Oleh
Muhammad Tijani as Samawi
Teman
saya, seorang Ustadz dari Tunisia memberitahu saya bahwa temannya seorang
laki-laki dari Arab Saudi akan datang besok pagi untuk melakukan dialog ilmiah
dengan saya. Ia mengatakan bahwa ia akan menyediakan makan siang, dan besok
adalah hari libur mingguan, sehingga kita mempunyai waktu yang cukup banyak.
Kita sudah lama merindukan majelis seperti ini. Ia menambahkan, “Kami berharap
Anda menang, dan jangan membuat kita malu, karena orang Saudi itu selalu
menguasai pembicaraan dan tidak pernah memberikan kesempatan kepada kita untuk
berbicara (maakilnaa bi qur’an). Pada saat yang dijanjikan, mereka
datang ke rumah saya itu. Jumlah mereka semuanya tujuh orang, dan salah satunya
adalah ulama Wahabi. Sehingga jumlah yang hadir bersama tuan rumah dan saya
sebanyak sembilan orang. Setelah makan,
majelis pun dimulai. Adapun yang menjadi topiknya adalah tentang tawasul dan
perantaraan antara hamba dengan Tuhannya. Saya mengatakan bahwa dibolehkan bertawasul
kepada Allah SWT dengan perantaraan Nabi, Rasul, para Wali dan orang-orang
shaleh, karena terkadang manusia terhalang do’anya, disebabkan banyaknya dosa
dan selalu sibuk dengan urusan dunia, sehingga ia memohon pertolongan kepada
Allah SWT dengan perantaraan para Wali dan para kekasih-Nya. Ulama Wahabi itu
berkata, “Itu perbuatan syirik, dan Allah tidak akan mengampuni dosa orang yang
mempersekutukan-Nya.”
“Apa
dalil Anda bahwa itu perbuatan syirik kepada Allah?”, tanya saya.
Ia
berkata, “Allah SWT berfirman: “Dan sesungguhnya
mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah
seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (QS. Al-Jin: 18). Ayat ini dengan gamblang melarang menyeru
selain kepada Allah. Siapa yang menyeru kepada selain Allah, maka ia telah
menjadikan sekutu bagi-Nya, sekutu yang memberi manfaat dan mudharat. Padahal,
yang memberi manfaat dan mudharat hanya Allah semata.”
Sebagian
yang hadir membenarkan dan mendukung ucapannya. Kemudian tuan rumah memotong
pembicaraan dengan mengatakan, “Sebentar, saya mengundang Anda bukan untuk
berdebat dan ikut campur, tetapi saya mengundang Anda sekalian untuk
mendengarkan kedua ulama ini.” Saya sudah mengenal orang Tunisia ini sejak
lama, tetapi saya kaget ternyata ia adalah pengikut Ahlul Bayt. Ia melanjutkan,
“Anda sekalian telah mengenal teman kita dari Saudi ini, dan Anda sudah
mengetahui akidahnya. Sekarang, marilah kita mendengarkan mereka berdua
mengemukakan hujah-hujahnya sampai selesai. Setelah itu baru kita berikan
kesempatan kepada semua yang hadir untuk turut serta….”
Saya
merasa berterimakasih atas metode yang bijak ini, dan kami melanjutkan diskusi.
Saya berkata, “Saya setuju dengan Anda bahwa Allah SWT adalah satu-satunya yang
dapat memberi manfaat dan mudharat, dan tidak ada seorang pun selain-Nya. Tidak
ada seorang pun dari kaum Muslim yang bersilang pendapat dengan Anda mengenai
hal ini. Hanya saja yang kami katakan dalam masalah tawasul ini ialah bahwa
orang yang bertawasul dengan perantaraan Rasulullah, misalnya, mengakui bahwa
Muhammad tidak bisa memberi manfaat dan mudharat, namun do’anya mustajab di
sisi Allah.”
“Jika
Muhammad SAW memohon kepada Tuhannya, misalnya: “Ya Allah, rahmatillah hamba
ini” atau “Ampunilah hamba ini” atau “Jadikanlah hamba ini seorang kaya”,
niscaya Allah SWT akan mengabulkannya. Banyak sekali riwayat shahih yang
berbicara tentang hal ini. Salah satu diantaranya mengatakan, seorang sahabat
yang buta kedua matanya datang kepada Rasulullah SAW dan meminta beliau agar
memohon kepada Allah supaya kedua matanya menjadi dapat melihat. Rasulullah SAW
menyuruh orang itu untuk berwudhu dan shalat dua raka’at, lalu menyuruhnya
berdo’a: “Ya Allah, sesungguhnya saya bertawasul kepada-Mu, dengan perantaraan
kekasih-Mu, Muhammad”. Lalu dengan serta merta Allah membuka penglihatannya
sehingga ia dapat melihat.”
“Demikian
juga kisah Tsa’labah, seorang sahabat Nabi yang fakir. Ia datang kepada Nabi
dan meminta kepada beliau agar memohonkan baginya kekayaan kepada Allah, karena
ia ingin bersedekah dan menjadi orang baik. Kemudian, Rasulullah SAW memohon
kepada Allah, dan dikabulkan do’anya. Dan, Tsa’labah pun menjadi orang kaya,
namun ia disibukkan oleh hartanya, sehingga tidak dapat datang ke Madinah untuk
menghadiri shalat berjama’ah, dan tidak memberikan zakat. Kisah ini banyak
dikenal orang.”
“Demikian
juga, pernah suatu hari Rasulullah menggambarkan kepada para sahabatnya tentang
nikmat-nikmat surga yang dijanjikan Allah SWT bagi para penghuninya. Kemudian,
seorang sahabat yang bernama Ukasyah berdiri seraya berkata: “Ya, Rasulullah,
memohonlah kepada Allah supaya Dia menjadikan saya termasuk kelompok mereka.”
Lalu Rasulullah SAW berdoa: “Ya, Allah, jadikanlah ia termasuk salah seorang
dari mereka.” Kemudian, seorang sahabat lainnya berdiri dan berkata: “Saya
juga, ya, Rasulullah.” Rasulullah berkata: “Ukasyah telah mendahuluimu.”
Ketiga
riwayat di atas, merupakan dalil yang tegas bahwa Rasulullah SAW telah
menjadikan dirinya sebagai perantara antara Allah dan hamba-Nya. Ulama Wahabi itu memotong pembicaraan saya
dengan berkata, “Saya berargumentasi kepadanya dengan Al-Qur’an Al-Karim,
sedang ia berargumentasi kepada saya dengan hadits-hadits dha’if (lemah)
yang tidak mengenyangkan rasa lapar.”
Saya
berkata, “Al-Qur’an Al-Karim mengatakan: “Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan
diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat
keberuntungan.” (QS. Al-Maaidah: 35). Ulama Wahabi itu berkata:
“Yang dimaksud dengan perantara (wasilah)
di situ adalah amal shaleh.”
Saya
katakan kepadanya, “Ayat-ayat amal shaleh di dalam Al-Qur’an Al-Karim itu
banyak sekali. Di antaranya ialah Allah SWT berfirman: Yaitu orang-orang
yang beriman dan beramal shaleh (QS. Al-Baqarah: 25). Akan tetapi di dalam
ayat ini dikatakan: Dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri
kepada-Nya (QS. Al-Maaidah: 35). Dalam ayat lain disebutkan: Mereka
orang-orang yang menyeru itu, mereka sendiri mencari jalan (wasilah)
kepada Tuhan mereka, siapa diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allah)
(QS. Al-Israa: 57).
Kedua
ayat di atas memberikan pengertian bahwa menjadikan sesuatu sebagai perantara (wasilah)
kepada Allah harus dibarengi dengan takwa dan amal shaleh. Tidakkah Anda lihat
bahwa Allah SWT telah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri
kepada-Nya (QS. Al-Maaidah: 35). Dengan demikian, iman dan takwa harus ada
lebih dahulu sebelum pencarian perantara (wasilah).
Ia
berkata, “Mayoritas ulama menafsirkan perantara (wasilah) dengan amal
shaleh.” Saya katakan, “Kita tinggalkan penafsiran dan pendapat para ulama itu.
Apa pendapat Anda sekiranya saya dapat membuktikan kepada Anda adanya perantara
(wisaathah) di dalam Al-Qur’an sendiri?” “Mustahil, kecuali Al-Qur’an
yang tidak dikenali!”, katanya. Saya berkata, “Saya tahu apa yang Anda maksud.
Akan tetapi, saya akan membuktikan kepada Anda dari al Qur’an yang kita semua
ketahui.” Kemudian saya membacakan ayat: “Mereka
berkata: "Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa
kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa). Ya`qub
berkata: "Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya
Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. Yusuf:
97—98).
Mengapa
Nabi Ya’qub tidak mengatakan kepada puteranya: “Mohonlah kamu kepada Allah
sendiri, dan jangan menjadikan saya sebagai perantara antara kamu dengan
penciptamu.” Bahkan, ia menetapkan kepada mereka adanya perantaraan tersebut
dengan mengatakan, “Saya akan mohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku.” Dengan
demikian, ia menjadikan dirinya sebagai perantara (wasillah) bagi
puteranya kepada Allah.”
Ulama
Wahabi itu merasa kesulitan untuk menolak ayat-ayat yang jelas dan gamblang
tersebut, yang tidak dapat diragukan dan tidak juga bisa ditakwil. Ia berkata,
“Tidak ada kaitannya antara diri kita dan Ya’qub. Dia dari golongan Bani Israil
yang syariatnya telah dihapus dengan syariat Islam.” Saya jawab, “Saya akan memberikan kepada Anda
dalil dari syariat Islam yang dibawakan oleh Nabi Muhammad SAWW. Begini
ayatnya: “Dan
kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin
Allah. Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu
memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka,
tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”
(QS. An-Nisaa: 64). Mengapa dalam ayat ini Allah SWT menyuruh mereka datang
kepada Rasulullah SAWW untuk memohonkan ampun bagi mereka kepada-Nya, dan
Rasulullah SAWW pun memohonkan ampun bagi mereka. Ini merupakan dalil yang
pasti bahwa Rasulullah SAWW adalah perantara mereka kepada Allah, dan Allah
tidak akan mengampuni mereka kecuali dengan perantaraannya.”
Para
hadirin berkata, “Ini merupakan dalil yang kuat.” Ulama Wahabi itu merasa
terpojok, lalu melantur dengan mengatakan, “Itu benar manakala beliau masih
hidup, tetapi laki-laki itu telah mati sejak empat belas abad yang lalu.” Saya berkata dengan penuh keheranan,
“Bagaimana Anda bisa mengatakan bahwa Rasulullah SAWW seorang laki-laki yang
telah mati? Rasulullah itu hidup, dia tidak mati.” Ia menertawakan ucapan saya
dan sambil mengejek ia berkata. “Al-Qur’an telah mengatakan kepadanya: Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka juga akan mati pula.”
(QS. Az-Zumar: 30). Saya menjawab, “Al-Qur’an sendiri berkata: Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang
gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan mereka itu hidup, tetapi
kamu tidak menyadarinya.” (QS.
Al-Baqarah: 154).
Ulama
Wahabi itu berkata, “Ayat-ayat tersebut berbicara tentang para syuhada, yaitu
orang-orang yang gugur di jalan Allah, dan tidak ada hubungannya dengan
Muhammad (SAWW).” Saya menjawab, “Subhanallah, walaa hawla walaa quwwata
illa billaah! Apakah Anda akan menurunkan kedudukan Nabi Muhammad, kekasih
Allah, di bawah derajat orang syahid? Anda seolah-olah ingin mengatakan bahwa
Ahmad Ibn Hanbal mati syahid di sisi Tuhannya dan diberi rizki, sedangkan
Rasulullah SAWW mati seperti kematian yang lain?! Ia berkata, “Ini yang
dikatakan al Qur’an al Karim.” Saya katakan, “Alhamdulillah. Kini telah
terungkap bagi kami jati diri Anda, dan hakikat pandangan Anda. Anda telah
berupaya dengan sungguh-sungguh menghilangkan peninggalan-peninggalan
Rasulullah SAWW, sampai-sampai Anda hendak menggusur makamnya sebagaimana Anda
telah menggusur rumah tinggal yang di dalamnya beliau telah dilahirkan.”
Tuan
rumah menyela dan mengingatkan dengan mengatakan, “Kita tidak boleh keluar dari
ruang lingkup al Qur’an dan Sunnah, sebagaimana yang telah kita sepakati
bersama.” Saya meminta ma’af, lalu melanjutkan, “Yang penting bahwa teman kita
ini telah mengakui telah dibolehkannya bertawasul di masa hidup Rasulullah
SAWW, dan menafikannya setelah wafatnya.” Semua yang hadir berkata, “Memang
benar demikian.” Kemudian, mereka bertanya kepada ulama Wahabi tersebut, “Anda
telah menyepakati bahwa bertawasul dibolehkan di masa hidup Rasulullah SAWW?”
“Ya, dibolehkan di masa hidupnya, namun sekarang tidak karena beliau telah
wafat,” jawabnya.
Saya
berkata, “Alhamdulillah, untuk pertama kalinya penganut Wahabi mengakui
dibolehkannya bertawasul. Sungguh, ini merupakan kemenangan yang besar.
Izinkanlah saya hendak menambahkan bahwa bertawasul itu dibolehkan bahkan
setelah wafatnya Rasulullah SAWW.” Ulama Wahabi itu berkata, “Demi Allah, tidak
dibolehkan. Yang demikian itu termasuk syirik.” Saya katakan, “Tenang. Anda
jangan tergesa-gesa dan jangan bersumpah, nanti Anda akan menyesalinya.” “Berikan
dalil dari Al-Qur’an yang berbicara tentang itu,” pintanya. Saya jawab, “Anda meminta hal yang mustahil,
karena turunnya wahyu telah terputus dengan wafatnya Muhammad SAWW. Maka mau
tak mau harus berargumentasi dari kitab-kitab hadits.”
Ia
berkata, “Kami tidak menerima hadits, kecuali jika hadits itu shahih. Adapun yang
dikatakan Syi’ah, kami tidak menerimanya.”
Saya
berkata, “Apakah Anda mempercayai hadits-hadits yang terdapat dalam kitab
Shahih Bukhari, ia merupakan kitab hadits yang paling benar setelah Kitabullah
di kalangan Anda?” Ulama Wahabi itu berkata sambil keheranan, “Bukhari
membolehkan tawasul?” Saya jawab, “Benar. Ia mengatakan demikian. Namun
sayangnya, Anda tidak membaca apa yang terdapat dalam kitab-kitab shahih Anda.
Meski demikian, Anda bersikeras dengan pendapat Anda. Bukhari telah
meriwayatkan dalam kitab shahihnya bahwa Umar Ibn Khattab, jika musim paceklik
tiba, ia meminta turun hujan dengan perantaraan Abbas Ibn Abdul Muththalib
dengan berkata:
“Ya,
Allah sesungguhnya kami bertawasul kepadaMu dengan perantaraan Nabi kami SAWW,
maka turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, sesungguhnya kami bertawasul
kepadaMu dengan perantaraan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada
kami.” Perawi berkata “Maka turunlah hujan kepada mereka.” (Lihat Shahih Bukhari, vol 4, halaman 209,
kitab: Awal Penciptaan, bab: Manaaqib Ja’far ibn Thalib sebelum manaaqib
kerabat Rasulullah (SAWW). Saya berkata
lebih lanjut, “Inilah Umar Ibn Khattab, seorang sahabat yang mulia dalam
pandangan Anda, dan Anda tidak meragukan keikhlasannya, kekuatan imannya, dan
kebaikan ibadahnya. Bukankah Anda mengatakan: “Kalau sekiranya ada Nabi setelah
Muhammad, niscaya Umar Ibn Khattab-lah orangnya.” Anda sekarang dihadapkan
kepada dua hal, dan tidak ada pilihan yang ketiga: Mengakui bahwa tawasul
termasuk bagian dari agama Islam, dan mengakui perkataan Umar Ibn Khattab:
“Sesungguhnya kami bertawasul kepada-Mu dengan perantaraan Nabi kami SAWW, dan
dengan perantaraan paman Nabi kami.” Ini merupakan pengakuan bahwa ia
bertawasul pada masa Nabi SAWW masih hidup dan setelah beliau wafat. Atau, Anda
akan mengatakan, bahwa Umar Ibn Khattab musyrik, karena menjadikan Abbas Ibn
Abdul Muththalib sebagai perantaraannya kepada Allah. Sedang diketahui
bahwa Abbas itu bukanlah seorang Nabi, bukan seorang Imam, dan bukan juga
termasuk Ahlul Bayt, yang telah Allah SWT hilangkan dari mereka noda dan doa,
dan Allah sucikan sesuci-sucinya.”
“Di
samping itu, Bukhari, yang merupakan imam muhaddist di kalangan Anda, yang
meriwayatkan kisah di atas, mengakui keshahihan di atas. Kemudian, Bukhari
menambahkan: “Jika menghadapi musim paceklik, mereka memohon hujan dengan
perantaraan Abbas. Kemudian, hujan pun turun.” Artinya, bahwa Allah SWT
mengabulkan permohonan mereka.”
“Dengan
demikian, Bukhari dan para muhaddist dari kalangan sahabat yang telah meriwayatkan
kisah ini, begitu juga semua kalangan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang meyakini
kitab Shahih Bukhari, dalam pandangan Anda adalah musyrik?!” Ulama Wahabi itu
berkata, “Kalau memang benar hadits itu shahih, maka itu merupakan hujjah
bagi Anda.” “Bagaimana itu merupakan hujjah bagi saya?!”, tanya saya. Ia
berkata, “Karena Sayyidina Umar tidak bertawasul kepada Nabi SAWW, sebab beliau
sudah mati. Dia bertawasul kepada Abbas, karena masih hidup.” Saya berkata,
“Sesungguhnya perbuatan dan ucapan Umar Ibn Khattab bukan merupakan hujjah
bagi saya, dan bukan pula merupakan timbangan, hanya saja saya memaparkan
riwayat itu untuk berargumentasi atas topik yang sedang dibahas, yaitu
pengingkaran Anda dan pengingkaran semua Ulama Anda atas tawasul, dan
menganggapnya sebagai perbuatan syirik.”
“Saya
jadi bertanya-tanya; mengapa ketika kemarau Umar Ibn Khattab tidak bertawasul
kepada Ali Ibn Abi Thalib, yang kedudukannya di sisi Muhammad SAWW itu sama
dengan kedudukan Harun di sisi Musa. Tidak ada seorangpun dari kaum Muslim yang
mengatakan bahwa Abbas lebih utama daripada Ali. Namun, ini pembahasan lain
yang bukan menjadi fokus pembahasan kita. Saya merasa puas sekarang Anda
mengakui dibolehkannya bertawasul kepada orang yang masih hidup. Ini merupakan
kemenangan besar bagi saya. Saya memuji Allah yang telah menjadikan hujjah kami
dapat diterima; sedangkan hujjah anda tertolak. Jika memang demikian
persoalannya, maka saya sekarang akan bertawasul di hadapan Anda semua.”
Kemudian
saya pun berdiri menghadap kiblat dan berdo’a: “Ya,
Allah. Kami mohon kepadaMu dan bertawasul kepadaMu dengan perantaraan hambaMu
yang shaleh, Imam Khomeini” (Pada waktu debat ini berlangsung, Imam Khomeini masih hidup).
Mendengar itu, tiba-tiba Ulama Wahabi itu tersentak dan mengutuk serta
berteriak: A’uudzu billah, a’uudzubillah, dan cepat-cepat lari keluar. Para
hadirin saling memandang satu sama lain sambil berkata: “Sungguh mengherankan.
Betapa sering ia berhujjah atas kami dan mengecam kami. Kami kira ia berada
dalam kebaikan yang banyak, ternyata sebaliknya.” Salah seorang yang hadir
berkata, “Innaa lillahi wa inna ilayhi raaji’uun. Ya Allah, saya
bertobat kepadaMu. Lalu ia melihat kepada saya seraya berkata: “Sungguh,
sebelum ini saya sangat terpengaruh dengan ucapan-ucapannya, dan bahkan hingga
hari ini tadi saya masih mengakui pendapatnya yang menyatakan bahwa tawasul itu
adalah perbuatan syirik kepada Allah. Kalau saya tidak hadir di majelis ini,
tentu saya tetap berada dalam kesesatan. Saya mengucapkan syukur kepada Allah
dan kepada Anda.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar