Jumat, 30 Januari 2015

Energi Sebagai Pemusnah



Oleh Andrew Marshall (Sumber: www.joyousness.org/articles.html, November 2007)

Ini adalah artikel terakhir dari seri enam artikel yang dipublikasikan pada tahun 2007 yang juga bisa dilihat secara online.

Barangkali hanya sedikit pemikiran kita mengenai peranan energi sebagai pemusnah, kecuali dalam contoh-contoh seperti penggunaan militer, kecelakaan, dan sebagainya; meskipun begitu, energi harus memusnahkan agar bisa membangun. Potensi energi untuk membangun setara dengan kapasitasnya untuk memusnahkan, dan kemampuan memusnahkan yang selalu dikaitkan dengan energi adalah membersihkan alam semesta dari bentuk-bentuk yang tidak lagi dibutuhkan untuk tanda kehidupan.

Kedengarannya agak menakutkan ketika kita sebagai manusia begitu konsen terutama pada pembangunan hal-hal untuk diri kita dan menciptakan bentuk-bentuk. Ada sesuatu dalam psikis manusia yang menganggap semua hal bersifat permanen –meski kita tahu dari sedikit pemikiran bahwa faktanya tidak demikian dan bahwa segala sesuatu di alam semesta adalah tidak permanen. Ada juga sesuatu dalam psikis manusia yang menyukai kemusnahan. Perhatikanlah pesona ketika menara pendingin megah dirobohkan, contohnya, atau intrik yang terkadang dimiliki anak kecil untuk merusak permukaan pasir di pantai atau salju yang baru turun. Bukankah kadang kala pula ada rasa kepuasan ketika melucuti wallpaper (kertas dinding) lama dari dinding dalam rangka dekorasi ulang?

Tujuan dari artikel ini bukanlah untuk menimbulkan kesukaan kepada kemusnahan tapi lebih untuk memahami peranan kemusnahan dan mengapa energi harus diungkapkan dengan cara ini. Dalam artikel sebelumnya (Universal Healing Force), kita telah mempertimbangkan sudut pandang bahwa tubuh hanya dapat memiliki tanda kehidupan selama terdapat kebutuhan akan itu. Dengan kata lain, ketika Anda atau saya telah memenuhi tujuan hidup kita (yang mungkin tidak kita ketahui secara sadar) pada satu titik tubuh akan mulai mogok karena jiwa di dalamnya secara perlahan menarik keinginannya untuk hidup. Dengan kata lain, ketika pekerjaan kita di Bumi selesai, kita tak lagi membutuhkan “pakaian kerja”, yakni tubuh.

Meskipun demikian, pada skala lebih besar, kemusnahan bentuk sedikit lebih sulit untuk dipahami. Contoh, ketika terjadi bencana alam, seperti gempa bumi, yang mengakibatkan banyak korban jiwa manusia (dan mungkin juga binatang), tempat tinggal, dan seterusnya, bagaimana kita bisa memahami tujuan lebih besar – jika memang ada – yang bermanfaat dari bencana semacam itu? Itu hampir tidak mungkin dicatat sebagai upaya untuk mengendalikan populasi manusia yang terus bertambah, karena bencana-bencana paling besar sekalipun hanya memusnahkan sedikit persentase nyawa manusia. Mereka yang berpaham agamis mungkin akan mengatakan, “Ini Kehendak Tuhan”, sedangkan mereka yang memiliki pendekatan lebih sekuler dalam kehidupan mungkin akan mencari sebab-sebabnya pada gangguan geologis semata. Barangkali kedua pendekatan mempunyai perbedaan dalam pengertian bahwa pendekatan pertama diinterpretasikan berkaitan dengan “tujuan kehidupan di planet ini” dan pendekatan kedua adalah benar secara ilmiah, tanpa memperhatikan prinsip-prinsip yang lebih dalam.

Sebenarnya kita tidak mungkin betul-betul paham –tapi kita bisa paham, atau belajar memahami, bahwa bentuk di Bumi tidaklah permanen dan bahwa kekuatan energi yang memeliharanya pada akhirnya juga akan memusnahkannya. Dan kita bisa cukup berani untuk berasumsi bahwa prinsip kehidupan di Bumi berkaitan dengan pemeliharaannya atau kelangsungannya, dan ketika Grand Life itu menarik diri disebabkan oleh berakhirnya periode pembelajaran atau keberfungsian dalam bentuk tersebut, tubuh luar, yakni Bumi yang kita kenal, akan terdegradasi. Sebagaimana bunyi pepatah tua, “As above, so below”. Tapi itu mungkin lompatan yang terlalu jauh bagi pikiran beberapa orang.

Yang harus kita sepakati adalah bahwa kehidupan memiliki tujuan, bahwa kehidupan membutuhkan bentuk untuk berfungsi di alam semesta kita ini, dan bahwa ketika tujuan tersebut telah terpenuhi dalam bentuk tersebut, maka bentuk tersebut tak lagi dibutuhkan. Prinsip ini pasti berlaku pada milyaran benda angkasa, matahari, bintang, dan sistem planetnya di seluruh angkasa, kecuali kalau kita berpikir bahwa Bumi merupakan satu-satunya benda berkehidupan di alam semesta.

Jadi peran apa yang dimiliki manusia terkait sifat destruktif energi? Apa yang harus dilakukan manusia adalah belajar bertanggung jawab. Pada saat ini, kita sebagai ras manusia baru saja melewati tahap kanak-kanak –beberapa orang mungkin mengatakan bahwa kita bahkan belum semaju itu. Alam tidak akan mempercayakan kekuatan destruktifnya kepada pikiran orang-orang yang tidak sanggup menanganinya. Di sisi lain, manusia telah cukup mengetahui (hingga mengoyak-ngoyaknya dan mengubah keadaan mental dan emosionalnya yang rentan menjadi jahat) bahwa untuk beberapa saat stabilitas tidak akan bersama kita. Yang harus manusia pahami adalah bahwa destruksi adalah untuk tujuan konstruksi. Dengan kata lain, kemusnahan bentuk pasti bertepatan dengan penciptaan bentuk-bentuk yang lebih baru dan lebih baik, dan bentuk-bentuk lebih baru dan lebih baik itu pasti menopang kehidupan dan perkembangan. Dengan kata lain, jika manusia menopang Alam dan mengikuti Hukum Alam, Alam akan membantu dengan penciptaan bentuk-bentuk baru dan pemusnahan bentuk lama. Sebaliknya, jika Hukum Alam dilanggar, yang saat ini sering terjadi, bentuk-bentuk baru yang diciptakan manusia akan menjadi korban kekuatan destruktif alami yang inheren di Alam.

Yang penting dalam hal ini adalah pertumbuhan dan kemajuan kesadaran, karena kemajuan kesadaran inilah yang menopang perkembangan dan, demikian pula, perkembangan menopang pertumbuhan kesadaran. Kemajuan teknologi adalah baik dan bermanfaat dan tak diragukan lagi pada waktunya akan membawa manusia lebih jauh, tapi tidak akan bermanfaat tanpa kemajuan atau peningkatan kesadaran, dan ini hanya bisa terjadi jika manusia secara kolektif lebih berhubungan dengan esensi/sifat (nature)-nya. Semakin manusia mengenal esensinya, yang merupakan kesadaran sejati, semakin sehat dan semakin holistik pendekatan kita terhadap kehidupan, terhadap lingkungan, dan terhadap satu sama lain.

Begitu kita semakin selaras dengan esensi riil eksistensi kita, aspek destruktif energi sebagai medium yang baik akan menjadi semakin nyata. Begitu nilai-nilai hati kita – cinta, kebaikan hati, dan perasaan kasihan – meningkat, perhatikan bagaimana elemen-elemen kasar dalam kehidupan menurun secara bertahap. Semakin dekat kita kepada kesadaran sejati, semakin beradab aspek-aspek kehidupan kita. Contoh, beberapa orang melihat bagaimana selera mereka terhadap jenis makanan atau musik tertentu berubah atau bagaimana hal-hal yang sebelumnya terasa begitu penting dalam hidup kemudian tak lagi demikian. Kita mungkin tak pernah berpikir perubahan ini terjadi disebabkan oleh aspek destruktif energi, padahal sesungguhnya demikian. Semakin sejati kesadaran yang tercermin dalam kehidupan, hiasan-hiasan kehidupan semakin harus berubah untuk sesuai dengan tujuan inti.

Sekarang pikirkan prinsip yang berlaku pada skala lebih luas. Begitu perkembangan kesadaran berjalan, bentuk-bentuk yang dapat dikenali pasti berubah. Bentuk lama harus dimusnahkan sebelum yang baru bisa tumbuh secara utuh. Terkadang kita mungkin merasa bahwa proses destruktif tersebut kejam tapi bukankah sebenarnya itu justru merupakan kebaikan? Begitu kesadaran kita berkembang, kualitas hati menjadi lebih kuat dan secara bertahap kita menjadi lebih bergembira. Ini adalah hasil alami dari penghancuran kecenderungan kasar. Mungkinkah kita akan tetap seperti sebelumnya, kurang bergembira? Tentu saja tidak. Jadi walaupun kita tidak bisa mengetahui apa yang sedang terjadi pada skala lebih besar, kita bisa percaya kepada prinsip-prinsip umum kehidupan dan memungkinkan kita untuk berpikir bahwa aspek destruktif energi tak lain hanya sedang menyapu yang lama untuk menyiapkan jalan bagi yang baru. Ini juga berlangsung dalam sistem tata surya, sebagaimana pada manusia atau bahkan semut. Begitu kita berkembang dan lebih mengenali esensi sejati eksistensi kita, siapa atau apa kita sebenarnya, kita akan tahu berdasarkan intuisi, dan mungkin akhirnya berdasarkan pengalaman, bahwa ada sebuah kesatuan kesadaran; dan kesatuan tersebut mengandung arti bahwa tak ada yang perlu ditakuti. Pada akhirnya, yang musnah hanyalah bentuk luar yang ilusi. Realitas tak pernah bisa musnah. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar