Minggu, 09 Februari 2014

Anekdot Tawasul


Oleh Muhammad Tijani as Samawi

Teman saya, seorang Ustadz dari Tunisia memberitahu saya bahwa temannya seorang laki-laki dari Arab Saudi akan datang besok pagi untuk melakukan dialog ilmiah dengan saya. Ia mengatakan bahwa ia akan menyediakan makan siang, dan besok adalah hari libur mingguan, sehingga kita mempunyai waktu yang cukup banyak. Kita sudah lama merindukan majelis seperti ini. Ia menambahkan, “Kami berharap Anda menang, dan jangan membuat kita malu, karena orang Saudi itu selalu menguasai pembicaraan dan tidak pernah memberikan kesempatan kepada kita untuk berbicara (maakilnaa bi qur’an). Pada saat yang dijanjikan, mereka datang ke rumah saya itu. Jumlah mereka semuanya tujuh orang, dan salah satunya adalah ulama Wahabi. Sehingga jumlah yang hadir bersama tuan rumah dan saya sebanyak sembilan orang.  Setelah makan, majelis pun dimulai. Adapun yang menjadi topiknya adalah tentang tawasul dan perantaraan antara hamba dengan Tuhannya.  Saya mengatakan bahwa dibolehkan bertawasul kepada Allah SWT dengan perantaraan Nabi, Rasul, para Wali dan orang-orang shaleh, karena terkadang manusia terhalang do’anya, disebabkan banyaknya dosa dan selalu sibuk dengan urusan dunia, sehingga ia memohon pertolongan kepada Allah SWT dengan perantaraan para Wali dan para kekasih-Nya. Ulama Wahabi itu berkata, “Itu perbuatan syirik, dan Allah tidak akan mengampuni dosa orang yang mempersekutukan-Nya.”

“Apa dalil Anda bahwa itu perbuatan syirik kepada Allah?”, tanya saya.

Ia berkata, “Allah SWT berfirman: “Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (QS. Al-Jin: 18). Ayat ini dengan gamblang melarang menyeru selain kepada Allah. Siapa yang menyeru kepada selain Allah, maka ia telah menjadikan sekutu bagi-Nya, sekutu yang memberi manfaat dan mudharat. Padahal, yang memberi manfaat dan mudharat hanya Allah semata.”

Sebagian yang hadir membenarkan dan mendukung ucapannya. Kemudian tuan rumah memotong pembicaraan dengan mengatakan, “Sebentar, saya mengundang Anda bukan untuk berdebat dan ikut campur, tetapi saya mengundang Anda sekalian untuk mendengarkan kedua ulama ini.” Saya sudah mengenal orang Tunisia ini sejak lama, tetapi saya kaget ternyata ia adalah pengikut Ahlul Bayt. Ia melanjutkan, “Anda sekalian telah mengenal teman kita dari Saudi ini, dan Anda sudah mengetahui akidahnya. Sekarang, marilah kita mendengarkan mereka berdua mengemukakan hujah-hujahnya sampai selesai. Setelah itu baru kita berikan kesempatan kepada semua yang hadir untuk turut serta….”

Saya merasa berterimakasih atas metode yang bijak ini, dan kami melanjutkan diskusi. Saya berkata, “Saya setuju dengan Anda bahwa Allah SWT adalah satu-satunya yang dapat memberi manfaat dan mudharat, dan tidak ada seorang pun selain-Nya. Tidak ada seorang pun dari kaum Muslim yang bersilang pendapat dengan Anda mengenai hal ini. Hanya saja yang kami katakan dalam masalah tawasul ini ialah bahwa orang yang bertawasul dengan perantaraan Rasulullah, misalnya, mengakui bahwa Muhammad tidak bisa memberi manfaat dan mudharat, namun do’anya mustajab di sisi Allah.”

“Jika Muhammad SAW memohon kepada Tuhannya, misalnya: “Ya Allah, rahmatillah hamba ini” atau “Ampunilah hamba ini” atau “Jadikanlah hamba ini seorang kaya”, niscaya Allah SWT akan mengabulkannya. Banyak sekali riwayat shahih yang berbicara tentang hal ini. Salah satu diantaranya mengatakan, seorang sahabat yang buta kedua matanya datang kepada Rasulullah SAW dan meminta beliau agar memohon kepada Allah supaya kedua matanya menjadi dapat melihat. Rasulullah SAW menyuruh orang itu untuk berwudhu dan shalat dua raka’at, lalu menyuruhnya berdo’a: “Ya Allah, sesungguhnya saya bertawasul kepada-Mu, dengan perantaraan kekasih-Mu, Muhammad”. Lalu dengan serta merta Allah membuka penglihatannya sehingga ia dapat melihat.”

“Demikian juga kisah Tsa’labah, seorang sahabat Nabi yang fakir. Ia datang kepada Nabi dan meminta kepada beliau agar memohonkan baginya kekayaan kepada Allah, karena ia ingin bersedekah dan menjadi orang baik. Kemudian, Rasulullah SAW memohon kepada Allah, dan dikabulkan do’anya. Dan, Tsa’labah pun menjadi orang kaya, namun ia disibukkan oleh hartanya, sehingga tidak dapat datang ke Madinah untuk menghadiri shalat berjama’ah, dan tidak memberikan zakat. Kisah ini banyak dikenal orang.”


“Demikian juga, pernah suatu hari Rasulullah menggambarkan kepada para sahabatnya tentang nikmat-nikmat surga yang dijanjikan Allah SWT bagi para penghuninya. Kemudian, seorang sahabat yang bernama Ukasyah berdiri seraya berkata: “Ya, Rasulullah, memohonlah kepada Allah supaya Dia menjadikan saya termasuk kelompok mereka.” Lalu Rasulullah SAW berdoa: “Ya, Allah, jadikanlah ia termasuk salah seorang dari mereka.” Kemudian, seorang sahabat lainnya berdiri dan berkata: “Saya juga, ya, Rasulullah.” Rasulullah berkata: “Ukasyah telah mendahuluimu.”

Ketiga riwayat di atas, merupakan dalil yang tegas bahwa Rasulullah SAW telah menjadikan dirinya sebagai perantara antara Allah dan hamba-Nya.  Ulama Wahabi itu memotong pembicaraan saya dengan berkata, “Saya berargumentasi kepadanya dengan Al-Qur’an Al-Karim, sedang ia berargumentasi kepada saya dengan hadits-hadits dha’if (lemah) yang tidak mengenyangkan rasa lapar.”

Saya berkata, “Al-Qur’an Al-Karim mengatakan: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maaidah: 35). Ulama Wahabi itu berkata: “Yang dimaksud dengan perantara (wasilah) di situ adalah amal shaleh.”

Saya katakan kepadanya, “Ayat-ayat amal shaleh di dalam Al-Qur’an Al-Karim itu banyak sekali. Di antaranya ialah Allah SWT berfirman: Yaitu orang-orang yang beriman dan beramal shaleh (QS. Al-Baqarah: 25). Akan tetapi di dalam ayat ini dikatakan: Dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya (QS. Al-Maaidah: 35). Dalam ayat lain disebutkan: Mereka orang-orang yang menyeru itu, mereka sendiri mencari jalan (wasilah) kepada Tuhan mereka, siapa diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) (QS. Al-Israa: 57).

Kedua ayat di atas memberikan pengertian bahwa menjadikan sesuatu sebagai perantara (wasilah) kepada Allah harus dibarengi dengan takwa dan amal shaleh. Tidakkah Anda lihat bahwa Allah SWT telah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya (QS. Al-Maaidah: 35). Dengan demikian, iman dan takwa harus ada lebih dahulu sebelum pencarian perantara (wasilah).

Ia berkata, “Mayoritas ulama menafsirkan perantara (wasilah) dengan amal shaleh.” Saya katakan, “Kita tinggalkan penafsiran dan pendapat para ulama itu. Apa pendapat Anda sekiranya saya dapat membuktikan kepada Anda adanya perantara (wisaathah) di dalam Al-Qur’an sendiri?” “Mustahil, kecuali Al-Qur’an yang tidak dikenali!”, katanya. Saya berkata, “Saya tahu apa yang Anda maksud. Akan tetapi, saya akan membuktikan kepada Anda dari al Qur’an yang kita semua ketahui.” Kemudian saya membacakan ayat: “Mereka berkata: "Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa). Ya`qub berkata: "Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. Yusuf: 97—98).

Mengapa Nabi Ya’qub tidak mengatakan kepada puteranya: “Mohonlah kamu kepada Allah sendiri, dan jangan menjadikan saya sebagai perantara antara kamu dengan penciptamu.” Bahkan, ia menetapkan kepada mereka adanya perantaraan tersebut dengan mengatakan, “Saya akan mohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku.” Dengan demikian, ia menjadikan dirinya sebagai perantara (wasillah) bagi puteranya kepada Allah.”

Ulama Wahabi itu merasa kesulitan untuk menolak ayat-ayat yang jelas dan gamblang tersebut, yang tidak dapat diragukan dan tidak juga bisa ditakwil. Ia berkata, “Tidak ada kaitannya antara diri kita dan Ya’qub. Dia dari golongan Bani Israil yang syariatnya telah dihapus dengan syariat Islam.”  Saya jawab, “Saya akan memberikan kepada Anda dalil dari syariat Islam yang dibawakan oleh Nabi Muhammad SAWW. Begini ayatnya:  “Dan kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa: 64). Mengapa dalam ayat ini Allah SWT menyuruh mereka datang kepada Rasulullah SAWW untuk memohonkan ampun bagi mereka kepada-Nya, dan Rasulullah SAWW pun memohonkan ampun bagi mereka. Ini merupakan dalil yang pasti bahwa Rasulullah SAWW adalah perantara mereka kepada Allah, dan Allah tidak akan mengampuni mereka kecuali dengan perantaraannya.”

Para hadirin berkata, “Ini merupakan dalil yang kuat.” Ulama Wahabi itu merasa terpojok, lalu melantur dengan mengatakan, “Itu benar manakala beliau masih hidup, tetapi laki-laki itu telah mati sejak empat belas abad yang lalu.”  Saya berkata dengan penuh keheranan, “Bagaimana Anda bisa mengatakan bahwa Rasulullah SAWW seorang laki-laki yang telah mati? Rasulullah itu hidup, dia tidak mati.” Ia menertawakan ucapan saya dan sambil mengejek ia berkata. “Al-Qur’an telah mengatakan kepadanya: Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka juga akan mati pula.” (QS. Az-Zumar: 30). Saya menjawab, “Al-Qur’an sendiri berkata: Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS. Al-Baqarah: 154).

Ulama Wahabi itu berkata, “Ayat-ayat tersebut berbicara tentang para syuhada, yaitu orang-orang yang gugur di jalan Allah, dan tidak ada hubungannya dengan Muhammad (SAWW).” Saya menjawab, “Subhanallah, walaa hawla walaa quwwata illa billaah! Apakah Anda akan menurunkan kedudukan Nabi Muhammad, kekasih Allah, di bawah derajat orang syahid? Anda seolah-olah ingin mengatakan bahwa Ahmad Ibn Hanbal mati syahid di sisi Tuhannya dan diberi rizki, sedangkan Rasulullah SAWW mati seperti kematian yang lain?! Ia berkata, “Ini yang dikatakan al Qur’an al Karim.” Saya katakan, “Alhamdulillah. Kini telah terungkap bagi kami jati diri Anda, dan hakikat pandangan Anda. Anda telah berupaya dengan sungguh-sungguh menghilangkan peninggalan-peninggalan Rasulullah SAWW, sampai-sampai Anda hendak menggusur makamnya sebagaimana Anda telah menggusur rumah tinggal yang di dalamnya beliau telah dilahirkan.”
Tuan rumah menyela dan mengingatkan dengan mengatakan, “Kita tidak boleh keluar dari ruang lingkup al Qur’an dan Sunnah, sebagaimana yang telah kita sepakati bersama.” Saya meminta ma’af, lalu melanjutkan, “Yang penting bahwa teman kita ini telah mengakui telah dibolehkannya bertawasul di masa hidup Rasulullah SAWW, dan menafikannya setelah wafatnya.” Semua yang hadir berkata, “Memang benar demikian.” Kemudian, mereka bertanya kepada ulama Wahabi tersebut, “Anda telah menyepakati bahwa bertawasul dibolehkan di masa hidup Rasulullah SAWW?” “Ya, dibolehkan di masa hidupnya, namun sekarang tidak karena beliau telah wafat,” jawabnya.

Saya berkata, “Alhamdulillah, untuk pertama kalinya penganut Wahabi mengakui dibolehkannya bertawasul. Sungguh, ini merupakan kemenangan yang besar. Izinkanlah saya hendak menambahkan bahwa bertawasul itu dibolehkan bahkan setelah wafatnya Rasulullah SAWW.” Ulama Wahabi itu berkata, “Demi Allah, tidak dibolehkan. Yang demikian itu termasuk syirik.” Saya katakan, “Tenang. Anda jangan tergesa-gesa dan jangan bersumpah, nanti Anda akan menyesalinya.” “Berikan dalil dari Al-Qur’an yang berbicara tentang itu,” pintanya.  Saya jawab, “Anda meminta hal yang mustahil, karena turunnya wahyu telah terputus dengan wafatnya Muhammad SAWW. Maka mau tak mau harus berargumentasi dari kitab-kitab hadits.”
Ia berkata, “Kami tidak menerima hadits, kecuali jika hadits itu shahih. Adapun yang dikatakan Syi’ah, kami tidak menerimanya.”

Saya berkata, “Apakah Anda mempercayai hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari, ia merupakan kitab hadits yang paling benar setelah Kitabullah di kalangan Anda?” Ulama Wahabi itu berkata sambil keheranan, “Bukhari membolehkan tawasul?” Saya jawab, “Benar. Ia mengatakan demikian. Namun sayangnya, Anda tidak membaca apa yang terdapat dalam kitab-kitab shahih Anda. Meski demikian, Anda bersikeras dengan pendapat Anda. Bukhari telah meriwayatkan dalam kitab shahihnya bahwa Umar Ibn Khattab, jika musim paceklik tiba, ia meminta turun hujan dengan perantaraan Abbas Ibn Abdul Muththalib dengan berkata:  

“Ya, Allah sesungguhnya kami bertawasul kepadaMu dengan perantaraan Nabi kami SAWW, maka turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, sesungguhnya kami bertawasul kepadaMu dengan perantaraan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami.” Perawi berkata “Maka turunlah hujan kepada mereka.”  (Lihat Shahih Bukhari, vol 4, halaman 209, kitab: Awal Penciptaan, bab: Manaaqib Ja’far ibn Thalib sebelum manaaqib kerabat Rasulullah (SAWW).  Saya berkata lebih lanjut, “Inilah Umar Ibn Khattab, seorang sahabat yang mulia dalam pandangan Anda, dan Anda tidak meragukan keikhlasannya, kekuatan imannya, dan kebaikan ibadahnya. Bukankah Anda mengatakan: “Kalau sekiranya ada Nabi setelah Muhammad, niscaya Umar Ibn Khattab-lah orangnya.” Anda sekarang dihadapkan kepada dua hal, dan tidak ada pilihan yang ketiga: Mengakui bahwa tawasul termasuk bagian dari agama Islam, dan mengakui perkataan Umar Ibn Khattab: “Sesungguhnya kami bertawasul kepada-Mu dengan perantaraan Nabi kami SAWW, dan dengan perantaraan paman Nabi kami.” Ini merupakan pengakuan bahwa ia bertawasul pada masa Nabi SAWW masih hidup dan setelah beliau wafat. Atau, Anda akan mengatakan, bahwa Umar Ibn Khattab musyrik, karena menjadikan Abbas Ibn Abdul Muththalib sebagai perantaraannya kepada Allah. Sedang diketahui  bahwa Abbas itu bukanlah seorang Nabi, bukan seorang Imam, dan bukan juga termasuk Ahlul Bayt, yang telah Allah SWT hilangkan dari mereka noda dan doa, dan Allah sucikan sesuci-sucinya.”

“Di samping itu, Bukhari, yang merupakan imam muhaddist di kalangan Anda, yang meriwayatkan kisah di atas, mengakui keshahihan di atas. Kemudian, Bukhari menambahkan: “Jika menghadapi musim paceklik, mereka memohon hujan dengan perantaraan Abbas. Kemudian, hujan pun turun.” Artinya, bahwa Allah SWT mengabulkan permohonan mereka.”

“Dengan demikian, Bukhari dan para muhaddist dari kalangan sahabat yang telah meriwayatkan kisah ini, begitu juga semua kalangan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang meyakini kitab Shahih Bukhari, dalam pandangan Anda adalah musyrik?!” Ulama Wahabi itu berkata, “Kalau memang benar hadits itu shahih, maka itu merupakan hujjah bagi Anda.” “Bagaimana itu merupakan hujjah bagi saya?!”, tanya saya. Ia berkata, “Karena Sayyidina Umar tidak bertawasul kepada Nabi SAWW, sebab beliau sudah mati. Dia bertawasul kepada Abbas, karena masih hidup.” Saya berkata, “Sesungguhnya perbuatan dan ucapan Umar Ibn Khattab bukan merupakan hujjah bagi saya, dan bukan pula merupakan timbangan, hanya saja saya memaparkan riwayat itu untuk berargumentasi atas topik yang sedang dibahas, yaitu pengingkaran Anda dan pengingkaran semua Ulama Anda atas tawasul, dan menganggapnya sebagai perbuatan syirik.”

“Saya jadi bertanya-tanya; mengapa ketika kemarau Umar Ibn Khattab tidak bertawasul kepada Ali Ibn Abi Thalib, yang kedudukannya di sisi Muhammad SAWW itu sama dengan kedudukan Harun di sisi Musa. Tidak ada seorangpun dari kaum Muslim yang mengatakan bahwa Abbas lebih utama daripada Ali. Namun, ini pembahasan lain yang bukan menjadi fokus pembahasan kita. Saya merasa puas sekarang Anda mengakui dibolehkannya bertawasul kepada orang yang masih hidup. Ini merupakan kemenangan besar bagi saya. Saya memuji Allah yang telah menjadikan hujjah kami dapat diterima; sedangkan hujjah anda tertolak. Jika memang demikian persoalannya, maka saya sekarang akan bertawasul di hadapan Anda semua.”

Kemudian saya pun berdiri menghadap kiblat dan berdo’a: “Ya, Allah. Kami mohon kepadaMu dan bertawasul kepadaMu dengan perantaraan hambaMu yang shaleh, Imam Khomeini”  (Pada waktu debat ini berlangsung, Imam Khomeini masih hidup). Mendengar itu, tiba-tiba Ulama Wahabi itu tersentak dan mengutuk serta berteriak: A’uudzu billah, a’uudzubillah, dan cepat-cepat lari keluar. Para hadirin saling memandang satu sama lain sambil berkata: “Sungguh mengherankan. Betapa sering ia berhujjah atas kami dan mengecam kami. Kami kira ia berada dalam kebaikan yang banyak, ternyata sebaliknya.” Salah seorang yang hadir berkata, “Innaa lillahi wa inna ilayhi raaji’uun. Ya Allah, saya bertobat kepadaMu. Lalu ia melihat kepada saya seraya berkata: “Sungguh, sebelum ini saya sangat terpengaruh dengan ucapan-ucapannya, dan bahkan hingga hari ini tadi saya masih mengakui pendapatnya yang menyatakan bahwa tawasul itu adalah perbuatan syirik kepada Allah. Kalau saya tidak hadir di majelis ini, tentu saya tetap berada dalam kesesatan. Saya mengucapkan syukur kepada Allah dan kepada Anda.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar