Minggu, 17 Agustus 2014

Hujjah Syi'atul Islam

Oleh Syaikh Muhammad Mar’i al Amin al Antaki

Setelah berita masuknya kami ke dalam mazhab Ahlulbait menyebar luas, aku didatangi oleh salah seorang ulama besar bermazhab Syafi’i, ia adalah seorang alim yang terkenal dan terhormat di Kota Hilb. Ia menanyakan kepadaku dengan lemah lembut, “Mengapa engkau mengikuti mazhab Syi’ah dan meninggalkan mazhabmu (Syafi’i)? Dan apa dalilmu bahwa Ali lebih berhak menjadi khalifah daripada Abu Bakar?” Kemudian, aku pun mulai berdiskusi dengannya secara panjang lebar, dan diskusi ini pun terjadi secara berulang-ulang. Akhirnya, setelah melalui perdebatan yang panjang, ia pun merasa puas dan menerima dalil-dalil yang kami kemukakan kepadanya. [1]

Di antara diskusi tersebut, ia menanyakan kepadaku penjelasan tentang siapakah yang lebih berhak menjadi khalifah, apakah Abu Bakar yang lebih berhak atau ‘Ali? Aku menjawab, “Sesungguhnya masalah ini adalah sesuatu yang sangat jelas bahwa orang yang berhak menjadi khalifah langsung sepeninggal Rasulullah Saw adalah Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib As, kemudian sepeninggalnya adalah al-Hasan al-Mujtaba As, kemudian al-Husain As yang syahid di Karbala, kemudian ‘Ali bin al-Husain Zainal Abidin, kemudian Muhammad bin Ali al-Baqir As, kemudian Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq As, kemudian Musa bin Ja’far al-Kazhim As, kemudian ‘Ali bin Musa ar-Ridha As, kemudian Muhammad bin ‘Ali al-Jawad As, kemudian ‘Ali bin Muhammad al-Hadi, kemudian al-Hasan bin ‘Ali al-‘Askari As, kemudian al-Hujjah bin al-Hasan al-Mahdi Imam al-Gha’ib al-Muntazhar (semoga Allah mempercepat kemunculannya). Dalil Syi’ah akan hal tersebut adalah bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw, yang telah disepakati kebenarannya oleh Sunni dan Syi’ah. Kitab-kitab Syi’ah penuh dengan hujjah dan dalil yang kuat, dan mereka menguatkan pendapat dan keyakinan mereka dari kitab-kitab kalian sendiri, Ahlus Sunnah wal Jamaah. Akan tetapi, kalian tidak mau merujuk ke kitab-kitab Syi’ah dan meneliti apa yang terkandung di dalamnya, dan hal ini merupakan bentuk kefanatikan yang buta.”

Dalil al-Qur’an

Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat (sedekah) sementara mereka sedang melakukan ruku” (QS. al-Maidah [5]:55). Ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan wilâyah (kepemimpinan) ‘Ali tanpa ada keraguan sedikit pun, sesuai ijma’ (kesepakatan) Syi’ah dan mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jamah, seperti ath- Thaban, ar-Razi, Ibn Katsir, dan banyak ulama lainnya, yang semuanya berkata bahwa ayat yang mulia tersebut diturunkan berkenaan dengan ‘Ali As. [2]

Tidaklah tersembunyi bagi setiap orang yang berpikir bahwa Allah Yang Mahatinggi lagi Mahaagung, Dialah yang mengutus para rasul kepada umat-umat manusia, Dia tidak bergantung pada kerelaan manusia. Demikian juga tentang perkara khilafah. Perkara ini merupakan ketetapan Allah, bukan dengan musyawarah atau pun dengan pemilihan. Sebab, kekhalifahan (khilafah) merupakan salah satu rukun (sendi) agama, sedangkan Allah Swt. tidaklah sekali-kali menyerahkan salah satu rukun dari rukun-rukun agama-Nya kepada pilihan umat manusia, dimana mereka ini tidak terlepas dari pengaruh hawa nafsunya (baca tidak maksum).

Akan tetapi, orang yang melaksanakan tugas khilafah sepeninggal Rasulullah Saw haruslah berdasarkan perintah Allah Swt dan orang yang maksum (terpelihara dari dosa dan kesalahan). Ayat al-Maidah tersebut merupakan nash yang jelas dalam menetapkan kepemimpinan (wilâyah) ‘Ali As, baik Syi’ah maupun kebanyakan mufasir Ahlus Sunnah sepakat bahwa orang yang memberikan zakat (sedekah) dalam keadaan ruku’ adalah ‘Ali, tidak ada pertentangan dalam hal ini. Oleh karena itu, dengan bersandar kepada ayat tersebut, ‘Ali-lah yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah Saw.

Kemudian ia (ulama asy-Syafi’i) menyebutkan bahwa Abu Bakar lebih berhak menjadi khalifah karena ia telah menyumbangkan hartanya yang sangat banyak kepada Rasulullah Saw, ia telah menikahkan Nabi Saw dengan putrinya (‘A’isyah), dan ia juga telah menjadi imam shalat jamaah ketika Nabi Saw sakit.

Kemudian, aku katakan kepadanya, “Adapun bahwa Abu Bakar telah mempersembahkan hartanya yang sangat banyak, hal ini merupakan pengakuan yang membutuhkan dalil yang mengukuhkannya, sedangkan kami tidak mengakui hal tersebut.”

Kemudian aku katakan kepadanya, “Dari mana ia (Abu Bakar) mendapatkan harta tesebut? Dan apakah hal tersebut terjadi di Makkah atau di Madinah?”

Jika engkau katakan bahwa itu terjadi di Makkah, maka sesungguhnya Nabi Saw ketika di Makkah tidak pernah mempersiapkan pasukan tentara dan tidak pernah pula membangun masjid. Demikian juga, orang-orang yang telah masuk Islam saat itu banyak yang berhijrah ke Habasyah (Etopia), sedangkan Nabi Saw dan seluruh Bani Hasyim (yang tetap tinggal di Mekkah) tidak diperbolehkan menerima zakat.

Selain itu, Nabi Saw adalah orang yang kaya dengan harta Khadijah. Dan jika engkau katakan bahwa hal itu (infak harta) terjadi di Madinah, maka sesungguhnya Abu Bakar ketika berhijrah, dia hanya memiliki uang sebanyak enam ratus Dirham, yang sebagiannya telah ia tinggalkan untuk keluarganya. Ia hanya membawa uang yang tersisa dari harta tersebut, lalu ia, dan seluruh Muhajirin lainnya, hidup di tengah-tengah suku Anshar dalam keadaan membutuhkan bantuan mereka. Selain itu, Abu Bakar bukanlah seorang pedagang besar; kadang-kadang dia menjual pakaian yang ia pikul di pundaknya, lalu ia bawa ke tempat keramaian orang-orang, kadang-kadang ia mengajar anak-anak, dan kadang-kadang pula ia menjadi tukang kayu, yang membikin pintu dan yang semisalnya bagi orang yang memerlukannya.

Adapun ia telah menikahkan Rasulullah Saw dengan putrinya, maka hal ini tidak mengharuskannya menjadi penguasa bagi kaum Muslimin. Adapun ia menjadi imam shalat berjamaah ketika Nabi Saw sakit, jika riwayat ini benar, maka ini tidak mengharuskannya menjadi imam kaum Muslimin dan khalifah yang agung. Sebab, shalat jamaah berbeda dengan masalah khilafah.

Telah diriwayatkan bahwa para sahabat Nabi Saw biasa mengimami shalat satu sama lain di antara sesama mereka, baik ketika di Madinah maupun dalam bepergian. Seandainya alasan yang engkau kemukakan benar, maka siapa saja di antara mereka (yang pernah menjadi imam shalat berjamaah) dapat menjadi khalifah.

Selain itu, hadis yang menyebutkan bahwa Abu Bakar mengimami shalat berjamaah hanya bersumber dari putrinya saja, yaitu ‘A’isyah. Sungguh, sangat mengherankan saudara-saudara kami Ahlus Sunnah ini, mereka mengemukakan hujah dengan dalil-dalil yang lemah tersebut, lalu mereka melupakan hadis-hadis yang diriwayatkan tentang ‘Ali As, padahal hadis-hadis tersebut merupakan dalil yang sangat kuat dan diriwayatkan dalam jumlah yang sangat banyak. Misalnya, hadis tentang peringatan Nabi Saw kepad aum kerabatnya yang terdekat Nabi Saw mengumpulkan kaum kerabatnya terdekat dengan perintah dari Allah, yaitu firman-Nya, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.”(Qs. asy-Syu’ara’ [26]: 214). Ketika itu, Nabi Saw mengundang para kerabatnya yang berjumlah sekitar empat puluh orang. Nabi Saw membuatkan makanan yang sedikit, tetapi dapat mengenyangkan keempat puluh orang undangan tersebut. Setelah perjamuan, Nabi Saw bersabda kepada mereka, Wahai Bani Hasyim, siapakah di antara kalian yang ingin membantuku dalam urusanku ini?” Namun, tak seorang pun dari mereka yang menyambut ajakan tersebut, kemudian ‘Ali As berkata, “Aku wahai Rasulullah. Aku akan membantumu (dalam urusanmu).”

Nabi Saw mengulangi ajakannya itu sampai tiga kali, dan setiap kali ia menyampaikan seruan tersebut, setiap kali itu pula ‘Ali selalu menjawab, “Aku wahai Rasulullah.” Kemudian, Nabi Saw memegang tengkuk (leher bagian belakang) ‘Ali seraya bersabda kepadanya, “Engkau adalah washiyy-ku dan khalifahku sepeninggalku. Maka dengarkanlah ia dan patuhilah perintahnya!”

Juga hadis Ghadir Khum yang terkenal, hadis tsaqalain, hadis manzilah (kedudukan ‘Ali di sisi Rasulullah, seperti kedudukan Harum di sisi Musa), hadis safinah (perumpamaan Ahlulbait Rasulullah seperti bahtera Nuh. Barang siapa yang menaikinya, akan mendapatkan keselamatan; dan barang siapa yang meninggalkannya, akan karam dan binasa), hadis pintu pengampunan (seperti pintu pengampunan bagi Bani Israil. Barang siapa yang memasukinya, niscaya ia akan diampuni dosa-dosanya), hadis “Aku kota ilmu, dan ‘Ali adalah pintunya”, hadis persaudaraan (pada hari hijrah, Nabi Saw. mempersaudarakan ‘Ali dengan dirinya sendiri, sementara ia mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar).

Juga hadis penyampaian Surah Barâ’ah kepada kaum musyrik Makkah, hadis penutupan semua pintu yang menuju Masjid Nabi Saw kecuali pintu rumah ‘Ali, hadis tentang pencabutan pintu gerbang Khaibar yang dilakukan oleh ‘Ali seorang diri, hadis tentang terbunuhnya ‘Amru bin ‘Abdu Wudd di tangan ‘Ali (dalam tanding perang Ahzab), dan dinikahkannya ia (‘Ali) oleh Rasulullah Saw dengan putri kinasihnya, Fatimah az­Zahra’ As.

Dan hadis-hadis lainnya tentang keutamaan Amirul Mukminin ‘Ali As yang jumlahnya tak terhitung, sekiranya kami hendak menuliskannya, tentu akan memenuhi berjilid-jilid besar buku. Apakah semua riwayat yang telah disepakati kesahihannya ini tidak menetapkan khilafah (kekhalifahan) ‘Ali As, sedangkan riwayat-riwayat yang masih diperselisihkan, bahkan dipalsukan tersebut, menetapkan kekhalifahan Abu Bakar? Sungguh, hal ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan.

Akhimya, setelah melalui diskusi yang panjang, ia merasa puas dan menerima dalil-dalil yang kami kemukakan kepadanya.

Kemudian ia telah keluar dari kami dalam keadaan bimbang terhadap mazhabnya, ia mengucapkan banyak terima kasih atas dalil-dalil yang kami sampaikan kepadanya. Lalu ia meminta dariku sebagian kitab Syi’ah dan kitab-kitab karangan para ulama Syi’ah, maka aku pun memberikan sebagian darinya, di antaranya beberapa kitab karangan al-Imam al-Hujjah al-Mujahid as-Sayyid ‘Abdul Husain Syarafuddin.

Kami berharap kepada saudara-saudara kami Ahlus Sunnah, hendaknya mereka mau menelaah kitab-kitab karangan ulama-ulama besar Syi’ah, tanpa diiringi dengan kefanatikan. Di antaranya, kitab-­kitab karangan aI-Imam al-Hujjah al-Mujahid as-Sayyid ‘Abdul Husain Syarafuddin, kitab al-Ghadir, karangan Allamah al-Amini, kitab Ihqâqul Haqq dan kitab ash-Shawârimul Muhriqah, yang keduanya merupakan karangan asy-Syahid as-Sa’id Al-Imam Qadhi Nurullah, ‘Abâqatul Anwâr, karya al-Imam as-Sayyid Hamid Husain al-Hindi, Ghayâtul Marâm, karya al-Imam al-Bahrani, As-Saqifah, karya al-‘Allamah al-Muzhaffar, Dalâ’iul Sidqi, karya al-Hujjah al-­Muzhaffar, dan Ashlusy Syi’ah wa Ushuluha, karya al-Imam Kasyiful Ghitha.

Diskusi Dengan Salah Seorang Ulama Al-Azhar

Pada 7 Dzulqaidah 1371 H sebelum Zuhur, salah seorang tokoh terpandang di Kota Hilb, Ustad Sya’ban Abu Rasul, mengabarkan kepadaku bahwa salah seorang Syaikh (guru) al-Azhar, ia adalah seorang ulama besar dan penulis kenamaan, bermaksud mengunjungiku. Ustad Sya’ban Abu Rasul berkata kepadaku, “Kapan ia (syaikh al-Azhar itu) dapat berkunjung ke rumahmu?” 
Aku katakan kepadanya, “Ahlan wa sahlan. Sungguh, aku mendapat kehormatan dengan kunjungannya itu. Silakan ia berkunjung kepadaku pada hari ini.”

Lalu Syaikh al-Azhar itu mengunjungiku setelah shalat Asar. Setelah aku menyambut kedatangannya dan mempersilahkannya duduk, ia berkata kepadaku dengan lemah lembut, “Sesungguhnya aku sengaja mengunjungimu dengan maksud hendak menanyakan kepadamu, apa yang mendorongmu mengikuti mazhab Syi’ah dan meninggalkan mazhab Ahlus Sunnah asy-Syafi’i?”

Sebagaimana ia, Aku menjawab pertanyaannya dengan lemah lembut, aku katakan kepadanya, “Sebab-sebabnya banyak sekali, di antaranya: aku melihat perbedaan yang banyak di antara sesama empat mazhab. Kemudian aku mulai menyebutkan beberapa contoh perbedaan di antara empat mazhab itu. Lalu aku menyebutkan sebab-sebab yang mendorongku mengikuti mazhab Syi’ah, ‘yang paling utama; adalah masalah khilafah (kekhalifahan), yang merupakan sebab yang paling besar dan menyebabkan terjadinya perselisihan di antara sesama kaum Muslim.”

Sebab, sangatlah tidak masuk akal jika Rasulullah Saw meninggalkan umatnya tanpa menunjuk seorang penggantinya, yang memerintah dengan melaksanakan syariat Allah, sebagaimana para rasul yang lain yang menunjuk seorang washiy (yang menerima wasiat untuk meneruskan kepemimpinannya, yakni menjadi khalifahnya sepeninggalnya).

Menurutku, telah terbukti secara meyakinkan bahwa kebenaran ada bersama Syi’ah. Sebab, keyakinan mereka menegaskan bahwa Nabi Saw, telah berwasiat kepada ‘Ali untuk menjadi khalifahnya sepeninggalnya (sebelum wafatnya bahkan sejak awal dakwah beliau), dan setelahnya adalah anak keturunannya, yaitu sebelas imam. Mereka (Syi’ah) ,mengambil hukum-hukum agama, mereka dari dua belas Imam Ahlulbait, yaitu para Imam Maksum (terpelihara dari dosa dan kesalahan) di dalam akidah mereka dengan dalil-dalil yang kuat.

Lantaran sebab itulah dan sebab-sebab yang lainnya,’ aku mengikuti mazhab yang mulia ini, mazhab Ahlulbait. Selain itu, aku tidak menemukan satu pun dalil yang mewajibkan kita mengikuti salah satu dari mazhab yang empat. Sebaliknya, aku mendapatkan dalil-dalil yang sangat banyak yang mewajibkan kita mengikuti mazhab Ahlulbait yang menuntun setiap Muslim ke jalan yang lurus.”

Kemudian aku paparkan kepadanya dalil-dalil yang jelas dan tegas yang mewajibkan setiap Muslim mengikuti mazhab Ahlulbait. Semua yang hadir di rumahku saat itu, mendengarkan penjelasanku dengan seksama.

Lalu aku bertanya kepada kepada Syaikh al-Azhar itu, “Wahai Syaikh yang mulia, engkau adalah seorang ulama yang terhormat. Apakah engkau mendapatkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw satu dalil pun yang mengarahkanmu untuk mengikuti salah satu dari empat mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, asy-Syafi’i, dan Hanbali)?”

Ia menjawab, “Sekali-kali tidak.”

Kemudian aku katakan kepadanya, “Bukankah Anda mengetahui bahwa mazhab yang empat (madzâhibul arba’ah) itu saling bertentangan satu sama lainnya dalam banyak masalah, dan dalam hal ini mereka tidak berlandaskan pada dalil yang kuat atau keterangan yang jelas dan nyata bahwa ialah yang benar, bukan yang lainnya? Orang yang terikat dengan salah satu mazhab dari empat mazhab tersebut hanyalah menyebutkan dalil-dalil yang tidak ada penopangnya. Sebab, ia tidak bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Ia seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.

Misalnya, seandainya Anda tanyakan kepada seseorang yang bennazhab Hanafi, ‘Mengapa engkau memilih mazhab Hanafi, bukan yang lainnya? Dan mengapa engkau memilih Abu Hanifah sebagai imam untuk dirimu setelah seribu tahun dari kematiannya? Niscaya orang tersebut tidak akan memberikan jawaban yang memuaskan hatimu. Demikian juga jika Anda menanyakan hal yang sama kepada seseorang yang mengikuti mazhab asy-Syafi’i, Maliki, atau Hanbali.

Rahasia di balik itu adalah setiap imam dari empat mazhab tersebut bukanlah seorang nabi atau washiyy (orang yang menerima wasiat untuk meneruskan kepemimpinan nabi). Mereka tidak mendapatkan wahyu ataupun mendapatkan ilham, mereka hanya seperti ulama yang lain, dan orang yang seperti mereka amatlah banyak.

Kemudian mereka bukanlah sahabat Nabi Saw, kebanyakan mereka atau bahkan keseluruhan mereka tidak menjumpai Nabi Saw dan tidak pula menjumpai para sahabat Nabi Saw. Setiap orang dari mereka (imam mazhab yang empat) membuat mazhab untuk dirinya sendiri, ia mengikuti mazhabnya itu dan mempunyai pendapat­-pendapat tersendiri, yang boleh jadi terdapat kesalahan atau kelalaian di dalamnya.

Dan setiap dari mereka mempunyai pendapat yang bermacam-macam, yang satu sama lainnya saling bertentangan. Akal sehat tidak akan dapat menerima hal itu, demikian pula hati yang bersih. Sebab, ia tidak berdasarkan pada dalil yang tegas dan kuat, yaitu al-­Qur’an dan Sunnah Nabi Saw.

Maka, orang yang berpegangan atau mengikuti salah satu dari mazhab yang empat tersebut tidak mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat kelak di hadapan Allah pada Hari Perhitungan. Sesungguhnya kepunyaan Allah-lah hujah yang jelas lagi kuat itu. Seandainya Allah menanyakan kepada orang yang mengikuti salah satu dari mazhab yang empat itu pada hari kiamat, dengan dalil apa engkau mengikuti mazhabmu ini? Tentu saja ia tidak mempunyai jawaban kecuali ucapannya, “ Dan Demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya Kami mendapati bapak- bapak Kami menganut suatu agama dan Sesungguhnya Kami adalah pengikut jejak-jejak mereka”. (Qs. Az-Zukhruf [43]:23).

Atau, ia berkata, “Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar Kami, lalu mereka menyesatkan Kami dari jalan (yang benar). (Qs. Al-Azhab [33]:67).

Kemudian aku katakan kepada syaikh al-Azhar itu, “Wahai Syaikh yang mulia, apakah seseorang yang mengikuti salah satu dari mazhab yang empat itu mempunyai jawaban kelak di hadapan Allah pada hari kiamat?” Ia menundukkan kepalanya beberapa lama kemudian ia berkata, “Tidak.” Kemudian aku katakan kepadanya, “Adapun kami yang mengikuti wilâyah (kepemimpinan) al-‘itrah ath-thâhirah (keturunan yang suci), Ahlulbait Nabi Saw yang telah disucikan Allah sesuci-sucinya dari segala dosa, dan kami beribadah kepada Allah Swt dengan mengikuti fiqih al-Ja’fari, kami akan berkata kelak pada Hari Perhitungan, ketika kami berdiri di hadapan Allah Swt.”

‘Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memerintahkan kami dengan hal itu karena sesungguhnya Engkau telah berfirman di dalam Kitab-Mu, “ Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.” (Qs. Al-Hasyr [59]:7).

Dan Nabi-Mu, Muhammad Saw, telah bersabda, sebagaimana yang telah disepakati kaum Muslim, “Sesungguhnya aku telah meninggalkan kepada kalian dua pusaka yang sangar berharga (ats-tsaqalain), yaitu Kitabullâh dan Itrah Ahlulbaitku; selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, niscaya kalian tidak akan tersesat selamanya, dan sesungguhnya keduanya tidak akan berpisah sehingga menjumpaiku di Haudh.”

Dan Nabi-Mu juga telah bersabda, “Perumpamaan Ahlu Bairku di rengah-rengah kalian seperti bahrera Nuh barang siapa menaikinya, niscaya dia akan selamat; dan barangsiapa yang tertinggal darinya, niscaya dia akan tenggelam dan binasa.”

Dan tidak diragukan lagi bahwa Imam Ja’far ash-Shadiq As adalah dari al-i’trah ath-thâhirah (keturunan yang suci), yaitu Ahlulbait Nabi Saw yang telah disucikan Allah sesuci-sucinya dari segala dosa. llmunya adalah ilmu ayahnya, ilmu ayahnya adalah ilmu kakeknya, yaitu Rasulullah Saw, sedangkan ilmu Rasulullah Saw bersumber dari Allah.

Selain itu, semua kaum Muslim telah sepakat akan kejujuran dan keutamaan Imam Ja’far Ash-Shiidiq As: Sesungguhnya ia (Imam Ja’far Ash-Shiidiq As) adalah seorang washiyy keenam dan Imam Maksum, sesuai keyakinan segolongan besar kaum Muslim, yaitu para pengikut mazhab Ahlubait, mazhab yang hak. Dan sesungguhnya ia adalah hujah Allah atas makhluk-Nya. Imam Ja’far Ash-Shadiq As meriwayatkan hadis dari ayah dan datuknya yang suci, dan ia tidak berfatwa dengan pendapatnya sendiri. Hadisnya adalah “hadis ayahku dan datukku”. Sebab, mereka adalah sumber ilmu dan hikmah.

Mazhab Imam Ja’far ash-Shadiq As adalah mazhab ayahnya, dan mazhab kakeknya bersumber dari wahyu, yang tidak akan pernah berpaling sedikit pun darinya. Bukan dari hasil ijtihad, seperti lainnya yang berijtihad. Oleh karena itu, orang yang mengikuti mazhab Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq As dan mazhab kakek-kakeknya, berarti ia telah mengikuti mazhab yang benar dan berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw. Setelah aku kemukakan dalil-dalil yang jelas dan kuat, Syaikh al-Azhar tersebut mengucapkan banyak terima kasih kepadaku dan ia pun sangat memuliakan kedudukanku.

Kemudian ia menanyakan tentang pandangan Syi’ah terhadap para sahabat Rasulullah Saw. Lalu, aku jelaskan kepadanya bahwa Syi’ah tidak menecela sahabat Rasulullah Saw secara keseluruhan. Akan tetapi, Syi’ah meletakkan mereka sesuai kedudukan mereka. Sebab, di antara mereka ada yang adil dan ada pula yang tidak adil, di antara mereka ada yang pandai dan ada pula yang bodoh, dan di antara mereka ada yang baik dan ada pula yang jahat. Bukankah Anda tahu apa yang telah mereka lakukan pada hari Saqifah? Mereka telah meninggalkan jenazah Nabi mereka dalam keadaan terbujur kaku di atas tempat tidumya, mereka berlomba-lomba memperebutkan kekhalifahan. Setiap orang dari mereka beranggapan bahwa ialah yang berhak menjadi khalifah, seakan-akan ia adalah barang dagangan yang dapat diperoleh bagi siapa saja yang lebih dahulu mendapatkannya. Padahal mereka telah mendengar nash-nash yang tegas yang telah disampaikan oleh Nabi Saw tentang kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib As, baik sejak awal dakwahnya maupun hadis Ghadir Khum yang terkenal itu.

Selain itu, mengurusi jenazah Rasulullah Saw lebih penting daripada urusan kekhalifahan. Bahkan, seandainya saja Rasulullah Saw tidak mewasiatkan seseorang untuk menjadi khalifahnya (Rasulullah Saw. secara tegas telah menunjuk ‘Ali untuk menjadi khalifahnya), maka wajib bagi mereka untuk mengurusi jenazah Rasulullah Saw terlebih dahulu. Kemudian setelah selesai mengurusi jenazah Rasulullah Saw, seyogyanya mereka menyatakan belasungkawa kepada keluarga beliau, seandainya saja mereka adalah orang-orang yang adil.
Akan tetapi, dimanakah keadilan dan perasaan hati mereka, dimanakah keluhuran akhlak, dan dimanakah ketulusan dan kecintaan? Dan yang lebih menyakitkan lagi di dalam hati adalah penyerbuan mereka ke rumah belahan jiwa Rasulullah Saw, Fatimah az-Zahra As, yang dilakukan oleh sekitar lima puluh orang pria.

Mereka telah mengumpulkan kayu bakar untuk membakar rumah Fatimah dan semua orang yang di dalamnya. Sehingga ada seseorang yang berkata kepada ‘Umar, “Sesungguhnya di dalam rumah tersebut terdapat al-Hasan, al-Husain, dan Fatimah.” Akan tetapi, ‘Umar berkata, “Walaupun (di dalam rumah tersebut ada mereka).”

Peristiwa ini banyak disebutkan oleh sejarawan Ahlus Sunnah,[3] apalagi para sejarawan Syi’ah.
Semua orang tahu, baik orang yang berbakti maupun orang yang jahat, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Fatimah adalah belahan jiwaku. Barang siapa yang menyakitinya, maka ia telah menyakitiku; barang siapa yang membuatnya murka, maka ia telah membuatku murka; barang siapa yang membuatku murka, maka ia teah membuat Allah murka; dan barang siapa membuat Allah murka, maka Allah akan menyungkurkan kedua lubang hidungnya ke dalam neraka.“ 
Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada para sahabat Nabi Saw secara jelas menunjukkan bahwa tidak semua sahabat itu adil. Silakan Anda merujuk ke Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh al-Muslim tentang hadis Haudh, niscaya Anda akan mendapatkan kebenaran pendapat Syi’ah tentang penilaian mereka terhadap para sahabat Nabi Saw.

Jika demikian adanya, maka dosa apakah bagi mereka (Syi’ah) jika mereka berpendapat bahwa banyak di antara sahabat Nabi Saw yang tidak adil, sedangkan banyak dari mereka sendiri (para sahabat Nabi Saw.) yang menunjukkan jati diri mereka sendiri. Perang Jamal dan Perang Shiffin adalah dalil dan bukti yang paling jelas terhadap kebenaran pendapat mereka (Syi’ah). Dan al-Qur’an telah menyingkapkan banyak keburukan perbuatan di antara mereka (para sahabat Nabi Saw).

Bukankah Anda juga tahu apa yang telah dilakukan oleh Mu’awiyah, ‘Amru bin ‘Ash, Marwan bin Hakam, Ziyad dan anaknya, Mughirah bin Syu’bah, ‘Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash, Thalhah dan Zubair, yang keduanya telah memberikan baiat kepada Amirul Mukminin ‘Ali As, tetapi keduanya kemudian melanggar baiatnya dan memerangi Imam mereka (‘Ali bin Abi Thalib As) bersama ‘A’isyah di Basrah, yang sebelumnya mereka telah melakukan kejahatan-kejahatan di kota tersebut (Basrah) yang tidak pantas dilakukan oleh seseorang yang mempunyai jiwa satria.

Selain itu, selama keberadaan Nabi Saw di tengah-tengah mereka (para sahabat beliau), banyak di antara mereka yang melakukan perbuatan nifâk (munafik), apakah kemudian setelah Nabi Saw menemui Tuhannya (wafat), mereka lantas menjadi adil semuanya? Kita sama sekali tidak pernah mendengar bahwa ada salah seorang nabi di antara nabi-nabi yang diutus kepada umatnya, lalu semua umatnya menjadi adil. Bahkan, yang terjadl adalah sebaliknya. Al-Qur’an dan Sunnah telah menjelaskan kepada kita tentang hal itu. Kemudian aku katakan kepada, Syaikh al-Azhar itu, “Bagaimana menurutmu wahai saudaraku yang mulia?” Ia menjawab, “Sungguh, apa yang telah engkau sampaikan telah memuaskanku, semoga Allah membalas kebaikanmu dengan balasan yang sebaik-baiknya.”

Kemudian setelah terjadi diskusi yang panjang antara aku dengan syaikh al-Azhar itu, ia berkata, “Apakah engkau mengetahui bahwa engkau telah memasukkan keraguan di dalam hatiku perihal empat mazhab, dan aku juga telah condong pada mazhab Ahlulbait. Akan tetapi, aku ingin engkau membekaliku dengan sebagian kitab Syi’ah.”. Kemudian, aku pun menghadiahkan kepadanya beberapa kitab Syi’ah, di antaranya: kitab karangan al-Imam Syarafuddin Dalâ’ilush Shidqi, dan al-Ghadir karya Allamah Amini. Di samping itu, aku juga menunjukkan kepadanya beberapa kitab Syi’ah yang lainnya. Kemudian ia mohon diri meninggalkan rumahku sembari mengucapkan pujian dan terima kasih kepadaku, lalu ia pun pulang ke Mesir dalam keadaan ragu tentang akidah yang dianutnya selama ini. Kemudian setelah beberapa hari, datanglah surat kepadaku dari syaikh al-Azhar itu. Di antara isi surat tersebut, ia mengabarkan kepadaku bahwa dia telah menganut mazhab Ahlulbait dan menjadi seorang Syi’ah. Ia berjanji kepadaku untuk menulis buku tentang kebenaran Mazhab Ahlulbait.

Sesungguhnya apa yang telah kami persembahkan kepada para pembaca adalah bersumber dari al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi Saw, yang diriwayatkan dalam hadis sahih dalam kitab-kitab sahih Sunni, dan merupakan bukti yang kuat terhadap kekhalifahan Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib sepeninggal Rasulullah Saw secara langsung (belâ fashl), sekiranya orang yang menentang kami berlaku adil.

Perhatikanlah dengan seksama dan sungguh-sungguh terhadap semua yang telah kami sebutkan dalam buku ini, yaitu hujjah dan keterangan yang jelas, dengan begitu niscaya akan tersingkap kebenaran yang hakiki bagi Anda dan akan memudahkan jalan bagi siapa saja yang hendak menempuh jalan kebenaran. Yaitu, orang-orang yang mengikhlaskan niatnya dan menjauhkan dirinya dari fanatisme mazhab yang membutakan hati dan pikiran sehat dan membinasakan. Orang yang bersikeras dalam fanatismenya, tidak akan berguna riwayat, walaupun jumlahnya sangat banyak dan telah dikemukakan baginya seribu dalil.

Adapun orang yang mempunyai pikiran yang jemih dan akal yang cerdas, maka yang telah kami persembahkan, dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah, telah memadai baginya karena dalil-dalil tersebut adalah riwayat-riwayat yang sahih yang telah disepakati kebenarannya, baik di kalangan Sunni maupun Syi’ah.

Selain itu, orang yang bersikeras di dalam kefanatikannya, bahkan seandainya Nabi Saw sendiri yang datang kepadanya dan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya dia tetap akan berada di dalam sikap keras kepalanya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang di antara mereka, yang keras kepala, kepada saudaraku “Seandainya Jibril turun, dan ikut bersamanya Muhammad dan ‘Ali, aku tetap tidak akan membenarkan ucapanmu.”

Hal itu terjadi ketika saudaraku mengajaknya berdialog, dan saudaraku telah memberikan kepadanya kitab al-Murâja’ât (Dialog Sunni-Syi’ah) agar ia melihat (membaca) apa yang ada di dalamnya. Kitab tersebut ada pada orang itu lebih dari sebulan lamanya, lalu dia mengembalikan kitab itu kepada saudaraku seraya berkata, “Sesungguhnya aku tidak suka membaca kitab-kitab Syi’ah. Oleh karena itu, aku sama sekali tidak membaca kitab ini (al-Murâja ‘ât) selamanya.” Sesungguhnya buku yang hadir di hadapan Anda ini, insya Allah, akan tersebar luas di segenap penjuru dunia, yang akan dibaca oleh orang-orang Arab dan ‘ajam (non-Arab), Muslim dan non-Muslim.

Sesungguhnya manusia itu bermacam-macam. Dan merupakan hal yang sulit mendapatkan kerelaan seluruh manusia, bahkan itu merupakan suatu hal yang mustahil diraih. Semoga Allah Swt. mencurahkan rahmat-Nya kepada ‘Ali al-Kailani, seorang pujangga berkebangsaan Palestina yang berkata, Jika Tuhannya makhluk tidak meridhai makhluk-Nya, maka bagaimana mungkin makhluk dapat diharapkan keridhaannya. Singkat kata, sesungguhnya buku ini akan dibaca oleh banyak pembaca, di antara mereka pasti ada yang akan memuji, dan di antara mereka juga akan ada yang mengkritik, bahkan mengecamnya. Saya berharap dari pembaca yang budiman untuk tidak terburu­-buru memberikan penilaian sebelum membaca sampai akhir buku. Setelah itu, ia dapat memberikan penilaiannya yang bijak, baik menerima maupun menolak.

Akan tetapi, aku tidak menduga bahwa orang yang berpikir positif dan bijak akan menolak dalil-dalil yang telah kami kemukakan karena ia bersumber dari kitab-kitab sandaran mereka sendiri, Ahlus Sunnah wal Jamaah. Oleh karena itu, jika dia tidak menerima dalil-dalil tersebut, maka hendaklah ia menyalahkan mereka, bukan kami, karena kami hanya menyampaikan apa yang bersumber dari mereka.

Akhir kalam, aku mengucapkan terima kasih kepada orang-orang (para ulama) yang telah menyebabkan kami memperoleh petunjuk dengan mengikuti mazhab yang benar, yaitu mazhab Ahlulbait. Khususnya kepada dua orang imam besar, dua tokoh terkemuka mazhab Ahlulbait dan marji’ yang terbesar, yaitu Ayatullah al-‘Uzhma al-Imam al-Mujahid as-Sayyid Agha Husain ath-Thabathaba’i al-­Buroujerdi, dan Ayatullah a;-‘Uzhma al-Imam al-Mujahid as-Sayyid ‘Abdul Husain Syarafuddin. Semoga Allah Swt membalas kebaikan kedua tokoh besar mazhab Ahlulbait ini atas jasa-jasanya terhadap Islam dan kaum Muslim, dan khususnya kepada penulis, dengan balasan yang sebaik-baiknya.

Saya selesai menuliskan naskah ini pada 29 Dzul Hijjah al-­Haram 1380 H, di Kota Hilb, dalam perpustakaanku, tempat aku mengajar dan menulis buku. Segala puji bagi Allah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Lahir dan Yang Batin.

Catatan:


[1] . Allah membukakan hatinya untuk menerima dan mengikuti mazhab yang benar yaitu mazhab Ahlulbait al-Ja’fari.
[2] . Silahkan Anda rujuk pada bagian ketiga dari buku ini.
[3] . Lihat al-Imâmah was Siyâsah. Ar-Riyadhun Nadhrah, Murujudz Dzahab, Ansâbul Asyrâf, al-Imâm ‘Ali, karya ‘Abdul Fattah ‘Abdul Maqshud, Syarh Nahjul Balâghah, karya Ibn Abil Hadid, dan kitab-­kitab lainnya yang ditulis oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Anda akan mendapatkan bahwa mereka menyebutkan peristiwa yang menyedihkan dan memilukan hati ini. Adapun Syi’ah, para sejarawan mereka telah menyebutkan peristiwa yang menyakitkan hati ini berikut nama-nama mereka yang melakukan tindakan kejahatan ini. Mereka menyatakan bahwa perirstiwa penyerbuan ke rumah Fatimah As tersebut dipimpin oleh ‘Umar “seorang pahlawan yang gagah berani” tetapi gagah berani bukan di medan perang.Top of Form

Tidak ada komentar:

Posting Komentar