Inovasi terhebat dalam
sejarah manusia bukanlah peranti batu maupun pedang baja, melainkan penemuan
ekspresi simbolis para seniman pertama.
Oleh Chip Walter
(nationalgeographic.co.id)
Kami seakan-akan
berjalan memasuki tenggorokan seekor binatang raksasa. Susuran logam yang kami
lewati bagai lidah yang melengkung ke atas, lalu menukik ke kegelapan di bawah.
Langit-langit
menghimpit. Di beberapa tempat, dinding gua yang tebal cukup rapat hingga
menyentuh bahu saya. Kemudian rongga batu kapur itu terbuka, dan kami memasuki
sebuah bilik luas, perut sang binatang.
Di sinilah singa-singa
gua bersarang.
Juga badak berbulu,
mamut, dan bison, kumpulan fauna purba, berderap, bertarung, membuntuti dalam
hening. Di luar gua, mereka semua sudah punah. Di sini mereka tetap hidup di
ceruk-ceruk dinding bernaung bayangan.
Sekitar 36.000 tahun
silam, seseorang berjalan dari mulut gua yang asli ke bilik tempat kami
berdiri. Ditemani kerlip api, ia pun mulai melukis di dinding: profil tampak
samping singa gua, kawanan badak dan mamut, bison besar di sebelah kanan, dan
makhluk semacam chimeria—setengah bison, setengah perempuan—menjelma dari
tonjolan batu besar berbentuk kerucut di langit-langit.
Ada kuda, kambing
gunung, dan banteng di bilik-bilik lainnya; seekor burung hantu digambar dari
lumpur dengan satu jari di salah satu dinding batu; seekor bison tegap dibentuk
dari cap tangan berlumur oker; dan beruang-beruang gua berjalan santai,
seolah-olah tengah mencari tempat untuk berhibernasi selama musim dingin.
Gambar-gambar itu kebanyakan dibuat hanya dengan satu tarikan garis sempurna.
Jika ditotal, para
seniman itu menggambarkan 442 binatang—mungkin selama ribuan tahun—memanfaatkan
36.000 meter persegi permukaan gua sebagai kanvas mereka. Beberapa binatang
terlihat sendiri, bahkan tersembunyi. Tetapi, kebanyakan berkumpul dalam
mozaik-mozaik besar seperti yang sedang saya lihat saat ini, di bagian terdalam
gua.
Tertutup sebongkah
batu selama 22.000 tahun, keberadaan gua itu terungkap pada Desember 1994,
ketika tiga orang penjelajah gua merayap di celah sempit sebuah tebing dan
turun ke mulut gua yang gelap.
Sejak itu, gua yang
kini dikenal dengan nama Chauvet-Pont-d’Arc, dilindungi dengan penuh kesiagaan
oleh Kementerian Kebudayaan Prancis. Kami termasuk segelintir orang yang
diizinkan menapak tilas perjalanan para seniman purba. Setiap goresan arang,
setiap cipratan oker terlihat segar, seolah-olah baru dibuat kemarin.
Bagaimana pencapaian
sebesar itu diraih manusia, dahulu kala, seolah-olah begitu saja? Hingga
baru-baru ini, gambar-gambar yang ditemukan di dinding gua-gua Paleolitikum Tua
tersohor di wilayah timur Eropa seperti Altamira, Lascaux, dan Chauvet dianggap
sebagai ekspresi manusia superior—kita—yang hadir di benua ini, dan mengusir
para manusia Neanderthal yang brutal dan buta seni, yang telah tinggal dan
berevolusi di sana selama ratusan ribu tahun.
Ternyata ceritanya
jauh lebih rumit, dan lebih menarik. Kisah ini diawali, sebagaimana kisah-kisah
lainnya, di Afrika.
Christopher Henshilwood mengamati Samudra
Hindia. Dia berdiri di ujung Afrika, dan selain karang luas yang telah lama
didera ombak di bawahnya, tidak ada sesuatu pun memisahkan sepatu botnya dengan
Antartika kecuali laut yang membentang sejauh 2.400 kilometer.
“Bukan hari yang buruk,” ujarnya. Henshilwood,
dari University of the Witwatersrand, Afrika Selatan, dan Univerity of Bergen,
Norwegia, bersama para koleganya telah menggali sepanjang pagi di Klipdrift
Shelter. Mereka menambahkan beberapa peranti batu dan temuan-temuan baru
lainnya ke timbunan barang bukti, bahwa manusia modern pernah menghuni
perbukitan ini dan gua-gua dangkal di sekitarnya selama lebih dari 165.000
tahun. Beberapa temuan terbaiknya berasal dari Gua Blombos, 45 kilometer di
timur Klipdrift.
Pada suatu hari pada 2000, timnya menemukan sebuah
balok oker merah berukuran sedikit lebih kecil daripada ponsel. Oker telah umum
ditemukan di bagian Afrika ini, dan telah digunakan selama ribuan tahun untuk
beraneka ragam keperluan, dari pewarna badan hingga pengawet makanan. Keping
ini, bagaimanapun, berbeda: Sekitar 75.000 tahun silam, beberapa manusia cerdas
telah dengan hati-hati membuat pola tanda segi tiga paralel yang saling bertumpukan
di permukaannya.
Tidak ada yang mengetahui makna tanda itu,
yang kemudian ditemukan di 13 keping oker lainnya. Tanda tangan? Hitungan?
Daftar belanjaan purba? Apa pun itu, umurnya 35.000 tahun lebih tua daripada
bukti tak terbantahkan mengenai perilaku simbolis lainnya yang sudah terungkap
saat itu.
Pada awalnya, penemuan ini diliputi kontroversi.
Sebagian ilmuwan mengecam batu kecil itu sebagai perkecualian, sekadar coretan
acak. “Mereka menganggapnya tidak bermakna,” kata Henshilwood. “Mereka
mengucapkan semua komentar negatif yang bisa Anda pikirkan.” Seiring waktu,
sebagian ilmuwan menganggap temuan itu sebuah terobosan.
Tidak lama berselang, berbagai contoh simbol
dan ornamen lainnya ditemukan. Tim Henshilwood menemukan cangkang-cangkang
siput laut kecil bernama Nassarius yang berumur sekitar 75.000 tahun dan
berlubang, bukti bahwa seutas tali pernah merangkainya. Temuan-temuan lainnya
berusia jauh lebih tua. Manik-manik Nassarius dapat dirunut hingga 82.000 tahun
silam di sebuah situs bernama Grotte des Pigeons (Gua Merpati) di Taforalt,
Maroko. Di ujung lain Mediterania, manik-manik serupa yang ditemukan di dua gua
Israel, Qafzeh dan Skhul, berumur 92.000 dan 100.000 tahun. Di Afrika Selatan
pada 2010, tim yang dikepalai oleh Pierre-Jean Texier dari University of
Bordeaux dilaporkan menemukan cangkang-cangkang telur burung unta berukir
berumur 60.000 tahun di Diepkloof Rock Shelter, sebelah utara Cape Town.
Sementara itu, Blombos terus melahirkan harta
karun: peranti-peranti tulang yang berukir halus dan berhias, dan bukti bahwa
100.000 tahun silam para penghuni gua telah dengan sadar menumbuk oker menjadi
serbuk halus, dan mencampurnya dengan bahan lain untuk membuat pasta. Tersimpan
di cangkang abalon—bentuk wadah tertua—pasta itu mungkin digunakan untuk
mewarnai badan, wajah, peralatan, atau pakaian. Pada 2009, Henshilwood
melaporkan penemuan oker lebih banyak lagi, juga batu bertanda silang-silang,
yang berasal dari 100.000 tahun silam.
Dibandingkan dengan keindahan mencengangkan
yang dibuat di Gua Chauvet 65.000 tahun kemudian, artefak-artefak semacam ini
terlihat biasa. Namun, membuat bentuk sederhana yang memiliki makna—sebuah
simbol, hasil dari akal seseorang, yang dapat dibagi kepada orang lain—jelas
membuktikan sebuah fakta. Lebih penting dari karya seni gua itu sendiri, ekspresi
kesadaran konkret pertama ini mencerminkan lonjakan dari sifat hewani menuju
hakikat diri kita sekarang—spesies yang bermandikan simbol, dari rambu-rambu
yang memandu kita di jalan raya hingga cincin kawin di jari dan ikon-ikon di
iPhone kita.
Ada fakta lain yang terungkap dari ledakan
simbolisme awal di Afrika dan Timur Tengah: Mereka datang, kemudian pergi.
Manik-manik, pewarna, hiasan di lempeng oker dan telur burung unta—dalam setiap
kasus, artefak muncul di catatan arkeologi, terus ada di area terbatas selama
beberapa ribu tahun, kemudian lenyap. Hal yang sama juga terjadi pada inovasi
teknologi. Mata harpun dari tulang, yang tidak ditemukan selain dari 45.000
tahun silam, terungkap dari dalam lapisan sedimen di Republik Demokratik Kongo
dengan usia dua kali lipatnya. Di Afrika Selatan, dua tradisi peranti batu dan
tulang yang relatif rumit muncul—di Still Bay 75.000 tahun silam dan Howieson’s
Poort 65.000 tahun silam. Namun, yang disebut terakhir hanya bertahan selama
6.000 tahun, yang pertama 4.000 tahun.
Tidak pernah ditemukan tradisi yang menyebar
melintasi jarak dan waktu, memadukan kekayaan dan keanekaragaman, hingga sesaat
sebelum 40.000 tahun silam, ketika seni rupa lebih banyak muncul di Afrika,
Eurasia, dan Australasia. Hingga jauh ke timur di Pulau Sulawesi, Indonesia,
cap tangan—yang semula dianggap sebagai penemuan dari Zaman Paleolitikum Tua
Eropa—baru-baru ini ditemukan, berusia mendekati 40.000 tahun.
Jadi, bagaimanakah kita menjelaskan ledakan
kreativitas yang tampak sporadis ini? Salah satu hipotesis menyebutkan bahwa
penyebabnya bukan manusia jenis baru, melainkan kepadatan manusia yang semakin
tinggi, dengan lonjakan populasi yang memicu kontak antarkelompok, yang
kemudian menciptakan semacam himpunan buah pikiran. Simbol-simbol dapat
membantu merekatkan himpunan ini. Ketika populasi turun kembali hingga di bawah
titik kritis, kelompok-kelompok pun terisolasi, dan ide-ide baru terbengkalai.
Berbagai inovasi yang telah ada pun layu dan mati.
Teori semacam ini sulit dibuktikan. Tetapi,
analisis genetika pada populasi manusia modern memang menunjukkan lonjakan
populasi di Afrika 100.000 tahun silam. Penelitian pada 2009 memberikan
dukungan statistik bagi kekuatan populasi yang lebih besar dalam menggerakkan
inovasi. Riset oleh Joseph Henrich, dari University of British Columbia,
menyebutkan bahwa seiring menurunnya populasi, manusia semakin kesulitan
mempertahankan inovasi yang telah ada. Penduduk Pulau Tasmania telah membuat
peranti dari tulang belulang, pakaian musim dingin, dan perlengkapan memancing
selama 15.000 tahun sebelum kecanggihan mereka lenyap dari catatan arkeologi
3.000 tahun silam. Henrich berpendapat bahwa ketika permukaan laut naik pada
12.000 hingga 10.000 tahun silam dan mengisolasi Tasmania dari seluruh dunia,
populasi pintar yang beranggota sekitar 4.000 manusia itu tidak lagi cukup
besar untuk melestarikan tradisi budaya.
Tidak jelas mengapa catatan arkeologi Afrika
di bidang seni rupa tampak suram selama 150 abad. Barangkali karena wabah
penyakit, bencana alam, atau perubahan iklim yang ekstrem. Tetapi, Francesco
d’Errico, arkeolog dari University of Bordeaux, menekankan bahwa meski kondisi
sulit dapat membinasakan suatu kebudayaan, beberapa kebudayaan lainnya
mungkin justru diuntungkan.
“Setiap wilayah di dunia ini menghasilkan
kebudayaan dengan berbagai macam tolok ukur,” kata d’Errico. “Bisa jadi ada
situasi semacam bencana jangka pendek yang menyapu bersih kebudayaan di satu
area, tetapi di area lainnya, manusia mampu mengambil keuntungan dari tantangan
itu.”
“Izinkan saya menunjukkan sesuatu kepada
Anda.” Nicholas Conard dengan hati-hati memutar kunci brankas besar di
kantornya, yang berlokasi di puri Jerman abad ke-16 di Tübingen University.
Dari brankas itu, dia mengeluarkan empat kotak kayu pinus kecil dan meletakkannya
perlahan-lahan di meja di depan saya. Di dalam setiap kotak tersimpan sebuah
ukiran kecil: masing-masing seekor kuda, mamut, bison, dan singa. Semuanya
berasal dari sebuah gua bernama Vogelherd di Jerman. Karya seni itu menunjukkan
keanggunan, kecantikan, dan kejenakaan yang dapat membuat seniman modern
bangga. Tetapi, karya seni itu berumur 40.000 tahun—lebih tua 4.000 tahun dari
lukisan di Chauvet.
“Menakjubkan,” ujar Conard, direktur sains
prasejarah di universitasnya. “Masing-masing karya terlihat berbeda. Tetapi
jika Anda mencermatinya, jelas bahwa semuanya membentuk suatu keutuhan.”
Para manusia yang membuat karya-karya ini
merupakan bagian dari populasi yang meninggalkan kampung halaman Afrika
sekitar 60.000 tahun silam. Mereka mengambil rute melewati Timur Tengah dan
wilayah yang kini bernama Turki, menyusuri pesisir barat Laut Hitam, dan
mendaki Lembah Sungai Danube. Sejauh pengetahuan kami, di sepanjang rute itu
mereka sama sekali tidak meninggalkan jejak berupa tanda-tanda ketertarikan
artistik. Tetapi, begitu mereka menetap sekitar 43.000 tahun silam di Lembah
Sungai Lone dan Ach di selatan Jerman, mereka tiba-tiba mulai mencipta—bukan
lagi hiasan kasar, melainkan sosok-sosok binatang realistis yang diukir di gading
mamut.
Sumber sebagian besar karya-karya itu adalah
empat gua: Hohle Fels dan Geissenklösterle di Lembah Ach, dan
Hohlenstein-Stadel dan Vogelherd di Lone. Gua-gua itu bisa diabaikan begitu
saja oleh seseorang yang bermobil di wilayah pegunungan di barat daya Jerman.
Walaupun kini subur dan hijau, Lembah Ach dan Lone 40.000 tahun yang lalu, pada
awal periode yang dikenal dengan nama Aurignacian, merupakan hamparan padang
gundul. Meskipun kondisi di sana buruk, kekayaan situs-situs arkeologi
menunjukkan bahwa populasi pada Zaman Aurignacian tengah tumbuh. Perkembangan
itu dapat membantu menjelaskan ledakan kreativitas yang ada. Mungkin kesulitan
yang dihadapi oleh mereka di Eropa, kata Conrad, mendorong mereka untuk membagi
kebiasaan. Pada masa-masa sulit, ukiran dan peranti yang bagus dapat
memperlancar jalan menuju pernikahan, perdagangan, pertemanan antarsuku, dan
membantu menyebarkan teknik-teknik baru di bidang perburuan, pembangunan tempat
berteduh, dan pembuatan pakaian.
Di Hohle Fels, tim Conrad baru-baru ini
menemukan beberapa benda dengan pesan seksual. Salah satunya adalah ukiran
seorang wanita dengan payudara dan alat kelamin sangat besar yang ditemukan
pada 2008. Setidaknya berumur 35.000 tahun, Venus dari Hohle Fels menjadi figur
terkuno berwujud manusia yang pernah ditemukan. Sebelumnya, tim yang sama
pernah menemukan sebatang tongkat batu lanau mulus, memiliki panjang sekitar 20
sentimeter dan diameter tiga sentimeter, dengan cincin terpasang di
ujungnya—kemungkinan simbol kejantanan. Sekitar satu meter dari figur Venus,
tim Conrad menggali sebuah seruling yang diukir dari selongsong tulang burung
bangkai, dan di Gua Geissenklösterle ditemukan tiga seruling lainnya, salah
satunya terbuat dari gading dan lainnya dari tulang sayap angsa. Seruling-seruling
itu merupakan alat musik tertua di dunia. Kami tidak tahu apakah orang-orang
itu mengonsumsi obat-obatan terlarang. Tetapi, yang jelas, mereka menggemari
seks dan rock and roll.
Dari semua temuan dari periode ini di Jerman,
tidak ada yang lebih menarik dari Löwenmensch (Manusia Singa) dari Gua
Hohlenstein Stadel, sebuah patung fantastis berumur hampir 40.000 tahun.
Fragmen-fragmen Löwenmensch pada mulanya—berjumlah sekitar 200—ditemukan pada
1939, sebelum Perang Dunia II pecah, oleh Robert Wetzel, profesor anatomi dari
Tübingen University, dan seorang ahli geologi bernama Otto Völzing. Namun
kepingan-kepingan itu tetap teronggok di kotak selama 30 tahun. Kemudian, pada
1969, arkeolog Joachim Hahn mengeluarkannya dan mulai merekatkannya.
Perlahan-lahan, sebuah karya seni luar biasa
mewujud. Dengan tinggi 29,6 sentimeter, Löwenmensch menjulang melampaui
ukiran-ukiran lainnya yang telah ditemukan di lembah-lembah Jerman hingga saat
itu. Ialah yang pertama menggambarkan makhluk yang sepenuhnya imajiner,
setengah manusia dan setengah singa. Karya seperti ini tidak hanya membutuhkan
akal yang luar biasa tajam, tetapi juga keahlian teknis yang mengesankan dan
waktu yang lama—kira-kira 400 jam.
Anda dapat merasakan kekuatan figur itu saat
menatapnya, perpaduan mulus dari sosok manusia tegap dan binatang buas. Apakah
patung ini mencerminkan harapan untuk menghadirkan kekuatan singa pada
manusia? Hohlenstein-Stadel adalah satu-satunya gua di wilayah itu tempat para
arkeolog menemukan peralatan hidup, tulang-belulang, atau sampah. Gua itu juga
lebih dalam dari gua lainnya. Mudah untuk membayangkan bahwa di dalam
bilik-biliknya para pemburu purba memuja Manusia Singa dan bahwa gua tersebut
merupakan titik awal perkembangan agama prasejarah.
Conrad menduga orang-orang ini memiliki
pikiran semodern kita dan, seperti kita, menggunakan ritual dan mitos untuk
menjawab misteri-misteri kehidupan, terutama di hadapan dunia yang penuh
ketidakpastian. Siapakah yang mengatur migrasi satwa, menumbuhkan pepohonan,
membentuk bulan, menyalakan bintang-bintang? Mengapa kita harus mati, dan ke
mana kita akan pergi sesudahnya? “Mereka menginginkan jawaban,” katanya,
“tetapi tidak memiliki penjelasan berlandaskan ilmu pengetahuan untuk dunia di
sekitar mereka.”
Segera setelah manusia modern tiba di Eropa,
penduduk jangka panjang benua itu mulai punah. Manusia Neanderthal muncul di
Eurasia sekitar 200.000 tahun sebelumnya. Hanya ada sangat sedikit bukti yang
menunjukkan bahwa mereka pernah berperilaku simbolik. Tetapi, pandangan tradisional
yang menganggap manusia Neanderthal sebagai makhluk brutal perlahan-lahan
sirna. Karena tidak pernah mencapai kepadatan populasi yang mungkin memicu
kelahiran simbolisme di Afrika, manusia Neanderthal mungkin tidak pernah
membutuhkannya, atau mengungkapkannya dengan cara yang belum kita pahami.
Perdebatan selama puluhan tahun mengenai
kemampuan manusia Neanderthal untuk melampaui standar para pendahulu mereka
berpusat di sebuah situs bernama Grotte du Renne di Prancis, tempat
artefak-artefak yang normalnya diasosiasikan dengan manusia modern dari Zaman
Paleolitikum Tua. Peranti tulang, kapak perimbas, dan gigi binatang yang telah
dilubangi dan dipahat mungkin untuk dijadikan bandul; ditemukan di antara fosil
Neanderthal. Beberapa peneliti berpendapat bahwa walaupun manusia Neanderthal
mungkin bertanggung jawab atas lahirnya tradisi peralatan ini (yang dikenal
dengan nama Châtelperronian), mereka tetaplah spesies yang hanya mampu meniru
ketrampilan tetangga modern mereka, bukan menemukan sendiri.
Semakin banyak yang kita ketahui tentang
Neanderthal, termasuk kemampuan mereka untuk berkawin silang dengan leluhur
langsung kita, penjelasan “penjiplakan” untuk Châtelperronian pun semakin
terasa mengada-ada. Catatan mengenai perilaku simbolik Neanderthal mungkin
samar-samar, namun bukan tidak ada. Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa
kerangka-kerangka Neanderthal yang ditemukan di Prancis dan Irak dikubur dengan
sengaja.
Bekas potongan yang baru-baru ini ditemukan di
tulang-tulang sayap burung menunjukkan bahwa Neanderthal memanfaatkan bulu
burung sebagai ornamen hingga 50.000 tahun silam, dan pola silang-menyilang
yang diukir di permukaan batu salah satu gua Neanderthal di Gibraltar 39.000
tahun yang lalu menunjukkan bahwa mereka dapat berpikir abstrak. Keping merah
yang digambar di dinding Gua El Castillo di Spanyol baru-baru ini disimpulkan
berasal dari sekitar 41.000 tahun silam, sangat dekat dengan masa ketika hanya
Neanderthal yang diketahui menghuni wilayah barat Eropa. Barangkali merekalah,
bukan kita, yang menjadi seniman gua pertama.
Namun sebagian besar lukisan gua di selatan
Prancis dan Spanyol dibuat setelah Neanderthal punah. Mengapa di sana? Mengapa
saat itu? Salah satu petunjuknya adalah gua-gua itu sendiri—lebih dalam dan
luas daripada gua-gua di Lembah Sungai Ach dan Lone di Jerman atau
naungan-naungan batu di Afrika. Tito Bustillo di utara Spanyol setidaknya
memiliki panjang 700 meter dari ujung ke ujung. El Castillo dan gua-gua lainnya
di Monte Castillo menghunjam dan berulir ke dalam tanah bagaikan sekrup
raksasa. Lascaux, Grotte du Renne, dan Chauvet di Prancis menembus batuan
hingga ratusan meter di bawah tanah, dengan banyak cabang dan bilik-bilik
sebesar katedral.
Mungkin kreativitas di dinding gua-gua ini
sebagian terinspirasi oleh kedalaman dan kegelapan di sana—atau lebih tepatnya,
perpaduan antara cahaya dan kegelapan. Diterangi kerlip cahaya dari api atau
lentera batu yang berbahan bakar lemak hewan, seperti yang ditemukan di
Lascaux, tonjolan can cekungan di dinding gua menghadirkan bentuk-bentuk alami.
Di Altamira, wilayah utara Spanyol, para pelukis yang tersohor dengan bisonnya
memanfaatkan lekukan-lekukan batu untuk memberikan nyawa dan dimensi pada
gambar mereka. Di Chauvet terdapat panel lukisan empat kepala kuda di atas lekukan
batu yang melandai sedemikian rupa sehingga moncong dan dahi mereka terlihat
menonjol.
Sebagaimana penjelasan pemandu kami,
binatang-binatang itu seakan-akan sudah ada di dalam batu, menunggu untuk
diwujudkan oleh mata arang dan pewarna sang seniman.
Di bukunya La Préhistoire du Cinéma, sutradara dan arkeolog Mark
Azéma menyampaikan pendapatnya bahwa sebagian seniman purba itu adalah
animator pertama di dunia. Ia juga menulis bahwa gambar-gambar runut yang
berpadu dengan kerlip cahaya api di gua yang gelap gulita dapat menciptakan
ilusi gambar bergerak. “Mereka ingin menghidupkan gambar-gambar ini,” ujar
Azéma.
Dia pernah membuat ulang versi digital dari
sebagian lukisan gua yang mengilustrasikan efek tersebut. Panel Singa di bilik
terdalam Chauvet menjadi contoh bagus. Panel itu menampilkan kepala sepuluh
ekor singa, semuanya tampak memusatkan perhatian pada mangsa mereka. Tetapi di
bawah cahaya obor atau lentera batu yang diletakkan secara strategis, kesepuluh
singa ini bisa jadi hanya satu, atau mungkin dua atau tiga singa yang bergerak
menyampaikan sebuah cerita. Di belakang singa-singa itu berdiri sekawanan
badak. Kepala dan cula badak digambar berulang hingga enam kali, saling
bertumpukan, seolah-olah tengah menanduk.
Ribuan tahun kemudian kekuatan yang hadir saat
kita menyusuri bilik-bilik gua masih terasa. Tarikan napas yang terdengar berat
di telinga, tetesan air yang secara teratur jatuh dari dinding dan
langit-langit gua.