(Foto: Rosa Luxemburg)
Mengenali
akar persoalan adalah setengah dari solusi. Namun, dalam konteks konflik
Israel-Palestina, masyarakat dunia justru menjauhi akar persoalannya. Hasilnya,
berbagai konferensi dan kesepakatan yang diupayakan tak kunjung menghasilkan
perdamaian secara aktual. Lantas, apa sesungguhnya akar persoalan dari konflik
yang berusia hampir enam dekade itu?
Jawabannya
dengan mudah dapat kita temukan dalam hari-hari menjelang Konferensi Timur
Tengah yang disponsori Amerika Serikat (AS) di Annapolis, Maryland, pada 27
Nopember 2007. Dalam draf yang dipersiapkan sebagai “dokumen/pernyataan
bersama” itu, Israel mengajukan prasyarat bagi setiap pembicaraan damai, yakni
bangsa Palestina harus mengakui bahwa Israel adalah negara bagi ras Yahudi.
Sebuah prasyarat yang kontan ditolak oleh Palestina. Sekali lagi, Israel
mengajukan prasyarat yang mereka tahu akan ditolak Palestina; sebuah diplomasi
klasik ala zero-sum game.
Pertanyaannya,
mengapakah Palestina menolak prasyarat itu? Implikasi prasyarat itu tidaklah
sesederhana yang dibayangkan. Terdapat beberapa implikasi serius bagi hak
bangsa Palestina sebagai penduduk asli tanah historis Palestina, dan bahkan
sebagai manusia.
Pertama,
mengakui “Israel sebagai negara Yahudi” berarti menjustifikasi bahwa Israel
berhak mendiskriminasi ratusan ribu orang Palestina yang hidup di dalam Israel.
Warga Israel-Palestina ini sudah lama dipandang sebagai “duri dalam daging”. Mereka
tinggal di lingkungan-lingkungan yang terisolasi dan tak pernah tersentuh
pembangunan, seperti halnya orang-orang Yahudi dulu hidup di ghetto-ghetto
ketika sentimen anti-semitisme merebak di Eropa. Sekarang, warga Israel
non-Yahudi itu dipaksa untuk mengakui bahwa mereka berhak diperlakukan
demikian, dan bahkan berhak untuk diusir sewaktu-waktu. Semua itu demi untuk
mempertahankan premis “Israel sebagai negara Yahudi”.
Kedua,
mengakui “Israel sebagai negara Yahudi” berarti mengingkari hak jutaan diaspora
Palestina yang diusir dalam peristiwa pembersihan etnis pada 1948 (dikenang
oleh bangsa Palestina sebagai “Nakba”, yang bermakna ‘bencana’) untuk kembali (right
to return) ke tanah nenek-moyang mereka yang kini bernama “Israel” itu,
serta mendapatkan kompensasi dari semua hak dan properti mereka yang dirampas.
Ini adalah hak yang diafirmasi oleh Resolusi Majelis Umum PBB 194 tetapi selalu
ditolak Israel sebagai “inti persoalan” dalam setiap pembicaraan damai, sekali
lagi, demi mempertahankan premis “Israel sebagai negara Yahudi”.
Ketiga—dan
ini yang paling menyayat nurani—mengakui “Israel sebagai negara Yahudi” berarti
melegalisasi pembersihan entis oleh kaum Yahudi Zionis terhadap bangsa
Palestina, dengan menuntut kepada si korban untuk mengakui bahwa aksi
perampasan terbesar dalam sejarah manusia itu sebagai suatu kebenaran.
Dengan
kata lain, dunia dituntut Israel untuk melupakan bahwa peristiwa Nakba pernah
terjadi dan bahwa bangsa bernama “Palestina” pernah eksis: “Palestina adalah
negeri tanpa bangsa untuk bangsa tanpa negeri”. Atau dalam bahasa yang lebih
lugas, kita diminta untuk menjadi Zionis. Jika tidak, maka kita adalah
anti-Semit karena berupaya menolak hak ‘mutlak’ Israel untuk menjadi negara
Yahudi.
Maka,
lewat Annapolis kita mengenang Nakba, bukan semata sebagai tragedi aktual dan
faktual tetapi juga sebagai akar persoalan konflik Israel-Palestina yang
dilandasi oleh premis rasis, yang tampaknya tidak pernah bisa lenyap dari benak
rezim Zionis di Israel.
Kita
tidak boleh lupa bahwa, bagi rezim Zionis, perdamaian bukanlah tujuan tetapi
sekedar alat untuk merealisasikan hasrat utama mereka: “Israel sebagai negara
Yahudi”. Dengan kata lain, selama hasrat itu dijamin, maka perdamaian adalah
kebutuhan mereka. Sebaliknya, jika tidak, maka, “Jangan pernah salahkan kami
apabila perdamaian gagal,” tegas Menhan Israel Ehud Barak.
Kata-kata
Barak di atas dan prasyarat Olmert menjelang pertemuan Annapolis seperti
menggemakan kembali pernyataan Perdana Menteri pertama Israel, David
Ben-Gurion, dalam biografinya, “Perdamaian bagi kami adalah sebuah alat, dan
bukan sebuah tujuan. Tujuan adalah realisasi Zionisme dalam cakupannya yang
maksimum. Hanya karena alasan inilah kami membutuhkan perdamaian, dan
membutuhkan kesepakatan.” (Shabtai Teveth, Ben-Gurion and the Palestinian
Arabs: From Peace to War, 1985, h. 168).
Jika
demikian adanya, jelas persoalannya bukanlah pada Palestina tetapi Israel.
Yahudi yang hidup di tanah historis Palestina seharusnya mencontoh warga kulit
putih Afrika Selatan, yang menjelang berakhirnya rezim Apartheid, menyadari
bahwa selama mereka memperlakukan penduduk asli kulit hitam sebagai pariah,
maka selama itu pula mereka akan berada dalam labirin kekerasan tanpa tahu ke
mana jalan kedamaian. Kini mereka merasakan bahwa hidup berdampingan dengan
warga kulit hitam adalah perisai paling ampuh dalam melindungi keamanan mereka.
Dulu,
Yahudi Eropa mempunyai dua pilihan: memperjuangkan demokrasi dan kesetaraan di
negara-negara asal mereka atau beremigrasi secara damai dari Eropa untuk hidup
secara egaliter dengan bangsa Palestina dalam sebuah entitas politik yang
sama-sama menjamin hak dan identitas kebangsaan masing-masing. Sayang, tidak
satupun dari dua pilihan itu yang mereka pilih. Mereka justru memilih opsi yang
destruktif: menjalin persekutuan dengan para imperialis untuk menginvasi
Palestina dan mengusir 80% penduduk aslinya.
Kehadiran Indonesia
di Annapolis
Di
bawah bayang-bayang prasyarat rasis Israel tersebut, pertemuan Annapolis
tampaknya tidak akan menyentuh “isu-isu inti”, seperti prospek pembentukan
negara Palestina, masa depan Yerusalem, dan terutama hak kembali diaspora
Palestina. Hasil maksimal yang masih mungkin diharapkan Abbas adalah jumlah
tahanan yang dibebaskan, jumlah separator yang akan dipindahkan, soal bantuan
ekonomi dan militer bagi pemerintahannya di Tepi Barat, dan tentu saja soal
penanganan Jalur Gaza.
Dalam
konteks inilah, kita mesti mempertanyakan keputusan pemerintah RI untuk hadir
di Annapolis. Resistensi bagi pertemuan di Annapolis bukanlah semata karena
Hamas tak diundang AS tetapi karena, untuk kesekian kalinya, dunia menyanyikan
lagu ‘perdamaian’ yang ditujukan untuk melegitimasi, atau setidaknya
membiarkan, rasisme terus berlangsung di Palestina.
“Manusia
tidak akan pernah hidup dalam kedamaian hingga mereka mendapatkan keadilan di
bawah hukum,” kata Earl Warren, mantan Ketua Mahkamah Agung AS yang melegenda
itu. “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak setiap bangsa dan oleh sebab
itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan,” tegas Pembukaan UUD 1945.
Rasisme Zionis Israel adalah kendala paling nyata bagi terwujudnya keadilan dan
merupakan wajah lain dari penjajahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar