Oleh O Hashem (penulis
buku Saqifah)
Setelah Alî bin Abî
Thâlib meninggal dibunuh oleh Abdurrahmân bin Muljam dengan pedang pada waktu
subuh tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H, 24 Januari 661 M, Hasan bin Alî dibaiat
dan pertempuran-pertempuran dengan Mu’âwiyah berlanjut. Pada pertengahan Jumadil
Awal tahun 41 H, 16 September 661 M. tercapai persetujuan damai antara Hasan
bin Alî dan Mu’âwiyah. Surat perdamaian berbunyi sebagai berikut:
Bismillâhirrahmânirrahim.
Ini adalah pernyataan
damai dari Hasan bin Alî kepada Mu’âwiyah bin Abî Sufyân, bahwa Hasan
menyerahkan kepada Mu’âwiyah wilayah Muslimîn, dan Mu’âwiyah akan menjalankan
Kitâb Allâh SWT dan Sunnah Rasûl Allâh saw. dan tata cara Khulafâ’ur-Râsyidîn
yang tertuntun, dan Mu’âwiyah bin Abî Sufyân tidak boleh mengangkat seseorang
jadi khalîfah sesudahnya, tetapi akan diadakan lembaga syura di antara kaum
Muslimîn dan bahwa masyarakat akan berada dalam keadaan aman di daerah Allâh
SWT di Syam, Iraq, Hijaz dan Yaman, dan bahwa sahabat-sahabat Alî dan
Syî’ah-nya terpelihara dalam keadaan aman, bagi diri, harta, para wanita dan
anak-anak mereka, dan bahwa Mu’âwiyah bin Abî Sufyân setuju dan berjanji dengan
nama Allâh bahwa Mu’âwiyah tidak akan mengganggu dan menganiaya secara
tersembunyi atau terbuka terhadap Hasan bin Ali atau saudaranya Husien bin Ali
atau salah seorang ahlu’l-bait Rasul Allâh saw. dan tidak akan mengganggu
mereka yang berada di seluruh penjuru..dan bahwa Mu’âwiyah akan menghentikan
pelaknatan terhadap Alî...”[1]
Dan sebagaimana biasa
Mu’âwiyah melanggar janji. Ia meracuni Hasan bin Alî bin Abî Thâlib, dan
setelah Hasan meninggal ia bersujud yang diikuti semua yang hadir seperti
dilakukannya tatkala Imâm Alî meninggal dunia.
Ibnu Sa’d menceritakan:
“Mu’âwiyah meracuni Hasan berulang-ulang.” Wâqidî berkata: “Mu’âwiyah
meminumkan racun kepada Hasan, kemudian ia selamat, kemudian diminumkan racun
lagi dan selamat, kemudian yang terakhir Hasan meninggal. Tatkala maut
mendekat, dokter (thabib) yang menjenguknya berulang-ulang mengatakan bahwa
Hasan diracun orang.”
Adiknya Husain berkata:
“Ya ayah Muhammad, beritahukan saya, siapa yang meminumkan racun kepadamu?”
Hasan menjawab: “Mengapa,
wahai saudaraku?”
Husain: “Demi Allâh, aku
akan membunuhnya sebelum engkau dimakamkan. Dan bila aku tidak berhasil, akan
aku meminta orang mencarinya.”
Hasan berkata: “Wahai
saudaraku, sesungguhnya dunia ini adalah malam-malam yang fana. Doakan dia,
agar dia dan aku bertemu di sisi Allâh, dan aku melarang meracuninya.”[2]
Mas’ûdî mengatakan:
“Tatkala ia diberi minum racun, ia bangun menjenguk beberapa orang kemudian,
setelah sampai di rumah, ia berkata: “Aku telah diracuni, berkali-kali tetapi
belum pernah aku diberi minum seperti ini, aku sudah keluarkan racun itu
sebagian, tetapi kemudian kembali biasa lagi.”
Husain berkata: “Wahai
saudaraku, siapa yang meracunimu?”
Hasan menjawab: “Dan apa
yang hendak kau lakukan dengannya? Bila yang kuduga benar, maka Allâh-lah yang
melakukan hisab terhadapnya. Bila bukan dia, aku tidak menghendaki orang
membebaskan diriku.”
Dan dia berada dalam
keadaan demikian sampai 3 hari sebelum ia ra. akhirnya meninggal. Dan yang
meminumkan racun kepadanya adalah Ja’dah binti Asy’ats bin Qais al-Kindî, dan
Mu’âwiyah yang memerintahkan kepadanya, dan bila ia berhasil membunuh Hasan ia
akan dapat 100.000 dirham dan “aku akan mengawinkan kau dengan Yazîd.” Ialah
yang mengirim racun kepada Ja’dah, istri Hasan. Dan tatkala Hasan meninggal, ia
mengirim uang tersebut dengan surat: “Sesungguhnya kami mencintai nyawa Yazîd,
kalau tidak maka tentu akan kami penuhi janji dan mengawinkan engkau
dengannya.”[3]
Abû’l-Faraj al-Ishfahânî
menulis: “Hasan telah mengajukan syarat perdamaian kepada Mu’âwiyah: “Mu’âwiyah
bin Abî Sufyân tidak boleh mengangkat seseorang jadi khalîfah sesudahnya. Dan
bila Mu’âwiyah akan mengangkat Yazîd, anaknya, jadi khalîfah, maka yang
memberatkannya adalah Hasan bin Alî dan Sa’d bin Abî Waqqâsh”[4],
maka Mu’âwiyah meracuni mereka berdua dan mereka meninggal. Ia mengirim racun
kepada putri Asy’ats bin Qais: “Aku akan kawinkan kau dengan anakku Yazîd, bila
kau racuni Hasan”, dan ia mengirim 100.000 dirham dan ia tidak mengawinkannya
denganYazid.[5]
Abul Hasan al-Madâ’inî
berkata: “Hasan meninggal tahun 49 H, 669 M. setelah sakit selama 40 hari pada
umur 47 tahun. Ia diracuni Mu’âwiyah melalui tangan Ja’dah binti Asy’ats, istri
Hasan dengan kata-kata: “Bila engkau membunuhnya dengan racun, maka engkau
dapat 100.000 dan akan aku kawinkan kau dengan Yazîd, anakku.” Dan tatkala
Hasan meninggal, maka ia memberikan uang tersebut dan tidak mengawinkannya
dengan Yazîd. Ia berkata: “Aku takut kau akan lakukan terhadap anakku seperti
yang engkau lakukan terhadap anak Rasûl Allâh saw.”[6]
Hushain bin Mundzir
ar-Raqasyi berkata: “Demi Allâh Mu’âwiyah tidak memenuhi sama sekali janjinya,
ia membunuh Hujur dan teman-temannya, membaiat anaknya Yazîd dan meracuni
Hasan.”[7]
Abû Umar berkata dalam
al-Istî’âb: “Qatâdah dan Abû Bakar bin Hafshah berkata: “Mu’âwiyah meracuni
Hasan bin Alî, melalui istri Hasan, yaitu putri Asy’ats bin Qais al-Kindî.
Sebagian orang berkata: “Mu’âwiyah memaksanya, dan tidak memberinya apa-apa,
hanya Allâh yang tahu!” Kemudian ia menyebut sumbernya, yaitu Mas’ûdî.[8]
Ibnu al-Jauzî mengatakan
dalam “at-Tadzkirah Khawâshsh’l Ummah”: “Para ahli sejarah di antaranya Abdul
Barr meriwayatkan bahwa ia diracuni istrinya Ja’dah binti Asy’ats bin Qais
al-Kindî.”
As-Sûdî berkata: “Yang
memerintahkannya adalah Yazîd bin Mu’âwiyah agar meracuni Hasan dan bahwa ia
berjanji akan mengawininya. Dan tatkala Hasan meninggal Ja’dah mengirim surat
kepada Yazîd menagih janjinya. Dan Yazîd berkata: “Hasan saja kamu bunuh,
apalagi aku, demi Allâh, aku tidak rela.”
Asy-Sya’bî mengatakan:
“Sesungguhnya yang melakukan tipu muslihat adalah Mu’âwiyah. Ia berkata kepada
istri Hasan: “Racunilah Hasan, maka akan aku kawinkan engkau dengan Yazîd dan
memberimu 100.000 dirham.” Dan tatkala Hasan meninggal Ja’dah menuntut
janjinya. Mu’âwiyah lalu mengiriminya uang tersebut dan menambahkan :
“Sesungguhnya aku mencintai Yazîd, dan mengharapkan agar ia tetap hidup, kalau
tidak demikian tentu aku akan kawinkan engkau dengannya.”
Sya’bî berkata lagi: “Dan
ini benar dengan berdasarkan saksi yang dapat dipercaya: “Sesungguhnya Hasan
berkata tatkala akan mati dan telah sampai kepadanya apa yang dilakukan
Mu’âwiyah: “Aku telah tahu minumannya dan kebohongannya, demi Allâh ia tidak memenuhi
janjinya, dia tidak jujur dalam perkataannya.”
Kemudian Sya’bî mengutip
ath-Thabaqât dari Ibnu Sa’d: “Mu’âwiyah meracuninya berulang ulang.”[9]
Ibnu Asâkir berkata: “Ia
diberi minum racun, berulangulang, banyak, mula-mula ia bisa pulih, lalu diberi
minum lagi dan ia tidak bisa pulih dan dikatakan: “Sesungguhnya Mu’âwiyah telah
memperlakukan dengan ramah seorang pembantunya agar meracuninya dan ia lalu melakukannya
dan berpengaruh sedikit demi sedikit, sampai ia memakai alat untuk bisa duduk
dan ia bertahan sampai 40 kali.”
Muhammad bin al-Mirzubân
meriwayatkan: “Ja’dah binti Asy’ats bin Qais adalah istri Hasan dan Yazîd
melakukan tipu muslihat agar ia mau meracuni Hasan. Dan saya akan mengawininya,
dan Ja’dah melakukannya. Dan tatkala Hasan meninggal Ja’dah menanyakan janji
Yazîd dan Yazîd berkata: “Sesungguhnya, demi Allâh, kalau Hasan saja kamu
bunuh, apalagi kami.”[10]
Hasan bin Alî sakit yang
berakhir dengan kematiannya. Ia diracun istrinya, atas suruhan Mu’âwiyah dengan
bayaran 100.000 dinar. Ia lalu memerintahkan Marwân bin Hakam yang diangkatnya
jadi gubernur Madînah untuk terus mengamati Hasan dan menyuratinya. Tatkala
datang berita bahwa Hasan telah meninggal seluruh penduduk Syam bertakbir.
Seorang wanita, Fakhîtah binti Quraidhah bertanya kepada Mu’âwiyah: “Apakah
kamu bertakbir bagi matinya putri Fâthimah?”
“Ya aku bertakbir karena
hatiku gembira.”[11]
Ia sangat gembira dan
bahagia dan bersujud, dan semua yang hadir ikut bersujud.[12]
Ia juga terkenal karena
membunuh sahabat Rasûl Allâh saw. Hujur bin Adî dan kawan-kawannya pada tahun
51 H, 671 M. karena tidak mau melaknat Alî.
MUAWWIYAH MEMBUNUH
MUHAMMAD BIN ABÛ BAKAR
Mu’âwiyah membunuh
Muhammad bin Abû Bakar, anak khalîfah Abû Bakar. Mula-mula ia disiksa, tidak
diberi minum, kemudian dimasukkan ke dalam perut keledai dan dibakar.
Untuk pertama kali dalam
sejarah Islam, penguasa mempermainkan jenazah yang mereka bunuh.Dan jenazah ini
adalah jenazah kaum Muslimîn.
Penguasa memenggal kepala
mereka setelah diikat kedua tangan ke belakang, menyayat-nyayat mayat, mengarak
kepala-kepala mereka berkeliling kota, membawanya dari kota ke kota dan
akhirnya dikirim ke ‘khalîfah’ di Damaskus dengan menempuh jarak beratus-ratus
kilometer.
Cukup dengan sedikit
curiga bahwa seorang itu Syî’ah, maka mereka akan memotong tangan, kaki atau
lidah mereka. Bila ada yang menyebut mencintai anak cucu Rasûl saja maka ia
akan dipenjarakan atau hartanya dirampas, rumah dimusnahkan.
Bencana makan bertambah dan
makan menyayat hati. Sampai gubernur Ubaidillâh bin Ziyâd membunuh Husain,
kemudian gubernur Hajjâj bin Yûsuf yang membunuh mereka seperti membunuh semut.
Ia lebih senang mendengar seorang mengaku dirinya zindîq atau kafir dari
mendengar orang mengaku dirinya Syî’ah Alî.
Abû al-Husain Alî bin
Muhammad bin Abî Saif al-Madani dalam kitabnya al-Ahdats, berkata: “Mu’âwiyah
menulis sebuah surat kepada semua gubernurnya setelah tahun perjanjian dengan
Hasan agar mereka mengucilkan orang yang memuliakan Alî dan keluarganya. “Pidatokan
dan khotbahkan di tiap desa dan di tiap mimbar pelaknatan Alî dan kucilkan dia
dan keluarganya.” Dan alangkah besar bencana yang menimpa Syî’ah Alî di Kûfah.
Diangkatlah Ziyâd bin
Sumayyah diangkat jadi gubernur Kûfah. Ia lalu memburu kaum Syî’ah. Ia sangat
mengenal kaum Syî’ah karena ia pernah jadi pengikut Alî. Dan ia lalu memburu
dan membunuh mereka di mana pun mereka berada, tahta kulli hajar wa madar,
membuat mereka ketakutan, memotong tangan dan kaki mereka, menyungkil bola mata
mereka, samala al ‘uyun, dan menyalib mereka di batang-batang pohon korma. Ia
memburu dan mengusir mereka ke luar dari Irak dan tiada seorang pun yang mereka
kenal, luput dari perburuan ini.[13]
Di samping itu istri dan
putri-putri Syî’ah dijadikan budak dan untuk pertama kali dilakukan Mu’âwiyah
dengan Busr bin Arthât pada akhir tahun 39 H, 660 M. Mereka memaksa kaum Syî’ah membaiat khalîfah yang
sebenarnya adalah raja yang lalim.
Setelah membaiat,
biasanya mereka belum merasa puas, sehingga mereka merasa perlu membumi
hanguskan desa mereka seperti diriwayatkan Bukhârî dalam tarikhnya.
Mu’âwiyah melalui
jenderalnya Busr bin Arthât tersebut membakar rumah-rumah Zarârah bin Khairun,
Rifâqah bin Rafî, Abdullâh bin Sa’d dari Banû Abdul Asyhal, semua adalah para
sahabat kaum Anshâr. Celakanya Ziyâd bin Abih, yang mula-mula berpihak kepada
Alî bin Abî Thâlib, menyeberang ke Mu’âwiyah, karena pengakuan Abû Sufyân bahwa
Ziyâd yang lahir dari seorang budak perempuan asal Iran adalah anaknya.
Mu’âwiyah yang melihat
Ziyâd sebagai seorang yang berbakat, mengakuinya sebagai saudaranya. Ummu
Habîbah, istri Rasûl Allâh, saudara Mu’âwiyah tidak pernah mau mengakui Ziyâd
sebagai saudaranya.
Karena pernah bersama Alî
maka Ziyâd mengenal semua pengikut Alî dalam Perang Shiffîn dan dengan mudah
memburu dan membunuhi mereka.
Orang pertama yang dipenggal
kepalanya oleh Mu’âwiyah adalah Amr bin Hamaq sebagai Syî’ah Alî yang turut mengepung rumah
Utsmân dan dituduh membunuh Utsmân dengan 9 tusukan. Ia melarikan diri ke
Madâ’in bersama Rifâ’ah bin Syaddâd dan terus ke Mosul. Ia ditangkap dan
gubernur Utsmân mengenalnya. Ia mengirim surat ke Mu’âwiyah. Mu’âwiyah menjawab
seenaknya: “Ia membunuh Utsmân dengan 9 tusukan dengan goloknya (masyâqish) dan
kita tidak akan bertindak lebih, tusuklah dia dengan sembilan tusukan.” Setelah
ditusuk, baru tusukan pertama atau kedua, kelihatannya ia sudah mati,kepalanya
dipenggal dan dikirim ke Syam, diarak kemudian diserahkan kepada Mu’âwiyah dan
Mu’âwiyah mengirim kepala ini kepada istrinya Âminah binti al-Syarid yang
sedang berada di penjara Mu’âwiyah. Kepala itu dilemparkan ke pangkuan
istrinya. Istrinya meletakkan tangannya di dahi kepala suaminya kemudian mencium
bibirnya dan berkata:
“Mereka hilangkan dia
dariku amat lama,
Mereka bunuh dan sisakan
untukku kepalanya,
Selamat datang, wahai
hadiah,
Selamat datang, wahai
wajah tanpa roma”[14]
CATATAN:
[5] Al-Ishfahânî, Maqâtil ath-Thâlibiyîn, hlm.
29; Diriwayatkan Ibn Abîl Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 4, hlm. 11, 17.
[11] Ad-Damîrî, Hayât al-Hayawân, jilid 1, hlm.
58; Diyâr Bakrî, Tarikh Yaum al-Khamîs, jilid 2, hlm. 294.
[12] 118 Ibnu Qutaibah, al-Imâmah was-Siyâsah,
jilid 1, hlm. 144; Ibnu Abdu Rabbih, al-‘Iqd al-Farîd, jilid 2, hlm. 298;
ar-Raghib al-Ishfahânî, Al-Muhâdharât, jilid 2, hlm. 224 dll.
[14] Amr bin Hamaq adalah orang pertama dalam
sejarah Islam yang kepalanya dipenggal dan diarak dari kota ke kota,
lihat Ibn Qutaibah, Al-Ma’ârif, hlm. 127; Al-Istî’âb, jilid 2, hlm. 404;
Al-Ishâbah, jilid 2, hlm. 533; Ibn Katsîr, Târîkh, jilid 8, hlm. 48.