Oleh
Andrew Marshall (Sumber: www.joyousness.org/articles.html, November 2007)
Ini adalah artikel terakhir dari seri enam artikel yang dipublikasikan pada
tahun 2007 yang juga bisa dilihat secara online.
Barangkali
hanya sedikit pemikiran kita mengenai peranan energi sebagai pemusnah, kecuali
dalam contoh-contoh seperti penggunaan militer, kecelakaan, dan sebagainya;
meskipun begitu, energi harus memusnahkan agar bisa membangun. Potensi energi
untuk membangun setara dengan kapasitasnya untuk memusnahkan, dan kemampuan
memusnahkan yang selalu dikaitkan dengan energi adalah membersihkan alam
semesta dari bentuk-bentuk yang tidak lagi dibutuhkan untuk tanda kehidupan.
Kedengarannya
agak menakutkan ketika kita sebagai manusia begitu konsen terutama pada
pembangunan hal-hal untuk diri kita dan menciptakan bentuk-bentuk. Ada sesuatu
dalam psikis manusia yang menganggap semua hal bersifat permanen –meski kita
tahu dari sedikit pemikiran bahwa faktanya tidak demikian dan bahwa segala
sesuatu di alam semesta adalah tidak permanen. Ada juga sesuatu dalam psikis
manusia yang menyukai kemusnahan. Perhatikanlah pesona ketika menara pendingin
megah dirobohkan, contohnya, atau intrik yang terkadang dimiliki anak kecil
untuk merusak permukaan pasir di pantai atau salju yang baru turun. Bukankah
kadang kala pula ada rasa kepuasan ketika melucuti wallpaper (kertas
dinding) lama dari dinding dalam rangka dekorasi ulang?
Tujuan
dari artikel ini bukanlah untuk menimbulkan kesukaan kepada kemusnahan tapi
lebih untuk memahami peranan kemusnahan dan mengapa energi harus diungkapkan
dengan cara ini. Dalam artikel sebelumnya (Universal Healing Force),
kita telah mempertimbangkan sudut pandang bahwa tubuh hanya dapat memiliki
tanda kehidupan selama terdapat kebutuhan akan itu. Dengan kata lain, ketika
Anda atau saya telah memenuhi tujuan hidup kita (yang mungkin tidak kita
ketahui secara sadar) pada satu titik tubuh akan mulai mogok karena jiwa di
dalamnya secara perlahan menarik keinginannya untuk hidup. Dengan kata lain,
ketika pekerjaan kita di Bumi selesai, kita tak lagi membutuhkan “pakaian
kerja”, yakni tubuh.
Meskipun
demikian, pada skala lebih besar, kemusnahan bentuk sedikit lebih sulit untuk
dipahami. Contoh, ketika terjadi bencana alam, seperti gempa bumi, yang
mengakibatkan banyak korban jiwa manusia (dan mungkin juga binatang), tempat
tinggal, dan seterusnya, bagaimana kita bisa memahami tujuan lebih besar – jika
memang ada – yang bermanfaat dari bencana semacam itu? Itu hampir tidak mungkin
dicatat sebagai upaya untuk mengendalikan populasi manusia yang terus
bertambah, karena bencana-bencana paling besar sekalipun hanya memusnahkan
sedikit persentase nyawa manusia. Mereka yang berpaham agamis mungkin akan
mengatakan, “Ini Kehendak Tuhan”, sedangkan mereka yang memiliki pendekatan
lebih sekuler dalam kehidupan mungkin akan mencari sebab-sebabnya pada gangguan
geologis semata. Barangkali kedua pendekatan mempunyai perbedaan dalam
pengertian bahwa pendekatan pertama diinterpretasikan berkaitan dengan “tujuan
kehidupan di planet ini” dan pendekatan kedua adalah benar secara ilmiah, tanpa
memperhatikan prinsip-prinsip yang lebih dalam.
Sebenarnya
kita tidak mungkin betul-betul paham –tapi kita bisa paham, atau belajar
memahami, bahwa bentuk di Bumi tidaklah permanen dan bahwa kekuatan energi yang
memeliharanya pada akhirnya juga akan memusnahkannya. Dan kita bisa cukup
berani untuk berasumsi bahwa prinsip kehidupan di Bumi berkaitan dengan pemeliharaannya
atau kelangsungannya, dan ketika Grand Life itu menarik diri disebabkan oleh
berakhirnya periode pembelajaran atau keberfungsian dalam bentuk tersebut,
tubuh luar, yakni Bumi yang kita kenal, akan terdegradasi. Sebagaimana bunyi
pepatah tua, “As above, so below”. Tapi itu mungkin lompatan yang
terlalu jauh bagi pikiran beberapa orang.
Yang
harus kita sepakati adalah bahwa kehidupan memiliki tujuan, bahwa kehidupan
membutuhkan bentuk untuk berfungsi di alam semesta kita ini, dan bahwa ketika
tujuan tersebut telah terpenuhi dalam bentuk tersebut, maka bentuk tersebut tak
lagi dibutuhkan. Prinsip ini pasti berlaku pada milyaran benda angkasa,
matahari, bintang, dan sistem planetnya di seluruh angkasa, kecuali kalau kita
berpikir bahwa Bumi merupakan satu-satunya benda berkehidupan di alam semesta.
Jadi
peran apa yang dimiliki manusia terkait sifat destruktif energi? Apa yang harus
dilakukan manusia adalah belajar bertanggung jawab. Pada saat ini, kita sebagai
ras manusia baru saja melewati tahap kanak-kanak –beberapa orang mungkin
mengatakan bahwa kita bahkan belum semaju itu. Alam tidak akan mempercayakan
kekuatan destruktifnya kepada pikiran orang-orang yang tidak sanggup
menanganinya. Di sisi lain, manusia telah cukup mengetahui (hingga
mengoyak-ngoyaknya dan mengubah keadaan mental dan emosionalnya yang rentan
menjadi jahat) bahwa untuk beberapa saat stabilitas tidak akan bersama kita.
Yang harus manusia pahami adalah bahwa destruksi adalah untuk tujuan konstruksi. Dengan kata lain, kemusnahan bentuk pasti bertepatan
dengan penciptaan bentuk-bentuk yang lebih baru dan lebih baik, dan
bentuk-bentuk lebih baru dan lebih baik itu pasti menopang kehidupan dan
perkembangan. Dengan kata lain, jika manusia menopang Alam dan mengikuti Hukum
Alam, Alam akan membantu dengan penciptaan bentuk-bentuk baru dan pemusnahan
bentuk lama. Sebaliknya, jika Hukum Alam dilanggar, yang saat ini sering
terjadi, bentuk-bentuk baru yang diciptakan manusia akan menjadi korban
kekuatan destruktif alami yang inheren di Alam.
Yang
penting dalam hal ini adalah pertumbuhan dan kemajuan kesadaran, karena
kemajuan kesadaran inilah yang menopang perkembangan dan, demikian pula,
perkembangan menopang pertumbuhan kesadaran. Kemajuan teknologi adalah baik dan
bermanfaat dan tak diragukan lagi pada waktunya akan membawa manusia lebih jauh,
tapi tidak akan bermanfaat tanpa kemajuan atau peningkatan kesadaran, dan ini
hanya bisa terjadi jika manusia secara kolektif lebih berhubungan dengan
esensi/sifat (nature)-nya. Semakin manusia mengenal esensinya, yang
merupakan kesadaran sejati, semakin sehat dan semakin holistik pendekatan kita
terhadap kehidupan, terhadap lingkungan, dan terhadap satu sama lain.
Begitu
kita semakin selaras dengan esensi riil eksistensi kita, aspek destruktif
energi sebagai medium yang baik akan menjadi semakin nyata. Begitu nilai-nilai
hati kita – cinta, kebaikan hati, dan perasaan kasihan – meningkat, perhatikan
bagaimana elemen-elemen kasar dalam kehidupan menurun secara bertahap. Semakin
dekat kita kepada kesadaran sejati, semakin beradab aspek-aspek kehidupan kita.
Contoh, beberapa orang melihat bagaimana selera mereka terhadap jenis makanan
atau musik tertentu berubah atau bagaimana hal-hal yang sebelumnya terasa
begitu penting dalam hidup kemudian tak lagi demikian. Kita mungkin tak pernah
berpikir perubahan ini terjadi disebabkan oleh aspek destruktif energi, padahal
sesungguhnya demikian. Semakin sejati kesadaran yang tercermin dalam kehidupan,
hiasan-hiasan kehidupan semakin harus berubah untuk sesuai dengan tujuan inti.
Sekarang
pikirkan prinsip yang berlaku pada skala lebih luas. Begitu perkembangan
kesadaran berjalan, bentuk-bentuk yang dapat dikenali pasti berubah. Bentuk
lama harus dimusnahkan sebelum yang baru bisa tumbuh secara utuh. Terkadang
kita mungkin merasa bahwa proses destruktif tersebut kejam tapi bukankah
sebenarnya itu justru merupakan kebaikan? Begitu kesadaran kita berkembang,
kualitas hati menjadi lebih kuat dan secara bertahap kita menjadi lebih
bergembira. Ini adalah hasil alami dari penghancuran kecenderungan kasar.
Mungkinkah kita akan tetap seperti sebelumnya, kurang bergembira? Tentu saja
tidak. Jadi walaupun kita tidak bisa mengetahui apa yang sedang terjadi pada
skala lebih besar, kita bisa percaya kepada prinsip-prinsip umum kehidupan dan
memungkinkan kita untuk berpikir bahwa aspek destruktif energi tak lain hanya
sedang menyapu yang lama untuk menyiapkan jalan bagi yang baru. Ini juga
berlangsung dalam sistem tata surya, sebagaimana pada manusia atau bahkan
semut. Begitu kita berkembang dan lebih mengenali esensi sejati eksistensi kita,
siapa atau apa kita sebenarnya, kita akan tahu berdasarkan intuisi, dan
mungkin akhirnya berdasarkan pengalaman, bahwa ada sebuah kesatuan kesadaran;
dan kesatuan tersebut mengandung arti bahwa tak ada yang perlu ditakuti. Pada
akhirnya, yang musnah hanyalah bentuk luar yang ilusi. Realitas tak pernah
bisa musnah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar