Oleh Muhammad
Taufiqurrohman
Di
Indonesia bulan Mei 1998, orang masih melihat jejak-jejak ‘Mataram, Hindia
Timur Belanda, dan Guansaikanbu Balatentara Dai Nippon tetap masih hadir segar
bugar dan kuat belum terkalahkan di negeri kami sampai sekarang’ (Y.B.
Mangunwijaya, 1998:3)[1][2].
Here,
too, culture is in advance of politics, military history, or economic process
(Edward W. Said, Culture and Imperialism, 1993:241).
Pertengahan
abad ke-20, dunia mengalami perkembangan yang sangat bersejarah, yaitu
berakhirnya perang dunia kedua sekaligus menandai berakhirnya imperialisme
Barat atas bangsa-bangsa jajahan mereka. Bangsa-bangsa jajahan memerdekakan
diri dan lahirlah negara-negara baru. Periode sejarah dunia ini menentukan
perkembangan pengetahuan humaniora, khususnya dalam bidang kajian sastra,
sehingga melahirkan apa yang disebut sebagai “poskolonialisme” sebagai respon
teoretis maupun praktis atas perkembangan baru tersebut.
Pada
akhir tahun 1970an, istilah poskolonialisme banyak digunakan oleh para ahli
dalam berbagai tulisan humaniora, khususnya kritik sastra. Tidak jelas siapa
yang pertama kali menciptakan istilah tersebut. Yang tercatat, mula-mula
istilah tersebut digunakan oleh para kritikus sastra untuk mendiskusikan
berbagai macam dampak kultural kolonialisme yang terefleksikan dalam berbagai
karya sastra, baik kesusastraan Barat dan terutama kesusastraan di luar Barat.
Sebagai suatu studi tentang pengaruh imperialisme Barat di negara-negara
jajahannya, momen kelahiran poskolonialisme seringkali dihubungkan dengan
terbitnya buku Orientalism (1978),
magnum opus Edward Said. Disusul kemudian Gayatri Spivak dengan teori
“sub-altern studies”-nya, Homi K. Bhabha dengan teori “hybridity”-nya dan
pemikir-pemikir kajian poskolonial lain. Lebih ‘tua’ dari ketiganya yang tak
bisa dilupakan adalah Frantz Fanon, pemikir sekaligus pejuang kemerdekaan
Aljazair melawan imperialisme Prancis melalui dua bukunya yang sangat terkenal Black
Skin White Masks (terjemahan dari Peau Noire, Masques Blanc, 1952) dan The
Wretched of the Earth (terjemahan Les damnés de la terre, 1961). [Sekiranya
pada abad ke 20, sudah ada yang menerjemahkan karya-karya intelektual awal
Indonesia ke dalam Bahasa Inggris, mungkin karya-karya mereka akan menjadi
rujukan karya poskolonial se dunia. Misalnya tulisan-tulisan subversif
anti-kolonial Tirto Adi Soerjo, H.O.S. Tjokroaminoto, Hayim Ay’ari, Soekarno, Tan Malaka, Mohamad Hatta, Ki
Hadjar Dewantara, , dll.]
Meskipun
demikian, istilah “poskolonialisme” itu sendiri tidak digunakan dalam studi
awal tersebut—setidaknya oleh keempat nama besar di atas dalam karya awal
mereka. Meskipun demikian beberapa ahli bersilang pendapat tentang pengertian
istilah poskolonialisme, sehingga menimbulkan tidak adanya satu definisi yang
tunggal. [Catatan: Gayatri Spivak lebih memilih menggunakan istilah
poskolonialitas (postcoloniality) dari pada poskolonialisme (postcolonialism)—untuk
penjelasan ini akan dibahas di bagian selanjutnya.]
Tulisan
ini merupakan ikhtiar penulis dalam melakukan eksplorasi atas “poskolonialisme”
atau sering disebut sebagian pemikir sebagai “kajian poskolonial”, baik sebagai
teori maupun sebagai praksis. Sebagai permulaan, penulis memulai dengan merujuk
secara khusus kepada buku An Introduction to Post-Colonial Theory, karya Peter
Childs dan R.J. Patrick Williams (London and New York: Prentice Hall, 1997).
Bagian utama yang menjadi rujukan adalah bab buku berjudul “Introduction:
Points of Departure”. Untuk menjelaskan ataupun menambahi keterangan yang
diperlukan, penulis menambahkan di sana-sini keterangan pribadi dan kutipan
dari pemikir-pemikir lain dari buku atau sumber lainnya. Adapun sumber-sumber
lain yang disajikan dalam tulisan ini secara keseluruhan akan ditampilkan dalam
Bibliografi sebagaimana biasanya sebagai pertanggungjawaban ilmiah.
Kapankah
Poskolonial itu: After Colonialism, Colonialism Effects/After the Imprint of
Colonialism, Anti Colonialism
After
Colonialism: “Now”
Poskolonialisme
sebagai “after colonialism” (pasca kolonialisme). Dalam pengertian ini,
poskolonialisme dimaknai sebagai segala sesuatu yang terjadi “setelah
berakhirnya kolonialisme”—secara harfiah adalah “after independence” (pasca kemerdekaan)
atau “after the end of empire” (setelah runtuhnya kekuasaan penjajah) dalam
masyarakat yang pernah terjajah oleh dominasi Barat (Eropa). [Untuk pengertian
ini, biasanya digunakan istilah “post-colonialism” (dengan hyphen -), meskipun
tidak selalu begitu dalam pengguanaannya]. Dalam konteks historis, periode ini
dimulai sejak berakhirnya perang dunia kedua[2][3]
yang melahirkan kemerdekaan “negara-negara dunia ketiga” dari cengkeraman
penjajahan negara-negara Eropa. Apa yang disebut sebagai “negara dunia ketiga”
ini identik dengan sebutan “negara berkembang” yang menunjuk pada negara-negara
bekas jajahan Eropa yang meliputi berbagai negara di belahan Asia, Afrika dan
Amerika Latin (biasa disingkat dengan “A3”).
Keberatan
atas definisi di atas adalah jika poskolonialisme dimaknai sebagai kondisi
“after colonialism” maka pertanyaan selanjutnya adalah kolonialisme siapa dan
kekuasaan kolonial yang mana? Jika kita merujuk pada periode pasca perang dunia
kedua maka yang dimaksud adalah imperialisme Barat (Western imperialism),
khususnya negara-negara Eropa Barat, antara lain Inggris, Prancis, Belanda,
Portugis, Spanyol, Belgia, Italia dan Jerman. Imperialisme negara-negara Barat
tersebut terjadi mulai abad ke-16, berpuncak pada abad ke-19 dan akhirnya mulai
meredup pada pertengahan abad ke-20 yang lalu. Dari beberapa imperialme
negara-negara di atas, pada akhir imperialisme negara yang manakah yang
dimaksud sebagai poskolonialisme tersebut? Jika merujuk pada pertengahan abad
ke-20, tentu saja catatan sejarah menunjukkan pada periode akhir dari
imperialisme Inggris, Prancis dan Belanda di kawasan Asia dan Afrika, tetapi
bagaimana dengan akhir imperialisme Portugis dan Spanyol pada awal abad ke-19
di Amerika Latin? Juga, kemerdekaan Amerika Serikat pada akhir abad ke delapan
belas? Dengan merujuk pada fakta sejarah di atas, maka tidak ada satu periode
yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan “after colonialism”. Sebab, jika
yang dimaksud adalah lahirnya negara baru yang terbebas dari negara jajahannya,
maka Amerika Serikat dan negara-negara Amerika Latin pada akhir abad ke 18
dapat dijadikan suatu model “post-colonialism”, tidak hanya negara-negara dunia
ketiga bekas jajahan Inggris, Prancis dan Belanda di pertengahan abad ke 20.
Kerumitan
lain yang dihasilkan dari definisi “after colonialism” di atas terletak pada
seolah-olah sebelum imperialisme Barat tersebut tidak ada kolonialisme yang
lain. Dengan kata lain, pengertian “post-colonialism” menjadi terlalu luas
dengan mencakup berbagai macam imperialisme sebelum imperialisme Barat.
Misalnya, imperialisme suku Inca, kekhalifahan Usman (the Ottoman empire) dan
imperialisme bangsa Cina, seperti yang ditulis oleh Aijaz Ahmad:
But
I have seen articles in a great many places, in the special issue of Social
Text on postcoloniality, which push the use of the term ‘colonialism’ back to
such configurations as the Incas, the Ottomans, and the Chinese, well before
the European colonial empires began; and then bring the term forward to cover
all kinds of national oppression, as, for example, the savagery of the
Indonesian government in East Timor. ‘Colonialism’ then becomes a
trans-historical thing, always present and always in process of dissolution in
one part of the world or another, so that everyone gets the privilege, sooner
or later, at one time or another, of being coloniser, colonised and
post-colonial – sometimes all at once, in the case of Australia, for example.
(Childs, p.2)
Tulisan
Ahmad di atas merespon berbagai artikel tentang poskolonialitas yang memaksakan
definisi “colonialism” sebagai penjajahan yang merujuk pada konfigurasi
imperialisme kuno semacam kolonialisme Inca, kekhalifahan Usman dan
kerajaan-kerajaan Cina jauh hari sebelum imperialisme Barat dimulai. Pada sisi
yang lain, “colonialism” juga digunakan untuk mencakup semua bentuk opresi
nasional suatu negara atas suatu kawasan lain, contohnya penindasan (savagery) pemerintah
Indonesia di wilayah Timor Timur yang semula bukan bagian dari Indonesia.
[Dalam hal ini, terjadi perbedaan wacana yang dibangun oleh pemerintah
Indonesia dan bangsa Timor Timur—akan dibahas lebih lanjut pada pertemuan
selanjutnya]. Sebagai contoh suatu opresi suatu negara, penyebutan kasus
penindasan Indonesia atas Timor Timur oleh Ahmad memang patut mendapat
perhatian khusus. Sebab, sebagai negara bekas jajahan yang baru beberapa tahun
merdeka dari Belanda, Indonesia justru melakukan bentuk “penjajahan” baru atas
tetangganya. Dalam hal ini, Indonesia dan negara-negara lain di
dunia—seperti Australia dalam tulisan
Ahmad—pada saat yang sama dapat berperan sebagai bangsa penjajah, bangsa terjajah dan ada
dalam kondisi pasca penjajahan. Jika demikian halnya, maka definisi
poskolonialisme sebagai “after colonialism” tidak dapat memberikan jawaban yang
tepat dan memuaskan atas pertanyaan; kapankah setelah kolonialisme itu?
Kecuali, jawabannya adalah “Now” (sekarang). Sebab, setiap negara (masyarakat
dan budaya yang berkembang di dalamnya) selalu berada dalam suatu kondisi
“after colonialism”.
Colonialism
Effects/After the Imprint of Colonialism: “Then and Now”
Definisi
kedua datang dari para penulis buku The Empire Writes Back, Bill Ashcroft,
Gareth Griffiths dan Helen Tiffin, ialah poskolonialisme sebagai “colonialism
effects”. Seperti termaktub dalam sub-judulnya “theory and practice in
post-colonial literatures”, ketiga pemikir ini tidak berfokus pada “after
colonialism” tetapi mencoba menjadikan poskolonialisme sebagai “teori”
sekaligus sebagai “praktis” dalam kajian sastra poskolonial yang tentu saja
membahas perihal efek atau respon atas kolonialisme. Dalam buku tersebut, “post-colonialism” ada…to
cover all the culture affected by the imperial process from the moment of
colonization to the present day. This is because there is a continuity of
preoccupations throughout the historical process initiated by European imperial
aggression. We also suggest that it is most appropriate as the term for the new
cross-cultural criticism which has emerged in recent years and for the
discourse through which this is constituted. (2002:2)
Dengan
jelas sekali dalam definisi di atas bahwa poskolonialisme mencakup segala
bentuk kebudayaan yang terpengaruh oleh proses imperialisme sejak momen
penjajahan dimulai hingga masa sekarang, masa pasca kolonialisme. Artinya,
poskolonialisme bukan hanya tidak berfokus pada “periode historis” masa pasca
kolonialisme, tetapi lebih berfokus pada “pengaruh” imperialisme terhadap
kebudayaan yang bersinggungan dengannya, dalam hal ini terutama kebudayaan
bangsa terjajah, baik ketika masa penjajahan itu masih berlangsung atau ketika
penjahahan telah berakhir. Dalam konteks kajian sastra, maka kesusasteraan atau
karya-karya sastra menjadi situs utama terjadinya proses pengaruh-mempengaruhi
kuasa imperialisme atas kebudayaan manusia bangsa terjajah. Dengan demikian, baik
kesusasteraan bangsa terjajah maupun kesusasteraan bangsa penjajah sama-sama
merekam proses keterpengaruhan imperialisme dalam karya-karya mereka. Sastrawan
di sini memainkan peran yang amat besar sebagai agensi, baik dari sastrawan
dari pihak bangsa terjajah maupun dari pihak bangsa penjajah. Poskolonialisme
dengan demikian menjadi bagian dari gelombang besar bernama “cross-cultural
criticism” yang berideologi emansipatoris—yang lintas teks, lintas generasi,
dan terutama lintas waktu, baik “dulu di masa penjajahan maupun sekarang”,
“then and now”.
Definisi
serupa datang dari Karen Piper (1999:19), “’Post-colonial’, in my definition,
does not mean simply ‘after colonialism’ or ‘resisting colonialism’. There is
no ‘after’ to the territorial, judicial and economic codes generated by
colonization. Rather, I define ‘post-colonialism’ as ‘after the imprint of
colonialism’. In this sense, post-colonialism began the moment the colonizer
established his presence on foreign soil and continues through today.” Menurut
Piper, kondisi ‘after’ dalam konteks poskolonial adalah kondisi yang tidak
mungkin, karena kode-kode hukum, wilayah dan ekonomi yang sudah ditancapkan
oleh kekuasaan kolonial tak bisa dihapus begitu saja. Piper mendefinisikannya
sebagai ‘setelah jejak kolonialisme’ (‘after the imprint of colonialism’).
Dengan demikian, poskolonialisme mulai sejak momen penjajah menjejeakkan
kakinya di bumi tanah terjajah dan meneruskannya hingga sekarang.
Definisi
serupa ditulis oleh Meenakshee Mukherjee, dikutip oleh Shrikant B. Shawant
(2012:120-121), yang menggambarkan poskolonialisme sebagai berikut: Post-colonialism
is not merely a chronological label referring to the period after the demise of
empires. It is ideologically an emancipatory concept particularly for the
students of literature outside the Western world, because it makes us
interrogate many concepts of the study of literature that we were made taken
for granted, enabling us not only to read our own texts in our own terms, but
also to re-interpret some of the old canonical texts from Europe from the
perspective of our specific historical and geographical location.
Menurut
Mukherjee, poskolonialisme bukanlah suatu label kronologis atas periode setelah
berakhirnya kekuasaan penjajah (after the demise of empires). Lebih lanjut, Mukherjee mengatakan bahwa
secara ideologis poskolonialisme merupakan suatu konsep emansipatoris yang
digunakan oleh khususnya mahasiswa sastra yang berasal dari luar dunia Barat.
Dengan ini Mukherjee memberikan suatu batasan yang tidak hanya bersifat
historis maupun geografis, tetapi juga batasan disiplin ilmu, yaitu susastra.
Mengapa
mahasiswa sastra non Barat? Karena dengan konsep emansipatoris tersebut mereka
dapat mempertanyakan konsep-konsep kajian sastra yang berasal dari diktum
pengetahuan Barat yang selama itu diterima secara taken for granted (apa
adanya, tanpa adanya pertanyaan kritis). Tidak hanya itu, mereka—mahasiswa di
luar Barat—dapat membaca karya-karya sastra mereka dengan menggunakan
istilah-istilah mereka sendiri tanpa harus berkiblat secara mutlak dengan
istilah-istilah atau konsep-konsep Barat. Lebih jauh lagi, poskolonialisme juga
menjadi alat baca mereka terhadap teks-teks sastra kanon Barat dengan
perspektif mereka yang khas dan unik, baik secara historis maupun geografis.
Singkatnya, poskolonialisme merupakan konsep atau ide tentang upaya
emansipatoris masyarakat bekas terjajah dengan bekas penjajahnya dalam berbagai
bidang kebudayaan, terutama kesusasteraan.
Bahkan
Charles E. Bressler (1999:265) membatasi pengertian poskolonialisme sebagai “an
approach to literary analysis that concerns itself particularly with literature
written in English in formerly colonized countries”. Bressler membatasi
poskolonialisme hanya pada kajian sastra berbahasa Inggris di bekas negara-negara
terjajah. Dengan demikian, Bressler tidak memasukkan sastra Inggris atau sastra
Amerika dalam kajian poskolonialisme dan hanya berkonsentrasi pada sastra
berbahasa Inggris di negara-negara koloni Barat seperti Australia, Asia,
Afrika, Amerika Latin dan sebagainya.
Resistence/Anti-colonialism
Selanjutnya definisi ketiga adalah poskolonialisme sebagai “anti-colonialism” atau resistensi atas kolonialisme. Definisi ini sesungguhnya hampir mirip dengan definisi kedua, yaitu sama-sama berfokus pada efek kolonialisme terhadap kebudayaan. Akan tetapi, dengan menekankan pada “anti-kolonialisme” sebagai ideologi, definisi ini membedakan dirinya dengan definisi pertama (yang menekankan pada periode sejarah pasca kolonialisme) dan juga membedakan dirinya dengan definisi kedua (yang berfokus pada pengaruh imperialisme terhadap kebudayaan), khususnya sastra. Sementara definisi ketiga ini menitikberatkan poskolonialisme sebagai suatu bentuk resistensi atas kolonialisme atau “anti-colonialism” yang berarti bahwa ia lahir dan berkembang sebagai suatu “cultural criticism” atau “counter ideology” atas ideologi dominan yang dibangun dan dimapankan oleh kekuasaan imperial. Stephen Slemon mendefinisikan poskolonialisme sebagai berikut:
Definitions
of the ‘post-colonial’ of course very widely, but for me the concept proves
most useful not when it is used synonymously with a post-independence
historical period in once-colonised nations, but rather when it locates a
specifically anti- or post-colonial discursive purchase in culture, one which
begins in the moment that colonial power inscribes itself onto the body and
space of its Others and which continues as an often occulted tradition into the
modern theater of neo-colonialist international relations. (Childs, p.3)
Meskipun
menyadari bahwa definisi tentang poskolonialisme sangat beragam, Slemon lebih
memilih definisi poskolonialisme sebagai suatu bentuk anti-kolonialisme atau
anti terhadap wacana kolonial yang berbungkus kebudayaan dari pada dimaknai
sebagai “after colonialism”. Apa yang dimaksud oleh Slemon sebagai wacana
kolonial berbungkus kebudayaan tersebut telah dimulai pada saat pertama kali
kekuasaan kolonial “mulai bersentuhan secara langsung dengan tubuh dan ruang
Yang Liyan” (in the moment when colonial power inscribes itself onto the body
and space of its Others). Yang Liyan (Others) itu tak lain adalah tubuh dan
ruang bangsa-bangsa terjajah. Wacana kolonial itu, lanjut Slemon, tidak hanya
berlangsung ketika kekuasaan kolonial masih bercokol, tetapi wacana tersebut
tetap berlangsung meskipun kekuasaan kolonial tersebut sudah berakhir. Inilah
yang kemudian disebut sebagai “neo-kolonialisme” dalam bingkai hubungan
internasional antara negara-negara dunia pertama, dunia kedua dan ketiga.
Dengan
definisi semacam ini maka suatu teks dikatakan sebagai teks poskolonial tidak
harus mensyaratkan teks tersebut ditulis di masa sebelum (pra-), sesudah
(pasca) atau ketika kolonialisme masih
berlangsung. Suatu teks disebut sebagai teks poskolonial jika teks tersebut
merupakan suara perlawanan terhadap wacana kolonial dengan menolak
premis-premis utama wacana kebudayaan yang dibawa oleh kolonialisme. Dengan
kata lain, teks tersebut merupakan teks anti-kolonial sejauh ia melakukan suatu
“counter-ideology” atau “counter-discourse” yang melampaui kolonialisme dan
berusaha menumbangkan argumen-argumen yang dibangun oleh wacana kolonial.
Paradoks
dari pengertian poskolonialisme sebagai perjumpaan awal antara kebudayaan
kolonial dengan kebudayaan bangsa terjajah terletak pada kenyataan bahwa
“penulisan” (inskripsi) tentang masyarakat terjajah yang dilakukan bangsa
Barat, baik dilakukan secara resmi oleh pemerintah kolonial maupun oleh para
novelis atau penyair, sudah dikerjakan jauh hari sebelum kolonialisme itu
dimulai dalam bentuk pendudukan wilayah kekuasaan. Artinya, jika teks
poskolonial dimaknai sebagai teks anti wacana kolonial Barat yang mulai
dibangun pada momen kolonialisme (at the moment of colonization)—seperti versi
Slemon dan versi The Empire Writes Back, maka paradoks terjadi ketika fakta
sejarah menunjukkan bahwa praktik “kolonialisme secara ideologis” dalam bentuk
inskripsi-inskripsi teks budaya (novel, puisi, esai, dan seterusnya) sudah
dimulai beberapa tahun sebelum “kolonialisme secara fisik” dimulai.
Dari
beberapa definisi di atas yang menggunakan periode sejarah sebagai basis makna
poskolonialisme, tampak berbagai paradoks atau problem yang mengikutinya. Hal
ini membawa kita pada perdebatan lama seputar apakah modernism dan
posmodernisme dimaknai berdasarkan suatu periode historis (historical period) atau
sebagai suatu corak sastra/budaya (literary/cultural style). Dalam Past the
Last Post[3][4],
sebagaimana posmodernisme, poskolonialisme mempunyai dua arsip “archives”.
The
first archive here constructs it as writing (more usually than architecture or
painting) … from countries or regions which were formerly colonies of Europe.
The second archive of post-colonialism is intimately related to the first,
though not co-extensive with it. Here, the post-colonial is conceived of a set
of discursive practices, prominent among which is resistence to colonialism,
colonialist ideologies and their contemporary forms and subjectificatory
legacies (Childs, p.4)
Arsip
pertama poskolonialisme adalah tulisan (writing) dari negara-negara atau
kawasan bekas koloni Eropa. Sementara arsip kedua berupa sebentuk praktik
diskursif yang terutama berbentuk resistensi terhadap kolonialisme, ideologi
kolonial dan bentuk-bentuk kontemporernya serta warisan-warisan yang ditinggalkannya.
Keberatan
lain dari definisi poskolonialisme berbasis periode adalah kenyataan bahwa
kolonialisme masih ada hingga saat ini (the persistence of colonialism).
Kendati pada pertengahan abad ke 20 imperialisme Barat telah berakhir
sebagaimana telah kita bicarakan di atas, tetapi kenyataannya dalam kasus di
beberapa negara, imperialisme Barat masih berlangsung. Misalnya, imperial
Inggris di Hong Kong, Falklands/Malvinas dan Irlandia Utara (meskipun tidak
diakui secara resmi). Pengabaian kenyataan semacam ini membuat pembicaraan
tentang poskolonialisme kehilangan nuansanya yang lebih kompleks, yang tak
jarang tak dilihat oleh para kritikus sebagai kompleksitas yang penting dalam
membicarakan poskolonialisme.
Beberapa
definisi yang diberikan oleh para ahli di atas tidak melahirkan konsensus
tunggal tentang definisi, isi, dan cakupan studi poskolonialisme. Sebagai suatu
ideologi kritis yang emansipatoris, poskolonialisme memiliki berbagai macam
tafsir yang dilahirkan para pemikir dan penganjurnya.
Neo-kolonialisme:
Poskolonialisme sebagai “Not yet”
Kompleksitas
lain dari poskolonialisme berbasis periode adalah apa yang disebut sebagai
“neo-kolonialisme”—dalam bahasa Slemon “the modern theatre of neo-colonialist international
relations”. Periode dekolonisasi atau kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah memang
telah mengubur dalam-dalam kekuasan imperialisme Barat atas tanah bangsa-bangsa
terjajah. Dalam perspektif Althusserian[4][5],
dibuktikan dengan tumbangnya “aparatus represif negara” kolonial, seperti
bubarnya birokrasi pemerintahan resmi kolonial dan hengkangnya militer
kolonial. Namun, dekolonisasi semacam itu tidak dengan serta merta menumbangkan
“apparatus ideologis negara” kolonial, karena kekuasaan kolonial masih
mengendalikan negara-negara bekas jajahannya via jaringan politik, jaringan
budaya dan tentu saja yang paling berpengaruh, jaringan ekonomi (politic,
cultural and economic channel). Ketiga jaringan tersebut, dalam implementasi
pemapanan kapitalisme via imperialisme, tidak dapat dilepaskan satu dengan yang
lainnya. Kebudayaan nasional suatu bangsa-negara, dengan demikian, harus
dilihat dalam relasinya dengan jaringan politik dan ekonomi global.
Dalam
konteks historis yang lebih luas, proses neo-kolonialisme semacam itu
sebenarnya tak lebih hanya meneruskan tradisi kolonialisme di masa-masa yang
lampau, hanya berbeda dalam cara dan strateginya. Tujuannya sama, yaitu untuk
mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya dari negara-negara jajahan untuk
kepentingan industri dalam sistem kapitalisme negara-negara Barat yang sedang
berkembang sangat cepat. Sejak akhir abad ke-15, kapitalisme Eropa Barat telah
memulai ekspansi kapitalisme, hingga pada sampai pertengahan abad ke-20 bahkan
hingga sampai hari ini. Dalam konteks pemapanan kapitalisme, imperialisme Barat
hampir tak tertahankan sebagai suatu kekuasaan paling dominan dan tak ada
negara di belahan dunia manapun yang tak terkena dampaknya.
Dalam
konteks semacam itu, penjelasan Marx dan Engels menemukan kebenarannya, ‘The
need for a constantly expanding market for its goods chases the bourgeoisie
over the whole surface of the globe. It must nestle everywhere, settle
everywhere, establish connections everywhere.’ (Childs, p.5). Singkatnya,
kebutuhan imperial Barat untuk melakukan ekspansi pasar memaksa para kaum
borjuis—kaum kapitalis Barat—untuk memburu pasar di seluruh penjuru dunia. Dari
kebutuhan inilah, imperialisme lahir dan kemudian melahirkan kolonialisme.
Namun, bagi sebagian pemikir, penjelasan semacam itu kurang memadai. Bagi
mereka, “a much more plausible explanation is the search for low cost labour
forces”, kebutuhan untuk mendapatkan upah tenaga kerja yang lebih murah adalah
faktor utama imperialimse dan kolonialisme. Contohnya, perpindahan secara masal
jutaan budak Afrika, pekerja-pekerja kasar dari Asia, dan suku Indian merupakan
fakta sejarah yang tak terelekkan dimana kolonialisme mengangkut jutaan orang
dengan upah murah untuk dipindahkan ke
tempat-tempat produksi industri kapitalisme di negara-negara Eropa.
Berakhirnya
kolonialisme, dengan demikian, menandai berakhirnya upaya pemindahan masal
manusia secara fisik ke tempat-tempat produksi, seperti Carribean sugar
plantation, South African diamond mines,
dll. Dalam perkembangan terbaru bentuk imperialisme, pemindahan masal semacam
itu sudah tidak lagi dilakukan, tetapi sebaliknya yang dilakukan adalah
pemindahan tempat produksi mendekati tempat asal tenaga kerja berupah rendah,
seperti di Amerika Latin, Asia dan Afrika. Dalam konteks semacam inilah,
pendirian perusahaan-perusahaan multi nasional (multi national corporate) dari
negara-negara Barat di kawasan dunia ketiga menandai kemapanan kejayaan
neo-kolonialisme Barat.
Kemapanan
neo-kolonialisme, dengan demikian, tidak dapat dipisahkan dari kondisi politik
global-internasional karena stabilitas nasional negara-negara, terutama “negara
dunia ketiga”, sangat tergantung dengan konstelasi global tersebut. Pada
pertengahan abad ke 20 ini, misalnya, runtuhnya komunisme yang ditandai dengan
runtuhnya Uni Soviet memuluskan proyek pemapanan imperialisme Barat via
imperialisme ekonomi melalui pendirian perusahaan-perusahaan asing di
negara-negara “jajahan”nya. Kasus Indonesia menjadi contoh yang menarik, dimana
pemerintahan nasional Indonesia pasca perang dingin di bawah rezim Soeharto
adalah suatu komprador-mitra sejati imperialisme ekonomi Barat—dalam hal ini
terutama Amerika Serikat dan Inggris.
Pada
pembukaan bukunya Culture and Imperialism, Edward Said mendefinisikan
imperialisme sebagai “a word and an idea today so controversial, so fraught
with all sorts of questions, doubts, polemics and ideological premises as
nearly to resist use altogether” (Childs, p.6). Dalam pandangan Said,
imperialisme telah menjadi suatu ide yang sangat kontroversial di era sekarang
dengan segala macam pertanyaaan, keraguan, polemik dan premis-premis ideologis
yang mengikutinya. Dalam kurang lebih 500 tahun terakhir ini, ekspansi
kapitalisme sebagai bentuk paling nyata imperialisme Barat telah mewujud
sebagai “big picture” dimana di dalamnya terdapat fase kolonialisme dan
poskolonialisme—beserta perdebatan periodisasi sejarah yang mengikutinya.
Singkatnya, polemik tentang periodisasi poskolonialisme seperti telah panjang
lebar dibahas di atas tidak terlepas dari ketidakjelasan periodisasi
imperialisme itu sendiri sebagai “gambaran besar” latar sejarah perkembangan
dunia pada masa lima abad terakhir ini.
Ketidakjelasan
periodisasi ini nampak dalam berbagai pernyataan para pemikir poskolonial.
Misalnya, Ella Shohat mempertanyakan, ‘When exactly does the “post-colonial’ begin?
Terhadap pertanyaan tersebut, sejarawan Arif Dirlik memberi jawaban, ‘Misreading
the question deliberately [supplies] an answer that is only partially
facetious: When Third World intellectuals have arrived in First World academe’ (Childs,
p.6-7). Dengan jawaban ini, Dirlik memberikan alternatif jawaban yang lain
sekaligus membawa wacana poskolonialisme tidak melulu soal occupation of
territory melainkan lebih memusatkan perhatiannya pada occupation of knowledge atau
peran intelektual (negara jajahan). Artinya, poskolonialisme ditentukan sejak
intelektual non-Barat (negara jajahan) memasuki dan bersentuhan langsung dengan
akademi pengetahuan Dunia Barat (Barat). Dengan demikian, kekuasaan imperial di
sini dipusatkan pada “ideological power” ketimbang “repressive power” sebagai
faktor utama periodisasi poskolonialisme. Sejak kapan poskolonialisme dimulai?
Ialah sejak lahirnya intelektual-intelektual bangsa terjajah yang bersentuhan
dengan akademi pengetahuan bangsa penjajahnya. Dalam konteks kekinian, jika
kolonialisme tetap melahirkan neo-kolonialisme, maka imperialisme juga
melahirkan neo-imperialisme.
Perspektif
yang berbeda datang dari Lorna Goodison dengan mengajukan pertanyaan, ‘When is
post-coloniality going to end? How long does the post-colonial continue?’.
Pertanyaan semacam ini menyiratkan suatu paradoks. Jika kolonialisme dan
imperialisme mempunyai akhir (ending), maka sudah semestinya poskolonialisme
sebagai suatu peristiwa sejarah juga mempunyai akhir. Jika demikian halnya,
maka kapan akhir dari poskolonialisme tersebut? Akankah juga datang apa yang
disebut “post-postcolonialism”? Jika iya, apakah definisinya dan kapankah masa
itu akan datang, bagaimana mendefinisikan dan mengukurnya? Jika definisi
poskolonialisme sebagai “after colonialism” memberikan jawaban yang jelas dan
tegas bahwa poskolonialisme mulai sejak “Saat ini” (Now) dan jika para penulis The
Empire Writes Back memberikan jawaban yang agak rumit bahwa poskolonialisme
mulai sejak “saat dimulainya penjajahan dan sampai saat ini” (Then and now), maka
salah satu jawaban alternatif yang bisa diberikan kepada pertanyaan yang
dilontarkan oleh Goodison adalah “Belum” (Not (quite) yet). Sejak kapankah poskolonialisme dimulai?
Jawabannya adalah belum. Poskolonialisme belum pernah dimulai. Sebab, dunia
belum pernah meninggalkan kolonialisme. Inilah mengapa Anne McClintock mengejek
poskolonialisme sebagai “premature celebratory” (perayaan yang prematur).
Sebab, kita menggunakan suatu istilah—bahkan merayakan istilah tersebut ke
seluruh penjuru dunia—untuk sesuatu yang
sebenarnya belum pernah terjadi, yaitu suatu kondisi nir-kolonialisme
(ketiadaan kolonialisme). Sebagian ahli barangkali bisa mengelak bahwa
poskolonialisme memang bukanlah sesuatu yang sudah terjadi, tetapi ia merupakan
suatu wacana antisipatif atas suatu kondisi yang sedang dibayangkan dimana
kolonialisme akan lenyap dari muka bumi, kendati kondisi semacam itu belum
pernah ada sepanjang sejarah peradaban manusia.
Kenyataan
semacam itu mengingatkan kita pada Fredric Jameson dalam The Political
Unconscious bahwa tiap teori, ideologi maupun praktik intelektual selalu
mengandung dalam dirinya suatu dimensi Utopia—ialah segala hal yang
terbayangkan ideal yang akan terjadi di masa yang akan datang, entah kapan masa
itu tiba (Childs, p.7). Dalam konteks perkembangan politik global dan
perkembangan ilmu humaniora yang mengikutinya, bagaimanakah poskolonialisme
sebagai teori, ideologi dan sekaligus praktik intelektual dapat
mengartikulasikan aspirasi idealnya—tentu saja berdasarkan sejarah dan
pengalaman masyarakat “bekas terjajah” (atau “masih terjajah” dalam konteks
neo-kolonialisme)? Itulah tugas yang disandang oleh poskolonialisme dan para
penganjurnya, meskipun mengandung paradoks dalam dirinya; poskolonialisme
menggunakan kata “post-“ untuk menandai suatu kondisi kemerdekaan yang belum
sepenuhnya ada ketika pada saat yang sama “colonialism” juga belum sepenuhnya
hilang. Barangkali paradoks “kondisi
antara” semacam itulah yang secara tepat menggambarkan karakter poskolonial.
Gayatri Spivak menyimpulkannya sebagai, “We live in a post-colonial
neo-colonized world”. Dengan kata lain, poskolonialisme adalah neo-kolonialisme
itu sendiri.
Aspek
Sejarah
Last
but not least, aspek terakhir dan terpenting dalam membahas kapan
poskolonialisme dimulai adalah pertanyaan tentang sejarah itu sendiri—bagaimana
sejarah itu diteorikan, dikategorikan, dinarasikan dan ditulis. Kolonial Barat,
misalnya, memiliki rekaman berlimpah yang menyudutkan dan sekaligus membungkan
sejarah yang amat berharga atas bangsa-bangsa terjajah. Pada saat yang sama,
kekuasaan kolonial juga merusak kebudayaan-kebudayaan yang mengandung sejarah
tersebut. Berlimpah ruahnya rekaman sejarah yang ditulis oleh para orientalis
tentang sejarah negara-bangsa di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin
merupakan rekaman sejarah yang amat nyata tentang kuasa ideologis kaum
imperialis. Di sinilah letak dimensi pentingnya karya-karya poskolonial sebagai
pemulihan (recovery) dan penilaian kembali sejarah bumiputera (revaluing of
indigenous histories). Dengan demikian, orang-orang terjajah bumiputera (indigenous
people) telah sedang dan harus secara aktif membuat dan menulis sejarahnya sendiri
ketimbang secara pasif menjadi pelaku dalam sejarah yang ditulis oleh orang
lain, yakni kaum penjajah, kaum orientalis. Kendati harga untuk usaha “menciptakan sejarah”
semacam itu akan tercatat dalam sejarah versi kuasa imperial sebagai “pemberontakan”,
“makar”, “teror”, dan seterusnya.
Salah
satu penolakan terhadap penulisan sejarah yang Western-concept oriented datang
dari kritikus India, Gayan Prakash. Dalam konteks penulisan sejarah India, ia
mengatakan pendapatnya:
We
cannot thematize Indian history in terms of the development pf capitalism and
simultaneously contest capitalism’s homogenization of the contemporary world.
Critical history cannot simply document the process by which capitalism becomes
dominant, for that amounts to repeating the history we seek to displace. (Childs,
p.8)
Bagi
Prakash, peran kapitalisme Barat di abad ke 20 (dan sampai saat ini) dalam
membentuk
formasi sejarah kontemporer India sama besarnya dan sama pentingnya dengan
peran imperialisme Barat dalam melakukan penaklukan-penaklukan wilayah di
awal-awal abad ke 15. Oleh karena itu, sejarah India—dan negara-negara bekas
jajahan lainnya—harus dilepaskan dari bayang-bayang perkembangan kapitalisme
Barat karena merupakan kepanjangan tangan neo-kolonialisme dan neo-imperialisme.
Penulisan sejarah dengan demikian harus berorientasikan keberpihakan untuk
menarasikan suara bumiputera yang selama ini terbungkam dan dihancurkan oleh
rezim ideologi kolonial.
Bagi
sebagian pemikir yang lain, penulisan sejarah dengan orientasi Barat adalah
sesuatu yang tak dapat dielakkan, terutama penulisan sejarah di
universitas-universitas yang kebanyakan berkiblat utama ke Barat. Pada saat
yang sama, justru di universitas-universitas tersebut, para pemikir dapat
menulis sejarah dari perspektif bumiputera sebagai suatu “counter-discourse”
terhadap penulisan sejarah dalam perspektif orientalis yang hegemonik.
Sementara itu, di luar institusi-institusi resmi-akademik semacam universitas,
masyarakat dapat menuliskan sejarah dengan versi mereka sendiri. Praktik
penulisan sejarah semacam itu akan menciptakan kemungkian penulisan sejarah
yang luas, sejarah yang “lain”, yang non-institusional dan non-akademik. Dengan
demikian, beragamnya sejarah dengan beragam ideologi yang dibawa oleh para
penulisnya dapat menciptakan “demokratisasi kebenaran sejarah”—dimana kebenaran
sejarah tidak hanya milik satu otoritas kebenaran, yaitu ideologi imperial
Barat (Eurocentrism), tetapi kebenaran sejarah terletak dimana-mana, terutama
terletak pada suara kaum bumiputera sendiri.
Dimanakah
Poskolonial itu?
Sebagaimana kesulitan mendefinisikan poskolonialisme dari aspek periodisasi waktu, mendefinisikan poskolonialisme dari aspek tempat (geographical space) juga menimbulkan berbagai kesulitan. Pertama, kita mulai dari batasan yang paling “jelas”, yaitu aspek geografis dari poskolonialisme itu sendiri—ialah wilayah atau kawasan yang pernah dijajah oleh kekuasaan kolonial Barat. Catatan Edward Said, misalnya, telah menunjukkan betapa luasnya wilayah kekuasaan kolonial Barat.
Consider
that in 1800 the Western power claimed 55% but actually held 35% of the earth’s
surface, and that by 1878 the proportion was 67%, a rate of increase of 83,000
square miles per year. By 1914, the annual rate had risen to an astonishing
240,000 square miles, and Europe held a grand total of roughly 85% of the earth
as colonies, protactorates, dependencies, dominions and commonwealths. No other
set of colonies in history was at large, none so totally dominated, none so
unequal in power to the Western metropolis.(Childs, p.10)
Data
di atas menunjukkan betapa luas wilayah kekuasaan imperial Barat. Pada tahun
1800, kekuasaan Barat sudah mencapai 35% wilayah dunia. Lalu, kekuasaan
tersebut semakin melebar pada tahun 1878 menjadi 67% dan pada tahun 1914 menjadi 85% wilayah dunia
yang telah menjadi daerah koloni Barat. Jika kita lihat perkembangannya hingga
hari ini, dalam konteks neo-kolonialisme, maka tak ada satu pun negara di dunia
ini yang tak “terpengaruh” oleh hegemoni imperial Barat dalam hal politik dan
ekonomi global.
Pada
saat yang sama, data di atas juga menunjukkan fakta yang penting terkait
kolonialisme, yaitu ketidaksamaan pengalaman kolonialisme—ialah bahwa dalam
rentang waktu dan rentang ruang geografis yang luas itu, kita berhadapan dengan
jenis kekuasaan (empire) yang berbeda-beda dengan kebutuhan, strategi, dan
jejak penaklukan yang berbeda. Misalnya, ada beberapa negara yang tidak menjadi
koloni imperial Barat tetapi lebih terpengaruh oleh kolonialisme dari pada
negara-negara lainnya, seperti negara-negara Timur Tengah dan China.
Contoh
lain adalah pengalaman dan sejarah yang berbeda dalam menyongsong kemerdekaan
bangsa-bangsa terjajah. Beberapa negara mengalami proses kemerdekaan dengan
damai dan tenang seperti Ghana, Nigeria dan Senegal, sementara beberapa yang
lain harus mengalami berbagai macam peperangan yang berdarah-darah, tragis dan
bengis, seperti Aljazair, Kenya, Mozambique, Vietnam dan juga Indonesia. Di
sisi yang lain, beberapa proses kemerdekaan sudah berakhir mulus, sementara
beberapa yang lain masih terkatung-katung, seperti Palestina. Inilah mengapa
Anne McClintok secara konsisten mengkritik poskolonialisme sebagai proyek yang
terlalu dini untuk dibicarakan.
Ireland
may at a pinch be ‘post-colonial’, but for the inhabitants of British-occupied
Northern Ireland, not to mention the Plaestinian inhabitants of the Israeli
Occupied territories and the West Bank, there may be nothing ‘post’ about colonialism at all. Is
South Africa ‘post-colonial’? East Timor? Australia? By what fiat of historical
amnesia can the United States of America, in particular, qualify as
‘post-colonial’ – a term which can only be a monumental affront to the native
American peoples currently opposing the confetti triumphalism in 1992? (Childs,
p.11)
Sederet
pertanyaan yang diajukan McClintok di atas merupakan pertanyaan yang penting
kendati tidak mudah untuk dijawab secara tepat. Dalam hal Palestina dan Timor
Timur (masa 1970-an), misalnya untuk hanya menyebut dua contoh saja, meskipun
keduanya tidak mengalami agresi imperial Barat, tetapi perkembangan konflik
politik nasional keduanya—dalam hal ini antara konflik Palestina dan Israel
serta antara Timor Timur dan Indonesia—sangat terpengaruh oleh imperial barat,
khususnya Amerika Serikat sebagai negara superpower yang mengendalikan
imperilaimse global dalam kebudayaan, politik dan ekonomi, serta sebagai
pengendali utama aksi kuasi-militer di seluruh penjuru dunia.
Kasus
lain adalah pengalaman Inggris dan Prancis dalam “memerdekakan” bangsa-negara
jajahannya. Dalam kasus Inggris, yang terjadi adalah imigrasi secara masal
penduduk dari Inggris ke wilayah baru, seperti Australia, Kanada dan Selandia
Baru. Inilah yang disebut sebagai “internal colonization”, karena yang menjadi
penjajah dan terjajah adalah satu bangsa sendiri. Apakah pengalaman semacam itu
(internal colonization) dapat disebut sebagai poskolonialisme? Tidak mudah
menjawabnya karena tidak mudah menentukan batasan dan kategorinya.
Kesulitan
lain dalam memberikan batasan poskolonial adalah konfigurasi “ruang dan
geografi” yang lebih rumit. Misalnya, konflik antara pusat dan pinggiran dalam
jaringan ekonomi kolonial yang sama, empire versus empire yang memperebutkan
blok-blok kekuasaan (kasus India abad 18), dan terbentuknya sekutu kolaboratif
yang membagi-bagi kekuasaan atas suatu benua (kasus Afrika abad 19). Dalam hal Inggris, lahirnya “British
Commonwealth” merupakan suatu bentuk “memerdekakan” jajahan dengan cara yang
lebih halus, seperti halnya Prancis dengan sistem “Coopération”. Modus
pemapanan kolonialisme dalam mengelola kekuasaan wilahyahya semacam itu adalah
via terbentuknya wilayah negara-bangsa bekas negara jajahan dan kemudian
menjadikannya menjadi wilayah-wilayah koloni. Ide tentang “negara” dengan
demikian dianggap menjadi warisan hadiah kolonialisme yang diagung-agungkan
sepanjang zaman.
Di
seberang yang lain, para kritikus seperti Basil Davidson berpendapat bahwa
“hadiah” semacam itu malah menjadi cawan beracun yang tidak berguna dan tidak
relevan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat bangsa terjajah, bahkan dapat
membunuh kehidupan kebudayaan, ekonomi dan politik mereka. Warisan kolonialisme
berupa koloni-koloni semacam itu juga merupakan irrelevansi sejarah karena
penekanan poskolonialisme telah bergeser dari entitas negara yang terikat (bounded
territory) menuju pada apa yang oleh Masao Miyoshi disebut sebagai “borderless
world”. Kondisi demikian ini sebenarnya hanyalah perulangan dari modus kolonialisme
dalam melakukan intensifikasi segala bentuk transnasionalisme yang fanatik
buta. Bahkan sebagian pemikir menganggap telah datangnya era “the end of
nation-state”.
“We
hear a good deal these days about the postnational status of global capitalism
and postcoloniality. Such conclusions ignore the ferocious recoding power of
the concept/metaphor ‘nation state’ and remain locked in the reversal of
capital logic and colonialism”. (Childs, p.12)
Dalam
perspektif semacam di atas, seolah-olah status postnational kapitalisme global
telah beradaptasi dengan baik dengan kondisi poskolonialitas dimana “batas”
antar negara tidak lagi ada. Konklusi semacam itu bisa menyesatkan karena
mengelak dari fakta bahwa relasi wilayah poskolonial justru dipenuhi dengan pengalaman
mempertahankan “batas wilayah” negara-bangsa terhadap segala tekanan yang
melawannya, terutama transnasionalise yang bervisi “borderless world” tersebut.
Dengan kata lain, poskolonialisme sebenarnya cenderung tidak kompatibel dengan
kapitalisme-imperialisme-transnasionalisme.
Siapakah
Poskolonial itu?
Seperti
halnya pertanyaan tentang kapan dan dimana, pertanyaan tentang siapakah
poskolonial itu juga sebuah pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Jawaban yang
“jelas” adalah semua penduduk bekas bangsa-bangsa terjajah imperial Barat. Jika
ruang geografis (terirorial) tidak dapat dijadikan sebagai batasan ruang
poskolonial, maka apakah penduduknya dapat dijadikan sebagai batasan?
Salah
satu kompleksitas untuk menjawab pertanyaan di atas adalah fenomena
diaspora—yang menjadi penanda utama hubungan antara kolonialisme dan
poskolonialisme. Banyaknya penduduk yang beridentitas diaspora—akibat dari
kolonialisme di masa lalu—membawa kesulitan sendiri untuk
mengidentifikasikannya sebagai penduduk poskolonial. Kesulitan tersebut
terletak pada bahwa praktik diaspora terjadi tidak hanya setelah kolonialisme
berakhir, tetapi juga pada masa sebelum (pre-) dan ketika kolonialisme masih
terjadi. Apalagi, asal dan tujuan perpindahan penduduk yang terjadi secara acak
dan tidak sistematis. Migrasi jutaan manusia, baik dari maupun ke negeri
penjajah, telah membentuk suatu identitas diaspora yang tak mudah
dikategorikan. Contoh yang terpenting adalah masyarakat diaspora Afrika dan
Asia, baik yang terjadi sebelum maupun sesudah kolonialisme berakhir. Perbedaan
hanya terdapat pada bagaimana cara migrasi itu dilakukan. Jika pada masa
sebelum akhir kolonialisme, migrasi terjadi dengan cara yang cenderung
menggunakan kekerasan, seperti migrasi penduduk untuk kepentingan buruh kerja
murah, dan seterusnya, maka dalam masa “after colonialisme” migrasi cenderung
terjadi dengan modus yang lebih damai dan sukarela. Inilah wajah demografi dunia yang baru, dunia
dalam naungan “internationalism”—dunia seolah-olah tanpa batas geografi. For
the demography of the new internationalism is the history of post-colonial
migration, the narratives of cultural and political diaspora, the major social
displacements of peasants and aboriginal communities, the poetics of exile, the
grim prose of political and economic refugees. (Childs, p.13)
Demografi
baru yang nyata pada periode pasca kolonialisme adalah cerita tentang migrasi
poskolonial. Kedatangan jutaan manusia dari bekas tanah jajahan kepada pusat
wilayah bekas penjajah mereka, dan sebaliknya, telah menjadi fenomena
kebudayaan yang memberikan dampak besar dalam pembentukan identitas diaspora
tersebut. Migrasi poskolonial semacam ini memaparkan berbagai macam narasi,
diantaranya diaspora politik dan budaya, isu utama tentang pengusiran masyarakat
pedesaan dan komunitas aborigin, puisi-puisi yang diciptakan oleh para orang
buangan, dan prosa-prosa muram oleh para pengungsi ekonomi dan politik. Dengan
kompleksitas semacam itu, siapakah poskolonial itu?
Pertanyaan
semcam di atas mengandaikan suatu identitas yang “stabil”, “jelas” dan “tidak
berubah”. Padahal, identitas diaspora atau yang sering dikatakan sebagai
“identitas migran” merupakan identitas yang “berubah” dan “tidak stabil”. Dalam
pengertian bahwa identitas yang terbentuk tidak lagi sepenuhnya lagi
beridentitas negeri asalnya, dan pada saat yang sama, juga belum beridentitas
sepenuhnya pada negeri barunya. Misalnya, para migran dari Asia dan Afrika yang
berpindah ke Amerika Serikat maupun Inggris. Mereka tidak bisa sepenuhnya lepas
dari identitasnya sebagai orang Asia atau Afrika, tetapi pada saat yang sama
belum bisa menjadi sepenuhnya orang Amerika Serikat maupun Inggris. Dengan
demikian, apakah mereka poskolonial padahal mereka berada di jantung negeri
para mantan penjajah mereka, dan mereka juga bukan berada di Nigeria atau
India, merupakan suatu pertanyaan yang juga selalu memiliki jawaban yang tidak
stabil.
Dimensi
lain diaspora tertuju pada golongan khusus yang selalu merepresentasikan
aspirasi dalam masyarakat terjajah, yaitu kaum intelektual dan aktivis
poskolonial. Di antara kaum intelektual dan aktivis tersebut, antara lain
Edward Said (asal Palestina dan menjadi Amerika), Gayatri Spivak (asal India
dan menjadi Amerika), lalu Frantz Fanon (asal Prancis dan menjadi Aljazair),
dan seterusnya. Peran penting yang dimainkan oleh mereka adalah menjadi pelaku
sejarah perjuangan anti-imperialisme, sekaligus menjadi teoretisi gerakan
anti-imperialisme tersebut. Peran yang unik semacam itu menempatkan mereka pada
posisi “heroic status” yang dianggap berjasa besar dalam gerakan anti-kolonial.
Dalam Bahasa Sartre, mereka disebut sebagai “the interpreter of the situation”[5][6].
Inilah ironi kolonialisme dimana ia mampu melahirkan para pengutuknya sendiri.
Dengan latar belakang pendidikan kolonial Barat, para intelektual dan aktivis
anti-imperialisme menjadi duri dalam daging kekuasaan Barat. Meskipun tidak
semua intelektual dan aktivis mendapatkan puja dan puji, di antara mereka
sendiri justru banyak yang menjadi pemuja fanatik formasi pengetahuan Barat dan
dengan sendiri menjadi penjaga status quo imperialisme Barat.
Anthony
Appiah menyebut kaum intelektual semacam
itu sebagai “a comprador intelligentsia”—suatu kelompok intelektual yang
menjadi kaki tangan kolonial yang beroperasi di wilayah kebudayaan dan
intelektual. Mereka berperan sebagaimana apa yang dilakukan oleh para komprador
borjuis ekonomi pada masa awal poskolonial yang hanya menjadi parasit
perjuangan nasional, dan hanya mementingkan kejayaan kepriyayian mereka
sendiri. Namun, bagi Gayatri Spivak,
kekhawatiran tidak terletak pada individu-individu sebagai agensi, tetapi pada
institusi-institusi dan praktik-praktik yang dilakukan.
Adapun
jawaban alternatif atas siapakah poskolonial itu adalah Bukan aku (“Not me”). Bagi
beberapa penulis yang tidak mempedulikan labelisasi atas status poskolonial
atau tidak, labelisasi merupakan suatu yang membatasi kebebasan mereka.
Ketiadaan label adalah bentuk dari resistensi mereka terhadap poskolonialisme.
Seperti yang terjadi beberapa penulis perempuan berkulit hitam, mereka enggan
dan menolak untuk diberi label “Afrika” atau “poskolonial”, mereka lebih
memilih untuk diberi label “penulis perempuan”(a woman writer) saja. Jika
demikian halnya, maka identitas poskolonial menjadi sesuatu yang terus tak
pernah jelas bentuknya.
Apakah
poskolonial itu?
Bagian
ini akan membahas “definisi negatif” poskolonialisme sekaligus kritik
terhadapnya. Salah satunya tentang terminologi mana yang tepat, apakah
poskolonialisme (postcolonialism) atau poskolonialitas (poscoloniality),
meskipun bagi sebagian besar pemikir kedua istilah tersebut digunakan secara
saling berkelindan. Gayatri Spivak, misalnya, membedakannya secara tajam.
Neo-colonialism
is not simply the continuation of colonialism; it is a different thing. That is
what I call ‘postcoloniality’, and I find the word postcolonialism just totally
bogus. (Childs, p.16)
Neo-kolonialisme
bukanlah sekadar terusan dari kolonialisme. Itulah yang dia sebut sebagai
poskolonialitas, dan bukan poskolonialisme. Penolakan Spivak terhadap istilah
poskolonialisme barangkali dikarenakan tidak adanya kemungkinan untuk keluar
dari kondisi “colonialism”, sehingga tidak ada “postcolonialism”. Yang ada
hanyalah kondisi atau sifat poskolonialitas.
Spivak masih melihat sisi positif poskolonialitas, “’In postcoloniality, every metropolitan
definition is dislodged. The general mode for the postcolonial is citation,
reinscription, rerouting the historical’”. Bagi Spivak, tiap definisi atas
segala hal—kebudayaan, ekonomi, politik, dan seterusnya—yang datang dari
metropolitan (penjajah) harus dilepas-keluarkan. Modus umum poskolonial dengan
demikian adalah kutipan, penulisan kembali dan menapak ulang sejarah.
Pendapat
yang lain datang dari beberapa pemikir yang menekankan relasi antara teorisasi
studi poskolonial dengan perjuangan atau gerakan anti-kolonial atau
anti-imperial. Ella Shohat, misalnya, berpendapat,“The globalizing gesture of
‘the postcolonial condition’ or ‘postcoloniality’, downplays multiplicities of
location and temporality as well as the possible discursive and political
linkages between ‘post-colonial’ theories and contemporary anti-colonial, or
anti-neo colonial struggles and discourses” (Childs, p. 16). Multiplisitas
lokasi dan temporalitas waktu menjadi penanda penting kehadiran poskolonialitas
atau kondisi poskolonial. Seperti halnya hubungan antara praktik politik dan
diskursif antara teori-teori poskolonial dengan anti-kolonial dan
anti-neo-kolonial, baik sebagai wacana maupun sebagai gerakan. Poskolonialitas
dengan demikian bukanlah hanya sebuah label akademik, tetapi juga mewujud
menjadi fakta sejarah yang harus menunjukkan kehadirannya, dengan berbagai
multiplisitas lokas dan keadaan.
Oleh
karena itu, ketiadaan multiplisitas, bagi Anne McClintock, merupakan suatu
problem: If the theory promises a decentering of history in hybridity,
syncretism, multi-dimensional time, and so forth, the singularity of the term
[postcolonialism] effects a re-centering of global history around the single
rubric of European time. Colonialism returns at the moment of its
disappearance. (Childs, p.16)
Jika
poskolonialisme menjanjikan decentering sejarah dalam hibriditas, sinkretisme,
waktu multidimensional, dan seterusnya, maka penunggalan (singularity) istilah
poskolonialisme berefek pada pemusatan (re-centering) sejarah global di sekitar
rubric tunggal waktu Eropa. Jika demikian halnya, maka kolonialisme telah hidup
kembali tepat pada momen keruntuhannya.
Sedangkan
menurut Aijaz Ahmad mengkritik poskolonialisme sebagai amnesia sejarah (a kind
of historical amnesia)—suatu bentuk pelupaaan dan pengabaian fakta sejarah
bahwa istilah poskolonial telah muncul dalam teori politik, ketika terjadi
perdebatan awal tentang komposisi negara pasaca dekolonisasi. Artinya, bahwa
istilah poskolonialisme tidak bisa dianggap sebagai istilah yang tunggal yang
dalam konteks pembagian disiplin ilmu hanya dimiliki oleh ilmu humaniora
(budaya dan sastra), tetapi telah menjadi bagian dari bidang ilmu yang lain.
Dengan kata lain kajian poskolonial merupakan suatu kajian multidisipliner atau
interdisipliner—seperti yang dicontohkan oleh Edward Said dalam karya-karyanya.
Tak kurang pentingnya adalah kajian tentang ilmu sosiologi dan ekonomi politik
yang sangat berkait erat dengan poskolonialitas dan terutama neo-kolonialisme.
Bentuk
lain dari amnesia sejarah dari poskolonialisme, seperti dikatakan oleh Arif
Dirlik, adalah “Postcolonial, in other words, is applicable to not to all of
the postcolonial period, but only to that period after colonialism when, among
other things, a forgetting of its effects has begun to set in” (Childs, p.17).
Pendapat Dirlik ini merupakan kritik keras terhadap poskolonialisme.
Poskolonial dapat diaplikasikan tidak kepada semua periode poskolonial, tetapi
hanya pada masa poskolonial dimana ketika suatu pelupaan terhadap efek-efeknya
mulai dibangun. Dengan kata lain, dalam perspektif semacam ini, poskolonial
tampak sebagai patologi, penyakit yang berbahasa di masanya.
Beberapa
kritikus yang lain menyebut poskolonialisme sebagai sebentuk “urban myth” yang
hanya merupakan repetisi saja dalam perbincangan akademik, tanpa menimbang
substansi atau koherensinya. Sebagian yang lain menghubungkan ketidakterpisahan
antara poskolonialisme dan posmodernisme. Perbincangan tentang poskolonialisme
menurut pendapat tersebut harus dihubungkan dengan posmodernisme sebagai “legitimizing
narrative”. Poskolonialisme, dengan demikian, hanyalah merupakan kepanjangan
tangan proyek-proyek posmodernisme.
Sementara
dalam konteks keterlibatan kaum intelektual, beberapa kritikus menyebutnya
sebagai bentuk pelacuran kaum intelektual. Salah satunya Anthony Appiah
mengatakan, Postcoloniality is the condition of what we might ungenerously call
a comprador intelligentsia: a relatively small, Western-style, Western-trained
group of writers and thinkers who mediate the trade in cultural commodities of
world capitalism at the periphery. In the West they are known through the
Africa they offer; their compatriots know them both through the West they
present to Africa and through an Africa they have invented for the world, for
each other and for Africa. (Childs, p. 18)
Pendapat
Appiah di atas tampak sebagai pendapat yang pesimis tentang poskolonialisme.
Hal tersebut karena menurutnya poskolonialitas itu sendiri merupakan suatu
kondisi pesimisme—ialah dimana keterlibatan intelektual dalam poskolonialisme,
sebagai wacana dan gerakan, justru menjadi gambaran suram ketimbang menjadi enlightening
groups. Bagaimana penjelasannya? Poskolonialistas ditandai terutama dengan
lahirnya kaum “comprador intelligentsia”, kaum intelektual yang menjadi
komprador (sekutu) Barat. Jumlah mereka terbilang relatif kecil, biasanya Western-style,
biasanya juga merupakan kelompok penulis atau pemikir yang Western-trained dalam
orientasinya. Mereka memediasi perdagangan dalam komoditas budaya yang
dibungkus dalam kapitalisme global di kawasan-kawasan pinggiran (baca: “dunia
ketiga”). Rekan senegara mereka mengenal mereka melalui Barat yang mereka
bawakan ke Afrika dan melalui Afrika yang mereka temukan dan persembahkan
kepada Barat, dan Afrika sekaligus. Poskolonialitas, dengan demikian, hanya
menjadi bagian dari komoditas materialistis yang digunakan sebagian intelektual
dalam perdagangan kebudayaan. Intelektual semacam ini tak lebih dari “penjual”
kebudayaan mereka dan mendapatkan kompensasi atau gengsi material, baik berupa
kekayaan maupun jabatan atau posisi strategis dalam masyarakat. Mereka sudah
tidak lagi menjadi apa yang disebut Jean-Paul Sartre sebagai “the
interpreter of the situation” atas
kondisi masyarakatnya.
Senyampang
dengan pesimisme di atas, penekanan poskolonialitas dengan menghubungkannya
hanya dengan beberapa jenis intelektual membawa kesulitan lain. Yaitu adanya
saling klaim diantara mereka sebagai yang paling poskolonial atau poskolonial
sejati. Lalu siapakah ataukah yang manakah intelektual poskolonial sejati?
Jawabannya adalah tidak ada yang paling sejati. Karena jika ada homogenisasi
poskolonialitas (bahkan dalam level terminologi sekalipun), maka dengan
sendirinya poskolonialitas itu sendiri sudah berakhir. Hal ini sependapat
dengan Mishra dan Hodge, ‘Postcolonialism, we have stressed, is not a
homogenous category, either across all postcolonial societies, or even within a
single one. Rather, it refers to a typical configuration which is always in the
process of change, never consistent with itself.’ (Childs, p.19)
Kesimpulan?
Setelah
membahas panjang lebar keterangan di atas, dan terutama pada tentang “definisi negatif”
poskolonialisme, tentu tidak mudah bagi kita untuk membuat kesimpulan. Dengan
membuat kesimpulan sebaliknya dari definisi negatif di atas, maka kita bisa
mengatakan bahwa poskolonialisme bukanlah abstraksi ahistoris yang tunggal,
bukan pula semata kepanjangan tangan proyek posmodernisme, bukan pula semata suatu tindakan para “comprador
intelligentsia” atau sekelompok intelektual jahat. Namun sebaliknya,
poskolonialisme sebagai suatu periode sejarah merupakan suatu fase imperialisme
atau dalam konteks neo-kolonialisme berbentuk kapitalisme global—meskipun tidak
serta merta selalu dikaitkan dengan kategori-kategori semacam itu. Artinya,
poskolonialisme sebagai kajian tidak bisa dilepaskan dari dimensi global.
Namun, bukan berarti bahwa poskolonialisme secara total/penuh (totalizing in a
bad sense) bisa menguasai dan menjelaskan segala hal. Meskipun memiliki
keterbatasan, berbagai pakar, kritikus dan teoretisi dapat menggunakannya
sejauh mungkin untuk menjelaskan hal ihwal “apa yang sedang terjadi” secara
“total” (in a good sense, not in a reductive way).
Praktik
pembacaan “good totalizing” semacam itu mengingatkan kita kepada Fredric
Jameson yang mendefinisikannya sebagai tak lebih dari “making connections
between phenomena”, menghubungkan berbagai fenomena. Dalam level praksis,
pembacaan semacam ini berguna dalam menentukan strategi politik yang tetap
menjadi tujuan para teoritisi poskolonial—meskipun dalam level tertentu dapat
berpotensi menciptakan bahaya baru, yaitu institusionalisasi poskolonialisme.
Dalam level teoretis, poskolonialisme mencakup pendekatan-pendekatan, baik yang
bertujuan untuk suatu penjelasan persoalan dalam skala besar maupun untuk suatu
penelitian yang lebih kecil-lokal (dalam perspektif Foucauldian micro-analysis).
Pendekatan-pendekatan semacam itu sangat tepat dalam konteks dimana
tarikan-tarikan antara kekuatan yang saling berkonflik yang berakibat pada
mengglobalnya dan sekaligus memfragmentasinya berbagai fenomena, baik dalam
level ekonomi, budaya maupun politik. Bukan berarti pula bahwa dengan
mengatakan demikian maka teori hanya berhenti menjadi refleksi murni atas
peristiwa-peristiwa dalam “dunia nyata”.
Dalam
konteks produksi budaya, analisis poskolonial biasanya mencakup berbagai macam
bentuk, mulai dari buku dengan tema-tema besar semacam Culture and Imperialism-nya
Edward Sai atau buku-buku dengan pembacaan yang hanya berkonsentrasi pada satu
teks atau salah satu aspek dari suatu teks. Dengan demikian, homogenitas dan
keseragaman dalam produksi budaya poskolonial dapat dihindari. Teori-teori yang
digunakan dalam analilisi bersifat dialogis, terkadang bersifat kolaboratif
antara teori satu dengan teori lain, terkadang bersifat sangat kritis—yang
mencakup teori-teori kritis utama yang sedang mutakhir, semisal feminism, Marxisme,
post-structuralisme dan juga posmodernisme—dengan berbagai macam perdebatan
internal di dalamnya.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa kajian poskolonial merupakan kajian
interdisipliner. Meskipun kajian semacam ini mendapatkan respon yang baik,
tetapi tetap memiliki berbagai kelemahan. Salah satunya adalah problem
over-spesialisasi bidang keilmuan. Formasi pengetahuan modern yang mensyaratkan
spesialisasi yang berlebihan mengakibatkan akademisi “malu” atau bahkan “tidak
berani” melakukan kajian interdispliner. Kajian-kajian yang hanya
menitikberatkan pada satu disiplin keilmuan (misalnya politik, hubungan
internasional, sastra, dst.) kurang meyakinkan untuk disebut sebagai kajian
poskolonial. Dampaknya, pembacaan interdispliner tak jarang menjadikan para
pemikir yang melakukannya menjadi obyek kecemburuan, hujatan dan kritik dari
mereka yang memuja over-spesialisasi. Edward Said, misalnya, sebagai seorang
profesor kajian sastra perbandingan, dikritik sebagai seorang sejarawan sebagai
“bukan sejarawan yang baik”[6][7]. Kelemahan semacam ini memang harus diakui
karena para pemikir-ilmuwan poskolonial bukanlah seseorang yang terlatih dalam
semua disiplin ilmu, tetapi di sisi yang lain, tidak ada strategi lain karena
visi-misi poskolonial untuk “menghubungkan berbagai fenomena” hanya bisa
dijalankan dengan cara interdispliner semacam itu.
Dalam
konteks Orientalism, misalnya, “expertise” menjadi suatu bentuk aspek
superioritas imperial yang rasial. Para orientalis menjadi penentu kuasa
pengatahuan atas “Orient” dan menganggap yang di luar mereka—apalagi suara dari
bumiputera—sebagai bentuk pengetahuan yang tidak ilmiah karena tidak
berdasarkan ekspertise tertentu. Over-spesialisasi atau over-ekspertise, dalam
skala yang luas, berbahaya karena memapankan rezim kuasa pengetahuan tertutup,
baik kepada para “pemikir” yang bukan “expert” atau kepada “disiplin” ilmu di
luarnya. Kajian poskolonial-interdispliner, dengan demikian, menjadi suatu yang
produktif, mencerahkan dan memberi harapan—karena praktik pembacaan
interdisipliner lebih menunjukkan suatu bentuk keterlibatan (engagement) dengan
para pemikir dan berbagai isu, ketimbang hanya menjadi penguasaan (mastery)
atas berbagai wilayah teoretis.
Bibliografi
Althusser,
Louis
1971 Ideology and Ideological State Apparatus and
Lenin and Philosphy and other Essays. trans. by B. Brewster. London: New Left
Books
Ashcroft,
B., Griffiths, G. dan Tiffin, H.
1989 The Empire Writes Back: Theory and Practice
in Post-Colonial Literatures. London dan New York: Routledge
Childs,
Peter dan Williams, R.J.P.
1997 An Introduction to Post-Colonial Theory.
London and New York: Prentice Hall
Day,
Tony dan Foulcher, Keith
2008 ‘Bahasan Poskolonial dalam Sastra Indonesia
Modern’ dalam buku Sastra Indonesia Modern : Kritik Poskolonial. Jakarta:
KITLV-Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia
Fanon,
Frantz
1963.
The Wretched of the Earth. (trans. by
Constance Farrington). New York: Grove Press
Piper,
Karen
1999 ‘Post-Colonialism in the United States:
Diversity or Hybridity’ dalam Post-Colonial Literatures: Expanding the Canon (Deborah
L. Madsen, ed.). London: Pluto Press
Said,
Edward W.
1994
Culture and Imperialism. London:
Vintage
Shawant,
S.B.
2012 Postcolonial Theory:Meaning and
Significance. [Proceedings of National Seminar on Postmodern Literary Theory
and Literature, Nanded, January 27-28, 2012]
[7][1] Tulisan ini
merupakan tulisan pertama untuk seri kelas “Kebudayaan dan Kekuasaan” yang
diselenggarakan oleh Rumah Buku Simpul Semarang (RBSS) dari dua belas kali
pertemuan yang direncanakan pada tiap akhir bulan sepanjang tahun 2014.
[1][2] Dikutip
dari Tony Day dan Keith Foulcher, ‘Bahasan Poskolonial dalam Sastra Indonesia
Modern’ dalam buku Sastra Indonesia Modern : Kritik
Poskolonial, 2008: hal. 5.
[2][3]
Kapankah akhir perang dunia kedua? Tahun berapa? Ditandai dengan apa?
[3][4] Stephen
Slemon, ‘Modernism’s Last Post’, in Ian Adam and Helen Tiffin (eds.), Past the Last Post: Theorizing
Post-Colonialism and Post-modernism, Hemel Hemstead; Harvester Wheatsheaf,
1991, p. 3.
[4][5] Louis
Althusser membagi apparatus negara menjadi dua, yaitu Ideological State Aparatus dan Repressive
State Apparatus. Lebih lanjut tentang ini, baca Louis Althusser Ideology and Ideological State Apparatus and
Lenin and Philosphy and other Essays, trans. by B. Brewster, London: New
Left Books, 1971.
[5][6] Baca kata
pengantar Jean-Paul Sartre untuk buku Frantz Fanon The Wretched of the Earth, 1963, hal. 14. Sastre menyebut Fanon
(dan intelektual sejenisnya—penulis)
sebagai ”the interpreter of the situation”. Mereka merupakan “pembaca situasi”
masyarakatnya karena mereka adalah pemikir cum
aktivis yang terlibat secara langsung dalam perjuangan kemerdekaan bangsanya.
[6][7] Untuk
kritikan semacam itu, mungkin ada benarnya. Misalnya, dalam bukunya Culture and Imperialism, hal. 240,
Edward Said menyebut Indonesia merdeka
dari Belanda pada sebelum 1950. Said tidak menunjukkan, persis tahun
kemerdekaan Indonesia. Dalam buku tersebut, misalnya, Said tidak menyebutkan
sumber sejarah yang dia pakai. Kita tidak tahu dari mana dia mendapatkan sumber
semacam itu, baik sejarah versi versi Belanda—kemerdekaan Indonesia adalah
“hadiah” dari mereka yang diberikan kepada bangsa Indonesia pada 27 Desember
1949, sementara sejarah resmi versi bangsa Indonesia adalah 17 Agustus 1945.
Kesalahan “kecil” semacam ini memberitahu kita bahwa kajian poskolonial yang
berorientasi pada kajian interdidipliner—yang memasuki wilayah disiplin “orang
lain”—memiliki kelemahan seperti pengalaman Edward Said tersebut. Namun,
kesadaran atas kelemahan semacam ini tidak seharusnya menjadi pengahalang tetapi
harus dijadikan himbauan agar menjadi motivasi untuk lebih teliti, tekun dan
hati-hati memasuki “wilayah disiplin ilmu orang lain” (apalagi, memasuki
“wilayah kebudayaan orang lain”).