Kamis, 22 Mei 2014

Mulla Sadra


Mulla Shadruddin Muhammad bin Ibrahim al-Syirazi al-Qiwami, penulis Al-Hikmah Al-Muta`aliyyah fi Al-Asfar Al-`Aqliyyah Al-`Arba`ah, terkenal juga dengan nama Mulla Shadra. Murid-muridnya memanggilnya Shadr al-Muta`allihin. Sedangkan masyarakat Indo-Pakistan lebih suka menyebutnya dengan Akhun. Untuk selanjutnya disebut Mulla Shadra atau Shadra saja. Kelahiran Mulla Shadra tidak begitu diketahui dengan pasti. Sedangkan wafatnya adalah pada tahun 1050 H. la wafat di Bashrah dalam perjalanannya untuk atau sesudah mengerjakan ibadah haji dan umrah yang ketujuh. Diperkirakan umurnya kira-kira 70 tahun. Ayahnya bernama Ibrahim bin Yahya al-Qiwami, yang diperkirakan sebagai salah seorang menteri Persia yang pada waktu itu ibu kotanya adalah Syiraz.

Setelah ayahnya wafat, Mulla Shadra pergi ke Isfahan untuk mencari ilmu. Saat itu kota tersebut merupakan pusat ilmu dan pemerintahan dinasti Safawi. Di Isfahan, ia berguru pertama kali kepada seorang Syeikh al-Islam, Bahauddin al-`Amuli (953-1031 H). Sedangkan untuk filsafat, Mulla Shadra belajar kepada seorang guru yang sangat dihormatinya, Sayyid Damad Muhammad Baqir (w. 1040 H). Ketika mengantarkan Syarah atas Ushul al-Kafi, ia mengungkapkan tentang gurunya itu sebagai berikut.: “Tuanku, sandaranku, guru besarku, dan rujukanku dalam ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu ketuhanan, ilmu-ilmu hakikat, dan prinsip-prinsip keyakinan…”. Muhsin Bidarfur[1] memulai tulisan tentang riwayat kehidupannya— ketika memberi pengantar kepada tafsir Al-Quran-nya—dengan menulis sebagai berikut:

“Ia dilahirkan di Syiraz, kota tempat dilaluinya masa mudanya. Kemudian ia pergi ke Isfahan, di sana ia memanfaatkan dua guru besarnya: Syeikh al-Baha`i dan al-Damad. Selanjutnya ia pergi ke Qum dan melakukan pengasingan diri (`uzlah) di sana untuk melakukan ibadah dan olah ruhani (riyadhah ruhaniyyah). Akhirnya, ia kembali ke Syiraz dan mengajar di sana hingga akhir hayatnya yang mulia.”

Selanjutnya, mengenai perjalanan ilmiah Mulla Shadra. Perjalanan ilmiah Mulla Shadra seperti banyak dilakukan oleh para ahli tentangnya dibagi kepada tiga periode: periode belajar (dawr al-talmadzah), periode pengasingan diri (‘uzlah) dan pemusatan diri pada kegiatan-kegiatan ibadah ritual, dan periode berkarya (dawr al-talif). Pada periode belajar, Mulla Shadra lebih banyak mengikuti pandangan- pandangan para filosof dan mutakallim (ahli teologi Islam). Pada periode ini ia belum mencapai kematangan suluk `irfani, seperti dirujukkan oleh salah satu ungkapannya ketika ia memberi pengantar kepada tafsirnya tentang surat Al-Waqi`ah berikut ini, “Sebelumnya aku benar-benar banyak disibukkan oleh pembahasan yang berulang- ulang dan perujukan serius pada telaah buku-buku filsafat dan kalam, sampai-sampai aku mengira bahwa aku telah memperoleh sesuatu. Namun tatkala kesadranku tersingkapkan dan aku renungkan diriku aku temukan bahwa diriku telah memperoleh pengetahuan tentang keadaan-keadaan ontologis (ahwal al-mabda`), penyucian-Nya dari sifat-sifat mungkin dan baru, dan hukum-hukum eskatologi jiwa manusia, yang kosong dari pengetahuan ilmu-ilmu hakikat (al-`ulum al-haqiqiyyah) dan hakikat-hakikat wujud sejati (haqa`iq al-`iyan), yang hal itu hanya dapat diperoleh melalui dzawq dan rasa (wijdan).

Menurut Muhammad Ridha al-Muzhaffar, yang dimaksud dengan ilmu-ilmu hakikat adalah ilmu-ilmu mukasyafah dan `irfan. Konon, menurutnya pula, Mulla Shadra sangat menyesal kalau sebagai dari masa hidupnya telah banyak digunakan untuk lebih banyak menelaah pandangan-pandangan para filosof dan ahli kalam. Namun demikian, apa yang disesalkannya itu ternyata sangat bermanfaat bagi perjalanan akhir intelektual dan hidupnya. Pada periode belajar, Mulla Shadra sebenarnya tidak hanya menjalani periode pemikiran teologis dan filosofis saja, namun ia juga sudah memulai sebuah periode suluk irfani. Terbukti, ia diantarkan kepada periode yang kedua yaitu periode pengasingan-diri (`uzlah) untuk pemusatan diri pada kegiatan-kegiatan ibadah ritual.

Periode `uzlah dijalani Shadra di sebuah desa kecil di Kuhyek, pinggiran kota ilmu, Qum, selama lima belas tahun, sebuah rentang waktu yang cukup lama. Pada periode ini, Mulla Shadra berhenti dari kegiatan-kegiatan belajar dan menulis. Seluruh waktu hidupnya digunakan untuk beribadah, bermajahadah, dan melakukan riyadhah ruhaniyyah (olah spiritual), dan memusatkan diri dan berdoa kepada Allah SWT, yang diyakininya sebagai sebab dari segala sebab dan yang Maha Memudahkan segala urusan yang sulit. Kegiatan demikian sepanjang periode ini dilakukannya atas dasar keyakinannya bahwa manusia memiliki probabilitas untuk mencapai tahap pengetahuan ladunni dan penyingkapan yang meyakinkan (al-inkisyaf al-yaqiniy) melalui perjuangan keras dan panjang secara ruhani dan pemusatan diri kepada Allah SWT (al-inqitha` ila Allah), sesudah penyucian batin dan penghilangan tirai-tirai kotor dari dalam diri (raf al-hujub `an al-nafs).

Mengenai komentarnya atas hasil dari `uzlah yang panjang ini, Mulla Shadra, seperti dikutip oleh Muhammad Ridha Muzhaffar, mengungkapkannya sendiri sebagai berikut:

“Diriku bercahaya sebagai karunia atas lamanya perjuangan ruhani; hatiku sangat bergairah sebagai karunia atas banyaknya olah ruhani; tercurahkanlah atas semua itu sinar-sinar malakut; terbukalah rahasia-rahasia alam jabarut, diikuti oleh cahaya-cahaya tauhid (al-adhwa` al-ahadiyyah) dan kehalusan-kehalusan ilahi (al-althaf al-ilahiyyah). Dengan begitu, kuketahuilah rahasia-rahasia yang sebelumnya tidak aku ketahui hingga sekarang, tersingkaplah formulasi-formulasi yang tak tersingkapkan seperti ketersingkapan ini. Bahkan segala yang sebelumnya aku ketahui melalui argumentasi aku dapat membuktikannya dengan kesaksian (bi al-syuhud) dan pandangan mata batin (al-`iyan)…”. Ketika sampai kepada akhir periode ini, selanjutnya Mulla Shadra memulai periode hidupnya yang ketiga yaitu periode menulis. Dan buku yang pertama kali ditulisnya pada periode ini adalah bukunya yang terkenal dengan Al-Hikmah Al-Muta`aliyyah fi Al-Asfar Al-`Aqliyyah Al-`Arba`ah, buku yang menjadi pusat kajian penulis saat ini. Sedangkan buku yang ditulisnya sebelumnya, seperti ditunjukkan dalam Al-Asfar, hanya tiga risalah yaitu satu Risalah Tharh Al-Kawnayan (1;10), Risalah Hall Al-Isyakalat Al-Falakiyyah fi Al-Iradah Al-Juzafiyyah (1:176), dan Risalah Huduts Al-`Alam (1:233). Mengenai magnum opus Mulla Shadra, Al-Asfar, ini Muhammad Ridha Muzhaffar menulis, “Bagaimanapun, sungguh Al-Asfar merupakan karyanya yang pertama dalam periode kedua hidupnya ini.

Sumber: Agus Efendi (2001), Kehidupan karya dan Filsafat Mulla Shadra, Pascasarjana IAIN SGD: Bandung.

[1] Taqdim Hawla al-Kitab wa al-Mu`allif, dalam Tafsir Al-Quran Al-Karim karya Mulla Shadra, I:13. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar