Selama
berabad-abad para akademisi mengenal kebudayaan Yunani sebagai sumber peradaban
Barat. Tapi bagaimana jika kebudayaan Yunani sendiri merupakan warisan – koloni
– bangsa Mesir kuno?
Sekolah-sekolah masih
mengajarkan bahwa peradaban Barat adalah keturunan Yunani. Sampai beberapa
dekade lalu, banyak sekolah tidak menyebutkan pencapaian budaya Mesir atau
Sumeria – dan banyak sekolah di Eropa masih belum memperhatikan kebudayaan
Inca, Toltecs, dan lain-lain. Tapi ketika tiba pada pembahasan peradaban Yunani
dan Mesir, sayangnya, dijelaskan bahwa peradaban Mesir itu “primitif”
dibandingkan dengan pencapaian budaya dan, khususnya, filsafat Yunani.
Situasi ini lambat
laun kini mulai berubah, meski jurang antara kebudayaan Yunani dan Mesir masih
tersisa. Walau secara geografis kedua negara saling berdekatan, dan mengingat
banyaknya bangsa Yunani yang kemudian berkunjung ke Mesir, ada asumsi bahwa
bangsa Mesir, sebuah peradaban yang dua milenium mendahului peradaban Yunani,
pada masa itu tidak pernah berlayar ke arah berlawanan. Meski bangsa Mesir kuno
mempunyai perahu laut yang layak – contohnya perahu pemakaman dalam kabin
perahu di dataran tinggi Gizeh – status quo-nya adalah bahwa mereka tak
pernah melintasi Laut Mediterania menuju Yunani.
Richard Poe dalam “Black Spark, White Fire”
menyebutkan bahwa asumsi bahwa bangsa Mesir kuno tidak menyeberangi Laut
Mediterania adalah sebuah mitos ilmiah yang dikonstruksi secara teliti. Bukti
bahwa bangsa Mesir kuno melakukan hal itu sama banyaknya dengan bukti bahwa
bangsa Phoenician dan Minoan mengarungi laut tersebut. Para ilmuwan bersedia
mengakui kemampuan kebudayaan-kebudayaan [Phoenician dan Minoan] tersebut dalam
mengarungi lautan, tapi anehnya membatasi kemampuan bangsa Mesir untuk
melakukan hal yang sama.
Masih ada bukti kuat untuk menunjukkan bahwa
bangsa Mesir betul-betul pergi melampaui Nil. Diketahui pula bahwa mereka
mempunyai armada besar. Dan Thor Heyerdahl menunjukkan bahwa “perahu primitif”
mereka pun mampu menaklukkan arus lautan – dengan demikian sudah sangat cukup
untuk menaklukkan perairan Laut Mediterania yang jauh lebih tenang.
Selubung penolakan yang sama dipertahankan
ketika beralih pada pembahasan filsafat. Baik Plato maupun Pythagoras, yang
dikenal sebagai ikon filsafat Yunani, menyatakan bahwa mereka dan filsuf besar
Yunani lainnya mempelajari dan mendengar pengetahuan [filsafat] tersebut di
Mesir. Banyak yang telah belajar selama bertahun-tahun di sekolah-sekolah
Mesir, lalu pulang ke Yunani sebagai “filsuf pertama”.
Lamblichus menulis bahwa Thales dari Milete
harus menjelaskan kepada Pythagoras supaya pergi ke Memphis, Mesir, untuk
belajar. Thales menambahkan bahwa para pendeta Mesir-lah sumber pengetahuan dan
informasi yang benar. Thales menyatakan ini ketika dirinya menjadi filsuf
Yunani paling terkenal dan dihargai, meskipun anak didiknya-lah, Pythagoras,
yang sekarang ini paling diingat sebagai “filsuf pertama”.
Setelah kematian Socrates, Plato pergi ke
Mesir, di mana dia belajar selama 13 tahun. Mentornya adalah Sechnuphis,
seorang pendeta Heliopolis (Kairo modern dan dekat dengan Great Pyramid).
Bertahun-tahun kemudian, Strabo bepergian
melewati Mesir. Penunjuk jalan Mesirnya menunjukinya di mana Plato tinggal.
Begitulah Plato mengetahui fabel Thoth dan Amun, yang dia tulis di Phaedros.
Meski sumber Mesirnya sangat jelas, banyak “akademisi” menafsirkan risalat
tersebut sebagai naskah “khas Yunani”. Mereka “menjelaskan” pemikiran ganjil
mereka dengan menyatakan bahwa bangsa Yunani “suka membual”. Mereka menyatakan
bahwa bangsa Yunani ingin membuat filsafat mereka terlihat jauh lebih tua dari
kenyataannya. Meskipun ini mungkin, sudah jelas bukti yang ada (yang tidak bisa
kami sajikan di sini satu persen pun) dalam kasus ini tidak membenarkan
kesimpulan seperti itu. Jika bangsa Yunani menyatakan bahwa mereka mempelajari
filsafat mereka dari bangsa Mesir, mengapa tidak mengakuinya saja?
Jawabannya jelas: sementara bangsa Yunani kuno
benar-benar nyaman dengan warisan filsafat Mesir mereka, akademisi modern
tidak. Alhasil, akademisi modern harus menjalankan pengujian teliti untuk
menjelaskan beberapa tulisan Plato.
Meski banyak yang mempertimbangkan cerita
Atlantis dan sumber Mesirnya, filsafat Plato-lah yang sebenarnya menjadi contoh
terbaik untuk anomali ini. Plato menyatakan bahwa banyak jiwa dari makhluk mati
bereinkarnasi, baik hewan maupun manusia. Konsep ini tidak dikenal di Yunani;
di sana diyakini bahwa kematian mengisyaratkan akhir, hanya “underworld”
yang terdapat di belakang kabut kematian. Bangsa Mesir-lah yang meyakini bahwa
kematian hanya sebuah perlaluan, dan jiwa/arwah terus eksis setelah peristiwa
tersebut.
Mitos-mitos Yunani membawa bukti lebih jauh.
Mereka menyatakan dengan jelas bahwa “orang Yunani” pertama adalah bangsa
Mesir, yang menjajah pulau-pulau kecil dan daratan Yunani. Diodorus Siculus
menulis bahwa Kekrops berasal dari Mesir dan mendirikan Athena sebagai koloni
kota Sais Mesir. Dewi Athena sebenarnya adalah Neith Mesir, pelindung kota
Sais. Dua keluarga Yunani, Eumolpidae dan Ceryces, konon merupakan keturunan
pendeta-pendeta Mesir. Kedua keluarga tersebut ditugasi melaksanakan ritual
dewi Athena. Disebutkan: “dan persembahan mereka dan upacara tua mereka
dipraktekkan oleh penduduk Athena dengan cara yang sama dengan yang dilakukan
oleh bangsa Mesir kuno. [Kedua keluarga ini] adalah satu-satunya orang Yunani
yang bersumpah atas Isis dan wajah serta sikap mereka menyerupai bangsa Mesir.”
Martin Bernal menambahkan bahwa Neith tertulis
sebagai “Ht” dalam bahasa Mesir. Ini dilafalkan “Ath” atau “At”. Artinya di
Sais pun dewi kuno Neith disapa sebagai “Athanait”, di mana kemudian orang
Yunani memilih memanggil akhiran “nait” untuk Neith daripada “Athan” untuk
Athena. Dengan senam verbal rendah, diketahui bahwa penulis Yunani, Charax dari
Pergamon, pada sekitar tahun 200 M, menulis bahwa penghuni Sais menyebut kota
mereka sebagai “Athenai”
Di samping Athena, Dodona merupakan gagasan
Mesir lainnya. Herodotus menulis bahwa orang Yunani mengetahui dan menyatakan
bahwa Mysteries
of Dodona berawal di Mesir. Dalam perjalanan Herodotus di Mesir,
para pendeta memberitahunya bahwa dua pendeta wanita diculik oleh bangsa
Phoenician. Salah satu korban konon ditemukan di tempat ibadah (sanctuary)
Dodona. Karena itu Herodotus menyatakan bahwa baik di Yunani maupun di Mesir
dirinya berulangkali mendengar betapa peradaban Yunani merupakan keturunan Nil.
Bagaimana para akademisi menghadapi teka-teki ini? Herodotus, sebagaimana
biasa, diberi reputasi sebagai “pendusta” – lebih buruk dari nasib Plato, yang
hanya dilabeli sebagai “pengkhayal dunia ideal” kala dia mengatakan mengenai
Atlantis.
Lagi, konon Mysteries of Demeter di Eleusis juga berasal dari
Mesir. Mereka berasal dari Erechteus, yang konon menciptakan Mysteries
tersebut sebagai tiruan Mysteries of Isis and Osiris. Tapi, sekali lagi, para
akademisi bersikukuh bahwa orang Yunani tersebut keliru. Bagaimanapun, tidakkah
diketahui bahwa semua mitos dan legenda bukan berdasarkan realitas, melainkan
khayalan?
Siapa yang menciptakan “selubung penolakan”
yang mengawal pemisahan Yunani dan Mesir kuno sebagai Tirai Besi ilmiah?
Jawabannya bisa ditemukan di akhir abad 19, dan situasi rasial pada era
tersebut. Pertanyaan sentralnya adalah dari ras apa bangsa Mesir itu. Hubungan
antara Eropa kulit hitam dan kulit putih merupakan isu sosial yang berpengaruh
di AS dan Inggris; pada tahun 1879, Inggris menguasai seperempat dunia. Pada
masa itulah para akademisi mulai menyadari bahwa Mesir mempunyai kebudayaan
yang kuat; pada masa itulah Yunani dikenali sebagai tempat lahir peradaban
Barat. Sebagian besar akademisi kulit putih-lah yang melakukan segala hal untuk
memastikan bahwa kulit hitam tidak akan menemukan tempat dalam sejarah…meski
itu bisa menimbulkan konsekuensi sosial yang serius. Kulit hitam tentu saja
tidak mungkin merupakan akar peradaban Yunani yang menakjubkan? Itu “pasti”
keliru. Pasti mustahil…
Namun argumen tersebut sulit dipertahankan,
dan mitos Atlantis pun digunakan untuk menguji dan menyelamatkan situasi
problematik ini: seandainya Atlantis eksis, ia pasti “ras putih”, dan “ras
putih” inilah yang memasuki Mesir dan memberi peradaban, kebudayaan, dan
filsafat kepada penduduk aslinya yang berkulit hitam. Masalah terpecahkan…
Sikap ini bertentangan dengan sikap Yunani,
meskipun sulit untuk dipercaya, setelah lebih dari seabad pencucian otak
berkenaan dengan pemikiran Yunani kuno. Bangsa Yunani tidak punya masalah
ketika menyatakan bahwa pengetahuan mereka berasal dari Afrika; mereka sama
sekali tidak menyebutkan “dewa kulit putih” atau “pemimpin kulit putih” di
tengah-tengah kebudayaan kulit hitam yang memberi mereka filsafat.
Poe dan analis lain beralasan bahwa arkeologi
modern, karena dibentuk oleh pemikiran barat, tidak bisa hidup dengan konsep
bahwa kebudayaan Yunani – dan peradaban barat secara keseluruhan – adalah
warisan Mesir yang kulit hitam. Ini menimbulkan perdebatan yang hampir
menyenangkan tentang bagaimana bangsa Mesir kuno boleh jadi bukan Afrika – atau
sikap umum yang tampaknya berlaku hari ini, tidak menetapkan identitas ras
mereka. Bagaimanapun, ras Arab kini merupakan ras dominan di Mesir (terutama di
utara), dan penyebutan seperti “leluhur kami” seringkali mengimplikasikan bahwa
bangsa Mesir kuno adalah Arab.
Fakta-fakta sangat bertentangan dengan
pemikiran revisionis semacam itu. Kota Thebes (Yunani) didirikan oleh dua
bersaudara, Amphion dan Zethos. Mereka diklaim sebagai putra Zeus, bersama satu
makhluk yang dikenal sebagai Antiope. Adalah konsep khas Mesir ketika seorang
raja menyatakan dirinya sebagai keturunan dewa. Ini simbolis belaka – tapi
harus diketahui bahwa ini juga simbol untuk Yunani kuno.
Pada 1971, arkeolog Yunani, Theodore
Spyropoulus, memulai penggalian di bukit Amphion, yang merupakan lokasi
pemakaman legendaris dari kedua bersaudara kembar itu. Dia segera menemukan
sebuah kamar batu, jauh di dalam gundukan pekuburan. Kamar tersebut berisi
perhiasan, termasuk empat gantungan berbentuk lili…motif khas Mesir. Dia juga
menemukan sebuah terowongan bawah tanah yang menuju ke beberapa arah.
Spyropoulus menjulukinya sebagai “makam khas Mesir”. Riset lebih jauh
memperlihatkan bahwa makam tersebut berasal dari 2900-2400 SM, menjadikan
temuan Yunani ini sebagai anomali nyata: belum ada peradaban Yunani pada masa
itu…namun peradaban Mesir sudah ada.
Ini bukanlah temuan arkeologis pertama yang
menunjukkan bukti semacam itu. Legenda Yunani menceritakan bahwa seorang raja
Mesir, Danaos, mendarat di Apobathmi, di Peloponnesus, dengan sebuah armada
besar. Dia mengangkat dirinya sebagai penguasa dan memerintahkan penduduk asli
untuk menyebut diri mereka sebagai “bangsa Danaan”. Homer menyatakan bahwa
orang Yunani tidak menyebut diri sebagai bangsa Yunani atau Hellene, melainkan
Danaan. Kebetulan kah? Pada masa Yunani-Romawi, turis-turis melakukan
perjalanan ibadah ke Apobathmi dan bahkan pergi sejauh mungkin, yang menegaskan
bahwa tahun persis pendaratan itu dapat ditetapkan terjadi pada 1511 SM,
berdasarkan tulisan ukir pada Parian Marble.
Beberapa firaun Mesir mengklaim kepemilikan
atas “Haunebut”, yang artinya “Di balik Pulau-pulau”. Bagian Yunani dari teks
Rosetta Stone dengan jelas menerjemahkan frase Haunebu – yang berarti “penduduk
Haunebut” – sebagai Yunani atau Hellene. Dan Yunani memang terletak “di balik
pulau-pulau” Laut Aegean, jika dipandang dari Mesir. Thutmosis III membual
bahwa dirinya telah “mengikat…Haunebut” dan menyerang orang-orang yang tinggal
“di tengah-tengah Great Green Sea” (Laut Mediterania). Dalam setahun, dia
mengklaim telah mengumpulkan 36.692 deben emas dari penduduk yang ditaklukkannya – setara
dengan tiga metrik ton – di mana yang 27.000 kilonya secara spesifik dikatakan
berasal dari provinsi-provinsi Asia dan pulau-pulau di tengah Great Green Sea
(pulau-pulau Yunani).
Pada 1964, Spyridon Marinatos, dikenal atas
karyanya tentang Thera (Akrotiri), menemukan serangkaian gudang biji-bijian di
Boiotia. Marinatos juga yakin bahwa bangsa Mycenaea membantu Mesir mengusir
Hyksos dan kemudian mereka dihadiahi dengan emas yang telah ditemukan di makam
terowongan, demikian disebutnya, di Mycenae. Makam-makam ini berasal dari 80
tahun pertama setelah pengusiran Hyksos. Beberapa makam memperlihatkan pengaruh
Mesir, walaupun bangsa Mycanaea sangat tidak perduli pada orang mati dibanding
bangsa Mesir. Mengenai gudang biji-bijian, Marinatos menyatakan bahwa
gudang-gudang itu amat mirip dengan gudang bangsa Mesir. Tentu saja
kolega-koleganya tak bisa menerima pembandingan semacam itu.
Salah satu dari gudang-gudang ini berukuran
tinggi 30 meter dan lebar 100 meter. Seluruh produksi biji-bijian di Argolid
dapat disimpan di kompleks ini, hanya negara terorganisir yang dapat dan
mungkin menggunakan mekanisme seperti itu. Sedangkan Yunani tidak memiliki
negara terorganisir pada masa gudang-gudang itu dibangun dan digunakan.
Kesimpulan logis bahwa daratan Yunani pernah digunakan sebagai suplai
biji-bijian yang diekspor ke Mesir “tentu saja” mustahil, karena kita semua
“tahu” bahwa perkembangan kebudayaan Yunani sepenuhnya independen dari segala
hal yang terjadi di tempat lain di dunia.
Artikel ini tampil pertama kali dalam Frontier Magazine 5.3 (Mei-Juni 1999) dan sedikit disadur.