Oleh
Stephen
Sizer*
Sebagai
kelompok yang sangat tidak mampu menghidupi dirinya sendiri, Zionisme menemukan
kekuatan dari perbedaan monoteistis dalam jaringan organisasi Kristen yang
subur dan berkuasa, terutama di Amerika Serikat. Zionis Kristen termasuk
pendukung Zionisme yang paling bersemangat, karena mereka memandang Israel
sebagai bagian ketentuan suci yang ditakdirkan Tuhan, yang berpuncak pada
kedatangan Kristus untuk kedua kalinya. Jumlah mereka mencapai puluhan juta dan
telah berusaha mempengaruhi berbagai generasi politis Amerika. Namun demikian,
cara pandang mereka bersandar pada kesalahan interpretasi fundamental terhadap
kitab suci, yang justru bertentangan dengan pesan sejati ajaran Kristen.
Mengapa
hari ini tercipta hubungan yang sedemikian dekat antara Amerika dan Israel?
Mengapa sangat sulit menemukan anggota kongres AS yang bersedia mengkritik
Israel di muka umum? Walaupun sebenarnya Israel harus lebih tunduk pada
sejumlah resolusi Dewan Keamanan PBB dibandingkan dengan negara lain di dunia
ini, mengapa Amerika Serikat selalu memveto nyaris setiap pasalnya? Mengapa
setelah hampir 40 tahun, Israel masih saja menduduki Teritori Palestina dan
Dataran Tinggi Golan, sedangkan Suriah telah dipaksa mundur dari Libanon?
Mengapa Israel diijinkan untuk mempertahankan senjata biologis, kimia, dan
nuklir, sedangkan Iran diancam dengan serangan pendahuluan karena berupaya
mengembangkan teknologi nuklir? Mengapa Kesepakatan Damai Oslo dan Wye gagal
mewujudkan perdamaian? Alih-alih memperoleh kesepakatan dari Rusia, Masyarakat
Eropa, Amerika Serikat, dan PBB, mengapa belum ada itikad politik untuk
menerapkan Peta Jalan Damai (Road Map) dan menciptakan negara Palestina yang
merdeka di dekatnya? Alih-alih ketentuan Mahkamah Internasional, mengapa Israel
masih bisa melanjutkan pembangunan Tembok Pemisah tanpa memperoleh sanksi, dan
membangun ghetto untuk warga Palestina? Mengapa Amerika dan Inggris
begitu dibenci mayoritas dunia Arab dan menjadi sasaran aksi kekerasan umat
Islam? Jawaban untuk semua pertanyaan itu kebanyakan tetap misterius tanpa
mempertimbangkan peran gerakan yang mungkin saat ini paling berpangaruh dan
paling kontroversial dalam kekristenan, yakni Zionisme Kristen .
Pengertian
Zionisme Kristen
Dalam
definisi yang paling sederhana, Zionisme Kristen adalah kelompok Kristen yang
mendukung Zionisme. Artinya, kelompok ini merupakan sebuah sistem politik yang
membenarkan sebentuk kolonialisme apartheid berdasarkan Injil, dengan
mengutamakan hak kaum Yahudi di atas hak bangsa Palestina, juga mengklaim hak
eksklusif atas sebuah wilayah yang sampai kini belum jelas di Timur Tengah.
Dalam hal ini, pada dasarnya Zionis Kristen mendukung Negara Israel.
Grace
Halsell, misalnya, bertanya: ‘Apa makna Zionis Kristen? Katakan saja
begini: setiap tindakan Israel adalah sesuai dengan kehendak Tuhan, dan
karenanya harus dimaafkan, didukung, dan bahkan dipuji oleh kita semua.’[1]
Dale Crowley, seorang penyiar Washington yang berlatar belakang religius,
menggambarkan kelompok ini sebagai ‘sekte yang paling cepat berkembang di
Amerika’:
‘Anggota
utama kelompok ini bukanlah “orang-orang gila,” melainkan warga Amerika kelas
menengah hingga menengah ke atas. Mereka memberikan jutaan dollar setiap
minggunya kepada pengabar-pengabar di TV yang memaparkan prinsip-prinsip dasar
sekte ini. Mereka membaca karya Hal Lindsey dan Tim LaHaye. Mereka punya satu
tujuan: menjadi tangan Tuhan untuk mengangkat mereka ke surga, terbebas dari
semua masalah, dan dari sana mereka akan menyaksikan Armageddon—perang akhir
jaman, dan kehancuran planet bumi.’[2]
Makna
Gerakan Zionisme Kristen
Sebagai
gerakan, Zionisme Kristen sangat berbeda. Setidaknya, ada tiga elemen
pembeda yang bisa diamati: evangelistis, apokaliptis, dan politis.[3]
Zionisme
Kristen menyebar terutama melalui denominasi evangelistis, karismatik, dan
independen, termasuk Sidang Jemaat Allah, Pantekosta, dan Baptis Selatan,
maupun kebanyakan jemaat mega (mega church) yang independen. Crowley
mengklaim bahwa kelompok ini dibimbing oleh 80.000 pastor fundamentalis.
Pandangan para pastor itu disebarkan oleh 1.000 radio Kristen maupun 100
stasiun TV Kristen.[4]
Diperkirakan,
secara keseluruhan gerakan ini memiliki pendukung sebanyak 25 juta hingga 100
juta.[5]
Di bulan Maret 2002, dalam sebuah survey besar terhadap pendapat umat Kristen,
Pusat Riset Pew menemukan bahwa 44% umat Protestan Amerika dan 72% Evangelis
Kulit Putih bisa dikaitkan dengan gerakan Zionis Kristen.[6]
Mungkin
Unity Coalition for Israel adalah jaringan Zionis Kristen yang paling
berperan dalam menyatukan 200 organisasi Yahudi dan Zionis Kristen yang
berbeda-beda, termasuk International Christian Embassy, Christian
Friends of Israel dan Bridges for Peace. Mereka mengklaim memiliki
dukungan dari 40 juta anggota aktif.[7]
Organisasi-organisasi ini, dengan cakupan yang berbeda-beda, dan dengan alasan
yang bermacam-macam, dengan kontradiksi yang ada, membentuk sebuah koalisi
besar yang mewarnai agenda Zionis Kristen hari ini.
Walaupun
akar Zionisme Kristen sebagai sebuah gerakan bisa ditelusuri hingga awal
abad ke-19, dan yang kemudian dikenal sebagai Dispensasionalisme—pemikiran
bahwa Tuhan telah memilih dua kaum: Gereja dan Israel—gerakan ini baru
mengemuka sejak tahun 1967, ketika perang antara bangsa Arab-Israel dianggap
sebagai wujud nyata dari ramalan Injil.
Tanpa
dukungan finansial dan politis Zionis Kristen di Amerika, yang telah memastikan
tersedianya anggaran dana pemerintah dalam jumlah besar, sangat diragukan bahwa
Negara Israel masih bisa bertahan sejak 1948, apalagi terus menerus menduduki
dan menjajah Teritori Palestina sejak 1967.
Agenda
Politis Zionisme Kristen
Zionis
Kristen memperlihatkan tingkat antusiasme yang berbeda-beda untuk menerapkan
enam keyakinan dasar yang berasal dari pemahaman literal mereka terhadap Injil.
1.
Orang-orang Terpilih: Mendukung Kolonialisme Israeli
Keyakinan
bahwa Tuhan menjadikan Yahudi sebagai ‘kaum terpilih’ yang dalam beberapa hal
terpisah dari Gereja sepenuhnya berakar kuat dalam Zionisme Kristen. Hal itu
diungkapkan dengan bermacam cara. Di bulan Oktober 2000, misalnya, hanya
beberapa hari setelah kunjungan provokatif Sharon ke Haram Al-Sharif, sebuah
iklan muncul di New York Times berjudul ‘Surat Terbuka kepada
umat Kristen Evangelis dari umat Yahudi demi Yesus.’ Di dalamnya mereka
menghimbau kalangan evangelis untuk menunjukkan solidaritas dengan Negara
Israel di saat yang kritis ini:
‘Kini
saatnya berpihak pada Israel. Saudara Saudari dalam Kristus, berat hati kita
menyaksikan terjadinya kekerasan dan pertumpahan darah di Timur
Tengah….Sahabat-sahabat Kristen “Tuhan tak menyesali karunia dan panggilan-Nya”
(Roma 11:29). Karena itu, dukungan kita bagi bertahannya Israel di saat-saat
gelap ini tak perlu dibantah lagi. Kini saatnya umat Kristen berpihak kepada
Israel.’[8]
Hingga
1980an, kebijakan AS terhadap Timur Tengah secara umum tak sebanding dengan
kebijakan tentang ancaman global yang lebih luas, yang berasal dari pengaruh
Soviet. Perlindungan terhadap Eropa Barat melalui NATO adalah prioritas. Namun
demikian, tumbangnya Komunisme menciptakan kekosongan kekuasaan di Timur
Tengah, yang kemudian diisi oleh AS. Setelah Perang Teluk untuk menyingkirkan
pasukan Irak dari Kuwait, selanjutnya Taliban dari Afghanistan , dan Saddam
Hussein dari Irak, jelas bahwa AS telah memperkuat pengaruhnya di Timur Tengah.
Di saat yang sama, terjadi peningkatan dalam gelombang lobi pro-Israel.
Konsekuensinya, Timur Tengah, khususnya Israel, telah menjadi pusat kebijakan
luar negeri AS. Sama sekali bukan karena serangan al-Qaeda ke New York dan
Washington .
Di
1980, Kedutaan Kristen Internasional didirikan di Yerusalem dengan tujuan
mengkoordinir secara langsung berbagai aktivitas lobi politik yang bekerja sama
dengan pemerintah Israel. Salah satu tujuan utamanya adalah menyaksikan
keluarnya delegasi Palestina dari negara-negara Barat dan pemindahan kedutaan
AS dari Tel Aviv ke Yerusalem .
Di
acara Doa Buka Puasa Nasional bulan Februari 1991, Ed McAteer, Presiden Religious
Roundtable,meluncurkan Christian Israel Public Affairs Committee
(CIPAC), mencontoh American Israel Political Affairs Committee (AIPAC)
yang berkuasa, yang telah melakukan lobi-lobi atas nama hak bangsa
Israel.[9]
Tujuan-tujuan CIPAC sama persis dengan AIPAC. Salah satu tujuan pertama CIPAC
adalah melobi Kongres agar memastikan tersedianya jaminan hutang AS sebanyak 10
miliar dollar untuk mendanai penataan ulang pemukiman bangsa Yahudi dari bekas
Uni Soviet di Israel dan di Tepi Barat.
Pemerintahan
Bush menghubungkan jaminan utang tersebut dengan berhentinya pembangunan
pemukiman Yahudi di Tepi Barat. Jan Willem van der Hoeven dari ICEJ berkata
pada Jerusalem Post, bahwa ‘Komunitas Kristen menganggap kebijakan
pemerintah tentang jaminan utang itu sama sekali tak bisa diterima.’ Dia
mengklaim bahwa 80% umat Kristen Evangelis Amerika mendukung jaminan utang
tersebut.[10]
Mungkin inilah sebabnya di kemudian hari, George Bush Senior mengeluh bahwa
‘ada 1.000 pelobi di Hill saat ini yang tengah melobi Kongres agar memberikan
jaminan utang kepada Israel, dan aku hanyalah lelaki kecil yang sendirian
meminta Kongres untuk menunda pertimbangan pinjaman itu selama 120 hari.’[11]
Zionis
Kristen juga begitu dermawan menyediakan dukungan finansial kepada Israel. Zeev
Chafets, dalam tulisannya di New York Times tahun 2005, memaparkan
dengan sedikit sinis, betapa kelompok Kristen evangelis telah membiayai
pekerjaan Rabbi Yechiel Eckstein di Israel :
‘Dalam
delapan tahun terakhir saja, diperkirakan 400.000 donatur baru telah mengirimi
Eckstein sekitar seperempat miliar dollar untuk kepentingan Yahudi—terserah dia
mau digunakan dengan cara apa. Tak ada orang Yahudi sejak jaman Yesus yang
pernah memerintahkan kemuliaan semacam ini.’[12]
Zionis
Kristen juga sudah begitu berpengaruh dalam meneguhkan hubungan yang lebih
dekat dengan Israel dengan memfasilitasi berbagai ziarah solidaritas dan
kunjungan pendidikan ke Tanah Suci.
2.
Restorasionisme: Memfasilitasi Aliyah dari Bekas Uni Soviet
Dengan
runtuhnya Komunisme di Bekas Uni soviet (Former Soviet Union—FSU) dan
Eropa Timur, sejak 1980, sebuah koalisi agen-agen Zionis Kristen telah
mengambil inisiatif mendorong orang-orang Yahudi berimigrasi ke Israel, dan
menganggapnya sebagai bukti kebenaran ramalan.
Mungkin
Exobus adalah agen Zionis Kristen pertama yang merubah doktrin Restorasionisme
menjadi kenyataan dan membantu kaum Yahudi di FSU membentuk aliyah. Exobus
didirikan tahun 1984 oleh Phil Hunter, direktur Good News Travels Bus
Company, bermarkas di Hull, Inggris. Tujuan agensi ini adalah memfasilitasi
perpindahan kaum Yahudi di FSU ke Israel. Tim Exobus pertama dikirim ke Ukraina
tahun 1991, dan mengklaim bahwa sejak saat itu organisasi ini telah membantu
80.000 orang Yahudi berimigrasi ke Israel dengan kerja sama yang kuat dengan
agen Yahudi. Mungkin saat ini Exobus adalah agen Kristen terbesar yang
memfasilitasi aliyah, terdiri dari 80 anggota tim dari 13 negara dan mengoperasikan
40 kendaraan. Exobus mengangkut sekira 1.200 Yahudi dari 16 lokasi di FSU
setiap bulannya.[13]
Dukungan keuangan utama Exobus berasal dari sebuah agen mitra bernama Christians
for Israel International, yang mengembangkan Exobus di AS.
Sejak
1991, ICEJ juga telah membiayai pengangkutan 40.000 imigran, 15.000 di
antaranya dibawa ke Israel dengan 51 penerbangan yang disponsori ICEJ. Anggota
tim ICEJ Rusia secara khusus aktif di wilayah yang lebih terpencil di FSU.
Seperti Exobus, ICEJ dan Bridges for Peace menggambarkan tugas mereka
dengan istilah ‘mengail ikan’ untuk umat Yahudi, berdasarkan Jeremiah 16:16.
Mereka menemukan kaum Yahudi, membujuk mereka untuk pindah, membantu mereka
memperoleh dokumen yang membuktikan asal-usul keyahudian mereka, membagikan
paket kemanusiaan dan membayar ijin keluar, paspor, pelunasan utang,
transportasi dan akomodasi selama pengajuan mereka diproses oleh Agen Yahudi di
kota-kota Rusia yang lebih besar. Begitu tiba di Israel , ICEJ maupun BFP
membantu imigran dengan biaya pemukiman, menyediakan makanan, pakaian, selimut,
persediaan dapur dan sekolah, maupun perlengkapan kesehatan.
3.
Eretz Israel: Mendukung Pemukiman Tepi Barat
Bagi
Zionisme, Yahudi, dan Kristen religius, batas absah bagi Israel jauh lebih luas
daripada dengan yang kini diperdebatkan dengan Suriah, Yordania, dan Otoritas
Palestina. Keyakinan bahwa seluruh Tepi Barat merupakan bagian integral dengan
Israel telah membuat banyak Zionis Kristen ‘mengadopsi’ pemukiman khusus Yahudi
untuk memperkuat klaim mereka atas wilayah tersebut.
Christian
Friends of Israeli Communities (CFOIC), yang didirikan oleh Ted Beckett
tahun 1995, menjalin kerja kemitraan dengan Christian Friends of Israel
(CFI) dan mendefinisikan pemukiman sebagai:
‘Sebidang
tanah untuk tempat tinggal pionir kaum Yahudi yang pemberani. Sebagian besar
didirikan di puncak bukit berbatu kosong, dibangun untuk membentuk komunitas
Yahudi yang belum pernah ada selama ribuan tahun. Sebagian lagi, seperti
Shiloh, pemukiman dibangun di sebuah situs asli kota Yahudi kuno.’[14]
Sejauh
ini, ‘progress meter’ CFOIC menunjukkan bahwa 39 pemukiman ilegal
penduduk Israel telah ‘diadopsi’ oleh 50 denominasi maupun gereja independen di
AS, Afrika Selatan, Jerman, Belanda, dan Pilipina.
Selain
memfasilitasi imigrasi Yahudi ke Israel, sejumlah agen Zionis Kristen juga
aktif mendanai pemukiman Yahudi ilegal di Tepi Barat. Program ‘Bis Anti Peluru
untuk Efrat,’ misalnya, juga mengeluarkan 150.000 dollar untuk membeli sebuah
bis lapis baja anti peluru untuk mengangkut warga pemukiman keluar dan masuk
Tepi Barat dari pemukiman Efrat.[15]
Bridges for Peace (BFP) punya skema serupa bernama ‘Operation
Ezra‘ yang mendanai lebih dari 50 proyek yang sedianya terancam gagal
seperti ladang pemukiman, Sde Bar, dekat Beit Jala dan Herodian.[16]
Anglicans
for Israel
mewakili wajah baru Kristen Zionis di Inggris.[17]
Website mereka memuat banyak artikel yang menyangkal pendudukan di
Palestina, menjustifikasi Tembok Pemisah dan pembangunan pemukiman,
‘Selama
bangsa Palestina masih berpegang pada pemahaman keliru bahwa mereka “diduduki,”
dan Israel berperan sebagai “penindas,” mereka tak akan bisa bertanggung jawab
pada diri sendiri.”[18]
‘Saat
mengunjungi Israel belum lama ini, aku melihat pagar pengaman dalam banyak
peristiwa, dan pagar itu sangat panjang. Kecuali di sejumlah kecil lokasi—dan
hanya untuk melindungi pengendara motor dari penembak jitu—bukan tembok.’[19]
Efek
lobi pro-Israel terhadap kebijakan luar negeri Amerika tentang pemukiman
nampaknya memang membuahkan hasil. Selama pemerintahan Carter, pemukiman
dianggap ‘ilegal’; di bawah pemerintahan Reagan dipandang sebagai ‘penghalang’
perdamaian’; saat pemerintahan Clinton menjadi ‘faktor yang rumit’; sedangkan
di masa George W. Bush, pemukiman adalah bagian dari Israel.
4.
Jerusalem: Melobi untuk Pengakuan Internasional
Inti
dari dukungan Zionis Kristen terhadap klaim Israel atas Wilayah Pendudukan
adalah keyakinan bahwa Jerusalem adalah, dan harus tetap menjadi, pusat Yahudi
yang eksklusif dan tidak terbagi-bagi. Sejauh ini, berbagai upaya untuk
mencapai kesepakatan dalam konflik Arab-Israel yang kian luas ini tertahan atau
terbentur pada status akhir Jerusalem. Zionis Kristen dengan tegas menolak
setiap pengajuan apapun tentang kedaulatan bersama atau pembentukan pusat
pemerintahan Palestina di Jerusalem Timur.
Senator
Bob Dole kemudian mengumumkan sebuah perundangan di Senat Amerika yang
memerintahkan kedutaan besar AS membangun kembali Yerusalem sebelum 31 Mei
1999, dan mengesahkan 100 juta dollar untuk membiayai pengeluaran ‘awal.’[20]
Di bulan Oktober 1995 dia menyatakan, ‘Pusat Israel bukan ditentukan di meja
proses perundingan damai, dan memindahkan kedutaan besar AS ke Yerusalem tidak
berpengaruh sedikitpun untuk memprediksi hasil negosiasi apapun di masa
mendatang.’[21]
Sambil menyesalkan kegagalan Presiden AS untuk meratifikasi keputusan Senat
tersebut, Dole berkomentar:
‘Yerusalem
hari ini, dan sudah sejak tiga ribu tahun yang lalu, menjadi jantung dan jiwa
kaum Yahudi. Kota ini juga harus tetap, selamanya, menjadi pusat Negara Israel
yang abadi dan tak terbagi-bagi…Saatnya telah tiba…untuk melangkah lebih dari
sekedar kata-kata, ungkapan dukungan, dan bermacam resolusi Kongres. Saatnya
telah tiba untuk menjalankan perundangan yang bisa menuntaskan pekerjaan.’[22]
Di
tahun 1992, ICEJ mensponsori berbagai perayaan untuk menandai ulang tahun ke-25
peristiwa yang mereka sebut sebagai ‘Reunifikasi Yerusalem.’[23]
Di tahun 1996, dalam Kongres Zionis Kristen Internasional, pemikiran ini
dikemukakan kembali di hadapan 1.500 peserta yang menandatangani sebuah
pernyataan sikap:
‘Karena
tujuan mutlak Tuhan bagi Kota ini, maka Yerusalem harus tetap tidak
terbagi-bagi, di bawah kedaulatan Israel, terbuka bagi semua orang, pusat
negara Israel saja, dan karenanya semua bangsa harus sepakat dan menempatkan
kedutaan mereka di sini…kebenaran Tuhan adalah mutlak dan tertulis bahwa Tanah
yang dijanjikanNya untuk kaumNya itu bukan untuk disekat-sekat.’[24]
ICEJ
juga telah memberikan dukungan berupa satu halaman penuh di New York Times
untuk iklan yang berjudul ‘Umat Kristen menyeru untuk Yerusalem yang
Utuh.’
‘Kami,
yang bertanda tangan di bawah ini adalah para pimpinan spiritual Kristen yang
setiap minggu melayani lebih dari 100 juta umat Kristen Amerika, begitu bangga
bisa bergabung bersama-sama mendukung keberlangsungan kedaulatan Negara Israel
atas kota suci Yerusalem. Kami mendukung upaya-upaya Israel untuk mencapai
rekonsiliasi dengan tetangga Arab, namun kami percaya bahwa Yerusalem, atau
bagian manapun darinya, seharusnya tidak lagi ditawar-tawar dalam proses
perdamaian. Yerusalem harus tetap utuh sebagai pusat abadi kaum Yahudi.’[25]
Para
pembaca juga diseru:
‘Bergabunglah
bersama kami dalam misi suci untuk memastikan bahwa Yerusalem akan tetap
menjadi pusat Israel yang utuh dan abadi.’ Mereka mengklaim, ‘perang demi
Yerusalem telah dimulai, dan kinilah saatnya umat yang beriman kepada Kristus
untuk mendukung saudara mereka bangsa Yahudi dan Negara Israel. Saat persatuan
dengan kaum Yahudi kini telah tiba.’[26]
Namun
demikian, yang dirasa lebih penting bagi Zionis Kristen berkaitan dengang
ramalan yang mereka yakini adalah membangun kembali Kuil Yahudi.
5.
Kuil: Memihak pada Zionisme Religius
Zionis
Kristen masa kini begitu aktif membantu banyak organisasi Yahudi yang bertujuan
membangun kembali Kuil Yahudi dengan memproklamirkan berbagai organisasi Temple
Mount; mencari lokasi situs Kuil; memfasilitasi program pembangunan ulang;
mengembangbiakkan lembu merah dan mendanai Lembaga Keuangannya. Randall Price
adalah ahli aliran dispensational terkemuka dalam rencana pembangunan
ulang Kuil Yahudi dalam waktu dekat. Di halaman 735 bukunya, The Coming Last
Days Temple, dia menyajikan rincian lengkap dan alamat semua organisasi
Yahudi yang turut memfasilitasi pembangunan ulang Kuil Yahudi.[27]
Gershon Salomon adalah tokoh kontroversial dalam gerakan ini dan pendiri The
Temple Faithful. Ketika berbicara sebagai tamu ICEJ, dalam Kongres Zionis
Kristen tahun 1998, Salomon bersikukuh bahwa:
‘Misi
generasi masa kini adalah membebaskan Temple Mount dan menyingkirkan—saya
ulangi, menyingkirkan—kebencian yang menodai tempat itu…kaum Yahudi tak akan
diberhentikan di gerbang-gerbang menuju Temple Mount… Akan kita kibarkan
bendera Israel kita di Temple Mount, yang bakal berdiri tanpa Kubah Batu dan
masjidnya, dan yang akan ada di sana hanyalah bendera kita dan Kuil kita.
Itulah yang harus dilaksanakan oleh generasi kita.’[28]
Namun
demikian, Sam Kiley menulis di The Times untuk memberikan perspektif
lain. Dia mengklaim Salomon sebagai ‘wajah paling tepat untuk berbagai sekte di
milenium ini.’ Dalam sebuah wawancara dengan Salomon bersikeras bahwa tempat
ibadah umat Islam harus dihancurkan:
‘Pemerintah
Israel harus melakukannya. Kita harus berperang. Akan banyak bangsa yang
menentang kita, Tapi Tuhan akan memimpin kita. Aku yakin ini adalah ujian, dan
Tuhan mengharapkan kita menyingkirkan Kubah itu tanpa rasa takut kepada
bangsa-bangsa lain. Al Masih tak akan datang dengan sendirinya; kita harus
menghadirkanya dengan berjuang.’[29]
Sejak
1967 sudah terjadi lebih dari 100 serangan bersenjata terhadap al-Haram
al-Sharif oleh kaum Yahudi militan, seringkali dipimpin para rabbi. Tak
sekalipun Perdana Menteri Israel atau kepala rabbi Sephardic pernah mengecam
serangan-serangan itu.[30]
Seperti yang pernah dikemukakan Lawrence Wright, ‘kerinduan Yahudi akan Kuil,
harapan Kristen akan Kegembiraan, dan paranoia Muslim terhadap perusakan masjid
mereka tengah diaduk dalam sebuah mangkuk apokaliptik.’[31]
6.
Masa Depan: Menentang Perdamaian dan Menyegerakan Armageddon
Permusuhan
yang diperlihatkan Zionis Kristen terhadap kompromi apapun tentang pembagian
Tanah, atau Yerusalem, atau situs-situs suci, sama sekali bukan karena
pesimisme yang inheren dalam eskatologi mereka.
Aliansi
AS-Israel
Saat
Zionis Kristen secara umum sepakat untuk berpihak pada Israel, secara khusus
ada hubungan dekat antara Israel dan Amerika. Jerry Falwell menjelaskannya
secara sederhana. Tuhan begitu baik kepada Amerika karena ‘Amerika baik kepada
Yahudi.’[32]
Mike Evans adalah salah seorang yang menemukan dasar-dasar Injili tentang
hubungan antara Israel dan Amerika:
‘Tuhan
hendak memberkati Amerika maupun Israel…Jika Israel runtuh, maka Amerika
Serikat tak akan mampu lagi menjaga demokrasinya…Uang Arab digunakan untuk
mengendalikan dan mempengaruhi banyak Perusahaan besar di AS, sehingga membuat
Amerika Serikat kian dan kian sulit menentang terorisme dunia.’[33]
Bagi
Zionis Kristen seperti Jerry Falwell dan Mike Evans, ‘Sabuk Injil’ Amerika
dipandang sebagai ‘Sabuk Pengaman’ Israel.[34]
Amerika dianggap sebagai penyelamat besar mereka, perannya sebagai negara
adidaya di dunia sudah diramalkan dalam kitab suci[35]
dan memang sudah ditakdirkan Tuhan.[36]
Para kritikus memperingatkan bahaya logika semacam ini karena cara pandangnya
yang dualistik dan Manichaean terhadap politik global. Amerika dan
Israel bersama-sama melawan dunia yang keji.’[37]
Antipati
terhadap Bangsa Arab
Zionis
Kristen adalah pecinta Israel, dan mereka jarang memperlihatkan perasaan yang
sama terhadap bangsa Arab. Bahkan, antipati mereka seringkali sangat berlawanan
dengan empati mereka terhadap Israel. Stereotipe prasangka anti-Arab dan
Orientalis lazim dijumpai dalam tulisan-tulisan mereka.[38]
Menurut Orientalis, Barat dipandang sebagai kalangan yang liberal, damai,
rasional, dan mampu menerima nilai-nilai yang ‘hakiki’ sedangkan Timur Tengah
tidak.
Ramon
Bennett menjelaskan betapa prasangka semacam itu tetap lazim hingga hari ini
dengan menggambarkan bangsa Arab modern sebagai bangsa ‘barbar’[39]
Dia mengklaim bahwa ‘kebiasaan mereka dalam hal keramahtamahan dan kedermawanan
hanya sedikit berubah dalam 4.000 tahun ini, begitupun kebiasaan menyerang
orang lain (mencuri, bersikap kasar), mengagungkan harga diri, dan kebuasan
mereka.[40]
Mengutip John Laffin, Bennett berpendapat bahwa bangsa Arab bukan kejam atau
pembohong yang penuh perhitungan; mereka adalah orang-orang yang natural.[41]
Ketika anti-Semitisme dianggap tabu di Amerika, nampaknya saat ini sedang
‘musim berburu’ untuk prasangka anti-Arab.
Ethnic
Cleansing
di Palestina
Dick
Armey, mantan pimpinan Senat Republik, melansir kabar mengejutkan dengan
membenarkan ethnic cleansing terhadap bangsa Palestina dari Wilayah
Pendudukan. Dalam sebuah wawancara dengan Chris Matthews di CNBC 1Mei 2002,
Armey menyatakan bahwa:
‘Kebanyakan
penduduk yang kini menghuni Israel sebelumnya diangkut dari seluruh penjuru
dunia ke tanah yang kini menjadi kampung halaman mereka. Bangsa Palestina juga
bisa melakukan hal yang sama, dan kami sepenuhnya akan senang membantu
Palestina untuk melakukannya. Kami tak hendak mengorbankan Israel demi pendapat
tentang tanah air bangsa Palestina…Aku yakin bahwa Israel harus menguasai
seluruh Tepi Barat…Begitu banyak bangsa Arab yang punya tanah ratusan ribu
hektar tanah, lahan, dan harta benda, juga peluang untuk mendirikan sebuah
negara bagi bangsa Palestina.’[42]
Matthews
memberi Armey beberapa kali kesempatan untuk mengklarifikasi pernyataannya
bahwa dia tak sedang menganjurkan ethnic cleansing terhadap seluruh
bangsa Palestina dari Tepi Barat, namun Armey tak bergeming. Ketika ditanya
‘Pernahkan
anda memberitahu George Bush, Presiden dari negara bagian anda, Texas, tentang
pendapat anda bahwa seluruh bangsa Palestina harus bangkit dan pergi
meninggalkan Palestina; dan itulah solusinya?’,
Armey
menyahut,
‘Mungkin
sekarang ini sedang kuberitahukan padanya …Aku yakin bahwa Israel harus
memperoleh tanah yang kini dikuasainya dan orang-orang yang menyerang melawan
Israel harus pindah ke wilayah lain.’ [43]
Pendapat
Armey bahwa bangsa Palestina harus ‘pergi’ hanyalah bagian terakhir dari
serangkaian seruan yang jadi isu utama media AS dan Inggris tentang ethnic
cleansing terhadap bangsa Palestina dari Wilayah Pendudukan.[44]
Menentang
Proses Damai
Zionis
Kristen selalu membenarkan klaim sepihak Israel atas Wilayah Pendudukan, sedangkan
di saat yang sama mereka menentang aspirasi bangsa Palestina untuk menentukan
nasib mereka sendiri, karena secara hakiki keduanya memang berlawanan. Banyak
yang memandang perjanjian damai sebagai pengkhianatan pada kehendak Tuhan bagi
kaum Yahudi. ‘Perdamaian…adalah kesalahan dan ada orang-orang yang percaya
bahwa akarnya adalah dari kejahatan.’[45]
Clarence Wagner dari BFP juga sepakat dengan pendapat tersebut. Dia juga tidak
sepakat dengan dengan perjanjian damai:
‘Kita
perlu mendorong bangsa-bangsa lain untuk memahami rencana Tuhan, bukan
rencana-rencana PBB, AS, MEE, Oslo , Wye, dsb. yang berasal dari pemikiran
manusia. Tuhan sama sekali tak menetapkan rencana untuk merebut Kota Tua
Yerusalem, termasuk wilayah Mount Temple dan Gunung Zaitun (Mount of Olives),
kemudian memberikannya ke dunia Islam. Al Masih tak akan kembali ke kota umat
Islam bernama Al-Quds, tapi untuk mengumpulkan kembali, membangkitkan kembali
kota Yahudi, Yerusalem.[46]
Karena
itu, bahasan tentang perdamaian bukan hanya dianggap buang-buang waktu, tetapi
juga sangat memperlihatkan kurangnya keimanan, dan yang paling buruk, merupakan
pemberontakan terhadap kehendak Tuhan. Pernyataan semacam itu berasal dari
pimpinan tingkat tinggi umat Kristen, yang jadi tak jauh beda dengan pandangan
ekstrimis Muslim yang menyeru ‘perang suci’ melawan Barat. Bahaya teologi
semacam itu nampaknya tak separah hingga menyebabkan kematian, namun seperti
kisah ‘chicken little,’ begitu menular.[47]
Karen Armstrong tak sendirian dalam menelusuri bukti keabsahan Perang Salib
dalam Zionisme Kristen Barat. Berdasarkan pengamatannya, kelompok fundamentalis
seperti itu kini ‘kembali ke konsep perang suci jaman kuno dan ekstrim.’[48]
Penilaian
Kritis terhadap Zionisme Kristen
Sebagaimana
telah dibahas, Zionisme Kristen sebagai sebuah gerakan telah menyebabkan banyak
konsekuensi politis yang dalam dan jangka panjang. Zionis Kristen telah
menunjukkan berbagai tingkat antusiasme untuk menerapkan enam keyakinan
teologis fundamental yang muncul dari hasil pemahaman mereka yang literal dan
futuris terhadap Injil:
[1]
Keyakinan bahwa Yahudi tetaplah kaum yang dipilih Tuhan membuat Zionis Kristen
menjustifikasi pendudukan militer Israel atas Palestina.
[2]
Sebagai kaum pilihan Tuhan, kembalinya seluruh bangsa Yahudi ke Israel secara
aktif dianjurkan dan difasilitasi melalui kemitraan antara
organisasi-organisasi Kristen dan agen Yahudi.
[3]
Eretz Israel, dari Mesir hingga Irak, adalah milik bangsa Yahudi sepenuhnya;
karenanya, tanah tersebut harus diambil alih dan pemukimannya dijaga sekaligus
diperkuat.
[4]
Yerusalem dianggap sebagai pusat abadi dan eksklusif bagi kaum Yahudi, dan tak
bisa dibagi-bagi dengan bangsa Palestina. Karena itu, secara strategis
pemerintah negara-negara Barat di bawah tekanan Zionis Kristen harus
memindahkan kedutaan mereka ke Yerusalem, yang berarti mengakui kebenarannya.
[5]
Kuil Ketiga tetap harus dibangun, kerahibannya disucikan, pengorbanan
dihidupkan kembali. Sebagaimana yang diyakini oleh Zionis Kristen, khususnya
dispensational, bahwa hal ini telah diramalkan, mereka memberikan berbagai
macam tingkat dukungan kepada sejumlah organisasi Jewish Temple Mount yang
bertekad mewujudkannya.
[6]
Karena Zionis Kristen yakin bahwa akan terjadi perang apokaliptis antara
kebaikan dan keburukan dalam waktu dekat, maka perdamaian jangka panjang antara
bangsa Arab dan Yahudi tak lagi bisa diharapkan. Sesungguhnya, menyarankan
Israel untuk berkompromi dengan Islam atau hidup berdampingan dengan bangsa
Palestina berarti menyamakan diri dengan orang-orang yang ditakdirkan untuk
melawan Tuhan dan Israel dalam perang Armageddon yang sudah dekat.
Jelas
bahwa tidak semua Zionis Kristen meyakini keenam butir doktrin di atas,
atau berkeyakinan dan melibatkan diri dengan derajat yang sama. Namun demikian.
Sebagaimana telah dibahas, secara umum, konsekuensi dukungan tanpa pertimbangan
kritis terhadap Negara Israel, khususnya dari kalangan Evangelis Amerika, pada
hakikatnya sangat merusak, bahkan bagi kaum Yahudi yang mereka klaim sebagai
orang-orang terkasih.
Umumnya,
Zionisme Kristen telah ditolak oleh sejumlah denominasi utama Kristen.
Misalnya,
dalam Koferensi Sabil Internasional ke-5 di Yerusalem bulan April 2004, sekira
600 anggota dari 30 negara mengeluarkan sebuah pernyataan yang mengecam
Zionisme Kristen sebagai bid’ah:
Zionisme
Kristen adalah gerakan teologis dan politis modern yang menganut pandangan
ideologis yang paling ekstrim tentang Zionisme, karenanya jadi sangat merugikan
bagi perdamaian yang adil antaraIsrael dan Palestina. Program-program Zionis
Kristen menyajikan cara pandang bahwa Kitab Injil dinisbahkan pada ideologi
kekaisaran, kolonialisme, dan militerisme. Dalam bentuk ekstrimnya, paham ini
mengutamakan berbagai peristiwa apokaliptis yang mengarah pada berakhirnya
sejarah, bukan menghidupkan cinta kasih Kristus dan kadilan di masa kini. Kami
juga menolak bentuk Zionisme Kristen yang lebih berbahaya, yang mewarnai
kebijakan banyak gereja besar sehingga mereka tetap diam saat menyaksikan
pendudukan Israel atas Palestina. Oleh karena itu, dengan tegas kami menolak
doktrin-doktrin Zionis Kristen, menyatakannya sebagai ajaran palsu yang
merendahkan pesan kasih, pengampunan, dan keadilan yang ada dalam Injil…Kami
menolak ajaran-ajaran bid’ah Zionisme Kristen yang memfasilitasi dan
mendukung kebijakan ekstrimis ini, karena alih-alih mengabarkan cinta kasih
universal, pertaubatan dan persatuan yang diajarkan oleh Yesus Kristus, mereka
justru tengah mengkampanyekan eksklusivitas rasial dan perang tiada akhir.[49]
Zionisme
Kristen hanya menghidupkan keyakinan terhadap masa depan apokaliptik yang
didasarkan pada pemahaman hermenetik literal, dengan menisbahkan janji yang
disebutkan dalam Perjanjian Lama bagi kaum Yahudi kuno itu pada Negara Israel
saat ini. Asumsi literal mereka itu menafikan kemungkinan apapun untuk memaknai
Injil dengan cara lain, untuk memaknai sejarah, atau hasil perundingan damai yang
adil dan jangka panjang di Timur Tengah.
Akhirnya,
Zionisme Kristen harus ditolak karena tanpa sikap kritis telah memberlakukan
agenda rasis eksklusif untuk mewujudkan hak politis Israel. Selain itu,
kurangnya rasa kasih mereka kepada tragedi bangsa Palestina sungguh tak bisa
dimaafkan. Baik sengaja maupun tidak, kelompok ini telah melegitimasi
penindasan terhadap bangsa Palestina atas nama Tuhan. Di saat yang sama, kepada
kaum Yahudi, mereka memberikan masa depan apokaliptik yang jauh lebih mengerikan,
bahkan lebih dari Shoah–Holocaust.[]
Untuk
bahasan lebih rinci tentang Zionisme Kristen—lihat buku penulis, Christian
Zionism, Road-map to Armageddon? (Leicester, IVP, 2004). Untuk sumber analisa
yang lebih luas tentang Zionisme Kristen kunjungi www.sizers.org
*Stephen
Sizer telah menulis, atau turut menulis dalam sejumlah buku termasuk:
Panorama
of the Holy Land , (Eagle,
1998)
Panorama
of the Bible Lands, (Eagle,
2000)
Holy
Land Hollow Jubilee, ed.
N. Ateek & M. Prior (Melisende, 1999)
They
Came and They Saw, ed.
M. Prior (Melisende, 2000).
A
3rd Millennium Guide to Pilgrimage to the Holy Land, ed. Macpherson
(Melisende, 2000)
The
Land of Promise, ed.
Philip Johnson & Peter Walker (IVP, 2000)
Toronto
in Perspective, ed.
David Hilborn (Paternoster, 2001)
In
the Footsteps of Jesus and the Apostles, ( Eagle, 2004)
Heaven
on Earth: The Temple in Biblical Theology, ed. S. Gathercole (Paternoster,
2004)
Speaking
the Truth about Zionism and Israel , ed. Michael Prior (Melisende, 2004)
Christian
Zionism: Road-map to Armageddon? (IVP, 2004)
Challenging
Christian Zionism, ed.
Naim Ateek (Melisende, 2005)
Artikel-artikelnya
telah diterbitkan di Third Way , Cornerstone, Churchman, Living Stones, Holy
Land Studies, Evangelicals Now dan Church Times; bisa diakses di www.sizers.org
Edisi
cetak tulisan ini bisa dibaca di Jurnal al Huda Volume VI, Nomor 16, 2008, Hal.
19-35