Oleh Vlatko Vedral*
Mekanika quantum bukan cuma
tentang partikel-partikel amat kecil. Ia berlaku pada benda segala ukuran:
burung, tanaman, bahkan mungkin manusia.
Menurut buku-buku teks
fisika standar, mekanika quantum adalah teori dunia mikroskopis. Ia menguraikan
partikel, atom, dan molekul tapi memberi jalan kepada fisika klasik biasa
mengenai skala makroskopis buah pear, manusia, dan planet. Di antara molekul
dan buah pear terdapat batas di mana keanehan perilaku quantum berakhir dan
kefamiliaran fisika klasik berawal. Kesan bahwa mekanika quantum terbatas pada
dunia mikro telah merembesi pemahaman sains masyarakat. Contoh, fisikawan
Universitas Columbia, Brian Greene, menulis di halaman pertama buku suksesnya
(dan unggul), The Elegant Universe, bahwa
mekanika quantum “menyediakan kerangka teoritis untuk memahami alam semesta
pada skala terkecil.” Fisika klasik, yang meliputi segala teori non-quantum,
termasuk teori relativitas Albert Einstein, mengurusi skala terbesar.
Tapi penyekatan dunia ini
hanyalah mitos. Segelintir fisikawan modern berpikir bahwa fisika klasik
memiliki status setara dengan mekanika quantum; ia tak lain adalah penaksiran
berguna terhadap dunia yang quantum pada semua skala. Walaupun efek-efek
quantum lebih sulit dijumpai di dunia-makro, penyebabnya tidak ada kaitan
dengan ukuran melainkan dengan cara interaksi sistem-sistem quantum. Sampai
dekade yang lalu, para pelaku eksperimen belum mengkonfirmasi bahwa perilaku
quantum berlangsung pada skala makroskopis. Namun sekarang ini mereka biasa
mengkonfirmasinya. Efek-efek ini lebih merembes daripada yang diduga siapapun.
Mereka mungkin beroperasi dalam sel-sel tubuh kita.
Bahkan kami yang berkarir
mempelajari efek-efek ini masih harus mencerna apa yang mereka sampaikan
tentang cara kerja alam. Perilaku quantum mengelak dari visualisasi dan akal
sehat. Ia memaksa kita meninjau ulang cara memandang alam semesta dan menerima
gambaran dunia kita yang baru dan tak familiar.
Singkatnya, mekanika quantum lazimnya dikatakan sebagai teori
benda-benda mikroskopis: molekul, atom, partikel sub-atom. Tapi hampir semua
fisikawan berpikir teori ini berlaku pada segala sesuatu, tak peduli berapapun
ukurannya. Alasan mengapa fitur-fitur khasnya cenderung tersembunyi bukanlah
urusan skala belaka. Selama beberapa tahun terakhir para pelaku eksperimen
telah menyaksikan efek-efek quantum pada sistem makroskopis yang kian bertambah
banyak. Efek quantum quintesensial, yakni keterjeratan, dapat terjadi pada
sistem besar dan juga hangat—termasuk organisme hidup—sekalipun goncangan
molekul (molecular jiggling) mengacaukan
keterjeratan.
Kisah Jeratan
Bagi fisikawan quantum, fisika klasik adalah citra hitam-putih dunia Technicolor. Kategori-kategori klasik kita gagal menangkap dunia tersebut dengan segala kekayaannya (richness). Dalam pandangan buku teks lama, corak kaya tercuci seiring peningkatan ukuran. Partikel-partikel individual adalah quantum; secara keseluruhan mereka klasik. Tapi petunjuk pertama bahwa ukuran bukanlah faktor penentu berasal dari eksperimen pikiran paling masyhur dalam fisika, kucing Schrödinger.
Bagi fisikawan quantum, fisika klasik adalah citra hitam-putih dunia Technicolor. Kategori-kategori klasik kita gagal menangkap dunia tersebut dengan segala kekayaannya (richness). Dalam pandangan buku teks lama, corak kaya tercuci seiring peningkatan ukuran. Partikel-partikel individual adalah quantum; secara keseluruhan mereka klasik. Tapi petunjuk pertama bahwa ukuran bukanlah faktor penentu berasal dari eksperimen pikiran paling masyhur dalam fisika, kucing Schrödinger.
Erwin Schrödinger membuat
skenario tak wajar ini pada 1935 untuk mengilustrasikan bagaimana dunia-mikro
dan dunia-makro saling bergandengan, mencegah terbentuknya garis sembarang di
antara mereka. Mekanika quantum menyatakan, sebuah atom radioaktif bisa busuk
dan tidak busuk pada waktu yang sama. Jika atom tersebut terhubung dengan
sebotol racun, sehingga kucing akan mati jika atom membusuk, maka sang binatang
terlantar dalam status quantum yang sama sebagaimana atom. Keanehan satu
menjangkiti yang lain. Ukuran tidak penting. Teka-tekinya adalah, kenapa para
pemilik kucing hanya melihat peliharaan mereka hidup atau mati.
Paradoks Quantum (Mengamati Pengamat)
Ide bahwa mekanika quantum
berlaku pada segala sesuatu di alam semesta, bahkan pada kita manusia, bisa berujung
pada beberapa kesimpulan aneh. Pertimbangkan varian eksperimen pikiran kucing
Schrödinger terkenal yang ditelurkan peraih Nobel Eugene P. Wigner pada 1961
dan dielaborasi oleh David Deutsch dari Universitas Oxford pada 1986.
Asumsikan seorang fisikawan
eksperimen terampil, Alice, menempatkan temannya, Bob, di dalam sebuah ruangan
bersama seekor kucing, sebuah atom radioaktif, dan racun kucing yang akan
terlepas jika atom tersebut membusuk. Gunanya menempatkan manusia di situ
adalah agar kita bisa berkomunikasi dengannya. (Mendapat jawaban dari kucing
tidaklah semudah itu). Bagi Alice, atom memasuki status busuk dan tidak busuk,
sehingga kucing mati sekaligus hidup. Namun, Bob dapat mengamati kucing secara
langsung dan melihatnya hidup atau mati. Alice menyelipkan sehelai kertas ke
bawah pintu, bertanya pada Bob apakah kucingnya berada dalam status definitif.
Dia menjawab, “Ya.”
Camkan, Alice tidak
bertanya apakah kucingnya mati atau hidup sebab baginya itu akan memaksa
hasilnya atau, seperti kata para fisikawan, “mengkolapskan” status. Dia puas
mengamati temannya melihat kucing itu hidup atau mati dan tidak bertanya
[kondisi] mana persisnya. Karena Alice menghindar mengkolapskan status, teori
quantum berpandangan bahwa penyelipan kertas ke bawah pintu merupakan aksi yang
dapat dibalik (reversible act). Dia bisa
membatalkan (undo) semua langkah yang
diambilnya. Jika kucing itu mati, kini akan hidup, racun akan berada dalam
botol, partikel belum membusuk, dan Bob tak punya ingatan pernah melihat kucing
mati.
Tapi tersisa satu jejak:
helai kertas tadi. Alice bisa membatalkan pengamatan sedemikian rupa tapi tidak
lantas membatalkan tulisan di kertas. Kertas tersebut tetap menjadi bukti bahwa
Bob telah mengamati kucing sebagai [objek] yang hidup definitif atau mati
definitif.
Ini membawa kita pada
kesimpulan mengherankan. Alice sanggup membalik pengamatan karena, baginya, dia
menghindar mengkolapskan status; baginya, status Bob sama tidak tentunya dengan
kucing. Tapi teman di dalam ruangan menganggap status tersebut memang kolaps.
Orang ini memang melihat hasil definitif; kertas itu buktinya. Dengan demikian,
eksperimen ini mendemonstrasikan dua prinsip yang tampaknya kontradiktif. Alice
berpikir mekanika quantum berlaku pada objek-objek makroskopis: bukan hanya
kucing, Bob juga berada dalam status terlantar quantum. Bob berpikir bahwa
kucing-kucing hanya bisa mati atau hidup [tidak mati sekaligus hidup].
Mengerjakan eksperimen
semacam ini terhadap seluruh manusia akan menimbulkan keputusasaan, tapi fisikawan
dapat melaksanakan hal yang sama dengan sistem-sistem sederhana. Anton
Zeilinger dan koleganya di Universitas Wina mengambil sebuah photon dan
melambungkannya pada cermin besar. Jika photon terpantul, maka cermin
terpental, tapi jika photon menembus, maka cermin tetap di tempatnya. Photon
memainkan peran atom membusuk; ia bisa eksis secara serentak dalam lebih dari
satu status. Cermin, tersusun dari miliaran atom, beraksi sebagai kucing dan
Bob. Entah terpental atau tidak, ini analogis dengan [status] kucing yang hidup
atau mati dan oleh Bob terlihat hidup atau mati. Proses ini dapat dibalik
dengan memantulkan photon kembali ke cermin. Pada skala lebih kecil, tim-tim
yang dipimpin Rainer Blatt dari Universitas Innsbruck dan David J. Wineland
dari National Institute of Standards and Technology di Boulder, Colorado, telah
membalik pengukuran ion-ion bervibrasi dalam perangkap ion.
Dalam mengembangkan
eksperimen pikiran berliku-liku ini, Wigner dan Deutsch mengikuti jejak Erwin
Schrödinger, Albert Einstein, dan teoris-teoris lain yang berargumen bahwa
fisikawan masih harus memahami mekanika quantum secara dalam. Selama
berdekade-dekade, kebanyakan fisikawan nyaris tidak peduli, sebab isu-isu
mendasar tidak berefek terhadap penerapan praktis teori. Tapi kini setelah kita
mampu melakukan eksperimen-eksperimen ini secara serius, tugas memahami
mekanika quantum menjadi kian urgen.
Dalam sudut pandang
modern, dunia tampak klasik karena interaksi kompleks sebuah objek dengan
sekitarnya bersekongkol untuk menyembunyikan efek-efek quantum dari penglihatan
kita. Informasi tentang status kesehatan kucing, misalnya, bocor dengan pesat
ke lingkungannya dalam bentuk photon dan pertukaran panas/kalor. Fenomena
quantum khas melibatkan kombinasi status klasik berlainan (seperti status mati
dan hidup), dan kombinasi ini cenderung berdisipasi. Kebocoran informasi
merupakan esensi sebuah proses yang dikenal sebagai dekoherensi [lihat “100
Tahun Misteri Quantum”, tulisan Max Tegmark dan John Archibald Wheeler,
Scientific American, Februari 2001].
Benda-benda yang lebih
besar cenderung lebih rentan terhadap dekoherensi dibanding benda-benda kecil.
Ini menjadi alasan kenapa fisikawan biasanya dapat mengelak dari mengakui
mekanika quantum sebagai teori dunia-mikro. Tapi dalam banyak kasus, kebocoran
informasi dapat dilambatkan atau dihentikan, dan kemudian dunia quantum
menampakkan diri kepada kita dengan segala keagungannya. Efek quantum
quintesensial adalah keterjeratan, sebuah istilah yang diciptakan Schrödinger
dalam makalah tahun 1935 yang sama yang memperkenalkan kucingnya kepada dunia.
Keterjeratan mengikat partikel-partikel individual ke dalam kesatuan tak
terbagi-bagi. Sistem klasik selalu dapat dibagi-bagi, setidaknya secara
prinsip; apapun atribut kolektifnya, itu timbul dari komponen-komponen yang
memiliki atribut tertentu. Tapi sistem terjerat tidak dapat dibongkar dengan
cara ini. Keterjeratan mempunyai konsekuensi aneh. Sekalipun partikel-partikel
terjerat terpisah jauh, mereka masih berperilaku sebagai entitas tunggal, membuat
Einstein memberi julukan terkenal “tindakan menyeramkan di kejauhan”.
Biasanya fisikawan
membicarakan keterjeratan pasangan-pasangan partikel unsur semisal elektron.
Partikel semacam ini boleh dibayangkan, secara kasar, sebagai gasing mini yang
berotasi searah atau berlawanan jarum jam, sumbu mereka menunjuk ke arah
tertentu: horizontal, vertikal, 45 derajat, dan seterusnya. Untuk mengukur
pusingan sebuah partikel, Anda harus memilih suatu arah lalu melihat apakah
partikel berpusing ke arah tersebut.
Asumsikan, sebagai
argumentasi, elektron-elektron berperilaku secara klasik. Anda dapat menyetel
satu elektron agar berpusing horizontal searah jarum jam dan elektron lain
berpusing horizontal berlawanan jarum jam; dengan begitu pusingan total mereka
adalah nol. Sumbu mereka tetap terpaku di ruang, dan ketika Anda melakukan
pengukuran, hasilnya tergantung pada apakah arah yang Anda pilih sejajar dengan
sumbu partikel. Jika Anda mengukur dua-duanya secara horizontal, Anda melihat
keduanya berpusing ke arah berlawanan; jika mengukur mereka secara vertikal,
Anda tak mendeteksi pusingan sama sekali.
Namun, untuk elektron
quantum, situasinya sangat berbeda. Anda dapat menyetel partikel-partikel ini
agar memiliki pusingan total nol sekalipun Anda belum menentukan bagaimana
pusingan mereka masing-masing. Ketika mengukur salah satu partikel, Anda akan
melihatnya berpusing searah jarum jam atau berlawanan jarum jam, secara
sembarang. Seolah-olah partikel menentukan sendiri ke arah mana berpusingnya.
Meski demikian, tak peduli arah mana yang Anda pilih untuk mengukur
elektron-elektron ini, asalkan sama untuk keduanya, mereka akan selalu
berpusing ke arah berlawanan, satu searah jarum jam dan satu sebaliknya.
Bagaimana mereka bisa tahu dan berbuat demikian? Ini masih menjadi misteri.
Lebih jauh, jika Anda mengukur satu partikel secara horizontal dan partikel
lain secara vertikal, Anda tetap akan mendeteksi pusingan untuk masing-masing;
rupanya partikel-partikel ini tak memiliki sumbu rotasi pasti. Oleh karena itu,
hasil pengukuran tidak dapat dijelaskan oleh fisika klasik.
Beraksi Sebagai Kesatuan
Sebagian besar demonstrasi keterjeratan paling banter melibatkan segenggam partikel. Semakin besar, semakin sulit untuk diisolasi dari lingkungan mereka. Partikel-partikel di dalam mereka semakin mungkin untuk terjerat dengan partikel-partikel nyasar, mengaburkan interkoneksi awal. Menurut bahasa dekoherensi, terlalu banyak informasi yang bocor ke lingkungan, mengakibatkan sistem berperilaku klasik. Kesulitan dalam mempertahankan keterjeratan adalah tantangan utama bagi kita yang berupaya mengeksploitasi efek-efek baru ini untuk kegunaan praktis, misalnya komputer quantum.
Sebagian besar demonstrasi keterjeratan paling banter melibatkan segenggam partikel. Semakin besar, semakin sulit untuk diisolasi dari lingkungan mereka. Partikel-partikel di dalam mereka semakin mungkin untuk terjerat dengan partikel-partikel nyasar, mengaburkan interkoneksi awal. Menurut bahasa dekoherensi, terlalu banyak informasi yang bocor ke lingkungan, mengakibatkan sistem berperilaku klasik. Kesulitan dalam mempertahankan keterjeratan adalah tantangan utama bagi kita yang berupaya mengeksploitasi efek-efek baru ini untuk kegunaan praktis, misalnya komputer quantum.
Sebuah eksperimen apik di
tahun 2003 membuktikan sistem-sistem besar juga dapat tetap terjerat bilamana
kebocorannya dikurangi atau ditiadakan. Gabriel Aeppli dan koleganya dari
University College London menempatkan sepotong garam lithium flouride di sebuah
medan magnet eksternal. Anda dapat membayangkan atom-atom dalam garam sebagai
magnet mini berpusing yang mencoba menyejajarkan diri dengan medan eksternal,
sebuah respon yang dikenal sebagai kerentanan magnetik (magnetic susceptibilty). Gaya yang
dikerahkan atom-atom terhadap satu sama lain beraksi sebagai sejenis tekanan
sebaya untuk membariskan mereka lebih cepat. Seraya mengubah-ubah kekuatan
medan magnet, para periset mengukur seberapa cepat atom-atom menjadi sejajar.
Mereka menemukan, atom-atom merespon jauh lebih cepat daripada yang
diindikasikan oleh kekuatan interaksi timbal-balik mereka. Jelas suatu efek tambahan
membantu atom-atom beraksi serempak, dan para periset berargumen
keterjeratanlah pelakunya. Jika demikian, 1020 atom garam membentuk
status amat terjerat (lihat gambar di
bawah].
Untuk menghindari
efek-efek gerak sembarang memalukan yang terkait dengan energi kalor, tim Aeppli
melakukan eksperimen pada temperatur sangat rendah—beberapa mili-kelvin. Namun,
sejak saat itu Alexandre Martins de Souza dan koleganya dari Brazilian Center
for Physics Research di Rio de Janeiro telah menemukan keterjeratan makroskopis
dalam material seperti karboksilat tembaga pada suhu ruangan dan lebih tinggi.
Pada sistem-sistem ini, interaksi di antara pusingan-pusingan partikel cukup
kuat untuk menahan balau termal (thermal chaos).
Dalam kasus-kasus lain, sebuah gaya eksternal menangkis efek-efek termal [lihat
“Easy Go, Easy Come”, tulisan
George Musser, News Scan, Scientific American, November 2009]. Fisikawan telah
menyaksikan keterjeratan pada sistem-sistem yang ukuran dan suhunya kian naik,
mulai dari ion-ion yang diperangkap oleh medan elektromagnetik, atom-atom ultra-dingin
pada kekisi, sampai bit-bit quantum superkonduktif [lihat
tabel di bawah].
Sistem-sistem ini analogis
dengan kucing Schrödinger. Pikirkan sebuah atom atau ion. Elektron-elektronnya
dapat eksis dekat nukleus atau lebih jauh—atau dua-duanya pada waktu yang sama.
Elektron semacam ini beraksi seperti atom radioaktif yang telah membusuk atau
belum membusuk dalam eksperimen pikiran Schrödinger. Terlepas dari apa yang
dikerjakan elektron tersebut, atom secara keseluruhan boleh jadi sedang
bergerak, katakanlah, ke kiri atau ke kanan. Gerak ini memainkan peran kucing
mati atau hidup. Menggunakan laser untuk memanipulasi atom, fisikawan dapat
menggandengkan kedua atribut. Jika elektron dekat dengan nukleus, kita dapat
membuat atom bergerak ke kiri, sedangkan jika elektron lebih jauh, kita
gerakkan atom ke kanan. Jadi status elektron terjerat dengan gerakan atom,
sebagaimana pembusukan radioaktif terjerat dengan status kucing. Kucing yang
hidup sekaligus mati ditiru oleh atom yang bergerak ke kiri sekaligus ke kanan.
Eksperimen-eksperimen lain
memperluas ide dasar ini, agar banyak atom menjadi terjerat dan memasuki
status-status yang dianggap mustahil oleh fisika klasik. Dan jika benda-benda
padat dapat terjerat sekalipun mereka besar dan hangat, cuma butuh lompatan
imajinasi kecil untuk bertanya apakah hal yang sama berlaku untuk sistem besar
dan hangat yang istimewa: kehidupan.
Burung Schrödinger
Robin Eropa adalah burung kecil yang cerdik. Setiap tahun mereka bermigrasi dari Skandinavia menuju dataran khatulistiwa Afrika yang hangat kemudian pulang di musim semi, ketika cuaca di utara lebih dapat ditolerir. Robin-robin mengarungi perjalanan pulang-pergi sejauh 13.000 kilometer ini dengan mudah dan alami.
Robin Eropa adalah burung kecil yang cerdik. Setiap tahun mereka bermigrasi dari Skandinavia menuju dataran khatulistiwa Afrika yang hangat kemudian pulang di musim semi, ketika cuaca di utara lebih dapat ditolerir. Robin-robin mengarungi perjalanan pulang-pergi sejauh 13.000 kilometer ini dengan mudah dan alami.
Manusia sudah lama
bertanya-tanya apakah burung dan binatang lain memiliki suatu kompas
terintegrasi. Pada 1970-an, suami-isteri Wolfgang dan Roswitha Wiltschko dari
Universitas Frankfurt di Jerman menangkap burung-burung robin yang sedang
bermigrasi ke Afrika dan menempatkan mereka di medan magnet buatan. Anehnya,
ternyata robin-robin tersebut tak menyadari pembalikan arah medan magnet,
mengindikasikan bahwa mereka tak dapat membedakan utara dan selatan. Namun,
burung-burung ini merespon inklinasi medan magnet bumi—yakni, sudut antara garis-garis
medan dan permukaan. Cuma itu yang mereka butuhkan untuk berlayar. Yang
menarik, robin-robin yang matanya ditutupi kain tidak merespon medan magnet
sama sekali, mengindikasikan mereka mengindera medan dengan mata.
Pada tahun 2000, Thorsten
Ritz, kala itu fisikawan di Universitas Southern Florida yang tertarik pada
burung-burung migrasi, bersama koleganya mengemukakan bahwa keterjeratan adalah
kuncinya. Dalam skenario mereka, yang memperluas penelitian terdahulu Klaus
Schulten dari Universitas Illinois, mata burung mempunyai tipe molekul di mana
dua elektron membentuk pasangan terjerat dengan pusingan total nol. Situasi
semacam ini tak dapat ditiru dengan fisika klasik. Ketika molekul ini menyerap
cahaya tampak (visible light), elektron-elektron
mendapat cukup energi untuk berpisah dan menjadi rentan terhadap pengaruh
eksternal, termasuk medan magnet bumi. Jika medan magnet berinklinasi, itu
mempengaruhi dua elektron secara berbeda, menciptakan ketidakseimbangan yang
mengubah reaksi kimiawi yang dialami molekul. Jalur kimiawi di mata
menerjemahkan perbedaan ini ke dalam impuls syaraf, akhirnya menciptakan citra
medan magnet di otak burung.
Walaupun bukti pendukung
mekanisme Ritz adalah bukti tidak langsung, Christopher T. Rogers dan Kiminori
Maeda dari Universitas Oxford telah mempelajari molekul-molekul yang serupa
dengan milik Ritz di laboratorium (bukan di dalam binatang hidup) dan
memperlihatkan bahwa molekul-molekul ini memang sensitif terhadap medan magnet
akibat keterjeratan elektron. Menurut kalkulasi yang saya dan kolega lakukan,
efek-efek quantum berlangsung di mata burung selama sekitar 100
mikrodetik—yang, dalam konteks ini, sangat lama. Rekor untuk sistem pusingan
elektron yang direkayasa secara artifisial adalah sekitar 50 mikrodetik. Kami
belum tahu bagaimana sistem alam dapat mempertahankan efek quantum begitu lama,
tapi jawabannya bisa memberi kita ide bagaimana cara melindungi komputer
quantum dari dekoherensi.
Satu proses biologis lain
di mana keterjeratan beroperasi adalah fotosintesis, proses tanaman
mengkonversi sinar matahari menjadi energi kimia. Cahaya masuk (incident light) mengeluarkan
elektron yang berada di dalam sel-sel tanaman, dan elektron-elektron ini perlu
menemukan jalan menuju tempat yang sama: pusat reaksi kimia di mana mereka
dapat menyimpan energi dan memicu reaksi yang mentenagai sel-sel tanaman.
Fisika klasik gagal menjelaskan efisiensi nyaris sempurna ini.
Eksperimen oleh beberapa
kelompok, seperti Graham R. Fleming, Mohan Sarovar dan kolega mereka di Universitas
California, Berkeley, dan Gregory D. Scholes dari Universitas Toronto,
menyiratkan bahwa mekanika quantum-lah yang bertanggungjawab atas efisiensi
tinggi proses tersebut. Di dunia quantum, sebuah partikel tidak harus menempuh
satu jalur pada satu waktu; ia dapat menempuh semuanya sekaligus. Medan-medan
elektromagnetik dalam sel tanaman bisa membuat sebagian jalur ini saling
menghapuskan dan sebagian lainnya saling menguatkan, dengan begitu mengurangi
peluang elektron mengambil jalan memutar yang boros dan meningkatkan peluang ia
dikemudikan lurus ke pusat reaksi.
Keterjeratan hanya
berlangsung sepecahan detik dan melibatkan molekul-molekul yang memiliki tak
lebih dari 100.000 atom. Apakah contoh-contoh keterjeratan yang lebih besar dan
lebih lama eksis di alam? Kita belum tahu, tapi pertanyaan ini cukup
menggairahkan untuk merangsang disiplin ilmu yang sedang muncul: biologi
quantum.
Makna Semua Ini
Bagi Schrödinger, prospek kucing yang hidup sekaligus mati adalah keabsurdan; teori apapun yang membuat prediksi semacam itu pasti bercacat. Bergenerasi-generasi fisikawan sama-sama memikul kegelisahan ini dan menganggap mekanika quantum akan berhenti berlaku pada skala lebih besar lagi. Pada 1980-an, Roger Penrose dari Oxford menyatakan gravitasi mungkin dapat membuat mekanika quantum mengalah pada fisika klasik untuk objek-objek yang lebih besar dari 20 mikrogram, dan trio fisikawan Italia—Gian Carlo Ghirardi dan Thomas Weber dari Universitas Trieste dan Alberto Rimini dari Universitas Pavia—mengemukakan partikel-partikel dalam jumlah besar secara spontan berperilaku klasik. Tapi eksperimen-eksperimen kini menyisakan ruang sedikit sekali untuk beroperasinya proses demikian. Pembagian antara dunia quantum dan dunia klasik rasanya tidak fundamental. Ini cuma soal kecerdikan eksperimen, dan segelintir fisikawan kini berpikir fisika klasik bagaimanapun akan bangkit kembali. Meskipun terdapat perbedaan, keyakinan umumnya adalah, jika sebuah teori yang lebih dalam menggantikan fisika quantum, itu akan menunjukkan bahwa dunia lebih kontraintuitif lagi daripada yang kita pahami sejauh ini.
Bagi Schrödinger, prospek kucing yang hidup sekaligus mati adalah keabsurdan; teori apapun yang membuat prediksi semacam itu pasti bercacat. Bergenerasi-generasi fisikawan sama-sama memikul kegelisahan ini dan menganggap mekanika quantum akan berhenti berlaku pada skala lebih besar lagi. Pada 1980-an, Roger Penrose dari Oxford menyatakan gravitasi mungkin dapat membuat mekanika quantum mengalah pada fisika klasik untuk objek-objek yang lebih besar dari 20 mikrogram, dan trio fisikawan Italia—Gian Carlo Ghirardi dan Thomas Weber dari Universitas Trieste dan Alberto Rimini dari Universitas Pavia—mengemukakan partikel-partikel dalam jumlah besar secara spontan berperilaku klasik. Tapi eksperimen-eksperimen kini menyisakan ruang sedikit sekali untuk beroperasinya proses demikian. Pembagian antara dunia quantum dan dunia klasik rasanya tidak fundamental. Ini cuma soal kecerdikan eksperimen, dan segelintir fisikawan kini berpikir fisika klasik bagaimanapun akan bangkit kembali. Meskipun terdapat perbedaan, keyakinan umumnya adalah, jika sebuah teori yang lebih dalam menggantikan fisika quantum, itu akan menunjukkan bahwa dunia lebih kontraintuitif lagi daripada yang kita pahami sejauh ini.
Jadi, fakta bahwa mekanika
quantum berlaku pada semua skala memaksa kita menghadapi misteri-misteri
terdalamnya. Kita tidak boleh mencoretnya sebagai rincian belaka yang hanya
berarti pada skala terkecil. Contoh, ruang dan waktu adalah dua dari
konsep-konsep klasik paling fundamental, tapi menurut mekanika quantum mereka
adalah sekunder. Keterjeratanlah yang primer. Keterjeratan menginterkoneksi
sistem-sistem quantum tanpa menyinggung ruang dan waktu. Jika ada garis pemisah
antara dunia quantum dan dunia klasik, kita dapat menggunakan ruang dan waktu
dunia klasik guna menyediakan kerangka untuk melukiskan proses-proses quantum.
Tapi tanpa garis pemisah semacam itu—dan bahkan tanpa dunia klasik—kita
kehilangan kerangka ini. Kita harus menjelaskan ruang dan waktu muncul dari
fisika tanpa ruang dan tanpa waktu.
Pemahaman ini, pada
gilirannya, akan membantu kita merukunkan fisika quantum dengan pilar besar
fisika lainnya, teori relativitas umum Einstein, yang menggambarkan gaya
gravitasi dari segi geometri ruang-waktu. Relativitas umum berasumsi bahwa
objek-objek memiliki posisi pasti dan tak pernah berada di lebih dari satu
tempat pada waktu yang sama—kontradiktif dengan fisika quantum. Banyak
fisikawan, seperti Stephen Hawking dari Universitas Cambridge, berpikir bahwa
teori relativitas harus mengalah pada teori yang lebih dalam di mana ruang dan
waktu tidak eksis. Ruang-waktu klasik muncul dari keterjeratan quantum melalui
proses dekoherensi.
Satu kemungkinan yang
lebih menarik lagi adalah bahwa gravitasi sendiri bukan gaya melainkan derau (noise) sisa yang timbul dari
kekaburan quantum gaya-gaya lain di alam semesta. Ide “gravitasi terangsang” (induced gravity) ini berasal dari
fisikawan nuklir dan pembangkang Soviet, Andrei Sakharov, pada tahun 1960-an.
Jika benar, ini tak hanya akan menurunkan gravitasi dari status gaya
fundamental tapi juga mengindikasikan upaya-upaya “quantisasi” gravitasi telah
salah jalan. Bahkan gravitasi mungkin tidak eksis di level quantum.
Implikasi status terlantar
quantum objek-objek makroskopis seperti kita memang cukup mengagetkan,
sampai-sampai fisikawan masih terjerat dalam status bingung dan kagum.
*Vlatko Vedral menjadi terkenal setelah mengembangkan cara baru
dalam mengquantisasi keterjeratan dan menerapkannya pada sistem-sistem fisikal
makroskopis. Dia menempuh studi prasarjana dan sarjana di Imperial College
London. Sejak Juni 2009, dia terjerat status gurubesar di Universitas Oxford
dan National University Singapura. Selain fisika, Vedral menghabiskan waktu
bersama ketiga anaknya dan bermain gitar listrik Yamaha dengan amplifier
Marshall yang dikeraskan sampai angka 11 (Sumber: Scientific American, Juni
2011, hal 38-43).