Mulla
Shadruddin Muhammad bin Ibrahim al-Syirazi al-Qiwami, penulis Al-Hikmah
Al-Muta`aliyyah fi Al-Asfar Al-`Aqliyyah Al-`Arba`ah, terkenal juga dengan
nama Mulla Shadra. Murid-muridnya memanggilnya Shadr al-Muta`allihin. Sedangkan
masyarakat Indo-Pakistan lebih suka menyebutnya dengan Akhun. Untuk
selanjutnya disebut Mulla Shadra atau Shadra saja. Kelahiran Mulla Shadra tidak
begitu diketahui dengan pasti. Sedangkan wafatnya adalah pada tahun 1050 H. la
wafat di Bashrah dalam perjalanannya untuk atau sesudah mengerjakan ibadah haji
dan umrah yang ketujuh. Diperkirakan umurnya kira-kira 70 tahun. Ayahnya
bernama Ibrahim bin Yahya al-Qiwami, yang diperkirakan sebagai salah seorang
menteri Persia yang pada waktu itu ibu kotanya adalah Syiraz.
Setelah
ayahnya wafat, Mulla Shadra pergi ke Isfahan untuk mencari ilmu. Saat itu kota
tersebut merupakan pusat ilmu dan pemerintahan dinasti Safawi. Di Isfahan, ia
berguru pertama kali kepada seorang Syeikh al-Islam, Bahauddin al-`Amuli
(953-1031 H). Sedangkan untuk filsafat, Mulla Shadra belajar kepada seorang
guru yang sangat dihormatinya, Sayyid Damad Muhammad Baqir (w. 1040 H). Ketika
mengantarkan Syarah atas Ushul al-Kafi, ia mengungkapkan tentang
gurunya itu sebagai berikut.: “Tuanku, sandaranku, guru besarku, dan rujukanku
dalam ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu ketuhanan, ilmu-ilmu hakikat, dan
prinsip-prinsip keyakinan…”. Muhsin Bidarfur[1]
memulai tulisan tentang riwayat kehidupannya— ketika memberi pengantar kepada
tafsir Al-Quran-nya—dengan menulis sebagai berikut:
“Ia
dilahirkan di Syiraz, kota tempat dilaluinya masa mudanya. Kemudian ia pergi ke
Isfahan, di sana ia memanfaatkan dua guru besarnya: Syeikh al-Baha`i dan
al-Damad. Selanjutnya ia pergi ke Qum dan melakukan pengasingan diri (`uzlah)
di sana untuk melakukan ibadah dan olah ruhani (riyadhah ruhaniyyah). Akhirnya,
ia kembali ke Syiraz dan mengajar di sana hingga akhir hayatnya yang mulia.”
Selanjutnya,
mengenai perjalanan ilmiah Mulla Shadra. Perjalanan ilmiah Mulla Shadra seperti
banyak dilakukan oleh para ahli tentangnya dibagi kepada tiga periode: periode
belajar (dawr al-talmadzah), periode pengasingan diri (‘uzlah) dan
pemusatan diri pada kegiatan-kegiatan ibadah ritual, dan periode berkarya (dawr
al-talif). Pada periode belajar, Mulla Shadra lebih banyak mengikuti
pandangan- pandangan para filosof dan mutakallim (ahli teologi Islam).
Pada periode ini ia belum mencapai kematangan suluk `irfani, seperti
dirujukkan oleh salah satu ungkapannya ketika ia memberi pengantar kepada
tafsirnya tentang surat Al-Waqi`ah berikut ini, “Sebelumnya aku
benar-benar banyak disibukkan oleh pembahasan yang berulang- ulang dan
perujukan serius pada telaah buku-buku filsafat dan kalam, sampai-sampai aku
mengira bahwa aku telah memperoleh sesuatu. Namun tatkala kesadranku
tersingkapkan dan aku renungkan diriku aku temukan bahwa diriku telah
memperoleh pengetahuan tentang keadaan-keadaan ontologis (ahwal al-mabda`),
penyucian-Nya dari sifat-sifat mungkin dan baru, dan hukum-hukum
eskatologi jiwa manusia, yang kosong dari pengetahuan ilmu-ilmu hakikat (al-`ulum
al-haqiqiyyah) dan hakikat-hakikat wujud sejati (haqa`iq al-`iyan), yang
hal itu hanya dapat diperoleh melalui dzawq dan rasa (wijdan).”
Menurut
Muhammad Ridha al-Muzhaffar, yang dimaksud dengan ilmu-ilmu hakikat adalah
ilmu-ilmu mukasyafah dan `irfan. Konon, menurutnya pula, Mulla Shadra sangat
menyesal kalau sebagai dari masa hidupnya telah banyak digunakan untuk lebih
banyak menelaah pandangan-pandangan para filosof dan ahli kalam. Namun
demikian, apa yang disesalkannya itu ternyata sangat bermanfaat bagi perjalanan
akhir intelektual dan hidupnya. Pada periode belajar, Mulla Shadra sebenarnya
tidak hanya menjalani periode pemikiran teologis dan filosofis saja, namun ia
juga sudah memulai sebuah periode suluk irfani. Terbukti, ia diantarkan kepada
periode yang kedua yaitu periode pengasingan-diri (`uzlah) untuk
pemusatan diri pada kegiatan-kegiatan ibadah ritual.
Periode
`uzlah dijalani Shadra di sebuah desa kecil di Kuhyek, pinggiran kota
ilmu, Qum, selama lima belas tahun, sebuah rentang waktu yang cukup lama. Pada
periode ini, Mulla Shadra berhenti dari kegiatan-kegiatan belajar dan menulis.
Seluruh waktu hidupnya digunakan untuk beribadah, bermajahadah, dan melakukan
riyadhah ruhaniyyah (olah spiritual), dan memusatkan diri dan berdoa kepada
Allah SWT, yang diyakininya sebagai sebab dari segala sebab dan yang Maha
Memudahkan segala urusan yang sulit. Kegiatan demikian sepanjang periode ini
dilakukannya atas dasar keyakinannya bahwa manusia memiliki probabilitas untuk
mencapai tahap pengetahuan ladunni dan penyingkapan yang meyakinkan (al-inkisyaf
al-yaqiniy) melalui perjuangan keras dan panjang secara ruhani dan
pemusatan diri kepada Allah SWT (al-inqitha` ila Allah), sesudah
penyucian batin dan penghilangan tirai-tirai kotor dari dalam diri (raf
al-hujub `an al-nafs).
Mengenai
komentarnya atas hasil dari `uzlah yang panjang ini, Mulla Shadra,
seperti dikutip oleh Muhammad Ridha Muzhaffar, mengungkapkannya sendiri sebagai
berikut:
“Diriku
bercahaya sebagai karunia atas lamanya perjuangan ruhani; hatiku sangat
bergairah sebagai karunia atas banyaknya olah ruhani; tercurahkanlah atas semua
itu sinar-sinar malakut; terbukalah rahasia-rahasia alam jabarut, diikuti oleh
cahaya-cahaya tauhid (al-adhwa` al-ahadiyyah) dan kehalusan-kehalusan
ilahi (al-althaf al-ilahiyyah). Dengan begitu, kuketahuilah
rahasia-rahasia yang sebelumnya tidak aku ketahui hingga sekarang,
tersingkaplah formulasi-formulasi yang tak tersingkapkan seperti ketersingkapan
ini. Bahkan segala yang sebelumnya aku ketahui melalui argumentasi aku dapat
membuktikannya dengan kesaksian (bi al-syuhud) dan pandangan mata
batin (al-`iyan)…”. Ketika sampai kepada akhir periode ini,
selanjutnya Mulla Shadra memulai periode hidupnya yang ketiga yaitu periode
menulis. Dan buku yang pertama kali ditulisnya pada periode ini adalah bukunya
yang terkenal dengan Al-Hikmah Al-Muta`aliyyah fi Al-Asfar Al-`Aqliyyah
Al-`Arba`ah, buku yang menjadi pusat kajian penulis saat ini. Sedangkan
buku yang ditulisnya sebelumnya, seperti ditunjukkan dalam Al-Asfar, hanya tiga
risalah yaitu satu Risalah Tharh Al-Kawnayan (1;10), Risalah Hall
Al-Isyakalat Al-Falakiyyah fi Al-Iradah Al-Juzafiyyah (1:176), dan Risalah
Huduts Al-`Alam (1:233). Mengenai magnum opus Mulla Shadra, Al-Asfar, ini
Muhammad Ridha Muzhaffar menulis, “Bagaimanapun, sungguh Al-Asfar merupakan
karyanya yang pertama dalam periode kedua hidupnya ini.
Sumber: Agus Efendi
(2001), Kehidupan karya dan Filsafat Mulla Shadra, Pascasarjana IAIN SGD:
Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar