Diterjemahkan oleh Nasir Dimyati (Dewan Penerjemah Situs
Sadeqin)
Doktor Idris Samawi,
cendekiawan Amerika yang kemudian memeluk Mazhab Syi’ah, dosen filsafat di
Universitas Colorado Amerika, direktor jurnal internasional kajian Syi’ah [1]
tentang konsep dan pemikiran Syi’ah di Barat serta daya tarik ideologi ini di
tengah masyarakat Amerika. Tulisan ini adalah hasil wawancara majalah Syi'eh-Syenosi
dengannya dalam rangka memperkenalkan para pembaca yang terhormat kepada
kondisi komunitas Syi’ah dan metode pemaparan ajaran Syi’ah oleh mereka di
dunia Barat.
Sebelum memasuki
pembahasan, tolong perkenalkan Diri anda secara ringkas
Doktor Samawi:
Saya lahir di Washington DC., ayah saya Muzafarudin, seorang pejuang yang
merupakan salah satu murid Sayid Qutub –ulama Mesir yang mati syahid- dan A’lam
Dauri –ulama Pakistan-. Dia punya yayasan di Amerika dan berusaha menciptakan
kondisi yang pantas untuk sebuah masyarakat Islam. Pandangan dia cerah sekali.
Itulah sebabnya banyak hal-hal tentang Syi’ah yang saya pelajari pada waktu
kecil adalah dari kitab-kitab dia. Saya pernah hidup di Pakistan, Saudi Arabia,
dan juga di berbagai penjuru dunia yang lain. Saya menempuh jenjang pendidikan
S1 dan S2 di jurusan fisika, tapi kemudian saya menyelesaikan jenjang doktoral
di bidang filsafat dengan spesialisi Syekh Ahmad Sa’i. Adapun sekarang, saya
juga bertanggungjawab sebagai direktor jurnal internasional kajian Syi’ah. Ini
adalah jurnal ilmiah pertama di kancah universitas yang secara khusus
membidangi pemikiran Syi’ah.
Bagaimana anda
menjelaskan ke-Syi’ahan Anda sendiri?
Doktor Samawi:
Keyakinan pribadi saya berasaskan kepada kajian hikmah Ahlibait as. yang
menjelaskan bahwa ke-Syi’ahan adalah prihal fitriah dan telah ditentukan di
alam Zat serta menjelma di dalam kehidupan. Kesyi’ahan saya adalah sebuah
proses gradual di dalam kehidupan. Waktu kecil, saya belajar tentang sahabat
nabi, dan Amirul Mukminin Ali as. senantiasa menjadi sahabat nabi favorit saya.
Ketika menginjak dewasa, beliau lebih menarik bagi saya, dan pada akhirnya
ketika saya membaca Sahifah Sajjadiyah, saya berkata di dalam diri sendiri
bahwa seandainya pengarang buku ini mengatakan dirinya adalah Hujjah Allah,
maka tidak mungkin dia berbohong. Semua itu proses yang terjadi secara
bertahap. Tapi jika Anda ingin mencari sebuah kejadian tertentu, saya katakan
bahwa kejadian istimewa itu adalah telaah buku Sahifah Sajjadiyah. Namun
demikian, dari sejak itu sampai sekarang saya senantiasa dalam kondisi
perubahan; karena, setelah itu, saya membaca ziarah Jami’ah Kabirah dan banyak
sekali aktivitas yang saya lakukan dalam rangka mengkaji keterangan ziarah ini.
Oleh karena itu, pada kenyataannya, kajian tentang walayah Ahlibait as.
memiliki banyak jenjang dan tingkatan serta merupakan proses perkembangan.
Tolong ceritakan
pengalaman Anda tentang pemikiran Syi’ah di Barat
Doktor Samawi:
Mungkin saja sebagian dari kalian pernah hidup di Barat dan sebagian yang lain
tidak, namun apa yang ingin saya sampaikan di sini adalah di sana ada kehausan
spiritual yang luar biasa mencekik. Berkenaan dengan pemikiran Syi’ah di Barat,
pertama-tama saya harus menyampaikan sebuah pengantar.
Pengalaman terakhir saya
bermula dengan pengalaman almarhum ayah pejuang saya, Yusuf Muzafarudin yang
merupakan murid keluaga Sayid Qutub. Dia menghabiskan umurnya di jalan tablig
dalam organisasi-organisasi Islam, sehingga jerih payah dia dan juga
orang-orang yang bersamanya telah menyebabkan ratusan orang masuk agama Islam.
Oleh karena itu, saya besar di lingkungan tablig yang revolusioner; yaitu
lingkungan yang dibangun secara baik oleh ayah saya di bawah pengaruh pemikiran
Imam Khomeini. Setelah menyelesaikan jenjang pendidikan umum, saya masuk
universitas. Jurusan asli saya fisika, tapi pada saat yang sama saya juga
menggeluti kajian-kajian Islam dan penelitian tentang dimensi-dimensi revolusi
Islam. Mengingat Anda menginginkan saya untuk menceritakan sebuah pengalaman,
saya ingin katakan bahwa saya hidup di lingkungan ilmiah akademi sekaligus di
lingkungan islami-revolusioner. Berdasarkan kajian-kajian yang pernah saya
lakukan dan pengalaman yang saya alami, saya sampai kepada
kesimpulan-kesimpulan tertentu tentang apa saja yang urgen agar kita bisa
memainkan peran yang seyogianya dalam misi tablig dan penyebaran ideologi
Syi’ah secara kuat dan efektif.
Di dalam sistem pendidikan
tradisional hauzah, kita harus membedakan antara dua hal; kulit dan isi.
Berkenaan dengan isi dan substansi, sama sekali tidak perlu dikhawatirkan. Tapi
dalam hal kulit dan bentuk, menurut saya kita memerlukan sebuah pendekatan
revolusioner yang mampu memaparkan isi dan substansi Islam di Barat. Menurut
saya, beda hal antara kosmologi dan praktik dari satu sisi, dan tarikat dari
sisi yang lain. Waktu di Barat kita berbicara tentang agama, berarti kita
sedang berbicara tentang akidah, spiritualitas, sistem dan lembaga; tapi di
Barat, definisi mazhab atau agama terbatas sekali; terbatas dari sisi bahwa Kristen
dan Yahudi dinilai sebagai mazhab, sedangkan Kapitalisme tidak dinilai
demikian.
Apa yang saya simpulkan
sekarang adalah, ulama muslim dari berbagai negara memaparkan agama Islam di
Barat sebagaimana mereka memaparkan agama Kristen dan Yahudi. Agama tradisional
di Barat sedang dalam kondisi musnah dan sirna. Boleh jadi skala lokal agama
itu berkembang dan meluas, akan tetapi dalam skala internasional agama-agama
itu sedang musnah. Saya ingin juga mengungkapkan masalah ini dengan bahasa yang
berbeda; mengingat bahwa agama Kristen dan Yahudi sedang hancur bersama
pandangan tradisionalnya, maka agama Islam juga apabila ingin dipaparkan dengan
pola pandang dan cara yang sama maka sama-sama tidak akan menemukan ruang di
sana. Satu contoh, di dalam lingkungan universitas, khususnya di tengah para
mahasiswa yang hampir setiap hari saya bergaul dengan mereka, mayoritas mazhab
atau agama tradisional itu hangus dan kadaluarsa. Tapi, kita juga tahu persis
bahwa banyak sekali intelektual-intelektual muda dan kampus yang tertarik pada
aliran-aliran seperti Budhisme dan aliran-aliran sufi lainnya yang terpisah
dari mazhab dan agama tradisional.
Sebagaimana saya katakan tadi, mazhab atau agama tradisional adalah himpunan akidah, spiritualitas, sistem dan lembaga. Jika kita kembali ke masa lalu, maka persoalan ini jadi lebih jelas; contohnya, di dalam agama Islam banyak sekali penekanan terhadap “proses berpikir” bahkan di bidang akidah, sedangkan di dalam agama Kristen, mereka mengajukan akidahnya kepada Anda dan mengatakan bahwa mau tidak mau Anda harus meyakininya. Apakah muslimin juga melakukan hal yang sama? Mengajukan setumpuk akidah kepada Anda lalu berkata, jika kamu ingin menjadi muslim maka kamu harus meyakini akidah itu?! Poin penting yang harus kita perhatikan dan pandang di sini dengan pola yang berbeda adalah tentang pemikiran dan apa makna itikad? Masalah ini akan membuka pintu baru dalam memaparkan agama Islam dengan cara yang baru pula, bukan dengan cara yang tradisional. Itulah sebabnya agama Islam kita memaparkan akidah yang pintunya terbuka bagi semua orang dan tidak khusus untuk kalangan tertentu.
Pola baru yang menjadi fokus perhatian saya adalah, kita harus melihat kembali apa yang dimiliki oleh Syi’ah dan apa yang semestinya dipaparkan? Kita punya paparan yang tidak dimiliki oleh mazhab-mazhab yang lain, yaitu walayah, bukan wilayah. Beda antara wilayah dan walayah. Dalam rangka menyodorkan agama Islam kepada mahasiswa-mahasiswa di Barat, saya memulainya dengan konsep Walayah. Walayah adalah salah satu konsep yang bahkan kita, orang-orang Syi’ah sendiri tidak begitu memperhatikannya. Ketika pembahasan tentang Walayah, kita membayangkan bahwa itu pembahasan tentang walayah Ahlibait Nabi as.
Kami ingin dengar
penjelasan Anda tentang konsep Walayah itu sendiri, walayah Ahlibait as., dan
walayah mutlak.
Doktor Samawi:
Pertama-tama harus saya katakan bahwa walayah Ahlibait as. tidak berarti
apa-apa tanpa walayah Tuhan. Dalam sebuah hadis disebutkan Islam berdiri di
atas lima dasar, salah satunya adalah walayah. [2] Apakah walayah?
Ketika Imam Ja’far Shadiq as. mengutarakan walayah di dalam hadis ini, beliau
menyebut walayah sebagai dasar yang meliputi seluruh dimensi Islam. Di antara
segala dua hal di alam keberadaan ini terdapat hubungan walayah. Satu contoh,
bumi punya hubungan walayah dengan matahari, begitu pula sebaliknya. Ketika
kita berbicara tentang walayah mutlak, berarti kita sedang membicarakan walayah
Allah swt. Ketika kita berbicara tentang walayah Haq –atau Pencipta- terhadap
makhluk, maksudnya adalah walayah ketuhanan, dan ketika kita berbicara tentang
walayah makhluk terhadap Haq –atau Pencipta-, maksudnya adalah walayah
kehambaan.
Perhatikan baik-baik, waktu membahas persoalan ini kita sama sekali tidak berbicara tentang akidah. Ketika para mahasiswa memperhatikan pembahasan ini, saya melihat cahaya memancar di wajah mereka; ada sesuatu yang menjadi jelas bagi mereka. Oleh karena itu, sebetulnya mereka sedang mencari konsep-konsep ini. Kalau pun mereka mengejar Budhisme dan Hinduisme serta lain sebagainya, tidak lain karena alasan itu, padahal dari sisi ini, agama Islam jauh lebih kuat dan mendalam dibanding semua agama dan mazhab yang lain. Sungguh indah sekali saat saya menyaksikan para mahasiswa mendiskusikan masalah ini. Saya tidak pernah mengatakan kepada mereka bahwa kalian harus mempercayai ini dan itu, melainkan yang penting adalah mengutarakan persoalan dari sudut pandangan dunia, dan dalam hal ini pembahasan tentang pemikiran dan perenungan yang mengemuka.
Dengan demikian, jika Anda mengajukan proses Irfan –dan bukan rangkaian akidah-, niscaya Anda akan mendapatkan sambutan yang lebih besar. Adapun jika Anda mengajukan pembahasan tentang akidah, maka mahasiswa-mahasiswa akan mengatakan, “Apa bedanya seseorang mempercayai Nabi Isa atau rangkaian keyakinan agama Kristen, sedangkan yang lain mempercayai Nabi Muhammad saw." Rangkaian akidah ini tidak menarik dan juga tidak ada bedanya di mata mereka. Tapi ketika pembahasan mulai menemukan dimensi spiritualnya, itu menarik sekali bagi mereka. Jika dengan ini kita memulai persoalan, maka kita akan bisa merasuk ke dalam hati mereka dan memberikan daya tarik yang kuat kepada Islam dan Syi’ah. Jilid pertama Ushûl Al-Kâfî juga dimulai dengan masalah ini; bukan dengan pembahasan akidah. Prihal kita memulai dengan masalah pemikiran dan penggunaan akal, akan mengantarkan kita sampai kepada tujuan. Atas dasar itu, menurut saya, pemaparan Islam tradisional perlu diseimbangkan kembali.
Titik perbedaan lain antara Islam dan agama belum pernah diutarakan. Oleh karena itu, ketimbang kita memaparkan akidah Islam, lebih baik kita memparkan Islam dengan pola yang saya jelaskan tadi, karena selain lebih menarik, pola itu juga membuat orang tergerak sendiri untuk mencari pemikiran dan akidah Islam. Dengan pola pandang ini, Islam lebih dari sekedar agama tradisional, dan dengan demikian Islam mengemukakan dirinya sebagai agama yang hidup.
Sepertinya Anda cenderung
pada agama berporos pengalaman daripada agama berporos akidah. Akan tetapi, ada
banyak bahaya di dalam kecenderungan Anda ini; di antaranya adalah, bagaimana
pun juga setiap gerakan dan kebangkitan agamis, begitu pula setiap agama
eksperimental juga membutuhkan dasar-dasar akidah, dan selama dasar-dasar itu
tidak ada maka gerakan juga tidak bisa dimulai, dan pada tahap apa pun Anda ingin
memaparkan dasar-dasar dan prinsip akidah tersebut maka problem yang sama akan
tetap muncul, apa saran Anda untuk menyelesaikan masalah ini?
Doktor Samawi:
Ada satu hadis dari Imam Ja’far Shadiq as. yang mengatakan bahwa kita memandang
masyarakat dengan berbagai tingkatan mereka. Ada perhatian besar dari sisi
beliau kepada potensi masing-masing orang, sehingga atas dasar itu orang
tersebut disikapi. Ketika ada seorang dokter dari India menghampiri beliau
untuk berdiskusi, beliau mengatakan apa-apa yang dibutuhkan oleh dokter India itu,
dan tidak berkata lebih dari itu untuknya. [4] Itulah kenapa ketika
beliau menghadapi murid-murid, sama sekali tidak menjadi soal apakah si fulan
cenderung pada kelompok ini atau itu, melainkan beliau menyampaikan maksudnya
kepada siapa saja sesuai dengan kemampuan dan potensi orang tersebut. Itulah
pula sebabnya beliau berhasil membina berbagai pelajar dari berbagai aliran,
dan beliau senantiasa diterima dengan baik oleh kalangan Ahlisunnah, Syi’ah,
bahkan oleh orang-orang non-muslim seperti Kristen.
Dengan mengingat pola
pandang dan tablig yang Anda terangkan, maka akan muncul problem hiruk pikuk
spiritual-akidah. Di dunia sekarang, lahir macam-macam kebangkitan yang
mengatasnamakan dirinya dengan kebangkitan baru agama, dan pada tiap-tiap
kebangkitan itu terdapat semacam spiritualitas buatan yang sama sekali tidak
masuk dalam kerangka agama apa pun. Bahkan, problem semacam ini juga muncul
pada zaman Imam Ja’far Shadiq as., figur-figur seperti Mughirah bin Sa’id dan
Abu Khattab mengeluarkan kata-kata yang berlebihan dan tak berhubungan. Apa
yang mesti kita lakukan terhadap problem semacam ini?
Sebelumnya saya harus
ingatkan bahwa menurut pandangan Al-Qur’an, kita bukan wakil atau washi bagi
masyarakat, tugas kita hanyalah menerangkan sesuatu. Kita tidak bisa
menaklukkan mereka dan mengambil alih kendali mereka. Siapa saja terserah
bagaimana dia menyikapi keterangan ini dan terserah mau ke mana dia pergi,
semua itu bukan tanggungjawab kita. Perbedaan antara zaman kita dan zaman Imam Ja’far Shadiq as. adalah, pada zaman
itu kecenderungan yang berporos akidah dan syariat adalah dominan di tengah
masyarakat, itulah kenapa beliau memandang urgen untuk menyebarkan ruh
spiritual di tengah mereka agar kecenderungan kental mereka yang disebabkan
oleh para teolog dan fuqaha menjadi netral dan seimbang. Sedangkan di zaman
kita sekarang, akidah dan syariat tidak berharga, sebaliknya
kecenderungan-kecenderungan spiritual –bahkan kecenderungan spiritual yang
majasi dan dibuat-buat sekali pun- menjadi populer dan menemukan mangsa pasar
yang luas serta mungkin sekali akan menyebabkan kesalah-pahahaman dan
penyimpangan agama.
Memang boleh jadi apa yang
Anda katakan tadi terjadi; akan tetapi, bagaimana pun juga kita tidak punya
jalan keluar lain, dan kita bukan Hujjah Allah. Imam Jafar Shadiq as. atau
Rasulullah saw. adalah Hujjah Allah. Oleh karena itu, ketika mereka mengatakan
sesuatu maka hujjah Allah telah lengkap dan mereka –berhak- mengatakan siapa
saja yang menolak kata-kata ini maka akan terkutuk oleh Allah swt. Sedangkan
kita tidak –berhak- berkata demikian. Saya katakan bahwa saya hanya mengatakan
sesuatu yang saya mengerti dan saya mampu. Orang-orang yang berpotensi dan
berkapasitas pasti akan mengerti, jika menghasilkan maka itu baik sekali! Tapi
jika tidak menghasilkan maka itu adalah urusan mereka dengan Tuhan. Hal yang
pasti adalah, Islam dimulai dengan pemikiran dan saran untuk berpikir. Saya
juga menyarankan hal yang sama. Jika pada akhirnya sesuai dengan akidah yang
benar dan Mazhab Ahlibait as. maka itu baik sekali, dan jika tidak maka itu
masalah antara dia dan Tuhan. Hal itu karena para imam suci as. adalah wali
semua orang, bukan hanya wali bagi orang syi’ah, insha Allah. Dalam
kebangkitan-kebangkitan yang baru ini juga akan ditemukan cahaya dan aroma
hakikat Syi’ah, dan insha Allah hal itu akan menjadi sebab keselamatan mereka.
Bagaimana Anda mendefinisikan
Syi’ah dan konsep Kesyi’ahan?
Pertama-tama saya harus
katakan bahwa lebih baik di dalam bahasa Inggris jangan menggunakan kata Shi’isme;
karena, akhiran ism menunjukkan nama derivatif, padahal nama spesial Syi’ah
menunjukkan sebuah proses dan satu bentuk perubahan; sebagaimana Imam Ja’far
Shadiq as. berkata, “Hanya sesungguhnya mereka disebut Syi’ah karena mereka
diciptakan dari sinar cahaya kita.” [5] Ini adalah proses perubahan
dan perkembangan di dalam hati dan benak manusia. Bahkan berkenaan dengan Islam
sendiri kita tidak menggunakan kata Islamism atau Muhammadanism, melainkan kita
hanya menyebut Islam. Oleh karena itu, menurut saya kita harus mendorong Barat
untuk menggunakan kata khusus Syi’ah; karena, pada kenyataanya, nama mazhab
kita adalah Shi’i (Syi’ah), bukan Shi’ism. Ketika kata Shi’ism digunakan, nama
ini secara implisit menunjukkan makna yang serupa dengan pemikiran derivatif,
dan bukan sebuah proses atau ideologi yang hidup. Itulah kenapa kita di volume
pertama jurnal sama sekali tidak pernah menggunakan kata Shi’ism, dan
senantiasa kita menggunakan kata Shi’i (Syi’ah). Saya juga berharap agar para peneliti
yang membaca artikel-artikel berbahasa Inggris tentang Syi’ah, memusatkan
perhatian dalam hal-hal ini dan menyanggah serta mengoreksinya. Ini adalah
peluang besar pembahasan yang harus dijelaskan secara getol bahwa nama mazhab
kita adalah Syi’ah.
Problem lain yang terdapat
di dalam bahasa Inggris terkait dengan masalah ini adalah, terkadang kita
menggunakan kata Shiite, penggunaan kata ini kembali pada masa lampau, mungkin
lebih dari dua ratus tahun yang lalu. Satu contoh saja, di masa sekarang tidak
ada seorang cendekiawan pun yang menggunakan kata Sunnite (Ahlisunnah, Sunni);
seratus tahun yang lalu memang pernah ada penggunaan seperti itu. Ini adalah
penggunaan yang kuno; karena, sifat yang terkaitt adalah Shi’i dan bukan
Shiite. Bahkan di dalam bahasa Inggris sendiri –yang tentu penjelasannya rumit
sekali- penggunaan kata ini mengandung makna yang negatif, dan masalahnya
kembali kepada susunan. Bagaimana pun juga, lebih baik kata Shi’i (Syi’ah) yang
digunakan. Pokok jawaban saya atas pertanyaan Anda tentang definisi Syi’ah
tadi, sebetulnya Syi’ah adalah proses penerimaan walayah Allah swt. melalui
jalur Ahlibait as.
Ciri-ciri apa dari
Syi’ah yang menarik perhatian para pemikir Barat?
Secara umum, mayoritas
orientalis memandang Syi’ah sebagaimana orang-orang Sunni memandangnya, yakni
mazhab yang tidak lurus dan menyimpang; yaitu, himpunan dari unsur-unsur dan
gagasan-gagasan Irani serta ide-ide lain yang merasuk ke dalam tubuh Islam dan
mengolesinya, secara umum mereka memandang Ahlisunnah sebagai mazhab yang lebih
dekat kepada agama Islam yang sejati. Tentu saja di sini juga terdapat
pengecualian; contohnya Wilfred Medelung dari Universitas Oxford, ahli sejarah
ini berargumentasi bahwa pemahaman-pemahaman
Syi’ah adalah berhubungan dengan awal munculnya Islam, dan dibandingkan dengan
pandangan tradisional Ahlisunnah pemahaman-pemahaman itu lebih dekat kepada
realitas sejarah. Di dalam ensiklopedia ringkas Islam yang memuat segala
macam pokok masalah, penulis artikel-artikel di dalamnya memilih beberapa
pandangan Sunni dan sufi, kemudian setiap kali dia mengemukakan kajian Syi’ah
maka dia menyatakannya sebagai masalah non-Islam. Dia, di sebagian buku ini,
menulis sebuah artikel tentang Syi’ah yang dia sebut dengan nama Shi’ism. Dia
juga menulis artikel tentang Mulla Sadra dan artikel-artikel lain berkaitan
dengan Syi’ah yang hampir semuanya berkaca mata negatif. Meskipun buku ini
adalah karya yang bagus, akan tetapi jika orang yang polos membacanya, maka dia
akan berpandangan negatif terhadap Syi’ah. Inilah sekilas tentang pandangan
Barat terhadap Syi’ah yang patut untuk dicermati. Tapi perlu Anda ketahui bahwa
pandangan ini berada dalam proses perubahan.
Fakta menunjukkan dua pola pandang terhadap Islam, yaitu Islam yang sejati adalah tasawuf, atau prihal semacam Wahabisme. Ini pola pandang umum. Jika anda mencari Islam faktual, maka Anda akan menemukan hal seperti tasawuf, atau hal seperti Wahabisme. Menurut saya, ada semacam kepentingan politik di balik persoalan ini; karena, jika memang Islam adalah Wahabisme, siapa coba yang akan menyukai agama Islam? Oleh karena itu, banyak pihak yang berusaha untuk memperkenalkan Wahabisme sebagai Islam yang sejati dan sesungguhnya. Begitu pula jika mereka memperkenalkan Islam dalam format tasawuf, maksud mereka adalah Islam tidak berhubungan dengan kehidupan nyata, yakni kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Maka dari itu, secara umum ini juga merupakan problem tersendiri. Satu contoh, ketika kita berbicara tentang kebangkitan-kebangkitan Islami dan semacamnya, seringkali mereka menilainya sebagai hal-hal yang non-Islami. Tentu saja banyak perincian dalam persoalan ini, namun inilah pandangan umum yang ada.
Sayang sekali, pada umumnya Syi’ah tidak dikenal secara utuh dan sempurna serta tidak dihormati. Coba Anda lihat buku Islam dan Syi’ah dari Universitas Tel Aviv. Pada tahun 1980, orang-orang Yahudi mendidik banyak murid untuk meneliti Syi’ah –tentunya hal itu juga disebabkan oleh apa yang telah terjadi di Iran-, salah satu hasilnya adalah buku yang berjudul Medieval Muslim Scholar at Work : The Life, Sources and Method of Ibn Tawus and His Library, ditulis oleh Etan Kohlberg dan berkenaan dengan salah satu ilmuwan abad pertengahan, buku ini bagus sekali. Dengan demikian, ada juga orang-orang yang mengkaji Syi’ah secara serius. Etan Kohlberg adalah salah satu peneliti mazhab Syi’ah yang terbaik. Walaupun harus dicatat bahwa dia mempunyai tujuan-tujuan yang cenderung negatif dalam mengkaji Syi’ah. Maka itu, mereka memang melakukan berbagai penelitian tentang Syi’ah, tapi bukan karena mereka menyukainya, melainkan dengan maksud mengendalikan dan menaklukkan orang-orang yang semestinya mengetahui hal itu secara baik dan benar. Orang-orang Barat melakukan tugas ini secara baik. Waktu melihat buku itu, saya jadi malu pada diri sendiri, kenapa kita orang-orang muslim tidak melakukan hal-hal yang sebaik ini. Maksud saya, buku ini adalah karya bibliografi yang bagus sekali tentang Ibnu Thawus.
Etan Kohlberg telah
menulis banyak pengantar dan artikel di dalam ensiklopedia Islam
Iya, benar. Perlu diingat
bahwa secara umum di dalam kajian-kajian Islami, bahkan di Amerika sendiri,
mayoritas para spesialis di bidang ini dan juga di bidang Syi’ah adalah
orang-orang Yahudi dan Zionis, kenyataan ini perlu sekali untuk diperhatikan.
Maksud saya adalah, salah satu nilai lebih dan positif dari majalah
internasional kajian-kajian Syi’ah –yang kami terbitkan- ini adalah majalah dan
media cetak pertama di Barat yang secara spesialis mengemukakan kajian-kajian
Syi’ah dan sama sekali tidak berada di bawah dominasi orang-orang yang biasanya
mengendalikan kajian-kajian Islam di sana, yakni orang-orang Yahudi dan
semisalnya; karena, pada umumnya kajian-kajian Islam di Barat berada di bawah
kendali orang-orang Yahudi dan Baha’i.
Sebagai seorang
peneliti –yang seandainya tidak bermazhab Syi’ah-, bagaimana Anda melakukan
patologi terhadap aliran Syi’ah, apa poin-poin yang ingin Anda sampaikan dalam
hal ini?
Pertanyaan ini global
sekali; maksud saya, pertanyaan ini bisa dikaji dari sudut pandang ilmu,
penelitian, sosial dan lain sebagainya, dan masing-masing akan menghasilkan
jawaban yang berbeda sesuai dengan dimensinya. Saya bisa katakan berkenaan
dengan Syi’ah bahwa, apabila Anda mengunjungi toko buku di Amerika, maka
seperti biasa Anda akan melihat toko besar buku di sana mengkhususkan bagian
tersendiri untuk buku-buku Islam, tapi di sana Anda tidak akan mendapatkan
–kecuali sangat jarang sekali- buku tentang rasionalitas Ahlibait as. Kira-kira
semua buku Islam di sana berpola pandang Sunni atau anti-Syi’ah. Maka dari itu,
salah satu kendala besar adalah meskipun di dalam sejarah Islam, Syi’ah
senantiasa berada di barisan paling depan dalam perkembangan intelektual,
penelitian dan penyebaran ilmu-ilmu Islam, akan tetapi di Barat kita belum
mampu melakukan hal-hal yang bagus. Banyak buku yang kita terjemahkan, tapi
pada umumnya terjemahan-terjemahan ini di tingkat menengah dan penyampaiannya
juga pada tingkat menengah ke bawah, audiens atau pembacanya juga orang-orang Syi’ah
yang ada di berbagai komunitas. Contohnya, publisher Ansharian telah
menyebarkan buku-buku yang bagus, tapi mayoritas buku-buku itu dialamatkan
kepada orang-orang muslim. Perlu diingat bahwa untuk mencapai masyarakat yang
lebih luas, harus ada pola baru dalam menyodorkan pandangan-pandangan Ahlibait
as. Ketika seseorang pergi ke sebuah toko buku, seyogianya dia juga bisa
melihat buku yang berlandaskan kepada hadis-hadis imam suci as. yang disodorkan
secara indah, baru dan menawan, meskipun disebutkan bahwa “Lâ yasquth al-maisûr
bi al-ma‘sûr.” (yakni, yang mudah tidak gugur dari tanggung jawab karena yang
susah.) Namun, kita juga harus berusaha semaksimal mungkin.
Poin berikutnya adalah,
untuk mendapatkan pembaca yang lebih banyak, kita harus menemukan cara untuk
dapat menyodorkan gagasan-gagasan Syi’ah kepada audiens yang lebih banyak,
khususnya gagasan tentang “Konsep Walayah”. Banyak hal yang bisa dilakukan atas
konsep walayah dan gerakannya agar bisa memperoleh audiens yang lebih banyak
lagi. Bisa dengan mencetak buku dengan cover yang indah, penampilan yang
menarik, dan bahasa yang bagus. Itu artinya, penerbitan adalah penting sekali. Sayang
harus saya katakan bahwa biasanya ketika kualitas buku bagus, penulisnya bukan
ahli walayah; ketika isinya bagus, wadah dan tampilannya tidak bagus, ini
adalah problem tersendiri. Maka dari itu, isi dan kulit harus kita gabungkan
secara bagus dan menarik. Ketika di toko buku saya pergi ke bagian agama Budha
dan sebagainya, di sana saya melihat buku-buku indah sekali yang menjelaskan
rasionalitas Budha, Konfusius dan sebagainya, buku-buku itu menarik sekali.
Anda bisa memilih beberapa
hadis dari Amirul Mukminin Ali as., kemudian menerjemahkannya dengan metode
inovatif yang menawan bagi masyarakat luas, bisa juga Anda gunakan seni lukis
yang menghadirkan lukisan-lukisan terkait dengan tiap-tiap hadis, setelah itu Anda
sodorkan buku itu kepada masyarakat dengan cara menjalin hubungan dengan
publisher-publisher profesional yang mampu menyebarluaskan buku tersebut. Anda
juga menyodorkan buku itu dalam bentuk serial atau berkala. Buku bagus lain
yang pernah diedarkan adalah Misbahus Syari’ah yang disandarkan kepada Imam
Ja’far Shadiq as., buku ini telah diterjemahkan dengan baik, tapi sayang sudah
lama buku ini tidak dicetak ulang. Kita lebih butuh pada buku-buku seperti ini,
sehingga kita dapat menyodorkannya secara menarik kepada publik dan menjelaskan
konsep walayah kepada mereka.
Tema-tema apa dan
bidang-bidang apa saja yang menurut Anda lebih penting untuk diteliti?
Sebagaiamana kami singgung
sebelumnya, saya yakin bahwa tidak ada jalan yang lebih baik dan efektif untuk
memasuki hati masyarakat Barat daripada penjelasan yang sesungguhnya akan
konsep walayah. Saya sekarang sedang menulis buku tentang Islam, di dalam buku
ini saya berusaha untuk mendefinisikan dimensi-dimensi Islam di dalam kerangka
walayah, khususnya berkenaan dengan ayat “هُنَالِکَ
الوَلَايَةُ للهِ الحَق” (Di sana walayah untuk Allah Yang Haq. (QS.
Al-Kahfi/18: 44.); ubudiyah atau penyembahan bisa diterangkan di dalam kerangka
walayah, begitu pula rububiyah atau kepengaturan Tuhan, bahkan semua dimensi
Islam juga bisa diterangkan di dalam kerangka itu. Salah satu hal yang patut
diingat adalah, ketika kita berbicara tentang sisi-sisi kosmologis, spiritual,
dan praktis walayah, maka kita bisa menarik perhatian para mahasiswa. Hal ini
bukan dengan pernyataan bahwa saya berkeyakinan ini dan beramal itu di dalam
Islam, melainkan yang menarik bagi mereka adalah ruh di balik semua ini. Murni mengatakan
bahwa Islam adalah meyakini ini dan mengamalkan itu, tidak akan menarik
seseorang kepadanya, atau minimalnya hanya segelintir orang yang akan tertarik
ke sana; mayoritas mahasiswa muda dan pemikir tidak tertarik dengan pola
seperti ini. Itulah salah satu faktor kenapa mereka cenderung kepada
rasionalitas dunia Timur, mistik dan lain sebagainya di sana; karena, bukan
hanya keyakinan ini dan amalan itu yang disodorkan kepada mereka di sana. Pada
kenyataannya, Islam juga mempunyai semua nilai-nilai positif itu, karena Islam
dimulai dengan pemikiran. Saya pikir, salah satu bidang yang memerlukan
penelitian baru adalah penjelasan konsep-konsep Qur’ani; seperti makna tafakur
atau pemikiran? Apa bedanya antara tafakur dan tadabur? Apa yang dimaksud dengan
ulul albab? Dan lain sebagainya. Baru saja saya melihat hadis yang indah sekali
dari Imam Ja’far Shadiq as. tentang makna ulul albab. Terjemahkan hadis-hadis
seperti ini ke bahasa Inggris; tulislah buku-buku kecil berkenaan dengan
topik-topik seperti ini dan sebarkan. Ini indah dan menarik sekali. Oleh karena
itu, kita memerlukan penelitian di bidang ini dan tentang metodologi Ahlibait
as. Contohnya, ada satu buku yang bagus sekali ditulis oleh Syekh Husain
Bahrani, buku itu berjudul Al-Thorîq Ilâ Allôh, dia punya penjelasan yang indah
tentang metodologi Ahlibait as., dan salah satu dosen saya meminta kepada saya
untuk menyodorkan gagasan-gagasan buku ini dengan bahasa Inggris kepada para
pembaca yang luas; karena, inilah hal-hal yang dibutuhkan oleh masyarakat
sekarang, dan di bidang inilah kita memerlukan penelitian yang lebih baru,
banyak dan mendalam.
Menurut saya, masyarakat sekarang tidak begitu menyukai kajian-kajian murni teologi atau hukum fikih. Semua ini penting sekali, tapi tidak menarik hati masyarakat, apalagi di Barat yang mayoritas penduduknya tidak punya kapasitas untuk mencecap fikih akibat kebejatan dan berbagai persoalan lain yang melanda mereka. Maka dari itu, tidak bisa hati orang ditarik dengan cara mengatakan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus ditinggalkan, melainkan bisa ditarik dengan cara menjelaskan jalan Ahlibait as.; seperti konsep prasangka baik kepada Allah dan konsep tawakal; makna konsep-konsep ini harus dijelaskan secara baik dan benar. Satu contoh, Anda pusatkan perhatian kepada hadis yang menceritakan kejadian pasca tragedi Asyura; suatu hari Imam Ali Zainul Abidin bin Husain as. bepergian, dan kemudian beliau sampai pada kafilah yang di antara mereka ada orang yang tergolong pembantai Imam Husain as. di padang Karbala. Orang itu punya kebiasaan meminta air dari siapa saja di sahara yang memiliki air, dia pun ingin pergi untuk menghampiri rombongan Imam as., karena persediaan airnya sudah habis. Seorang datang kepada dia dan mengatakan bahwa rombongan yang akan kamu hampiri adalah rombongan Imam Ali Zainul Abidin as., dan mengingat apa yang telah kamu perbuat terhadap ayah beliau di Karbala, maka kamu tidak mungkin dapat air darinya. Mendengar berita itu, dia jadi putus asa. Tapi tiba-tiba dia melihat seorang berjalan kaki ke arah kuda dia dan kemudian memberikan air kepadanya. Ketika orang itu sadar bahwa yang sedang memberi air kepadanya adalah Imam Ali Zainul Abidin as., maka secara spontan dia berkata kepada beliau, “Mungkin Anda tidak mengenal siapa saya; karena, jika Anda mengenalku niscaya Anda tidak akan memberikan air ini kepadaku.” Imam Ali Zainul Abidin as. berkata kepadanya, “Hari itu adalah harimu, sedangkan hari ini adalah hariku.”
Waktu Anda menyodorkan cerita ini kepada masyarakat, mereka pasti heran dan akan berkomentar, “Pasti ada kenyataan agung di balik semua ini yang menimbulkan akhlak mulia pada diri manusia.” Kita butuh pola seperti ini untuk menarik hati masyarakat. Sayangnya, mayoritas buku-buku kita tentang Syi’ah memiliki pola pandang teologi atau hukum fikih, dan ini tidak memberikan daya tarik yang dibutuhkan di sini. Terkadang pula buku-buku ini menyodorkan Syi’ah campuran dengan mistik, sehingga membuat orang kebingungan. Jika kita memperhatikan riwayat hidup Ahlibait as. secara teliti dan meneladaninya, maka hal itu lebih menjanjikan kesuksesan kita.
Apa yang Anda maksud
dengan dua hal adalah manusia dan imam?
Ingatlah kembali ayat yang
saya bacakan tadi, “هُنَالِکَ الوَلَايَةُ للهِ الحَق” (Di sana
walayah untuk Allah Yang Haq. (QS. Al-Kahfi/18: 44.); walayah hanyalah
bergantung pada Allah swt.; ini berarti rububiyah atau kepengaturan Tuhan dan
ubudiyah atau penyembahan pada Tuhan. Adapun maula berarti wadah walayah, yakni
imam. Inilah pandangan dunia kita. Menurut saya, walayah adalah sebuah
aktualitas. Bukan sekedar perasaan atau abstraksi. Walayah adalah pertunjukan
dinamis di seluruh alam ada. Contohnya, ada walayah antara matahari dan bumi.
Maka dari itu, ayat-ayat “هُنَالِکَ الوَلَايَةُ للهِ الحَق” bisa ditafsirkan dengan dua metode. Contohnya, walayah
bisa berarti “walayah dari ciptaan kepada Mahabenar”, bisa juga diartikan
dengan “walayah dari Mahabenar kepada ciptaan”. Yang kedua berarti rububiyah
atau kepengaturan Tuhan, sedangkan yang pertama berarti ubudiyah atau
penyembahan pada Tuhan. Dengan demikian, dua hal ini juga telah kita jelaskan
atas dasar konsep walayah.
Atas dasar itu, apakah rububiyah? Rububiyah adalah semacam walayah. Apakah ubudiyah? Ubudiyah adalah semacam walayah juga. Walayah meliputi apa saja? Walayah senantiasa mengandung cinta. Maka dari itu, saya menjelaskan kepada para mahasiswa bahwa problem kelompok Wahabi adalah mereka punya iman dan berkeyakinan kepada Tuhan, akan tetapi mereka tidak mengetahui dan menyadari pokok bahwa walayah mengandung sebuah cinta antara semua makhluk. Oleh karena itu, mereka –orang-orang Wahabi- tergolong kelompok pembangkang. Ketika Amirul Mukminin Ali as. berkata, يمرقون من الدين کما يمرق السهم من الرمية [6] artinya, mereka tidak mengerti makna walayah. Memang mereka meyakini Tuhan dan sunnah, akan tetapi mereka telah melupakan rindu dan cinta, dan ketika cinta terlupakan maka walayah telah dilanggar. Dan ketika walayah dilanggar, maka agama pun telah berakhir, walaupun Anda komitmen dengan hukum fikih dan akidah. Dengan demikian, walayah adalah poros agama Islam, dan inilah yang menarik bagi masyarakat luas.
Menurut Anda, bagaimana
posisi Syi’ah di masa depan dan di ruang globalisasi?
Secara umum, mengingat
fenomena-fenomena yang semua orang dapat menyaksikannya langsung, Islam
sekarang diserang dari berbagai arah dan dimensi. Salah satu problem
globalisasi adalah dia mendukung satu bentuk pluralisme yang pada dasarnya,
mengaku bahwa tidak ada seorang pun yang berhak menuntut hak. Kita semua
mempunyai akidah, semua akidah adalah sejajar. Ini salah satu kendala
globalisasi yang dihadapi oleh Islam dalam kapasitasnya sebagai pola kehidupan
yang dinamis, berdasarkan pandangan dunia yang khas, spiritual, praktis dan
ideologis. Memang benar, pada dasarnya Islam mempunyai program globalisasi yang
khas dan sampai batas-batas tertentu bertentangan dengan enerji-enerji di balik
globalisasi masa kini. Globalisasi masa kini berada di bawah pengaruh liberal –
kapitalisme dan enerji-enerji lain. Oleh karena itu, organisasi perdagangan
internasional dan lembaga-lembaga yang serupa berusaha untuk mempropagandakan
norma-norma liberal – kapitalisme ke seluruh penjuru dunia, sehingga pada
akhirnya mayoritas penduduk bumi terpaksa hidup miskin dan hanya minoritas
mereka yang kaya raya. Atas dasar itu, satu di antara sekian tantangan yang
dihadapi oleh Islam sekarang adalah menyuguhkan sebuah kritik yang teratur dan
teliti terhadap globalisasi masa kini, bukan sekedar kritik reaktif, melainkan
kritik yang aktif, membangun dan maju. Begitu pula harus dipandang bagaimana pola
dan pendekatan Islam terhadap persatuan global; yakni, apa usulan yang
disodorkan oleh Islam sebagai ganti dari liberal – kapitalisme atau ideologi
sekuler – humanis?
Kadang-kadang saya merasa sebagian ulama berlebihan dalam memusatkan perhatian dan enerji mereka kepada kajian-kajian aplikasi-komparatif Islam dengan Kristen atau Yahudi; kenapa begitu karena dalam kapasitasnya sebagai agama, Kristen dan Yahudi adalah kekuatan-kekuatan yang sedang menjalani proses dekadensi di dunia. Kendala yang sesungguhnya sekarang nyata adalah terkait dengan sekular – humanisme dan kapitalisme. Pada titik-titik penting inilah semestinya perhatian lebih dipusatkan, yakni bagaimana Islam memberikan jawaban yang aktif, membangun dan maju terhadap persoalan-persoalan itu. Ini adalah tantangan yang besar.
Sayid Muhammad Baqir Sadr dan ulama yang lain, baik dari kalangan Syi'ah maupun Ahlisunnah, telah berhasil di masa hidup mereka dalam menanggapi masalah komunisme, banyak sekali buku karya mereka yang mengkritisi komunisme secara apik, kuat dan benar. Namun, sampai sekarang usaha yang serupa belum saya saksikan berkenaan dengan rencana liberal – kapitalisme modern ini; artinya, apa yang sekarang sedang terjadi di Irak, Afganistan, dan berbagai penjuru dunia yang lain adalah sebagian dari sebuah rencana yang besar, dan sayangnya masih banyak ulama dan cendekiawan yang bingung bagaimana caranya menghadapi masalah ini.
Menurut Anda, apa
tantangan yang dihadapi oleh orang-orang Syi'ah dan apa yang harus dipersiapkan
oleh mereka dalam rangka menghadapi bahaya-bahaya yang sedang dan akan terjadi?
Pertanyaan ini luas
sekali. Mengenai Syi'ah, mungkin harus dikatakan bahwa kita ini sekarang sedang
hidup di dunia yang betul-betul dalam kondisi perubahan. Saya pikir masalah
terbesar sekarang adalah menarik hati kalangan muda. Betul-betul masalah yang
besar bagaimana mayoritas hati anak-anak muda sekarang bisa kita tarik; karena,
dari satu sisi menurut saya, liberalisme dan model liberal – kapitalis adalah
produk terbaik setan. Selama bertahun-tahun lamanya setan telah menguji-coba
berbagai cara, dan pada akhirnya mereka menemukan cara yang terbaik.
Sebetulnya, masalah terbesar sekarang adalah bagaimana kita dapat menyuguhkan
Islam secara menarik. Kita kembali lagi ke persoalan yang tadi, yaitu
penyodoran akidah dalam bentuk hukum bukanlah senjata yang sesuai untuk
digunakan pada medan pertempuran yang khas ini. Oleh karena itu, terpaksa kita
harus menemukan sarana-sarana yang lebih efektif, agar kita dapat menarik
perhatian kalangan muda, baik di Timur maupun di Barat.
Sumber: Majalah Syi'eh Syenosi,
Nomor 13
Catatan:
1. International Journal
of Shii Studies.
2. Imam Ja'af Shodiq as. berkata:
2. Imam Ja'af Shodiq as. berkata:
"بني الاسلام علی خمس: علی الصلاة و الزکاة و الصوم و الحج و الولاية، و لم يناد بشيئ لما نودي بالولاية."
(Muhammad bin Ya'qub Kulaini, Al-Kâfî, jilid 2, hal. 18, hadis 1).
3. Imam Ja'far Shodiq as. berkata:
(Muhammad bin Ya'qub Kulaini, Al-Kâfî, jilid 2, hal. 18, hadis 1).
3. Imam Ja'far Shodiq as. berkata:
"درهم ربا اشد من سبعين زنية کلها بذات محرم."
(Muhammad bin Hasan Thusi, Al-Tahdzîb, jilid 7, hal. 14, hadis ke-61, bab 22.)
4. Lih: Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr Al-Anwâr, jilid 3, hal. 153, hadis 1, bab 5.
5. Ibid., jilid 25, hal. 23, hadis 39, bab 1.
6. Ibnu Abi Hadid, Syarh Nahj Al-Balâghoh, jilid 1, bab 3, hal. 201.
(Muhammad bin Hasan Thusi, Al-Tahdzîb, jilid 7, hal. 14, hadis ke-61, bab 22.)
4. Lih: Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr Al-Anwâr, jilid 3, hal. 153, hadis 1, bab 5.
5. Ibid., jilid 25, hal. 23, hadis 39, bab 1.
6. Ibnu Abi Hadid, Syarh Nahj Al-Balâghoh, jilid 1, bab 3, hal. 201.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar