Oleh
Umam Noer
Tulisan
Said membuka banyak perdebatan mengenai kolonialisme, dan membangkitkan sebuah
kesadaran kolektif di antara orang-orang yang selama ini dibungkam. Dalam
pandangan Said, apa yang selama ini terdikotomi sebagai Timur dan Barat pada
hakikatnya adalah konsep yang tidak memiliki stabilitas ontologis, sebab Timur
dan Barat sendiri muncul sebagai ‘barang produksi’ manusia. Timur dan Barat,
masing-masing di antara kedua entitas ini merupakan buatan manusia, sebagian
dilakukan dengan melakukan afirmasi kedirian, dan sebagian lainnya dengan
meliyankan atau mengidentifikasi yang lain (the other).
Lebih
jauh Said menegaskan, bahwa apa yang kita maksud dengan Timur dan Barat tidak
lain adalah dunia antara, dari domain geografis empiris dan domain imaji.
Adalah invasi Napoleon ke Mesir pada abad 18, kontruksi mitos mengenai Timur
dan Barat diproduksi, dilanggengkan, dan dikreasikan ulang secara terus
menerus. Cerita mengenai Timur secara implisit meliputi berbagai endapan
sejarah yang terjadi di Timur, segalanya mengenai Timur, dicampakkan ke dalam
kubangan pasir. Terinjak melalui serangkaian usaha menghapuskan sejarah itu
sendiri. Sejarah yang coba dihapus, melalui serangkaian kontruksi mengenai
Barat dan Timur oleh Eropa, menitikberatkan pada cara pandang Barat terhadap
Timur, dan bagaimana Timur dikonstruksi.
Dalam
pandangan Said, sejarah pada dasarnya diciptakan oleh manusia, laki-laki dan
perempuan. Dengan memulai pada titik tersebut, maka dikotomi Barat dan Timur
dapat diubah, dirombak, dan ditulis kembali, sehingga Timur dan Barat dapat
berada di satu posisi di mana kedua belah pihak dapat mengakuinya secara
bersamaan. Saya sendiri menganggap apa yang diinginkan oleh Said adalah harapan
(atau impian?) yang memuaskan dahaga, sebuah oase di gurun yang gersang, jika
tidak mau dikatakan sebagai utopia di siang bolong.
Saya
setuju dengan Said, bahwa gagasan mengenai Timur dan Barat, atau Barat dan
Timur, bukan lah fakta alam yang statis. Kita tidak dapat membayangkan gambaran
bahwa “Timur” ada dengan sendirinya, sebagaimana kita tidak dapat membayangkan
“Barat” mewujud secara kodrati. Namun adalah fakta yang tidak dapat disangkal,
bahwa sejak awal, Eropa (bukan Amerika sebab Amerika mengidentikkan Timur dengan
wilayah Asia Timur) datang di wilayah Timur, dan wilayah Timur itu sendiri
dianggap sebagai ‘barang temuan mereka’. Bahwa Timur digambarkan sebagai
wilayah eksotis, dengan panorama indah, tempat di mana setitik cahaya surga
jatuh ke bumi.
Atas
nama imperialisme, barangkali tekanan ekologis, mereka datang ke Timur; dan
mengatasnamakan Tuhan mereka mengambil Timur sebagai wilayah mereka. Timur
kemudian tidak lagi semata hanya menjadi wilayah geografis belaka. Timur
mengalami suatu proses konstruksi, digambarkan sebagai semi-mitos, dan
dipertahankan di bawah kendali Barat. Timur tidak lagi dilihat sebatas wilayah
yang secara geografis bertetangga dengan Barat (Eropa), namun juga dilihat
sebagai sumber daya kehidupan mereka. Saingan atas kebudayaan Eropa. Melalui
Timur lah Eropa mengimajikan diri mereka sendiri, dan agar imaji itu dapat
terus bertahan, maka peliyanan atas Timur menjadi konsekuensi logis yang harus
dipertahankan: Timur adalah yang lain (the other) bagi Eropa.
Peliyanan
atas Timur terus melembaga, bahkan dalam dunia akademis. Timur dan Barat
berseteru dalam dunia yang sama sekali berbeda, tidak melalui serangkaian
serangan senjata maupun pekikan jihad, namun melalui teks dan narasi.
Orientalisme adalah anak dari perseteruan gaya baru itu. Orientalisme tidak
lain adalah gaya berpikir yang berpijak pada pembedaan ontologis dan
epistemologis antara “Timur” dan, hampir selalu, “Barat”. Bagi Said, pembedaan
ontologis dan epistemologis ini membawa konsekuensi: bahwa para penulis,
pemikir, teoritisi, kemudian selalu berpijak pada pembedaan tersebut untuk
membentuk karya mereka, termasuk teori yang mereka hasilkan.
Dalam
hal ini, saya lagi-lagi setuju dengan Said, bahwa ketika kita membaca teks-teks
orientalis, maka kita harus mempertahankan posisi diskursif pada tempatnya.
Sebab hanya dengan mengkaji teks-teks orientalis melalui proses diskursif, maka
kita dapat melihat, menyibak, dan membawa ke ruang publik, relasi ideologis
yang terdapat dalam teks-teks dan orientalisme itu sendiri. Adalah penting untuk
mengingat, bahwa orientalisme beroperasi dalam ruang-ruang kontruksi. Melalui
konstruksi ideologi dilanggengkan dan membentuk hegemoni.
Orientalisme
telah berhasil menciptakan garis demarkasi, garis pembatas, dan menciptakan
ruang yang bergerak sejalan dengan garis tersebut. Kita kemudian dapat
membayangkan Timur dan Barat sebagai sebuah ruang, sebuah wilayah geografis,
dan batas-batas ini bukan lah fiksi maupun imaji dalam pikiran. Meskipun Said
secara tegas menyatakan bahwa apa yang kita anggap sebagai ruang pada dasarnya
semi-mitos, namun Said juga menyatakan adalah sebuah kebodohan besar menganggap
orientalisme hanya sebagai imaji, fiksi, atau bahkan kebohongan. Orientalisme
lebih bermakna, lebih terlihat sebagai tanda superioritas Barat (dalam hal ini
Eropa dan wilayah Atlantik, barangkali termasuk Amerika) atas Timur.
Superioritas kompleks yang di dalamnya termasuk relasi kekuasaan, dominasi, dan
hegemoni yang kompleks.
Komplek
hegemoni, Said memulainya dengan menggambarkan kedatangan Napoleon dan
pembangunan imaji Timur atas Mesir, begitu sistematis. Melalui pembangunan
imaji yang melanggengkan superioritas, Eropa mampu menangani, bahkan
“menciptakan”, dunia Timur secara politis, ekonomis, sosiologis, bahkan
ideologis dan imajinatif. Melalui serangkaian tindakan militer, penciptaan
gambaran imaji tentang Timur sebagai Liyan dari Barat, dan melalui serangkaian
teks yang menginkorporasi imaji tersebut. Membawa imaji ke dunia nyata, membawa
gambaran mengenai apa yang sesungguhnya Timur itu, beserta seperangkat atribut
yang dilekatkan di Timur, tanpa orang Timur menyadari sepenuhnya atribut
tersebut bukanlah milik mereka sepenuhnya.
“My idea in
Orientalism is to use humanistic critique to open up the fields of
struggle, to introduce a longer sequence of thought and analysis to
replace the short bursts of polemical, thought-stopping fury that so
imprison us”
(Prolog Edisi Orientalism ke-25)
Secara
umum Said berhutang banyak pada model analisa Foucault dan Gramsci dalam
melihat bagaimana Timur dan Barat tercipta dan melembaga. Terutama dengan model
discourse Foucault dalam melihat relasi kekuasaan yang menjadi landasan
representasi Timur dalam jalur genealogi orientalisme. Penting untuk mengingat,
bahwa orientalisme tidak hanya berkaitan erat dengan kekuasaan politis belaka.
Orientalisme memiliki sejumlah hubungan gelap dengan kontsruksi dan
representasi, melahirkan anak-anak terlarang melalui ajang pertukaran berbagai
jenis kekuasaan.
Said
sendiri membagi empat jenis relasi kekuasaan yang lahir melalui rahim
orientalisme: Pertama adalah
kekuasaan politis. Kekuasaan politis muncul sebagai akibat langsung dari
kolonialisme dan imperialisme. Ketika Eropa datang, melakukan invasi, membentuk
koloni, dan menjalankan politik imperialis, maka sejak itulah kekuasaan politis
datang dan mengambil benih. Kedua
adalah kekuasaan intelektual. Berbeda dengan kekuasaan politis yang acapkali
membawa bayang negara di bawah bedil senjata, maka kekuasaan intelektual adalah
kebalikan sepenuhnya. Kekuasaan intelektual mewujud melalui
pendidikan, sains dan teknologi, linguistik, dan lain sebagainya. Kekuasaan
intelektual termanifestasi melalui jalur pendidikan yang disediakan Barat bagi
Timur, agar Timur dapat memiliki kemampuan penguasaan teknologi sebagaimana Barat.
Ketiga adalah
kekuasaan kultural. Sebagaimana kekuasaan intelektual, kekuasaan kultural tidaklah
di bawah deru kuda maupun letusan senjata. Kekuasaan kultural mewujud dalam
kanonisasi selera, teks dan nilai-nilai. Kekuasaan kultural berjalan di atas rel
konstruksi “budaya Timur yang sebenarnya”, dalam hal ini terdapat seperangkat
nilai yang dilekatkan mengenai apa “Timur” itu, bagaimana Timur mewujud dalam
bentuk kebudayaan yang “sangat khas Timur”. Keempat
adalah kekuasaan moral, di mana Barat tidak hanya melekatkan apa Timur itu,
namun juga bagaimana Timur itu sendiri, atau dalam kata lain, apa yang pantas
dan apa yang tidak pantas bagi “Timur” dan “ketimuran”.
Bagaimana
menghindari jebakan, atau bahkan melawan konstruksi, orientalisme? Said memberikan
kunci, yakni dengan menggunakan humanisme sebagai kritik. Dalam pandangan Said,
hanya dengan meletakkan kajian orientalisme dalam spirit humanistik lah akan
terdapat jalan menuju pencerahan dan emansipasi. Spirit humanistik, atau
menjadikan humanisme sebagai kritik, dapat terwujud agenda emansipatoris yang
akan bermuara terwujudnya pencerahan dan emansipasi itu sendiri. Setidaknya
buku ini bertujuan ke arah sana.
Memang
Said bukanlah yang pertama dalam menyuarakan humanisme, sebelumnya telah ada Franz
Fanon. Namun dapat dikatakan, bahwa pengaruh Said sangat besar, terutama dengan
munculnya kontroversi buku ini. Pengaruh Said tampak kentara melalui para
penerus Said, yang diapresiasi oleh Said sendiri, terutama Spivak dan Babha, ketika
berangkat melalui jalur sama yang, namun mereka memiliki cara pandang yang
berbeda. Said dalam buku ini, Orientalisme, pada dasarnya hanya berbicara
mengenai representasi Timur dan Barat, dialektika yang asimetris, dan bagaimana
imaji di sekitar Timur dan Barat. Sementara itu Spivak bergerak lebih jauh,
yakni dengan menawarkan pengetahuan tandingan: suara dari subaltern, suara dari
mereka yang selama ini dibungkam. Sedangkan Babha muncul melalui mimikri dan
ambivalensi, mengenai perlawanan tersembunyi dengan mengambil idiom sang
penjajah, meskipun Babha sendiri menjelaskan mengenai munculnya ambivalensi
dari si terjajah.
Said
lah yang meletakkan fondasi diskursus mengenai produksi pengetahuan. Menarik
melihat epilog, buku yang saya miliki kebetulan memiliki afterword yang dibuat
Said tahun 1994, bahwa ada masa di mana Said sendiri jengkel terhadap reaksi
atas buku ini. Beberapa menyebut buku ini anti-Barat, beberapa menyebutnya pendukung
ke-Islaman (walaupun ada pula yang protes sebab Said sendiri walaupun membela
Palestina namun tidak lah beragama Islam), beberapa lainnya menyebut buku ini
utopia yang memaksakan diri untuk menjadi nyata.
Namun,
tentu saja, dalam pandangan Said sendiri, Orientalisme adalah karya akademik
yang mewujud melalui latar akademik. Orientalisme bukan lah buku (atau mesin)
teoritik, namun lebih merupakan karya partisan. Orientalisme adalah cermin
dalam memandang keberadaan dan cara pandang kita terhadap apa yang kita maksud
dengan Barat dan Timur. Said melihat, apa yang menarik dari orientalisme adalah
gabungan antara konsistensi dan inkonsistensi, perkembangbiakan sepenuhnya
berada di dalam dirinya sendiri. Orientalisme adalah makhluk yang
berkembangbiak melalui pemikiran dan dominasi, dengan demikian orientalisme
hanya dapat dikaji secara kritis selama kita mampu melepaskan jubah dominasi
dalam diri, sekaligus keluar dari sangkar dan belenggu kultural yang mengekang
“hak Timur untuk bersuara”.
Bergerak
dari keinginannya untuk membongkar relasi kuasa yang asimetris, Said membongkar
persoalan representasi. Secara spesifik membahas bagaimana Timur
direpresentasikan oleh Barat. Dalam pandangan Said, kritik yang muncul atas
representasi tersebut menunjukkan bahwa Timur tidaklah dilihat sebagai entitas
sebenarnya, tidak sebagaimana adanya, melainkan bagaimana Timur seharusnya.
Dalam konteks yang lebih luas, Timur adalah bayangan buram dari Barat, sebuah
bayangan dari sosok yang “diliyankan” karena hitungan dan pertimbangan politis
strategis kepentingan Barat. Barat, yang dalam banyak hal, memang
inkonsisten dengan klaim pencerahan mereka, hingga tak jarang menggunakan
kekerasan militer demi mendapatkan bahan mentah-ekonomis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar