Setelah berita masuknya kami ke dalam mazhab
Ahlulbait menyebar luas, aku didatangi oleh salah seorang ulama besar bermazhab
Syafi’i, ia adalah seorang alim yang terkenal dan terhormat di Kota Hilb. Ia
menanyakan kepadaku dengan lemah lembut, “Mengapa engkau mengikuti mazhab
Syi’ah dan meninggalkan mazhabmu (Syafi’i)? Dan apa dalilmu bahwa Ali lebih
berhak menjadi khalifah daripada Abu Bakar?” Kemudian, aku pun mulai berdiskusi
dengannya secara panjang lebar, dan diskusi ini pun terjadi secara
berulang-ulang. Akhirnya, setelah melalui perdebatan yang panjang, ia pun
merasa puas dan menerima dalil-dalil yang kami kemukakan kepadanya. [1]
Di antara diskusi tersebut, ia menanyakan
kepadaku penjelasan tentang siapakah yang lebih berhak menjadi khalifah, apakah
Abu Bakar yang lebih berhak atau ‘Ali? Aku menjawab, “Sesungguhnya masalah ini
adalah sesuatu yang sangat jelas bahwa orang yang berhak menjadi khalifah
langsung sepeninggal Rasulullah Saw adalah Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib
As, kemudian sepeninggalnya adalah al-Hasan al-Mujtaba As, kemudian al-Husain
As yang syahid di Karbala, kemudian ‘Ali bin al-Husain Zainal Abidin, kemudian
Muhammad bin Ali al-Baqir As, kemudian Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq As,
kemudian Musa bin Ja’far al-Kazhim As, kemudian ‘Ali bin Musa ar-Ridha As,
kemudian Muhammad bin ‘Ali al-Jawad As, kemudian ‘Ali bin Muhammad al-Hadi, kemudian
al-Hasan bin ‘Ali al-‘Askari As, kemudian al-Hujjah bin al-Hasan al-Mahdi Imam
al-Gha’ib al-Muntazhar (semoga Allah mempercepat kemunculannya). Dalil Syi’ah akan hal tersebut adalah bersumber
dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw, yang telah disepakati kebenarannya
oleh Sunni dan Syi’ah. Kitab-kitab Syi’ah penuh dengan hujjah dan dalil yang
kuat, dan mereka menguatkan pendapat dan keyakinan mereka dari kitab-kitab
kalian sendiri, Ahlus Sunnah wal Jamaah. Akan tetapi, kalian tidak mau merujuk
ke kitab-kitab Syi’ah dan meneliti apa yang terkandung di dalamnya, dan hal ini
merupakan bentuk kefanatikan yang buta.”
Dalil al-Qur’an
Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya wali kamu
hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat
dan menunaikan zakat (sedekah) sementara mereka sedang melakukan ruku” (QS.
al-Maidah [5]:55). Ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan wilâyah
(kepemimpinan) ‘Ali tanpa ada keraguan sedikit pun, sesuai ijma’ (kesepakatan)
Syi’ah dan mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jamah, seperti ath- Thaban,
ar-Razi, Ibn Katsir, dan banyak ulama lainnya, yang semuanya berkata bahwa ayat
yang mulia tersebut diturunkan berkenaan dengan ‘Ali As. [2]
Tidaklah tersembunyi bagi setiap orang yang
berpikir bahwa Allah Yang Mahatinggi lagi Mahaagung, Dialah yang mengutus para
rasul kepada umat-umat manusia, Dia tidak bergantung pada kerelaan manusia.
Demikian juga tentang perkara khilafah. Perkara ini merupakan ketetapan Allah,
bukan dengan musyawarah atau pun dengan pemilihan. Sebab, kekhalifahan
(khilafah) merupakan salah satu rukun (sendi) agama, sedangkan Allah Swt.
tidaklah sekali-kali menyerahkan salah satu rukun dari rukun-rukun agama-Nya
kepada pilihan umat manusia, dimana mereka ini tidak terlepas dari pengaruh
hawa nafsunya (baca tidak maksum).
Akan tetapi, orang yang melaksanakan tugas
khilafah sepeninggal Rasulullah Saw haruslah berdasarkan perintah Allah Swt dan
orang yang maksum (terpelihara dari dosa dan kesalahan). Ayat al-Maidah tersebut merupakan nash yang jelas dalam menetapkan kepemimpinan
(wilâyah) ‘Ali As, baik Syi’ah maupun kebanyakan mufasir Ahlus Sunnah sepakat
bahwa orang yang memberikan zakat (sedekah) dalam keadaan ruku’ adalah ‘Ali,
tidak ada pertentangan dalam hal ini. Oleh karena itu, dengan bersandar kepada
ayat tersebut, ‘Ali-lah yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah
Saw.
Kemudian ia (ulama asy-Syafi’i) menyebutkan bahwa Abu Bakar lebih berhak menjadi khalifah karena ia telah menyumbangkan hartanya yang sangat banyak kepada Rasulullah Saw, ia telah menikahkan Nabi Saw dengan putrinya (‘A’isyah), dan ia juga telah menjadi imam shalat jamaah ketika Nabi Saw sakit.
Kemudian, aku katakan kepadanya, “Adapun bahwa Abu Bakar telah mempersembahkan hartanya yang sangat banyak, hal ini merupakan pengakuan yang membutuhkan dalil yang mengukuhkannya, sedangkan kami tidak mengakui hal tersebut.”
Kemudian aku katakan kepadanya, “Dari mana ia
(Abu Bakar) mendapatkan harta tesebut? Dan apakah hal tersebut terjadi di
Makkah atau di Madinah?”
Jika engkau katakan bahwa itu terjadi di Makkah, maka sesungguhnya Nabi Saw ketika di Makkah tidak pernah mempersiapkan pasukan tentara dan tidak pernah pula membangun masjid. Demikian juga, orang-orang yang telah masuk Islam saat itu banyak yang berhijrah ke Habasyah (Etopia), sedangkan Nabi Saw dan seluruh Bani Hasyim (yang tetap tinggal di Mekkah) tidak diperbolehkan menerima zakat.
Selain itu, Nabi Saw adalah orang yang kaya dengan harta Khadijah. Dan jika engkau katakan bahwa hal itu (infak harta) terjadi di Madinah, maka sesungguhnya Abu Bakar ketika berhijrah, dia hanya memiliki uang sebanyak enam ratus Dirham, yang sebagiannya telah ia tinggalkan untuk keluarganya. Ia hanya membawa uang yang tersisa dari harta tersebut, lalu ia, dan seluruh Muhajirin lainnya, hidup di tengah-tengah suku Anshar dalam keadaan membutuhkan bantuan mereka. Selain itu, Abu Bakar bukanlah seorang pedagang besar; kadang-kadang dia menjual pakaian yang ia pikul di pundaknya, lalu ia bawa ke tempat keramaian orang-orang, kadang-kadang ia mengajar anak-anak, dan kadang-kadang pula ia menjadi tukang kayu, yang membikin pintu dan yang semisalnya bagi orang yang memerlukannya.
Adapun ia telah menikahkan Rasulullah Saw dengan putrinya, maka hal ini tidak mengharuskannya menjadi penguasa bagi kaum Muslimin. Adapun ia menjadi imam shalat berjamaah ketika Nabi Saw sakit, jika riwayat ini benar, maka ini tidak mengharuskannya menjadi imam kaum Muslimin dan khalifah yang agung. Sebab, shalat jamaah berbeda dengan masalah khilafah.
Telah diriwayatkan bahwa para sahabat Nabi Saw
biasa mengimami shalat satu sama lain di antara sesama mereka, baik ketika di
Madinah maupun dalam bepergian. Seandainya alasan yang engkau kemukakan benar,
maka siapa saja di antara mereka (yang pernah menjadi imam shalat berjamaah) dapat
menjadi khalifah.
Selain itu, hadis yang menyebutkan bahwa Abu
Bakar mengimami shalat berjamaah hanya bersumber dari putrinya saja, yaitu
‘A’isyah. Sungguh, sangat mengherankan saudara-saudara kami Ahlus Sunnah ini,
mereka mengemukakan hujah dengan dalil-dalil yang lemah tersebut, lalu mereka
melupakan hadis-hadis yang diriwayatkan tentang ‘Ali As, padahal hadis-hadis
tersebut merupakan dalil yang sangat kuat dan diriwayatkan dalam jumlah yang
sangat banyak. Misalnya, hadis tentang peringatan Nabi Saw kepad
aum kerabatnya yang terdekat Nabi Saw mengumpulkan kaum kerabatnya terdekat
dengan perintah dari Allah, yaitu firman-Nya, “Dan berilah peringatan kepada
kerabat-kerabatmu yang terdekat.”(Qs. asy-Syu’ara’ [26]: 214). Ketika itu, Nabi Saw mengundang para kerabatnya
yang berjumlah sekitar empat puluh orang. Nabi Saw membuatkan makanan yang
sedikit, tetapi dapat mengenyangkan keempat puluh orang undangan tersebut.
Setelah perjamuan, Nabi Saw bersabda kepada mereka, Wahai Bani Hasyim, siapakah
di antara kalian yang ingin membantuku dalam urusanku ini?” Namun, tak seorang
pun dari mereka yang menyambut ajakan tersebut, kemudian ‘Ali As berkata, “Aku
wahai Rasulullah. Aku akan membantumu (dalam urusanmu).”
Nabi Saw mengulangi ajakannya itu sampai tiga kali, dan setiap kali ia menyampaikan seruan tersebut, setiap kali itu pula ‘Ali selalu menjawab, “Aku wahai Rasulullah.” Kemudian, Nabi Saw memegang tengkuk (leher bagian belakang) ‘Ali seraya bersabda kepadanya, “Engkau adalah washiyy-ku dan khalifahku sepeninggalku. Maka dengarkanlah ia dan patuhilah perintahnya!”
Juga hadis Ghadir Khum yang terkenal, hadis tsaqalain, hadis manzilah (kedudukan ‘Ali di sisi Rasulullah, seperti kedudukan Harum di sisi Musa), hadis safinah (perumpamaan Ahlulbait Rasulullah seperti bahtera Nuh. Barang siapa yang menaikinya, akan mendapatkan keselamatan; dan barang siapa yang meninggalkannya, akan karam dan binasa), hadis pintu pengampunan (seperti pintu pengampunan bagi Bani Israil. Barang siapa yang memasukinya, niscaya ia akan diampuni dosa-dosanya), hadis “Aku kota ilmu, dan ‘Ali adalah pintunya”, hadis persaudaraan (pada hari hijrah, Nabi Saw. mempersaudarakan ‘Ali dengan dirinya sendiri, sementara ia mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar).
Juga hadis penyampaian Surah Barâ’ah kepada
kaum musyrik Makkah, hadis penutupan semua pintu yang menuju Masjid Nabi Saw
kecuali pintu rumah ‘Ali, hadis tentang pencabutan pintu gerbang Khaibar yang
dilakukan oleh ‘Ali seorang diri, hadis tentang terbunuhnya ‘Amru bin ‘Abdu
Wudd di tangan ‘Ali (dalam tanding perang Ahzab), dan dinikahkannya ia (‘Ali)
oleh Rasulullah Saw dengan putri kinasihnya, Fatimah azZahra’ As.
Dan hadis-hadis lainnya tentang keutamaan
Amirul Mukminin ‘Ali As yang jumlahnya tak terhitung, sekiranya kami hendak
menuliskannya, tentu akan memenuhi berjilid-jilid besar buku. Apakah semua riwayat yang telah disepakati kesahihannya ini tidak menetapkan
khilafah (kekhalifahan) ‘Ali As, sedangkan riwayat-riwayat yang masih
diperselisihkan, bahkan dipalsukan tersebut, menetapkan kekhalifahan Abu Bakar?
Sungguh, hal ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan.
Akhimya, setelah melalui diskusi yang panjang, ia merasa puas dan menerima dalil-dalil yang kami kemukakan kepadanya.
Kemudian ia telah keluar dari kami dalam keadaan
bimbang terhadap mazhabnya, ia mengucapkan banyak terima kasih atas dalil-dalil
yang kami sampaikan kepadanya. Lalu ia meminta dariku sebagian kitab Syi’ah dan
kitab-kitab karangan para ulama Syi’ah, maka aku pun memberikan sebagian
darinya, di antaranya beberapa kitab karangan al-Imam al-Hujjah al-Mujahid
as-Sayyid ‘Abdul Husain Syarafuddin.
Kami berharap kepada saudara-saudara kami Ahlus
Sunnah, hendaknya mereka mau menelaah kitab-kitab karangan ulama-ulama besar
Syi’ah, tanpa diiringi dengan kefanatikan. Di antaranya, kitab-kitab karangan
aI-Imam al-Hujjah al-Mujahid as-Sayyid ‘Abdul Husain Syarafuddin, kitab
al-Ghadir, karangan Allamah al-Amini, kitab Ihqâqul Haqq dan kitab
ash-Shawârimul Muhriqah, yang keduanya merupakan karangan asy-Syahid as-Sa’id
Al-Imam Qadhi Nurullah, ‘Abâqatul Anwâr, karya al-Imam as-Sayyid Hamid Husain
al-Hindi, Ghayâtul Marâm, karya al-Imam al-Bahrani, As-Saqifah, karya
al-‘Allamah al-Muzhaffar, Dalâ’iul Sidqi, karya al-Hujjah al-Muzhaffar, dan
Ashlusy Syi’ah wa Ushuluha, karya al-Imam Kasyiful Ghitha.
Diskusi Dengan Salah Seorang
Ulama Al-Azhar
Pada 7 Dzulqaidah 1371 H sebelum Zuhur, salah seorang tokoh terpandang di Kota Hilb, Ustad Sya’ban Abu Rasul, mengabarkan kepadaku bahwa salah seorang Syaikh (guru) al-Azhar, ia adalah seorang ulama besar dan penulis kenamaan, bermaksud mengunjungiku. Ustad Sya’ban Abu Rasul berkata kepadaku, “Kapan ia (syaikh al-Azhar itu) dapat berkunjung ke rumahmu?” Aku katakan kepadanya, “Ahlan wa sahlan. Sungguh, aku mendapat kehormatan dengan kunjungannya itu. Silakan ia berkunjung kepadaku pada hari ini.”
Lalu Syaikh al-Azhar itu mengunjungiku setelah
shalat Asar. Setelah aku menyambut kedatangannya dan mempersilahkannya duduk,
ia berkata kepadaku dengan lemah lembut, “Sesungguhnya aku sengaja
mengunjungimu dengan maksud hendak menanyakan kepadamu, apa yang mendorongmu
mengikuti mazhab Syi’ah dan meninggalkan mazhab Ahlus Sunnah asy-Syafi’i?”
Sebagaimana ia, Aku menjawab pertanyaannya
dengan lemah lembut, aku katakan kepadanya, “Sebab-sebabnya banyak sekali, di
antaranya: aku melihat perbedaan yang banyak di antara sesama empat mazhab.
Kemudian aku mulai menyebutkan beberapa contoh perbedaan di antara empat mazhab
itu. Lalu aku menyebutkan sebab-sebab yang mendorongku mengikuti mazhab Syi’ah,
‘yang paling utama; adalah masalah khilafah (kekhalifahan), yang merupakan
sebab yang paling besar dan menyebabkan terjadinya perselisihan di antara
sesama kaum Muslim.”
Sebab, sangatlah tidak masuk akal jika
Rasulullah Saw meninggalkan umatnya tanpa menunjuk seorang penggantinya, yang
memerintah dengan melaksanakan syariat Allah, sebagaimana para rasul yang lain
yang menunjuk seorang washiy (yang menerima wasiat untuk meneruskan
kepemimpinannya, yakni menjadi khalifahnya sepeninggalnya).
Menurutku, telah terbukti secara meyakinkan
bahwa kebenaran ada bersama Syi’ah. Sebab, keyakinan mereka menegaskan bahwa
Nabi Saw, telah berwasiat kepada ‘Ali untuk menjadi khalifahnya sepeninggalnya
(sebelum wafatnya bahkan sejak awal dakwah beliau), dan setelahnya adalah anak
keturunannya, yaitu sebelas imam. Mereka (Syi’ah) ,mengambil hukum-hukum agama,
mereka dari dua belas Imam Ahlulbait, yaitu para Imam Maksum (terpelihara dari
dosa dan kesalahan) di dalam akidah mereka dengan dalil-dalil yang kuat.
Lantaran sebab itulah dan sebab-sebab yang
lainnya,’ aku mengikuti mazhab yang mulia ini, mazhab Ahlulbait. Selain itu,
aku tidak menemukan satu pun dalil yang mewajibkan kita mengikuti salah satu
dari mazhab yang empat. Sebaliknya, aku mendapatkan dalil-dalil yang sangat banyak
yang mewajibkan kita mengikuti mazhab Ahlulbait yang menuntun setiap Muslim ke
jalan yang lurus.”
Kemudian aku paparkan kepadanya dalil-dalil yang jelas dan tegas yang mewajibkan setiap Muslim mengikuti mazhab Ahlulbait. Semua yang hadir di rumahku saat itu, mendengarkan penjelasanku dengan seksama.
Lalu aku bertanya kepada kepada Syaikh al-Azhar
itu, “Wahai Syaikh yang mulia, engkau adalah seorang ulama yang terhormat.
Apakah engkau mendapatkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw satu dalil
pun yang mengarahkanmu untuk mengikuti salah satu dari empat mazhab yang empat
(Hanafi, Maliki, asy-Syafi’i, dan Hanbali)?”
Ia menjawab, “Sekali-kali tidak.”
Kemudian aku katakan kepadanya, “Bukankah Anda
mengetahui bahwa mazhab yang empat (madzâhibul arba’ah) itu saling bertentangan
satu sama lainnya dalam banyak masalah, dan dalam hal ini mereka tidak
berlandaskan pada dalil yang kuat atau keterangan yang jelas dan nyata bahwa
ialah yang benar, bukan yang lainnya? Orang yang terikat dengan salah satu
mazhab dari empat mazhab tersebut hanyalah menyebutkan dalil-dalil yang tidak
ada penopangnya. Sebab, ia tidak bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
Saw. Ia seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari
permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.
Misalnya, seandainya Anda tanyakan kepada
seseorang yang bennazhab Hanafi, ‘Mengapa engkau memilih mazhab Hanafi, bukan
yang lainnya? Dan mengapa engkau memilih Abu Hanifah sebagai imam untuk dirimu
setelah seribu tahun dari kematiannya? Niscaya orang tersebut tidak akan memberikan
jawaban yang memuaskan hatimu. Demikian juga jika Anda menanyakan hal yang sama
kepada seseorang yang mengikuti mazhab asy-Syafi’i, Maliki, atau Hanbali.
Rahasia di balik itu adalah setiap imam dari empat mazhab tersebut bukanlah seorang nabi atau washiyy (orang yang menerima wasiat untuk meneruskan kepemimpinan nabi). Mereka tidak mendapatkan wahyu ataupun mendapatkan ilham, mereka hanya seperti ulama yang lain, dan orang yang seperti mereka amatlah banyak.
Kemudian mereka bukanlah sahabat Nabi Saw,
kebanyakan mereka atau bahkan keseluruhan mereka tidak menjumpai Nabi Saw dan
tidak pula menjumpai para sahabat Nabi Saw. Setiap orang dari mereka (imam
mazhab yang empat) membuat mazhab untuk dirinya sendiri, ia mengikuti mazhabnya
itu dan mempunyai pendapat-pendapat tersendiri, yang boleh jadi terdapat
kesalahan atau kelalaian di dalamnya.
Dan setiap dari mereka mempunyai pendapat yang
bermacam-macam, yang satu sama lainnya saling bertentangan. Akal sehat tidak
akan dapat menerima hal itu, demikian pula hati yang bersih. Sebab, ia tidak
berdasarkan pada dalil yang tegas dan kuat, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Nabi
Saw.
Maka, orang yang berpegangan atau mengikuti
salah satu dari mazhab yang empat tersebut tidak mempunyai hujjah yang jelas
lagi kuat kelak di hadapan Allah pada Hari Perhitungan. Sesungguhnya kepunyaan
Allah-lah hujah yang jelas lagi kuat itu. Seandainya Allah menanyakan kepada
orang yang mengikuti salah satu dari mazhab yang empat itu pada hari kiamat,
dengan dalil apa engkau mengikuti mazhabmu ini? Tentu saja ia tidak mempunyai
jawaban kecuali ucapannya, “ Dan Demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu
seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang
hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya Kami mendapati bapak- bapak
Kami menganut suatu agama dan Sesungguhnya Kami adalah pengikut jejak-jejak
mereka”. (Qs. Az-Zukhruf [43]:23).
Atau, ia berkata, “Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya
Kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar Kami, lalu mereka
menyesatkan Kami dari jalan (yang benar). (Qs. Al-Azhab [33]:67).
Kemudian aku katakan kepada syaikh al-Azhar itu, “Wahai Syaikh yang mulia, apakah seseorang yang mengikuti salah satu dari mazhab yang empat itu mempunyai jawaban kelak di hadapan Allah pada hari kiamat?” Ia menundukkan kepalanya beberapa lama kemudian ia berkata, “Tidak.” Kemudian aku katakan kepadanya, “Adapun kami yang mengikuti wilâyah (kepemimpinan) al-‘itrah ath-thâhirah (keturunan yang suci), Ahlulbait Nabi Saw yang telah disucikan Allah sesuci-sucinya dari segala dosa, dan kami beribadah kepada Allah Swt dengan mengikuti fiqih al-Ja’fari, kami akan berkata kelak pada Hari Perhitungan, ketika kami berdiri di hadapan Allah Swt.”
‘Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah
memerintahkan kami dengan hal itu karena sesungguhnya Engkau telah berfirman di
dalam Kitab-Mu, “ Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. Dan apa
yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.” (Qs. Al-Hasyr [59]:7).
Dan Nabi-Mu, Muhammad Saw, telah bersabda,
sebagaimana yang telah disepakati kaum Muslim, “Sesungguhnya aku telah
meninggalkan kepada kalian dua pusaka yang sangar berharga (ats-tsaqalain),
yaitu Kitabullâh dan Itrah Ahlulbaitku; selama kalian berpegang teguh kepada
keduanya, niscaya kalian tidak akan tersesat selamanya, dan sesungguhnya
keduanya tidak akan berpisah sehingga menjumpaiku di Haudh.”
Dan Nabi-Mu juga telah bersabda, “Perumpamaan
Ahlu Bairku di rengah-rengah kalian seperti bahrera Nuh barang siapa
menaikinya, niscaya dia akan selamat; dan barangsiapa yang tertinggal darinya,
niscaya dia akan tenggelam dan binasa.”
Dan tidak diragukan lagi bahwa Imam Ja’far
ash-Shadiq As adalah dari al-i’trah ath-thâhirah (keturunan yang suci), yaitu
Ahlulbait Nabi Saw yang telah disucikan Allah sesuci-sucinya dari segala dosa.
llmunya adalah ilmu ayahnya, ilmu ayahnya adalah ilmu kakeknya, yaitu
Rasulullah Saw, sedangkan ilmu Rasulullah Saw bersumber dari Allah.
Selain itu, semua kaum Muslim telah sepakat
akan kejujuran dan keutamaan Imam Ja’far Ash-Shiidiq As: Sesungguhnya ia (Imam
Ja’far Ash-Shiidiq As) adalah seorang washiyy keenam dan Imam Maksum, sesuai
keyakinan segolongan besar kaum Muslim, yaitu para pengikut mazhab Ahlubait,
mazhab yang hak. Dan sesungguhnya ia adalah hujah Allah atas makhluk-Nya. Imam Ja’far Ash-Shadiq As meriwayatkan hadis
dari ayah dan datuknya yang suci, dan ia tidak berfatwa dengan pendapatnya
sendiri. Hadisnya adalah “hadis ayahku dan datukku”. Sebab, mereka adalah
sumber ilmu dan hikmah.
Mazhab Imam Ja’far ash-Shadiq As adalah mazhab
ayahnya, dan mazhab kakeknya bersumber dari wahyu, yang tidak akan pernah
berpaling sedikit pun darinya. Bukan dari hasil ijtihad, seperti lainnya yang
berijtihad. Oleh karena itu, orang yang mengikuti mazhab Ja’far bin Muhammad
ash-Shadiq As dan mazhab kakek-kakeknya, berarti ia telah mengikuti mazhab yang
benar dan berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw. Setelah
aku kemukakan dalil-dalil yang jelas dan kuat, Syaikh al-Azhar tersebut
mengucapkan banyak terima kasih kepadaku dan ia pun sangat memuliakan
kedudukanku.
Kemudian ia menanyakan tentang pandangan Syi’ah
terhadap para sahabat Rasulullah Saw. Lalu, aku jelaskan kepadanya bahwa Syi’ah
tidak menecela sahabat Rasulullah Saw secara keseluruhan. Akan tetapi, Syi’ah
meletakkan mereka sesuai kedudukan mereka. Sebab, di antara mereka ada yang
adil dan ada pula yang tidak adil, di antara mereka ada yang pandai dan ada
pula yang bodoh, dan di antara mereka ada yang baik dan ada pula yang jahat. Bukankah
Anda tahu apa yang telah mereka lakukan pada hari Saqifah? Mereka telah
meninggalkan jenazah Nabi mereka dalam keadaan terbujur kaku di atas tempat
tidumya, mereka berlomba-lomba memperebutkan kekhalifahan. Setiap orang dari
mereka beranggapan bahwa ialah yang berhak menjadi khalifah, seakan-akan ia
adalah barang dagangan yang dapat diperoleh bagi siapa saja yang lebih dahulu
mendapatkannya. Padahal mereka telah mendengar nash-nash yang tegas yang telah
disampaikan oleh Nabi Saw tentang kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib As, baik
sejak awal dakwahnya maupun hadis Ghadir Khum yang terkenal itu.
Selain itu, mengurusi jenazah Rasulullah Saw
lebih penting daripada urusan kekhalifahan. Bahkan, seandainya saja Rasulullah
Saw tidak mewasiatkan seseorang untuk menjadi khalifahnya (Rasulullah Saw.
secara tegas telah menunjuk ‘Ali untuk menjadi khalifahnya), maka wajib bagi
mereka untuk mengurusi jenazah Rasulullah Saw terlebih dahulu. Kemudian setelah selesai mengurusi jenazah
Rasulullah Saw, seyogyanya mereka menyatakan belasungkawa kepada keluarga
beliau, seandainya saja mereka adalah orang-orang yang adil.
Akan tetapi, dimanakah keadilan dan perasaan
hati mereka, dimanakah keluhuran akhlak, dan dimanakah ketulusan dan kecintaan?
Dan yang lebih menyakitkan lagi di dalam hati adalah penyerbuan mereka ke rumah
belahan jiwa Rasulullah Saw, Fatimah az-Zahra As, yang dilakukan oleh sekitar
lima puluh orang pria.
Mereka telah mengumpulkan kayu bakar untuk membakar rumah Fatimah dan semua orang yang di dalamnya. Sehingga ada seseorang yang berkata kepada ‘Umar, “Sesungguhnya di dalam rumah tersebut terdapat al-Hasan, al-Husain, dan Fatimah.” Akan tetapi, ‘Umar berkata, “Walaupun (di dalam rumah tersebut ada mereka).”
Peristiwa ini banyak disebutkan oleh sejarawan Ahlus Sunnah,[3] apalagi para sejarawan Syi’ah.
Semua orang tahu, baik orang yang berbakti maupun orang yang jahat, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Fatimah adalah belahan jiwaku. Barang siapa yang menyakitinya, maka ia telah menyakitiku; barang siapa yang membuatnya murka, maka ia telah membuatku murka; barang siapa yang membuatku murka, maka ia teah membuat Allah murka; dan barang siapa membuat Allah murka, maka Allah akan menyungkurkan kedua lubang hidungnya ke dalam neraka.“ Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada para sahabat Nabi Saw secara jelas menunjukkan bahwa tidak semua sahabat itu adil. Silakan Anda merujuk ke Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh al-Muslim tentang hadis Haudh, niscaya Anda akan mendapatkan kebenaran pendapat Syi’ah tentang penilaian mereka terhadap para sahabat Nabi Saw.
Jika demikian adanya, maka dosa apakah bagi
mereka (Syi’ah) jika mereka berpendapat bahwa banyak di antara sahabat Nabi Saw
yang tidak adil, sedangkan banyak dari mereka sendiri (para sahabat Nabi Saw.)
yang menunjukkan jati diri mereka sendiri. Perang Jamal dan Perang Shiffin
adalah dalil dan bukti yang paling jelas terhadap kebenaran pendapat mereka
(Syi’ah). Dan al-Qur’an telah menyingkapkan banyak keburukan perbuatan di antara
mereka (para sahabat Nabi Saw).
Bukankah Anda juga tahu apa yang telah
dilakukan oleh Mu’awiyah, ‘Amru bin ‘Ash, Marwan bin Hakam, Ziyad dan anaknya,
Mughirah bin Syu’bah, ‘Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash, Thalhah dan Zubair, yang
keduanya telah memberikan baiat kepada Amirul Mukminin ‘Ali As, tetapi keduanya
kemudian melanggar baiatnya dan memerangi Imam mereka (‘Ali bin Abi Thalib As)
bersama ‘A’isyah di Basrah, yang sebelumnya mereka telah melakukan
kejahatan-kejahatan di kota tersebut (Basrah) yang tidak pantas dilakukan oleh
seseorang yang mempunyai jiwa satria.
Selain itu, selama keberadaan Nabi Saw di
tengah-tengah mereka (para sahabat beliau), banyak di antara mereka yang
melakukan perbuatan nifâk (munafik), apakah kemudian setelah Nabi Saw menemui
Tuhannya (wafat), mereka lantas menjadi adil semuanya? Kita sama sekali tidak
pernah mendengar bahwa ada salah seorang nabi di antara nabi-nabi yang diutus
kepada umatnya, lalu semua umatnya menjadi adil. Bahkan, yang terjadl adalah
sebaliknya. Al-Qur’an dan Sunnah telah menjelaskan kepada kita tentang hal itu.
Kemudian aku katakan kepada, Syaikh al-Azhar itu, “Bagaimana menurutmu wahai
saudaraku yang mulia?” Ia menjawab, “Sungguh, apa yang telah engkau sampaikan
telah memuaskanku, semoga Allah membalas kebaikanmu dengan balasan yang
sebaik-baiknya.”
Kemudian setelah terjadi diskusi yang panjang
antara aku dengan syaikh al-Azhar itu, ia berkata, “Apakah engkau mengetahui
bahwa engkau telah memasukkan keraguan di dalam hatiku perihal empat mazhab,
dan aku juga telah condong pada mazhab Ahlulbait. Akan tetapi, aku ingin engkau
membekaliku dengan sebagian kitab Syi’ah.”. Kemudian, aku pun menghadiahkan
kepadanya beberapa kitab Syi’ah, di antaranya: kitab karangan al-Imam
Syarafuddin Dalâ’ilush Shidqi, dan al-Ghadir karya Allamah Amini. Di samping
itu, aku juga menunjukkan kepadanya beberapa kitab Syi’ah yang lainnya. Kemudian
ia mohon diri meninggalkan rumahku sembari mengucapkan pujian dan terima kasih
kepadaku, lalu ia pun pulang ke Mesir dalam keadaan ragu tentang akidah yang
dianutnya selama ini. Kemudian setelah beberapa hari, datanglah surat kepadaku
dari syaikh al-Azhar itu. Di antara isi surat tersebut, ia mengabarkan kepadaku
bahwa dia telah menganut mazhab Ahlulbait dan menjadi seorang Syi’ah. Ia
berjanji kepadaku untuk menulis buku tentang kebenaran Mazhab Ahlulbait.
Sesungguhnya apa yang telah kami persembahkan kepada para pembaca adalah bersumber dari al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi Saw, yang diriwayatkan dalam hadis sahih dalam kitab-kitab sahih Sunni, dan merupakan bukti yang kuat terhadap kekhalifahan Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib sepeninggal Rasulullah Saw secara langsung (belâ fashl), sekiranya orang yang menentang kami berlaku adil.
Perhatikanlah dengan seksama dan
sungguh-sungguh terhadap semua yang telah kami sebutkan dalam buku ini, yaitu
hujjah dan keterangan yang jelas, dengan begitu niscaya akan tersingkap
kebenaran yang hakiki bagi Anda dan akan memudahkan jalan bagi siapa saja yang
hendak menempuh jalan kebenaran. Yaitu, orang-orang yang mengikhlaskan niatnya
dan menjauhkan dirinya dari fanatisme mazhab yang membutakan hati dan pikiran
sehat dan membinasakan. Orang yang bersikeras dalam fanatismenya, tidak akan
berguna riwayat, walaupun jumlahnya sangat banyak dan telah dikemukakan baginya
seribu dalil.
Adapun orang yang mempunyai pikiran yang jemih
dan akal yang cerdas, maka yang telah kami persembahkan, dalil-dalil al-Qur’an
dan Sunnah, telah memadai baginya karena dalil-dalil tersebut adalah
riwayat-riwayat yang sahih yang telah disepakati kebenarannya, baik di kalangan
Sunni maupun Syi’ah.
Selain itu, orang yang bersikeras di dalam kefanatikannya, bahkan seandainya Nabi Saw sendiri yang datang kepadanya dan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya dia tetap akan berada di dalam sikap keras kepalanya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang di antara mereka, yang keras kepala, kepada saudaraku “Seandainya Jibril turun, dan ikut bersamanya Muhammad dan ‘Ali, aku tetap tidak akan membenarkan ucapanmu.”
Hal itu terjadi ketika saudaraku mengajaknya
berdialog, dan saudaraku telah memberikan kepadanya kitab al-Murâja’ât (Dialog
Sunni-Syi’ah) agar ia melihat (membaca) apa yang ada di dalamnya. Kitab
tersebut ada pada orang itu lebih dari sebulan lamanya, lalu dia mengembalikan
kitab itu kepada saudaraku seraya berkata, “Sesungguhnya aku tidak suka membaca
kitab-kitab Syi’ah. Oleh karena itu, aku sama sekali tidak membaca kitab ini
(al-Murâja ‘ât) selamanya.” Sesungguhnya buku yang hadir di hadapan Anda ini,
insya Allah, akan tersebar luas di segenap penjuru dunia, yang akan dibaca oleh
orang-orang Arab dan ‘ajam (non-Arab), Muslim dan non-Muslim.
Sesungguhnya manusia itu bermacam-macam. Dan merupakan hal yang sulit mendapatkan kerelaan seluruh manusia, bahkan itu merupakan suatu hal yang mustahil diraih. Semoga Allah Swt. mencurahkan rahmat-Nya kepada ‘Ali al-Kailani, seorang pujangga berkebangsaan Palestina yang berkata, Jika Tuhannya makhluk tidak meridhai makhluk-Nya, maka bagaimana mungkin makhluk dapat diharapkan keridhaannya. Singkat kata, sesungguhnya buku ini akan dibaca oleh banyak pembaca, di antara mereka pasti ada yang akan memuji, dan di antara mereka juga akan ada yang mengkritik, bahkan mengecamnya. Saya berharap dari pembaca yang budiman untuk tidak terburu-buru memberikan penilaian sebelum membaca sampai akhir buku. Setelah itu, ia dapat memberikan penilaiannya yang bijak, baik menerima maupun menolak.
Akan tetapi, aku tidak menduga bahwa orang yang
berpikir positif dan bijak akan menolak dalil-dalil yang telah kami kemukakan
karena ia bersumber dari kitab-kitab sandaran mereka sendiri, Ahlus Sunnah wal
Jamaah. Oleh karena itu, jika dia tidak menerima dalil-dalil tersebut, maka
hendaklah ia menyalahkan mereka, bukan kami, karena kami hanya menyampaikan apa
yang bersumber dari mereka.
Akhir kalam, aku mengucapkan terima kasih
kepada orang-orang (para ulama) yang telah menyebabkan kami memperoleh petunjuk
dengan mengikuti mazhab yang benar, yaitu mazhab Ahlulbait. Khususnya kepada
dua orang imam besar, dua tokoh terkemuka mazhab Ahlulbait dan marji’ yang
terbesar, yaitu Ayatullah al-‘Uzhma al-Imam al-Mujahid as-Sayyid Agha Husain
ath-Thabathaba’i al-Buroujerdi, dan Ayatullah a;-‘Uzhma al-Imam al-Mujahid
as-Sayyid ‘Abdul Husain Syarafuddin. Semoga Allah Swt membalas kebaikan kedua
tokoh besar mazhab Ahlulbait ini atas jasa-jasanya terhadap Islam dan kaum
Muslim, dan khususnya kepada penulis, dengan balasan yang sebaik-baiknya.
Saya selesai menuliskan naskah ini pada 29 Dzul
Hijjah al-Haram 1380 H, di Kota Hilb, dalam perpustakaanku, tempat aku
mengajar dan menulis buku. Segala puji bagi Allah Yang Awal dan Yang Akhir Yang
Lahir dan Yang Batin.
Catatan:
[1] . Allah membukakan hatinya untuk menerima
dan mengikuti mazhab yang benar yaitu mazhab Ahlulbait al-Ja’fari.
[2] . Silahkan Anda rujuk pada bagian ketiga dari buku ini.
[3] . Lihat al-Imâmah was Siyâsah. Ar-Riyadhun Nadhrah, Murujudz Dzahab, Ansâbul Asyrâf, al-Imâm ‘Ali, karya ‘Abdul Fattah ‘Abdul Maqshud, Syarh Nahjul Balâghah, karya Ibn Abil Hadid, dan kitab-kitab lainnya yang ditulis oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Anda akan mendapatkan bahwa mereka menyebutkan peristiwa yang menyedihkan dan memilukan hati ini. Adapun Syi’ah, para sejarawan mereka telah menyebutkan peristiwa yang menyakitkan hati ini berikut nama-nama mereka yang melakukan tindakan kejahatan ini. Mereka menyatakan bahwa perirstiwa penyerbuan ke rumah Fatimah As tersebut dipimpin oleh ‘Umar “seorang pahlawan yang gagah berani” tetapi gagah berani bukan di medan perang.
[2] . Silahkan Anda rujuk pada bagian ketiga dari buku ini.
[3] . Lihat al-Imâmah was Siyâsah. Ar-Riyadhun Nadhrah, Murujudz Dzahab, Ansâbul Asyrâf, al-Imâm ‘Ali, karya ‘Abdul Fattah ‘Abdul Maqshud, Syarh Nahjul Balâghah, karya Ibn Abil Hadid, dan kitab-kitab lainnya yang ditulis oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Anda akan mendapatkan bahwa mereka menyebutkan peristiwa yang menyedihkan dan memilukan hati ini. Adapun Syi’ah, para sejarawan mereka telah menyebutkan peristiwa yang menyakitkan hati ini berikut nama-nama mereka yang melakukan tindakan kejahatan ini. Mereka menyatakan bahwa perirstiwa penyerbuan ke rumah Fatimah As tersebut dipimpin oleh ‘Umar “seorang pahlawan yang gagah berani” tetapi gagah berani bukan di medan perang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar