Rabu, 31 Desember 2014

Manusia Purba Adalah Seniman Maestro Pertama




Inovasi terhebat dalam sejarah manusia bukanlah peranti batu maupun pedang baja, melainkan penemuan ekspresi simbolis para seniman pertama.

Oleh Chip Walter (nationalgeographic.co.id)

Kami seakan-akan berjalan memasuki tenggorokan seekor binatang raksasa. Susuran logam yang kami lewati bagai lidah yang melengkung ke atas, lalu menukik ke kegelapan di bawah.

Langit-langit menghimpit. Di beberapa tempat, dinding gua yang tebal cukup rapat hingga menyentuh bahu saya. Kemudian rongga batu kapur itu terbuka, dan kami memasuki sebuah bilik luas, perut sang binatang.

Di sinilah singa-singa gua bersarang.

Juga badak berbulu, mamut, dan bison, kumpulan fauna purba, berderap, bertarung, membuntuti dalam hening. Di luar gua, mereka semua sudah punah. Di sini mereka tetap hidup di ceruk-ceruk dinding bernaung bayangan.

Sekitar 36.000 tahun silam, seseorang ber­jalan dari mulut gua yang asli ke bilik tempat kami berdiri. Ditemani kerlip api, ia pun mulai melukis di dinding: profil tampak samping singa gua, kawanan badak dan mamut, bison besar di sebelah kanan, dan makhluk se­macam chimeria—setengah bison, setengah perempuan—menjelma dari tonjolan batu besar berbentuk kerucut di langit-langit.

Ada kuda, kambing gunung, dan banteng di bilik-bilik lainnya; seekor burung hantu digambar dari lumpur dengan satu jari di salah satu dinding batu; seekor bison tegap dibentuk dari cap tangan berlumur oker; dan beruang-beruang gua berjalan santai, seolah-olah tengah mencari tempat untuk berhibernasi selama musim dingin. Gambar-gambar itu kebanyakan dibuat hanya dengan satu tarikan garis sempurna.

Jika ditotal, para seniman itu menggambarkan 442 binatang—mungkin selama ribuan tahun—memanfaatkan 36.000 meter persegi permukaan gua sebagai kanvas mereka. Beberapa binatang terlihat sendiri, bahkan tersembunyi. Tetapi, kebanyakan berkumpul dalam mozaik-mozaik besar seperti yang sedang saya lihat saat ini, di bagian terdalam gua.

Tertutup sebongkah batu selama 22.000 tahun, keberadaan gua itu terungkap pada Desember 1994, ketika tiga orang penjelajah gua merayap di celah sempit sebuah tebing dan turun ke mulut gua yang gelap.

Sejak itu, gua yang kini dikenal dengan nama Chauvet-Pont-d’Arc, dilindungi dengan penuh kesiagaan oleh Kementerian Kebudayaan Prancis. Kami termasuk segelintir orang yang diizinkan menapak tilas perjalanan para seniman purba. Setiap goresan arang, setiap cipratan oker terlihat segar, seolah-olah baru dibuat kemarin.

Bagaimana pencapaian sebesar itu diraih manusia, dahulu kala, seolah-olah begitu saja? Hingga baru-baru ini, gambar-gambar yang ditemukan di dinding gua-gua Paleolitikum Tua tersohor di wilayah timur Eropa seperti Altamira, Lascaux, dan Chauvet dianggap sebagai ekspresi manusia superior—kita—yang hadir di benua ini, dan mengusir para manusia Neanderthal yang brutal dan buta seni, yang telah tinggal dan berevolusi di sana selama ratusan ribu tahun.

Ternyata ceritanya jauh lebih rumit, dan lebih menarik. Kisah ini diawali, sebagaimana kisah-kisah lainnya, di Afrika.

Christopher Henshilwood mengamati Sa­mudra Hindia. Dia berdiri di ujung Afrika, dan selain karang luas yang telah lama didera ombak di bawahnya, tidak ada sesuatu pun memisahkan sepatu botnya dengan Antartika kecuali laut yang membentang sejauh 2.400 kilometer.

“Bukan hari yang buruk,” ujarnya. Henshil­wood, dari University of the Witwatersrand, Afrika Selatan, dan Univerity of Bergen, Norwegia, bersama para koleganya telah meng­gali sepanjang pagi di Klipdrift Shelter. Mereka menambahkan beberapa peranti batu dan temuan-temuan baru lainnya ke timbunan barang bukti, bahwa manusia modern pernah menghuni perbukitan ini dan gua-gua dangkal di sekitarnya selama lebih dari 165.000 tahun. Beberapa temuan terbaiknya berasal dari Gua Blombos, 45 kilometer di timur Klipdrift.

Pada suatu hari pada 2000, timnya menemukan se­buah balok oker merah berukuran sedikit lebih kecil daripada ponsel. Oker telah umum ditemukan di bagian Afrika ini, dan telah diguna­kan selama ribuan tahun untuk beraneka ragam keperluan, dari pewarna badan hingga pengawet makanan. Keping ini, bagaimanapun, berbeda: Sekitar 75.000 tahun silam, beberapa manusia cerdas telah dengan hati-hati membuat pola tanda segi tiga paralel yang saling ber­tumpukan di permukaannya.

Tidak ada yang mengetahui makna tanda itu, yang kemudian ditemukan di 13 keping oker lainnya. Tanda tangan? Hitungan? Daftar belanjaan purba? Apa pun itu, umurnya 35.000 tahun lebih tua daripada bukti tak terbantahkan mengenai perilaku simbolis lainnya yang sudah terungkap saat itu.

Pada awalnya, penemuan ini diliputi kontro­versi. Sebagian ilmuwan mengecam batu kecil itu sebagai perkecualian, sekadar coretan acak. “Mereka menganggapnya tidak bermakna,” kata Henshilwood. “Mereka mengucapkan semua komentar negatif yang bisa Anda pikirkan.” Seiring waktu, sebagian ilmuwan menganggap temuan itu sebuah terobosan.

Tidak lama berselang, berbagai contoh simbol dan ornamen lainnya ditemukan. Tim Henshilwood menemukan cangkang-cangkang siput laut kecil bernama Nassarius yang ber­umur sekitar 75.000 tahun dan berlubang, bukti bahwa seutas tali pernah merangkainya. Temuan-temuan lainnya berusia jauh lebih tua. Manik-manik Nassarius dapat dirunut hingga 82.000 tahun silam di sebuah situs bernama Grotte des Pigeons (Gua Merpati) di Taforalt, Maroko. Di ujung lain Mediterania, manik-manik serupa yang ditemukan di dua gua Israel, Qafzeh dan Skhul, berumur 92.000 dan 100.000 tahun. Di Afrika Selatan pada 2010, tim yang dikepalai oleh Pierre-Jean Texier dari University of Bordeaux dilaporkan menemukan cangkang-cangkang telur burung unta berukir berumur 60.000 tahun di Diepkloof Rock Shelter, sebelah utara Cape Town.

Sementara itu, Blombos terus melahirkan harta karun: peranti-peranti tulang yang berukir halus dan berhias, dan bukti bahwa 100.000 tahun silam para penghuni gua telah dengan sadar menumbuk oker menjadi serbuk halus, dan mencampurnya dengan bahan lain untuk membuat pasta. Tersimpan di cangkang abalon—bentuk wadah tertua—pasta itu mungkin digunakan untuk mewarnai badan, wajah, peralatan, atau pakaian. Pada 2009, Henshilwood melaporkan penemuan oker lebih banyak lagi, juga batu bertanda silang-silang, yang berasal dari 100.000 tahun silam.

Dibandingkan dengan keindahan men­cengangkan yang dibuat di Gua Chauvet 65.000 tahun kemudian, artefak-artefak semacam ini terlihat biasa. Namun, membuat bentuk sederhana yang memiliki makna—sebuah simbol, hasil dari akal seseorang, yang dapat dibagi kepada orang lain—jelas membuktikan sebuah fakta. Lebih penting dari karya seni gua itu sendiri, ekspresi kesadaran konkret pertama ini mencerminkan lonjakan dari sifat hewani menuju hakikat diri kita sekarang—spesies yang bermandikan simbol, dari rambu-rambu yang memandu kita di jalan raya hingga cincin kawin di jari dan ikon-ikon di iPhone kita.

Ada fakta lain yang terungkap dari ledakan simbolisme awal di Afrika dan Timur Tengah: Mereka datang, kemudian pergi. Manik-manik, pewarna, hiasan di lempeng oker dan telur burung unta—dalam setiap kasus, artefak muncul di catatan arkeologi, terus ada di area terbatas selama beberapa ribu tahun, kemudian lenyap. Hal yang sama juga terjadi pada inovasi teknologi. Mata harpun dari tulang, yang tidak ditemukan selain dari 45.000 tahun silam, terungkap dari dalam lapisan sedimen di Republik Demokratik Kongo dengan usia dua kali lipatnya. Di Afrika Selatan, dua tradisi peranti batu dan tulang yang relatif rumit muncul—di Still Bay 75.000 tahun silam dan Howieson’s Poort 65.000 tahun silam. Namun, yang disebut terakhir hanya ber­tahan selama 6.000 tahun, yang pertama 4.000 tahun.

Tidak pernah ditemukan tradisi yang menyebar melintasi jarak dan waktu, memadukan kekayaan dan keanekaragaman, hingga sesaat sebelum 40.000 tahun silam, ketika seni rupa lebih banyak muncul di Afrika, Eurasia, dan Australasia. Hingga jauh ke timur di Pulau Sulawesi, Indonesia, cap tangan—yang semula dianggap sebagai penemuan dari Zaman Paleolitikum Tua Eropa—baru-baru ini ditemukan, berusia mendekati 40.000 tahun.

Jadi, bagaimanakah kita menjelaskan ledakan kreativitas yang tampak sporadis ini? Salah satu hipotesis menyebutkan bahwa penyebabnya bukan manusia jenis baru, melainkan kepadatan manusia yang semakin tinggi, dengan lonjakan populasi yang memicu kontak antarkelompok, yang kemudian menciptakan semacam himpunan buah pikiran. Simbol-simbol dapat membantu merekatkan himpunan ini. Ketika populasi turun kembali hingga di bawah titik kritis, kelompok-kelompok pun terisolasi, dan ide-ide baru terbengkalai. Berbagai inovasi yang telah ada pun layu dan mati.

Teori semacam ini sulit dibuktikan. Tetapi, analisis genetika pada populasi manusia modern memang menunjukkan lonjakan populasi di Afrika 100.000 tahun silam. Penelitian pada 2009 memberikan dukungan statistik bagi kekuatan populasi yang lebih besar dalam menggerakkan inovasi. Riset oleh Joseph Henrich, dari University of British Columbia, menyebutkan bahwa seiring menurunnya populasi, manusia semakin kesulitan mempertahankan inovasi yang telah ada. Penduduk Pulau Tasmania telah membuat peranti dari tulang belulang, pakaian musim dingin, dan perlengkapan memancing selama 15.000 tahun sebelum kecanggihan mereka lenyap dari catatan arkeologi 3.000 tahun silam. Henrich berpendapat bahwa ketika permukaan laut naik pada 12.000 hingga 10.000 tahun silam dan mengisolasi Tasmania dari seluruh dunia, populasi pintar yang beranggota sekitar 4.000 manusia itu tidak lagi cukup besar untuk melestarikan tradisi budaya.

Tidak jelas mengapa catatan arkeologi Afrika di bidang seni rupa tampak suram selama 150 abad. Barangkali karena wabah penyakit, bencana alam, atau perubahan iklim yang ekstrem. Tetapi, Francesco d’Errico, arkeolog dari University of Bordeaux, menekankan bahwa meski kondisi sulit dapat membinasakan suatu kebudayaan, beberapa kebudayaan lainnya  mungkin justru diuntungkan.

“Setiap wilayah di dunia ini menghasilkan kebudayaan dengan berbagai macam tolok ukur,” kata d’Errico. “Bisa jadi ada situasi se­macam bencana jangka pendek yang menyapu bersih kebudayaan di satu area, tetapi di area lainnya, manusia mampu mengambil keuntungan dari tantangan itu.”

“Izinkan saya menunjukkan sesuatu kepada Anda.” Nicholas Conard dengan hati-hati memutar kunci brankas besar di kantornya, yang berlokasi di puri Jerman abad ke-16 di Tübingen University. Dari brankas itu, dia mengeluarkan empat kotak kayu pinus kecil dan meletakkannya perlahan-lahan di meja di depan saya. Di dalam setiap kotak tersimpan sebuah ukiran kecil: masing-masing seekor kuda, mamut, bison, dan singa. Semuanya berasal dari sebuah gua bernama Vogelherd di Jerman. Karya seni itu menunjukkan ke­anggunan, kecantikan, dan kejenakaan yang dapat membuat seniman modern bangga. Tetapi, karya seni itu berumur 40.000 tahun—lebih tua 4.000 tahun dari lukisan di Chauvet.

“Menakjubkan,” ujar Conard, direktur sains prasejarah di universitasnya. “Masing-masing karya terlihat berbeda. Tetapi jika Anda mencermatinya, jelas bahwa semuanya membentuk suatu keutuhan.”

Para manusia yang membuat karya-karya ini merupakan bagian dari populasi yang me­ninggalkan kampung halaman Afrika sekitar 60.000 tahun silam. Mereka mengambil rute melewati Timur Tengah dan wilayah yang kini bernama Turki, menyusuri pesisir barat Laut Hitam, dan mendaki Lembah Sungai Danube. Sejauh pengetahuan kami, di sepanjang rute itu mereka sama sekali tidak meninggalkan jejak berupa tanda-tanda ketertarikan artistik. Tetapi, begitu mereka menetap sekitar 43.000 tahun silam di Lembah Sungai Lone dan Ach di selatan Jerman, mereka tiba-tiba mulai mencipta—bukan lagi hiasan kasar, melainkan sosok-sosok binatang realistis yang diukir di gading mamut.

Sumber sebagian besar karya-karya itu adalah empat gua: Hohle Fels dan Geissenklösterle di Lembah Ach, dan Hohlenstein-Stadel dan Vogelherd di Lone. Gua-gua itu bisa diabaikan begitu saja oleh seseorang yang bermobil di wilayah pegunungan di barat daya Jerman. Walaupun kini subur dan hijau, Lembah Ach dan Lone 40.000 tahun yang lalu, pada awal periode yang dikenal dengan nama Aurignacian, merupakan hamparan padang gundul. Meskipun kondisi di sana buruk, kekayaan situs-situs arkeologi menunjukkan bahwa populasi pada Zaman Aurignacian tengah tumbuh. Perkembangan itu dapat membantu menjelaskan ledakan kreativitas yang ada. Mungkin kesulitan yang dihadapi oleh mereka di Eropa, kata Conrad, mendorong mereka untuk membagi kebiasaan. Pada masa-masa sulit, ukiran dan peranti yang bagus dapat memperlancar jalan menuju pernikahan, perdagangan, pertemanan antarsuku, dan membantu menyebarkan teknik-teknik baru di bidang perburuan, pembangunan tempat berteduh, dan pembuatan pakaian.

Di Hohle Fels, tim Conrad baru-baru ini menemukan beberapa benda dengan pesan seksual. Salah satunya adalah ukiran seorang wanita dengan payudara dan alat kelamin sangat besar yang ditemukan pada 2008. Setidaknya berumur 35.000 tahun, Venus dari Hohle Fels menjadi figur terkuno berwujud manusia yang pernah ditemukan. Sebelumnya, tim yang sama pernah menemukan sebatang tongkat batu lanau mulus, memiliki panjang sekitar 20 sentimeter dan diameter tiga sentimeter, dengan cincin terpasang di ujungnya—kemungkinan simbol kejantanan. Sekitar satu meter dari fi­gur Venus, tim Conrad menggali sebuah seru­ling yang diukir dari selongsong tulang burung bangkai, dan di Gua Geissenklösterle ditemukan tiga seruling lainnya, salah satunya terbuat dari gading dan lainnya dari tulang sayap angsa. Seruling-seru­ling itu merupakan alat musik tertua di dunia. Kami tidak tahu apakah orang-orang itu me­ngonsumsi obat-obatan terlarang. Tetapi, yang jelas, mereka menggemari seks dan rock and roll.

Dari semua temuan dari periode ini di Jerman, tidak ada yang lebih menarik dari Löwenmensch (Manusia Singa) dari Gua Hohlenstein Stadel, sebuah patung fantastis berumur hampir 40.000 tahun. Fragmen-fragmen Löwenmensch pada mulanya—berjumlah sekitar 200—ditemu­kan pada 1939, sebelum Perang Dunia II pecah, oleh Robert Wetzel, profesor anatomi dari Tübingen University, dan seorang ahli geologi bernama Otto Völzing. Namun kepingan-kepingan itu tetap teronggok di kotak selama 30 tahun. Kemudian, pada 1969, arkeolog Joachim Hahn mengeluarkannya dan mulai merekatkannya.

Perlahan-lahan, sebuah karya seni luar biasa mewujud. Dengan tinggi 29,6 sentimeter, Löwenmensch menjulang melampaui ukiran-ukiran lainnya yang telah ditemukan di lembah-lembah Jerman hingga saat itu. Ialah yang pertama menggambarkan makhluk yang sepenuhnya imajiner, setengah manusia dan setengah singa. Karya seperti ini tidak hanya membutuhkan akal yang luar biasa tajam, tetapi juga keahlian teknis yang mengesankan dan waktu yang lama—kira-kira 400 jam.

Anda dapat merasakan kekuatan figur itu saat menatapnya, perpaduan mulus dari sosok manusia tegap dan binatang buas. Apakah patung ini mencerminkan harapan untuk mengha­dirkan kekuatan singa pada manusia? Hohlenstein-Stadel adalah satu-satunya gua di wilayah itu tempat para arkeolog menemukan peralatan hidup, tulang-belulang, atau sampah. Gua itu juga lebih dalam dari gua lainnya. Mudah untuk membayangkan bahwa di dalam bilik-biliknya para pemburu purba memuja Manusia Singa dan bahwa gua tersebut merupakan titik awal perkembangan agama prasejarah.

Conrad menduga orang-orang ini memiliki pikiran semodern kita dan, seperti kita, menggunakan ritual dan mitos untuk menjawab misteri-misteri kehidupan, terutama di hadapan dunia yang penuh ketidakpastian. Siapakah yang mengatur migrasi satwa, menumbuhkan pepohonan, membentuk bulan, menyalakan bintang-bintang? Mengapa kita harus mati, dan ke mana kita akan pergi sesudahnya? “Mereka menginginkan jawaban,” katanya, “tetapi tidak memiliki penjelasan berlandaskan ilmu pengetahuan untuk dunia di sekitar mereka.”

Segera setelah manusia modern tiba di Eropa, penduduk jangka panjang benua itu mulai punah. Manusia Neanderthal muncul di Eurasia sekitar 200.000 tahun sebelumnya. Hanya ada sangat sedikit bukti yang menunjukkan bahwa mereka pernah berperilaku simbolik. Tetapi, pandangan tradisional yang menganggap manusia Neanderthal sebagai makhluk brutal perlahan-lahan sirna. Karena tidak pernah mencapai kepadatan populasi yang mungkin memicu kelahiran simbolisme di Afrika, manusia Neanderthal mungkin tidak pernah membutuhkannya, atau mengungkapkannya dengan cara yang belum kita pahami.

Perdebatan selama puluhan tahun mengenai kemampuan manusia Neanderthal untuk melampaui standar para pendahulu mereka berpusat di sebuah situs bernama Grotte du Renne di Prancis, tempat artefak-artefak yang normalnya diasosiasikan dengan manusia modern dari Zaman Paleolitikum Tua. Peranti tulang, kapak perimbas, dan gigi binatang yang telah dilubangi dan dipahat mungkin untuk dijadikan bandul; ditemukan di antara fosil Neanderthal. Beberapa peneliti berpendapat bahwa walaupun manusia Neanderthal mungkin bertanggung jawab atas lahirnya tradisi peralatan ini (yang dikenal dengan nama Châtelperronian), mereka tetaplah spesies yang hanya mampu meniru ketrampilan tetangga modern mereka, bukan menemukan sendiri.

Semakin banyak yang kita ketahui tentang Neanderthal, termasuk kemampuan mereka untuk berkawin silang dengan leluhur langsung kita, penjelasan “penjiplakan” untuk Châtelperronian pun semakin terasa mengada-ada. Catatan mengenai perilaku simbolik Neanderthal mungkin samar-samar, namun bukan tidak ada. Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa kerangka-kerangka Neanderthal yang ditemukan di Prancis dan Irak dikubur dengan sengaja.

Bekas potongan yang baru-baru ini ditemukan di tulang-tulang sayap burung menunjukkan bahwa Neanderthal memanfaatkan bulu burung sebagai ornamen hingga 50.000 tahun silam, dan pola silang-menyilang yang diukir di permukaan batu salah satu gua Neanderthal di Gibraltar 39.000 tahun yang lalu menunjukkan bahwa mereka dapat berpikir abstrak. Keping merah yang digambar di dinding Gua El Castillo di Spanyol baru-baru ini disimpulkan berasal dari sekitar 41.000 tahun silam, sangat dekat dengan masa ketika hanya Neanderthal yang diketahui menghuni wilayah barat Eropa. Barangkali merekalah, bukan kita, yang menjadi seniman gua pertama.

Namun sebagian besar lukisan gua di selatan Prancis dan Spanyol dibuat setelah Neanderthal punah. Mengapa di sana? Mengapa saat itu? Salah satu petunjuknya adalah gua-gua itu sendiri—lebih dalam dan luas daripada gua-gua di Lembah Sungai Ach dan Lone di Jerman atau naungan-naungan batu di Afrika. Tito Bustillo di utara Spanyol setidaknya memiliki panjang 700 meter dari ujung ke ujung. El Castillo dan gua-gua lainnya di Monte Castillo menghunjam dan berulir ke dalam tanah bagaikan sekrup raksasa. Lascaux, Grotte du Renne, dan Chauvet di Prancis menembus batuan hingga ratusan meter di bawah tanah, dengan banyak cabang dan bilik-bilik sebesar katedral.

Mungkin kreativitas di dinding gua-gua ini sebagian terinspirasi oleh kedalaman dan kegelapan di sana—atau lebih tepatnya, perpaduan antara cahaya dan kegelapan. Diterangi kerlip cahaya dari api atau lentera batu yang berbahan bakar lemak hewan, seperti yang ditemukan di Lascaux, tonjolan can cekungan di dinding gua menghadirkan bentuk-bentuk alami. Di Altamira, wilayah utara Spanyol, para pelukis yang tersohor dengan bisonnya memanfaatkan lekukan-lekukan batu untuk memberikan nyawa dan dimensi pada gambar mereka. Di Chauvet terdapat panel lukisan empat kepala kuda di atas lekukan batu yang melandai sedemikian rupa sehingga moncong dan dahi mereka terlihat menonjol.

Sebagaimana penjelasan pemandu kami, binatang-binatang itu seakan-akan sudah ada di dalam batu, menunggu untuk diwujudkan oleh mata arang dan pewarna sang seniman.

Di bukunya La Préhistoire du Cinéma, sutra­dara dan arkeolog Mark Azéma menyampai­kan pendapatnya bahwa sebagian seniman purba itu adalah animator pertama di dunia. Ia juga menulis bahwa gambar-gambar runut yang berpadu dengan kerlip cahaya api di gua yang gelap gulita dapat menciptakan ilusi gambar bergerak. “Mereka ingin menghidupkan gambar-gambar ini,” ujar Azéma.

Dia pernah membuat ulang versi digital dari sebagian lukisan gua yang mengilustrasikan efek tersebut. Panel Singa di bilik terdalam Chauvet menjadi contoh bagus. Panel itu menampilkan kepala sepuluh ekor singa, semuanya tampak memusatkan perhatian pada mangsa mereka. Tetapi di bawah cahaya obor atau lentera batu yang diletakkan secara strategis, kesepuluh singa ini bisa jadi hanya satu, atau mungkin dua atau tiga singa yang bergerak menyampaikan sebuah cerita. Di belakang singa-singa itu berdiri sekawanan badak. Kepala dan cula badak digambar berulang hingga enam kali, saling bertumpukan, seolah-olah tengah menanduk.

Ribuan tahun kemudian kekuatan yang hadir saat kita menyusuri bilik-bilik gua masih terasa. Tarikan napas yang terdengar berat di telinga, tetesan air yang secara teratur jatuh dari dinding dan langit-langit gua.

Di dalam iramanya kita nyaris dapat men­dengar tabuhan musik purba yang rancak, sementara seorang dalang mengarahkan nyala obornya ke sebuah gambar, dan memikat para penonton dengan kisahnya. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar