita memaparkan akidah yang pintunya terbuka bagi semua orang dan tidak khusus untuk kalangan tertentu.

Pola baru yang menjadi fokus perhatian saya adalah, kita harus melihat kembali apa yang dimiliki oleh Syi’ah dan apa yang semestinya dipaparkan? Kita punya paparan yang tidak dimiliki oleh mazhab-mazhab yang lain, yaitu walayah, bukan wilayah. Beda antara wilayah dan walayah. Dalam rangka menyodorkan agama Islam kepada mahasiswa-mahasiswa di Barat, saya memulainya dengan konsep Walayah. Walayah adalah salah satu konsep yang bahkan kita, orang-orang Syi’ah sendiri tidak begitu memperhatikannya. Ketika pembahasan tentang Walayah, kita membayangkan bahwa itu pembahasan tentang walayah Ahlibait Nabi as.

Kami ingin dengar penjelasan Anda tentang konsep Walayah itu sendiri, walayah Ahlibait as., dan walayah mutlak.

Doktor Samawi: Pertama-tama harus saya katakan bahwa walayah Ahlibait as. tidak berarti apa-apa tanpa walayah Tuhan. Dalam sebuah hadis disebutkan Islam berdiri di atas lima dasar, salah satunya adalah walayah. [2] Apakah walayah? Ketika Imam Ja’far Shadiq as. mengutarakan walayah di dalam hadis ini, beliau menyebut walayah sebagai dasar yang meliputi seluruh dimensi Islam. Di antara segala dua hal di alam keberadaan ini terdapat hubungan walayah. Satu contoh, bumi punya hubungan walayah dengan matahari, begitu pula sebaliknya. Ketika kita berbicara tentang walayah mutlak, berarti kita sedang membicarakan walayah Allah swt. Ketika kita berbicara tentang walayah Haq –atau Pencipta- terhadap makhluk, maksudnya adalah walayah ketuhanan, dan ketika kita berbicara tentang walayah makhluk terhadap Haq –atau Pencipta-, maksudnya adalah walayah kehambaan.

Perhatikan baik-baik, waktu membahas persoalan ini kita sama sekali tidak berbicara tentang akidah. Ketika para mahasiswa memperhatikan pembahasan ini, saya melihat cahaya memancar di wajah mereka; ada sesuatu yang menjadi jelas bagi mereka. Oleh karena itu, sebetulnya mereka sedang mencari konsep-konsep ini. Kalau pun mereka mengejar Budhisme dan Hinduisme serta lain sebagainya, tidak lain karena alasan itu, padahal dari sisi ini, agama Islam jauh lebih kuat dan mendalam dibanding semua agama dan mazhab yang lain. Sungguh indah sekali saat saya menyaksikan para mahasiswa mendiskusikan masalah ini. Saya tidak pernah mengatakan kepada mereka bahwa kalian harus mempercayai ini dan itu, melainkan yang penting adalah mengutarakan persoalan dari sudut pandangan dunia, dan dalam hal ini pembahasan tentang pemikiran dan perenungan yang mengemuka.

Dengan demikian, jika Anda mengajukan proses Irfan –dan bukan rangkaian akidah-, niscaya Anda akan mendapatkan sambutan yang lebih besar. Adapun jika Anda mengajukan pembahasan tentang akidah, maka mahasiswa-mahasiswa akan mengatakan, “Apa bedanya seseorang mempercayai Nabi Isa atau rangkaian keyakinan agama Kristen, sedangkan yang lain mempercayai Nabi Muhammad saw." Rangkaian akidah ini tidak menarik dan juga tidak ada bedanya di mata mereka. Tapi ketika pembahasan mulai menemukan dimensi spiritualnya, itu menarik sekali bagi mereka. Jika dengan ini kita memulai persoalan, maka kita akan bisa merasuk ke dalam hati mereka dan memberikan daya tarik yang kuat kepada Islam dan Syi’ah. Jilid pertama Ushûl Al-Kâfî juga dimulai dengan masalah ini; bukan dengan pembahasan akidah. Prihal kita memulai dengan masalah pemikiran dan penggunaan akal, akan mengantarkan kita sampai kepada tujuan. Atas dasar itu, menurut saya, pemaparan Islam tradisional perlu diseimbangkan kembali.

Titik perbedaan lain antara Islam dan agama belum pernah diutarakan. Oleh karena itu, ketimbang kita memaparkan akidah Islam, lebih baik kita memparkan Islam dengan pola yang saya jelaskan tadi, karena selain lebih menarik, pola itu juga membuat orang tergerak sendiri untuk mencari pemikiran dan akidah Islam. Dengan pola pandang ini, Islam lebih dari sekedar agama tradisional, dan dengan demikian Islam mengemukakan dirinya sebagai agama yang hidup.

Sepertinya Anda cenderung pada agama berporos pengalaman daripada agama berporos akidah. Akan tetapi, ada banyak bahaya di dalam kecenderungan Anda ini; di antaranya adalah, bagaimana pun juga setiap gerakan dan kebangkitan agamis, begitu pula setiap agama eksperimental juga membutuhkan dasar-dasar akidah, dan selama dasar-dasar itu tidak ada maka gerakan juga tidak bisa dimulai, dan pada tahap apa pun Anda ingin memaparkan dasar-dasar dan prinsip akidah tersebut maka problem yang sama akan tetap muncul, apa saran Anda untuk menyelesaikan masalah ini?

Doktor Samawi: Ada satu hadis dari Imam Ja’far Shadiq as. yang mengatakan bahwa kita memandang masyarakat dengan berbagai tingkatan mereka. Ada perhatian besar dari sisi beliau kepada potensi masing-masing orang, sehingga atas dasar itu orang tersebut disikapi. Ketika ada seorang dokter dari India menghampiri beliau untuk berdiskusi, beliau mengatakan apa-apa yang dibutuhkan oleh dokter India itu, dan tidak berkata lebih dari itu untuknya. [4] Itulah kenapa ketika beliau menghadapi murid-murid, sama sekali tidak menjadi soal apakah si fulan cenderung pada kelompok ini atau itu, melainkan beliau menyampaikan maksudnya kepada siapa saja sesuai dengan kemampuan dan potensi orang tersebut. Itulah pula sebabnya beliau berhasil membina berbagai pelajar dari berbagai aliran, dan beliau senantiasa diterima dengan baik oleh kalangan Ahlisunnah, Syi’ah, bahkan oleh orang-orang non-muslim seperti Kristen.

Dengan mengingat pola pandang dan tablig yang Anda terangkan, maka akan muncul problem hiruk pikuk spiritual-akidah. Di dunia sekarang, lahir macam-macam kebangkitan yang mengatasnamakan dirinya dengan kebangkitan baru agama, dan pada tiap-tiap kebangkitan itu terdapat semacam spiritualitas buatan yang sama sekali tidak masuk dalam kerangka agama apa pun. Bahkan, problem semacam ini juga muncul pada zaman Imam Ja’far Shadiq as., figur-figur seperti Mughirah bin Sa’id dan Abu Khattab mengeluarkan kata-kata yang berlebihan dan tak berhubungan. Apa yang mesti kita lakukan terhadap problem semacam ini?

Sebelumnya saya harus ingatkan bahwa menurut pandangan Al-Qur’an, kita bukan wakil atau washi bagi masyarakat, tugas kita hanyalah menerangkan sesuatu. Kita tidak bisa menaklukkan mereka dan mengambil alih kendali mereka. Siapa saja terserah bagaimana dia menyikapi keterangan ini dan terserah mau ke mana dia pergi, semua itu bukan tanggungjawab kita. Perbedaan antara zaman kita dan zaman Imam Ja’far Shadiq as. adalah, pada zaman itu kecenderungan yang berporos akidah dan syariat adalah dominan di tengah masyarakat, itulah kenapa beliau memandang urgen untuk menyebarkan ruh spiritual di tengah mereka agar kecenderungan kental mereka yang disebabkan oleh para teolog dan fuqaha menjadi netral dan seimbang. Sedangkan di zaman kita sekarang, akidah dan syariat tidak berharga, sebaliknya kecenderungan-kecenderungan spiritual –bahkan kecenderungan spiritual yang majasi dan dibuat-buat sekali pun- menjadi populer dan menemukan mangsa pasar yang luas serta mungkin sekali akan menyebabkan kesalah-pahahaman dan penyimpangan agama.

Memang boleh jadi apa yang Anda katakan tadi terjadi; akan tetapi, bagaimana pun juga kita tidak punya jalan keluar lain, dan kita bukan Hujjah Allah. Imam Jafar Shadiq as. atau Rasulullah saw. adalah Hujjah Allah. Oleh karena itu, ketika mereka mengatakan sesuatu maka hujjah Allah telah lengkap dan mereka –berhak- mengatakan siapa saja yang menolak kata-kata ini maka akan terkutuk oleh Allah swt. Sedangkan kita tidak –berhak- berkata demikian. Saya katakan bahwa saya hanya mengatakan sesuatu yang saya mengerti dan saya mampu. Orang-orang yang berpotensi dan berkapasitas pasti akan mengerti, jika menghasilkan maka itu baik sekali! Tapi jika tidak menghasilkan maka itu adalah urusan mereka dengan Tuhan. Hal yang pasti adalah, Islam dimulai dengan pemikiran dan saran untuk berpikir. Saya juga menyarankan hal yang sama. Jika pada akhirnya sesuai dengan akidah yang benar dan Mazhab Ahlibait as. maka itu baik sekali, dan jika tidak maka itu masalah antara dia dan Tuhan. Hal itu karena para imam suci as. adalah wali semua orang, bukan hanya wali bagi orang syi’ah, insha Allah. Dalam kebangkitan-kebangkitan yang baru ini juga akan ditemukan cahaya dan aroma hakikat Syi’ah, dan insha Allah hal itu akan menjadi sebab keselamatan mereka.

Bagaimana Anda mendefinisikan Syi’ah dan konsep Kesyi’ahan?

Pertama-tama saya harus katakan bahwa lebih baik di dalam bahasa Inggris jangan menggunakan kata Shi’isme; karena, akhiran ism menunjukkan nama derivatif, padahal nama spesial Syi’ah menunjukkan sebuah proses dan satu bentuk perubahan; sebagaimana Imam Ja’far Shadiq as. berkata, “Hanya sesungguhnya mereka disebut Syi’ah karena mereka diciptakan dari sinar cahaya kita.” [5] Ini adalah proses perubahan dan perkembangan di dalam hati dan benak manusia. Bahkan berkenaan dengan Islam sendiri kita tidak menggunakan kata Islamism atau Muhammadanism, melainkan kita hanya menyebut Islam. Oleh karena itu, menurut saya kita harus mendorong Barat untuk menggunakan kata khusus Syi’ah; karena, pada kenyataanya, nama mazhab kita adalah Shi’i (Syi’ah), bukan Shi’ism. Ketika kata Shi’ism digunakan, nama ini secara implisit menunjukkan makna yang serupa dengan pemikiran derivatif, dan bukan sebuah proses atau ideologi yang hidup. Itulah kenapa kita di volume pertama jurnal sama sekali tidak pernah menggunakan kata Shi’ism, dan senantiasa kita menggunakan kata Shi’i (Syi’ah). Saya juga berharap agar para peneliti yang membaca artikel-artikel berbahasa Inggris tentang Syi’ah, memusatkan perhatian dalam hal-hal ini dan menyanggah serta mengoreksinya. Ini adalah peluang besar pembahasan yang harus dijelaskan secara getol bahwa nama mazhab kita adalah Syi’ah.

Problem lain yang terdapat di dalam bahasa Inggris terkait dengan masalah ini adalah, terkadang kita menggunakan kata Shiite, penggunaan kata ini kembali pada masa lampau, mungkin lebih dari dua ratus tahun yang lalu. Satu contoh saja, di masa sekarang tidak ada seorang cendekiawan pun yang menggunakan kata Sunnite (Ahlisunnah, Sunni); seratus tahun yang lalu memang pernah ada penggunaan seperti itu. Ini adalah penggunaan yang kuno; karena, sifat yang terkaitt adalah Shi’i dan bukan Shiite. Bahkan di dalam bahasa Inggris sendiri –yang tentu penjelasannya rumit sekali- penggunaan kata ini mengandung makna yang negatif, dan masalahnya kembali kepada susunan. Bagaimana pun juga, lebih baik kata Shi’i (Syi’ah) yang digunakan. Pokok jawaban saya atas pertanyaan Anda tentang definisi Syi’ah tadi, sebetulnya Syi’ah adalah proses penerimaan walayah Allah swt. melalui jalur Ahlibait as.

Ciri-ciri apa dari Syi’ah yang menarik perhatian para pemikir Barat?

Secara umum, mayoritas orientalis memandang Syi’ah sebagaimana orang-orang Sunni memandangnya, yakni mazhab yang tidak lurus dan menyimpang; yaitu, himpunan dari unsur-unsur dan gagasan-gagasan Irani serta ide-ide lain yang merasuk ke dalam tubuh Islam dan mengolesinya, secara umum mereka memandang Ahlisunnah sebagai mazhab yang lebih dekat kepada agama Islam yang sejati. Tentu saja di sini juga terdapat pengecualian; contohnya Wilfred Medelung dari Universitas Oxford, ahli sejarah ini berargumentasi bahwa pemahaman-pemahaman Syi’ah adalah berhubungan dengan awal munculnya Islam, dan dibandingkan dengan pandangan tradisional Ahlisunnah pemahaman-pemahaman itu lebih dekat kepada realitas sejarah. Di dalam ensiklopedia ringkas Islam yang memuat segala macam pokok masalah, penulis artikel-artikel di dalamnya memilih beberapa pandangan Sunni dan sufi, kemudian setiap kali dia mengemukakan kajian Syi’ah maka dia menyatakannya sebagai masalah non-Islam. Dia, di sebagian buku ini, menulis sebuah artikel tentang Syi’ah yang dia sebut dengan nama Shi’ism. Dia juga menulis artikel tentang Mulla Sadra dan artikel-artikel lain berkaitan dengan Syi’ah yang hampir semuanya berkaca mata negatif. Meskipun buku ini adalah karya yang bagus, akan tetapi jika orang yang polos membacanya, maka dia akan berpandangan negatif terhadap Syi’ah. Inilah sekilas tentang pandangan Barat terhadap Syi’ah yang patut untuk dicermati. Tapi perlu Anda ketahui bahwa pandangan ini berada dalam proses perubahan.

Fakta menunjukkan dua pola pandang terhadap Islam, yaitu Islam yang sejati adalah tasawuf, atau prihal semacam Wahabisme. Ini pola pandang umum. Jika anda mencari Islam faktual, maka Anda akan menemukan hal seperti tasawuf, atau hal seperti Wahabisme. Menurut saya, ada semacam kepentingan politik di balik persoalan ini; karena, jika memang Islam adalah Wahabisme, siapa coba yang akan menyukai agama Islam? Oleh karena itu, banyak pihak yang berusaha untuk memperkenalkan Wahabisme sebagai Islam yang sejati dan sesungguhnya. Begitu pula jika mereka memperkenalkan Islam dalam format tasawuf, maksud mereka adalah Islam tidak berhubungan dengan kehidupan nyata, yakni kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Maka dari itu, secara umum ini juga merupakan problem tersendiri. Satu contoh, ketika kita berbicara tentang kebangkitan-kebangkitan Islami dan semacamnya, seringkali mereka menilainya sebagai hal-hal yang non-Islami. Tentu saja banyak perincian dalam persoalan ini, namun inilah pandangan umum yang ada.

Sayang sekali, pada umumnya Syi’ah tidak dikenal secara utuh dan sempurna serta tidak dihormati. Coba Anda lihat buku Islam dan Syi’ah dari Universitas Tel Aviv. Pada tahun 1980, orang-orang Yahudi mendidik banyak murid untuk meneliti Syi’ah –tentunya hal itu juga disebabkan oleh apa yang telah terjadi di Iran-, salah satu hasilnya adalah buku yang berjudul Medieval Muslim Scholar at Work : The Life, Sources and Method of Ibn Tawus and His Library, ditulis oleh Etan Kohlberg dan berkenaan dengan salah satu ilmuwan abad pertengahan, buku ini bagus sekali. Dengan demikian, ada juga orang-orang yang mengkaji Syi’ah secara serius. Etan Kohlberg adalah salah satu peneliti mazhab Syi’ah yang terbaik. Walaupun harus dicatat bahwa dia mempunyai tujuan-tujuan yang cenderung negatif dalam mengkaji Syi’ah. Maka itu, mereka memang melakukan berbagai penelitian tentang Syi’ah, tapi bukan karena mereka menyukainya, melainkan dengan maksud mengendalikan dan menaklukkan orang-orang yang semestinya mengetahui hal itu secara baik dan benar. Orang-orang Barat melakukan tugas ini secara baik. Waktu melihat buku itu, saya jadi malu pada diri sendiri, kenapa kita orang-orang muslim tidak melakukan hal-hal yang sebaik ini. Maksud saya, buku ini adalah karya bibliografi yang bagus sekali tentang Ibnu Thawus.

Etan Kohlberg telah menulis banyak pengantar dan artikel di dalam ensiklopedia Islam

Iya, benar. Perlu diingat bahwa secara umum di dalam kajian-kajian Islami, bahkan di Amerika sendiri, mayoritas para spesialis di bidang ini dan juga di bidang Syi’ah adalah orang-orang Yahudi dan Zionis, kenyataan ini perlu sekali untuk diperhatikan. Maksud saya adalah, salah satu nilai lebih dan positif dari majalah internasional kajian-kajian Syi’ah –yang kami terbitkan- ini adalah majalah dan media cetak pertama di Barat yang secara spesialis mengemukakan kajian-kajian Syi’ah dan sama sekali tidak berada di bawah dominasi orang-orang yang biasanya mengendalikan kajian-kajian Islam di sana, yakni orang-orang Yahudi dan semisalnya; karena, pada umumnya kajian-kajian Islam di Barat berada di bawah kendali orang-orang Yahudi dan Baha’i.

Sebagai seorang peneliti –yang seandainya tidak bermazhab Syi’ah-, bagaimana Anda melakukan patologi terhadap aliran Syi’ah, apa poin-poin yang ingin Anda sampaikan dalam hal ini?

Pertanyaan ini global sekali; maksud saya, pertanyaan ini bisa dikaji dari sudut pandang ilmu, penelitian, sosial dan lain sebagainya, dan masing-masing akan menghasilkan jawaban yang berbeda sesuai dengan dimensinya. Saya bisa katakan berkenaan dengan Syi’ah bahwa, apabila Anda mengunjungi toko buku di Amerika, maka seperti biasa Anda akan melihat toko besar buku di sana mengkhususkan bagian tersendiri untuk buku-buku Islam, tapi di sana Anda tidak akan mendapatkan –kecuali sangat jarang sekali- buku tentang rasionalitas Ahlibait as. Kira-kira semua buku Islam di sana berpola pandang Sunni atau anti-Syi’ah. Maka dari itu, salah satu kendala besar adalah meskipun di dalam sejarah Islam, Syi’ah senantiasa berada di barisan paling depan dalam perkembangan intelektual, penelitian dan penyebaran ilmu-ilmu Islam, akan tetapi di Barat kita belum mampu melakukan hal-hal yang bagus. Banyak buku yang kita terjemahkan, tapi pada umumnya terjemahan-terjemahan ini di tingkat menengah dan penyampaiannya juga pada tingkat menengah ke bawah, audiens atau pembacanya juga orang-orang Syi’ah yang ada di berbagai komunitas. Contohnya, publisher Ansharian telah menyebarkan buku-buku yang bagus, tapi mayoritas buku-buku itu dialamatkan kepada orang-orang muslim. Perlu diingat bahwa untuk mencapai masyarakat yang lebih luas, harus ada pola baru dalam menyodorkan pandangan-pandangan Ahlibait as. Ketika seseorang pergi ke sebuah toko buku, seyogianya dia juga bisa melihat buku yang berlandaskan kepada hadis-hadis imam suci as. yang disodorkan secara indah, baru dan menawan, meskipun disebutkan bahwa “Lâ yasquth al-maisûr bi al-ma‘sûr.” (yakni, yang mudah tidak gugur dari tanggung jawab karena yang susah.) Namun, kita juga harus berusaha semaksimal mungkin.

Poin berikutnya adalah, untuk mendapatkan pembaca yang lebih banyak, kita harus menemukan cara untuk dapat menyodorkan gagasan-gagasan Syi’ah kepada audiens yang lebih banyak, khususnya gagasan tentang “Konsep Walayah”. Banyak hal yang bisa dilakukan atas konsep walayah dan gerakannya agar bisa memperoleh audiens yang lebih banyak lagi. Bisa dengan mencetak buku dengan cover yang indah, penampilan yang menarik, dan bahasa yang bagus. Itu artinya, penerbitan adalah penting sekali. Sayang harus saya katakan bahwa biasanya ketika kualitas buku bagus, penulisnya bukan ahli walayah; ketika isinya bagus, wadah dan tampilannya tidak bagus, ini adalah problem tersendiri. Maka dari itu, isi dan kulit harus kita gabungkan secara bagus dan menarik. Ketika di toko buku saya pergi ke bagian agama Budha dan sebagainya, di sana saya melihat buku-buku indah sekali yang menjelaskan rasionalitas Budha, Konfusius dan sebagainya, buku-buku itu menarik sekali.

Anda bisa memilih beberapa hadis dari Amirul Mukminin Ali as., kemudian menerjemahkannya dengan metode inovatif yang menawan bagi masyarakat luas, bisa juga Anda gunakan seni lukis yang menghadirkan lukisan-lukisan terkait dengan tiap-tiap hadis, setelah itu Anda sodorkan buku itu kepada masyarakat dengan cara menjalin hubungan dengan publisher-publisher profesional yang mampu menyebarluaskan buku tersebut. Anda juga menyodorkan buku itu dalam bentuk serial atau berkala. Buku bagus lain yang pernah diedarkan adalah Misbahus Syari’ah yang disandarkan kepada Imam Ja’far Shadiq as., buku ini telah diterjemahkan dengan baik, tapi sayang sudah lama buku ini tidak dicetak ulang. Kita lebih butuh pada buku-buku seperti ini, sehingga kita dapat menyodorkannya secara menarik kepada publik dan menjelaskan konsep walayah kepada mereka.

Tema-tema apa dan bidang-bidang apa saja yang menurut Anda lebih penting untuk diteliti?

Sebagaiamana kami singgung sebelumnya, saya yakin bahwa tidak ada jalan yang lebih baik dan efektif untuk memasuki hati masyarakat Barat daripada penjelasan yang sesungguhnya akan konsep walayah. Saya sekarang sedang menulis buku tentang Islam, di dalam buku ini saya berusaha untuk mendefinisikan dimensi-dimensi Islam di dalam kerangka walayah, khususnya berkenaan dengan ayat “هُنَالِکَ الوَلَايَةُ للهِ الحَق” (Di sana walayah untuk Allah Yang Haq. (QS. Al-Kahfi/18: 44.); ubudiyah atau penyembahan bisa diterangkan di dalam kerangka walayah, begitu pula rububiyah atau kepengaturan Tuhan, bahkan semua dimensi Islam juga bisa diterangkan di dalam kerangka itu. Salah satu hal yang patut diingat adalah, ketika kita berbicara tentang sisi-sisi kosmologis, spiritual, dan praktis walayah, maka kita bisa menarik perhatian para mahasiswa. Hal ini bukan dengan pernyataan bahwa saya berkeyakinan ini dan beramal itu di dalam Islam, melainkan yang menarik bagi mereka adalah ruh di balik semua ini. Murni mengatakan bahwa Islam adalah meyakini ini dan mengamalkan itu, tidak akan menarik seseorang kepadanya, atau minimalnya hanya segelintir orang yang akan tertarik ke sana; mayoritas mahasiswa muda dan pemikir tidak tertarik dengan pola seperti ini. Itulah salah satu faktor kenapa mereka cenderung kepada rasionalitas dunia Timur, mistik dan lain sebagainya di sana; karena, bukan hanya keyakinan ini dan amalan itu yang disodorkan kepada mereka di sana. Pada kenyataannya, Islam juga mempunyai semua nilai-nilai positif itu, karena Islam dimulai dengan pemikiran. Saya pikir, salah satu bidang yang memerlukan penelitian baru adalah penjelasan konsep-konsep Qur’ani; seperti makna tafakur atau pemikiran? Apa bedanya antara tafakur dan tadabur? Apa yang dimaksud dengan ulul albab? Dan lain sebagainya. Baru saja saya melihat hadis yang indah sekali dari Imam Ja’far Shadiq as. tentang makna ulul albab. Terjemahkan hadis-hadis seperti ini ke bahasa Inggris; tulislah buku-buku kecil berkenaan dengan topik-topik seperti ini dan sebarkan. Ini indah dan menarik sekali. Oleh karena itu, kita memerlukan penelitian di bidang ini dan tentang metodologi Ahlibait as. Contohnya, ada satu buku yang bagus sekali ditulis oleh Syekh Husain Bahrani, buku itu berjudul Al-Thorîq Ilâ Allôh, dia punya penjelasan yang indah tentang metodologi Ahlibait as., dan salah satu dosen saya meminta kepada saya untuk menyodorkan gagasan-gagasan buku ini dengan bahasa Inggris kepada para pembaca yang luas; karena, inilah hal-hal yang dibutuhkan oleh masyarakat sekarang, dan di bidang inilah kita memerlukan penelitian yang lebih baru, banyak dan mendalam.

Menurut saya, masyarakat sekarang tidak begitu menyukai kajian-kajian murni teologi atau hukum fikih. Semua ini penting sekali, tapi tidak menarik hati masyarakat, apalagi di Barat yang mayoritas penduduknya tidak punya kapasitas untuk mencecap fikih akibat kebejatan dan berbagai persoalan lain yang melanda mereka. Maka dari itu, tidak bisa hati orang ditarik dengan cara mengatakan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus ditinggalkan, melainkan bisa ditarik dengan cara menjelaskan jalan Ahlibait as.; seperti konsep prasangka baik kepada Allah dan konsep tawakal; makna konsep-konsep ini harus dijelaskan secara baik dan benar. Satu contoh, Anda pusatkan perhatian kepada hadis yang menceritakan kejadian pasca tragedi Asyura; suatu hari Imam Ali Zainul Abidin bin Husain as. bepergian, dan kemudian beliau sampai pada kafilah yang di antara mereka ada orang yang tergolong pembantai Imam Husain as. di padang Karbala. Orang itu punya kebiasaan meminta air dari siapa saja di sahara yang memiliki air, dia pun ingin pergi untuk menghampiri rombongan Imam as., karena persediaan airnya sudah habis. Seorang datang kepada dia dan mengatakan bahwa rombongan yang akan kamu hampiri adalah rombongan Imam Ali Zainul Abidin as., dan mengingat apa yang telah kamu perbuat terhadap ayah beliau di Karbala, maka kamu tidak mungkin dapat air darinya. Mendengar berita itu, dia jadi putus asa. Tapi tiba-tiba dia melihat seorang berjalan kaki ke arah kuda dia dan kemudian memberikan air kepadanya. Ketika orang itu sadar bahwa yang sedang memberi air kepadanya adalah Imam Ali Zainul Abidin as., maka secara spontan dia berkata kepada beliau, “Mungkin Anda tidak mengenal siapa saya; karena, jika Anda mengenalku niscaya Anda tidak akan memberikan air ini kepadaku.” Imam Ali Zainul Abidin as. berkata kepadanya, “Hari itu adalah harimu, sedangkan hari ini adalah hariku.”

Waktu Anda menyodorkan cerita ini kepada masyarakat, mereka pasti heran dan akan berkomentar, “Pasti ada kenyataan agung di balik semua ini yang menimbulkan akhlak mulia pada diri manusia.” Kita butuh pola seperti ini untuk menarik hati masyarakat. Sayangnya, mayoritas buku-buku kita tentang Syi’ah memiliki pola pandang teologi atau hukum fikih, dan ini tidak memberikan daya tarik yang dibutuhkan di sini. Terkadang pula buku-buku ini menyodorkan Syi’ah campuran dengan mistik, sehingga membuat orang kebingungan. Jika kita memperhatikan riwayat hidup Ahlibait as. secara teliti dan meneladaninya, maka hal itu lebih menjanjikan kesuksesan kita.

Apa yang Anda maksud dengan dua hal adalah manusia dan imam?

Ingatlah kembali ayat yang saya bacakan tadi, “هُنَالِکَ الوَلَايَةُ للهِ الحَق” (Di sana walayah untuk Allah Yang Haq. (QS. Al-Kahfi/18: 44.); walayah hanyalah bergantung pada Allah swt.; ini berarti rububiyah atau kepengaturan Tuhan dan ubudiyah atau penyembahan pada Tuhan. Adapun maula berarti wadah walayah, yakni imam. Inilah pandangan dunia kita. Menurut saya, walayah adalah sebuah aktualitas. Bukan sekedar perasaan atau abstraksi. Walayah adalah pertunjukan dinamis di seluruh alam ada. Contohnya, ada walayah antara matahari dan bumi. Maka dari itu, ayat-ayat “هُنَالِکَ الوَلَايَةُ للهِ الحَق” bisa ditafsirkan dengan dua metode. Contohnya, walayah bisa berarti “walayah dari ciptaan kepada Mahabenar”, bisa juga diartikan dengan “walayah dari Mahabenar kepada ciptaan”. Yang kedua berarti rububiyah atau kepengaturan Tuhan, sedangkan yang pertama berarti ubudiyah atau penyembahan pada Tuhan. Dengan demikian, dua hal ini juga telah kita jelaskan atas dasar konsep walayah.

Atas dasar itu, apakah rububiyah? Rububiyah adalah semacam walayah. Apakah ubudiyah? Ubudiyah adalah semacam walayah juga. Walayah meliputi apa saja? Walayah senantiasa mengandung cinta. Maka dari itu, saya menjelaskan kepada para mahasiswa bahwa problem kelompok Wahabi adalah mereka punya iman dan berkeyakinan kepada Tuhan, akan tetapi mereka tidak mengetahui dan menyadari pokok bahwa walayah mengandung sebuah cinta antara semua makhluk. Oleh karena itu, mereka –orang-orang Wahabi- tergolong kelompok pembangkang. Ketika Amirul Mukminin Ali as. berkata,
يمرقون من الدين کما يمرق السهم من الرمية [6] artinya, mereka tidak mengerti makna walayah. Memang mereka meyakini Tuhan dan sunnah, akan tetapi mereka telah melupakan rindu dan cinta, dan ketika cinta terlupakan maka walayah telah dilanggar. Dan ketika walayah dilanggar, maka agama pun telah berakhir, walaupun Anda komitmen dengan hukum fikih dan akidah. Dengan demikian, walayah adalah poros agama Islam, dan inilah yang menarik bagi masyarakat luas.

Menurut Anda, bagaimana posisi Syi’ah di masa depan dan di ruang globalisasi?

Secara umum, mengingat fenomena-fenomena yang semua orang dapat menyaksikannya langsung, Islam sekarang diserang dari berbagai arah dan dimensi. Salah satu problem globalisasi adalah dia mendukung satu bentuk pluralisme yang pada dasarnya, mengaku bahwa tidak ada seorang pun yang berhak menuntut hak. Kita semua mempunyai akidah, semua akidah adalah sejajar. Ini salah satu kendala globalisasi yang dihadapi oleh Islam dalam kapasitasnya sebagai pola kehidupan yang dinamis, berdasarkan pandangan dunia yang khas, spiritual, praktis dan ideologis. Memang benar, pada dasarnya Islam mempunyai program globalisasi yang khas dan sampai batas-batas tertentu bertentangan dengan enerji-enerji di balik globalisasi masa kini. Globalisasi masa kini berada di bawah pengaruh liberal – kapitalisme dan enerji-enerji lain. Oleh karena itu, organisasi perdagangan internasional dan lembaga-lembaga yang serupa berusaha untuk mempropagandakan norma-norma liberal – kapitalisme ke seluruh penjuru dunia, sehingga pada akhirnya mayoritas penduduk bumi terpaksa hidup miskin dan hanya minoritas mereka yang kaya raya. Atas dasar itu, satu di antara sekian tantangan yang dihadapi oleh Islam sekarang adalah menyuguhkan sebuah kritik yang teratur dan teliti terhadap globalisasi masa kini, bukan sekedar kritik reaktif, melainkan kritik yang aktif, membangun dan maju. Begitu pula harus dipandang bagaimana pola dan pendekatan Islam terhadap persatuan global; yakni, apa usulan yang disodorkan oleh Islam sebagai ganti dari liberal – kapitalisme atau ideologi sekuler – humanis?

Kadang-kadang saya merasa sebagian ulama berlebihan dalam memusatkan perhatian dan enerji mereka kepada kajian-kajian aplikasi-komparatif Islam dengan Kristen atau Yahudi; kenapa begitu karena dalam kapasitasnya sebagai agama, Kristen dan Yahudi adalah kekuatan-kekuatan yang sedang menjalani proses dekadensi di dunia. Kendala yang sesungguhnya sekarang nyata adalah terkait dengan sekular – humanisme dan kapitalisme. Pada titik-titik penting inilah semestinya perhatian lebih dipusatkan, yakni bagaimana Islam memberikan jawaban yang aktif, membangun dan maju terhadap persoalan-persoalan itu. Ini adalah tantangan yang besar.

Sayid Muhammad Baqir Sadr dan ulama yang lain, baik dari kalangan Syi'ah maupun Ahlisunnah, telah berhasil di masa hidup mereka dalam menanggapi masalah komunisme, banyak sekali buku karya mereka yang mengkritisi komunisme secara apik, kuat dan benar. Namun, sampai sekarang usaha yang serupa belum saya saksikan berkenaan dengan rencana liberal – kapitalisme modern ini; artinya, apa yang sekarang sedang terjadi di Irak, Afganistan, dan berbagai penjuru dunia yang lain adalah sebagian dari sebuah rencana yang besar, dan sayangnya masih banyak ulama dan cendekiawan yang bingung bagaimana caranya menghadapi masalah ini.

Menurut Anda, apa tantangan yang dihadapi oleh orang-orang Syi'ah dan apa yang harus dipersiapkan oleh mereka dalam rangka menghadapi bahaya-bahaya yang sedang dan akan terjadi?

Pertanyaan ini luas sekali. Mengenai Syi'ah, mungkin harus dikatakan bahwa kita ini sekarang sedang hidup di dunia yang betul-betul dalam kondisi perubahan. Saya pikir masalah terbesar sekarang adalah menarik hati kalangan muda. Betul-betul masalah yang besar bagaimana mayoritas hati anak-anak muda sekarang bisa kita tarik; karena, dari satu sisi menurut saya, liberalisme dan model liberal – kapitalis adalah produk terbaik setan. Selama bertahun-tahun lamanya setan telah menguji-coba berbagai cara, dan pada akhirnya mereka menemukan cara yang terbaik. Sebetulnya, masalah terbesar sekarang adalah bagaimana kita dapat menyuguhkan Islam secara menarik. Kita kembali lagi ke persoalan yang tadi, yaitu penyodoran akidah dalam bentuk hukum bukanlah senjata yang sesuai untuk digunakan pada medan pertempuran yang khas ini. Oleh karena itu, terpaksa kita harus menemukan sarana-sarana yang lebih efektif, agar kita dapat menarik perhatian kalangan muda, baik di Timur maupun di Barat.

Sumber: Majalah Syi'eh Syenosi, Nomor 13

Catatan:

1. International Journal of Shii Studies.
2. Imam Ja'af Shodiq as. berkata:
"بني الاسلام علی خمس: علی الصلاة و الزکاة و الصوم و الحج و الولاية، و لم يناد بشيئ لما نودي بالولاية."
(Muhammad bin Ya'qub Kulaini, Al-Kâfî, jilid 2, hal. 18, hadis 1).
3. Imam Ja'far Shodiq as. berkata:
"درهم ربا اشد من سبعين زنية کلها بذات محرم."
(Muhammad bin Hasan Thusi, Al-Tahdzîb, jilid 7, hal. 14, hadis ke-61, bab 22.)
4. Lih: Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr Al-Anwâr, jilid 3, hal. 153, hadis 1, bab 5.
5. Ibid., jilid 25, hal. 23, hadis 39, bab 1.
6. Ibnu Abi Hadid, Syarh Nahj Al-Balâghoh, jilid 1, bab 3, hal. 201.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar