Oleh
Ayatullah
Mahdi Hairi Yazdi
Merupakan
realitas yang sangat logis dan jelas bahwa apabila filsafat ingin menegakkan
integritas dan kesatuan sistematis penalaran akal manusia, maka dia perlu
menyatukan semua bentuk, kerangka, dan manifestasi pengetahuan serta
mendudukkannya kepada kekuatan penilaian kesadaran intelektual manusia yang
menduduki posisi paling utama. Dalam upaya merealisasikan pekerjaan yang begitu
rumit ini, filsafat Barat modern sejak awal telah termotivasi untuk
menyingkirkan klaim-klaim kesadaran tertentu dari ranah dan wilayah pengetahuan
manusia, dan menggolongkannya sebagai sebuah ungkapan gairah atau
lompatan-lompatan imajinasi belaka. Hal ini dilakukan supaya logika-logika
filsafat tidak mengalami kekacauan, kerancuan, dan mengakibatkan disintegrasi
kesadaran dan pengetahuan mendasar. Sebagai contoh, karena
pengalaman-pengalaman mistik dipahami dan dijelaskan dengan kualitas-kualitas
rasional dalam artian bahwa pengalaman-pengalaman mistik tersebut yang
melahirkan klaim tertentu tentang kesadaran dan pengetahuan hakiki terhadap
dunia realitas, dengan demikian penyelidikan dan pengkajian filosofis diberi
tanggung jawab untuk menegaskan kebenaran atau kepalsuan pengalaman-pengalaman
mistik tersebut dimana sebagai kemungkinan bagi sumber pengetahuan lain selain
dari akal manusia. Sementara hal yang sama bisa dikatakan mengenai masalah
pengetahuan dan kesadaran tentang diri sendiri, masalah pengetahuan kita
tentang penginderaan dan perasaan kita, pengetahuan kita tentang
fakultas-fakultas pemahaman kita, dan pengetahuan kita tentang tubuh kita,
penalaran teoritis dituntut untuk memeriksa kedudukannya dalam seluruh bahasan
dan kajian filosofis mengenai kesadaran dan makrifat manusia. Akan tetapi,
filsafat modern sangat mengecam dimasukkannya spesies-spesies pengetahuan yang
bersumber dari pengalaman mistik ini ke dalam batang tubuh pemikirannya demi
mempertahankan kesatuan pemahaman rasional. Sekalipun begitu, pengabaian
filsafat terhadap jenis pengetahuan intuitif ini tidaklah berarti bahwa
filsafat telah membuktikan ketidakbenaran dan ketidakvalidan jenis-jenis
pengetahuan ini.
Dalam
kenyataannya, pengkajian ini akan menjelaskan bahwa bentuk-bentuk pengetahuan
mistik ini dapat dimasukkan ke dalam penyelidikan filosofis dan bisa mengikuti
kaidah-kaidah filsafat, serta sejalan dengan sistem pemikiran logis, bahkan
akan memacu lebih jauh tentang penelitian mengenai hakikat eksistensi.
Penelusuran sejarah konsep ilmu hudhuri akan membuktikan kebenaran yang sudah
sangat jelas dan aksioma ini serta bertindak sebagai pendahuluan bagi
pengkajian terhadap logika-logika pengetahuannya serta implikasi-implikasinya
bagi filsafat. Gagasan ilmu hudhuri tidak hanya merupakan warisan historis tapi
ia sendiri juga merupakan pelaku sejarah yang mengakibatkan hadirnya dikotomi
antara filsafat Islam dan filsafat Barat, yang keduanya bersumber dari tradisi
filsafat Hellenistik. Alasan mengapa filsafat Islam memberikan kedudukan yang
tinggi pada mode pengetahuan primordial (pengetahuan intuitif dan mistik)
seperti itu, yang dengan dasar inilah telah melahirkan jarak dengan tradisi
analitik Barat, merupakan sebuah pertanyaan yang sangat menarik dan sangat
penting. Mungkin benang merah atas jawaban pertanyaan ini terletak pada kualitas
metodologi filsafat Islam dan Barat dalam mencerap dan memetakan pemikiran
Yunani. Tinjauan selintas terhadap sejarah pembentukan filsafat Islam akan
memberikan petunjuk yang jelas mengenai hal ini, dan juga akan menjelaskan
signifikansi utama gagasan ilmu hudhuri dalam filsafat Islam, dan cara dimana
pemikiran filosofis awal, dengan perantaraan ilmu hudhuri ini, telah
mengarahkannya pada pencapaian teori-teori sistimatik yang berhubungan dengan
ilmu hudhuri ‘isyraqi.[1]
Semenjak
zaman Plato dan Aristoteles arus utama mengenai tradisi epistemologi telah
berselisih pendapat dalam masalah yang paling mendasar tentang pengetahuan
rasional manusia, dan melahirkan dua jalur yang berbeda secara diametrik.
Pertama,
terdapat pandangan Platonik dimana pengetahuan intelektual merupakan refleksi
akal pikiran manusia mengenai obyek-obyek yang satu, tunggal, universal, tak
berubah, dan nonmateri. Dalam pandangan ini, pengetahuan intelektual dalam
kenyataannya adalah penyaksian akal terhadap obyek-obyek dalam wilayah yang
transenden (di alam nonmateri). Bentuk-bentuk dimana sebagai obyek pengetahuan
transenden kita, pada hakikatnya memiliki eksistensi yang nyata dan metafisik
serta merupakan wujud-wujud yang terlepas dari pikiran manusia atau benda-benda
fisik yang mandiri, Plato mengembangkan gagasannya tentang “realitas sejati”
sebagai bidang rujukan obyektif bagi pengetahuan akal kita. Realitas sejati ini
dicirikan sebagai sesuatu yang mempunyai kekuatan sebagai sumber pengetahuan
dalam pikiran kita dan kemampuan untuk membentuk realitas segala sesuatu di
alam kesadaran kita dengan berdasarkan pada hakikat segala sesuatu itu di alam
eksternal atau hakikat-hakikat yang sebenarnya.[2]
Berlawanan dengan itu, Plato meletakkkan “hakikat” itu sebagai lahan bagi
lahirnya suatu keyakinan atau, yang sebagaimana dinyatakan oleh F.M. Cornford,
ditempatkannya di antara realitas dan non-realitas”, sedemikian sehingga orang
tidak bisa mewujudkan konsepsi yang stabil, baik sebagai wujud atau bukan
wujud, atau bukan kedua-duanya.[3]
Dalam kenyataannya, teori Plato tentang pengetahuan bisa dipandang sebagai pola
“persepsi akal” dan bukannya sebagai “konseptualisasi dan abstraksi teoritis
akal”.
Plato
menjabarkan apa-apa yang dapat dicapai dari persepsi intelektual sebagai
berikut, “Pendakian untuk “melihat” sesuatu di dunia transenden, bisa Anda
anggap sebagai perjalanan jiwa ke arah atas memasuki wilayah-wilayah yang bisa
dipahami, kemudian Anda akan menjumpai apa yang telah saya perkirakan dan
yakini, karena inilah yang sebenarnya yang ingin disampaikan kepadamu. Hanya
Tuhan yang tahu bahwa hal itu benar atau tidak, bagaimanapun begitulah yang
tampak bagi saya. Dalam dunia pengetahuan dan makrifat, hal terakhir yang harus
“dipersepsi” dan hanya bisa tercapai dengan usaha yang keras adalah Bentuk
Esensial Kebaikan. Jika ia telah “dipersepsi”, maka akan muncul kesimpulan
bahwa inilah sebab dari segala yang benar dan baik dalam segala hal, di dunia
yang tampak, ia melahirkan cahaya dan pemilik cahaya, sementara ia sendiri
berdaulat dalam akal budi dan dalam kebenaran. Tanpa memiliki “penglihatan”
tentang Bentuk ini tak seorang pun bisa bertindak dengan bijaksana, baik dalam
kehidupannya sendiri ataupun dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan
negara”.[4]
Kedua,
terdapat pandangan dan perspektif antitesis terhadap metodologi berpikir
Platonis tersebut. Gagasan ini, sebagaimana dinyatakan oleh Aristoteles,
menegaskan kenyataan bahwa tidak ada keidentikan dan kesatuan antara “melihat”
dengan “mengetahui”[5], karena mengetahui tidak pernah berarti
melihat jika tidak ada benda atau objek terinderai yang bisa dilihat. Jadi,
persoalan sentral bagi Aristoteles adalah: Apakah mengetahui itu, jika ia lebih
dari melihat dan jika tidak ada obyek-obyek anteseden di dunia obyektif yang
bisa dilihat, adalah sama seperti Bentuk-bentuk Platonis?
Apabila
orang setuju dengan Aristoteles bahwa “Ide-ide” (mutsul) Plato itu tidak
memiliki kenyataan dan bahwa “penglihatan akal” yang merupakan konsekuensi dari
Ide-ide anteseden dan Bentuk-bentuk Platonis ini bukan yang sesungguhnya
membentuk esensi pengetahuan akal manusia, maka orang pasti dihadapkan pada
masalah: Kalau begitu, apa obyek-obyek sejati pengetahuan akal manusia? Sebagai
contoh, apabila realitas murni sebuah segitiga tidak mewujud di dunia yang
nyata, dan pengetahuan akal kita mengenai segitiga qua segitiga tidak diperoleh
melalui persepsi akal tentang realitas murni sebuah segitiga, maka bagaimana
orang bisa memiliki pengetahuan intelektual mengenai sebuah segitiga? Kalau
realitas murni sebuah segitiga tidak ada di antara benda-benda yang terindera
secara lahiriah, maka pendapat Aristoteles menghadapi masalah. Dengan tujuan
untuk menjawab permasalahan inilah Aristoteles berupaya menyuguhkan analisisnya
yang terkenal mengenai pengetahuan akal sebagai berikut, “Pengetahuan dan
penginderaan akan terbagi sesuai dengan objek-objeknya, pengetahuan dan
penginderaan potensial untuk mencerap dimensi-dimensi potensialitas, dan
pengetahuan dan penginderaan aktual untuk mencerap aspek-aspek aktualitas. Di
dalam jiwa, fakultas pengetahuan dan penginderaan, obyek-obyek itu terdapat
secara potensial, yang pertama adalah yang bisa diketahui, dan yang kedua
adalah yang bisa diinderai. Obyek-obyek tersebut haruslah benda itu sendiri
atau bentuk-bentuknya. Alternatif yang disebut terlebih dahulu tentu saja tidak
mungkin, karena bukan batu itu sendiri, misalnya, yang ada dalam jiwa,
melainkan bentuk dan gambaran batu itu sendiri. Dengan sendirinya bisa
dikatakan bahwa jiwa analogi dengan tangan, sebab sebagaimana tangan adalah
alat dari alat-alat, begitu pula pikiran adalah bentuk dari bentuk-bentuk dan
indera adalah bentuk dari benda-benda yang bisa diinderai.
Karena
menurut argumen umum tidak ada sesuatu yang berada di luar dan terpisah dalam
eksistensinya dari benda-benda langit yang besar yang dapat diinderai, maka
niscaya tidak akan ada obyek-obyek pikiran – baik itu obyek-obyek abstrak
maupun semua keadaan dan afeksi hal-hal yang terindera- dalam bentuk-bentuk
yang terindera. Dari sini (1) tak seorang pun bisa mengetahui atau memahami
sesuatu dalam ketiadaan indera-indera, dan (2) ketika pikiran secara aktif
mencerap sesuatu dan mendapatkan pengetahuan maka niscaya bahwa pengetahuan ini
mempunyai bentuk-bentuk imajinasi, sebab bentuk-bentuk imajinasi itu seperti
bentuk-bentuk inderawi kecuali bahwa bentuk-bentuk imajinasi itu tidak
mengandung materi.[6]
Kesimpulannya,
karena Aristoteles jelas-jelas menafikan eksistensi benda-benda yang bisa
dicerap di luar dari fitrah manusia dan terpisah dari maujud-maujud materi yang
terkait dengan ruang dan waktu, maka dari itu, dia tidak setuju dengan Plato
bahwa pengetahuan intelektual sebenarnya adalah persepsi akal terhadap
obyek-obyek yang terpisah. Karena itu, ketika tidak ada rujukan obyektif yang
bisa ditemukan untuk penyaksian akal, maka penyaksian itu terbukti hanya
sebagai hasil rekayasa imajinasi belaka. Konklusinya, obyek-obyek sejati bagi
akal-pikiran adalah dalam bentuk-bentuk yang dapat terinderai secara lahiriah
dan akan menjadi pengetahuan rasional melalui suatu “abstraksi”.
Perbedaan
ekstrim antara kedua pendekatan ini yang terjadi sejak awal sejarah filsafat
telah membawa kepada pemeriksaan masalah pengetahuan melalui dua pendekatan
yang berbeda itu, yakni pendekatan Plato dan pendekatan Aristoteles. Seiring
dengan perkembangan tradisi filsafat Barat, pembagian ini menjadi demikian
jelas dan mengesampingkan adanya kesatuan tujuan akhir dari kedua madzhab
pemikiran tersebut, hingga banyak filosof modern kemudian menyimpulkan bahwa
filsafat Platonik dan Aristotelian pada hakikatnya bertolak belakang secara
mutlak, dan karenanya upaya apapun untuk membawa keduanya ke dalam kesatuan yang
sistematis akan berujung kepada kesia-siaan belaka. Adanya perbedaan sudut
pandang filosofis yang ekstrim ini, membuat permasalahan epistemologis mengenai
pengetahuan intelektual atau transenden manusia menjadi sulit terselesaikan.
Oleh karena itu, baik tradisi filsafat Platonik maupun Aristotelian yang telah
sedemikian berusaha untuk sampai pada pengetahuan intelektual yang dibedakan
dari pengetahuan empiric yang bersifat inderawi itu, ketidaksepakatan kedua
maktab ini mengenai jalan yang harus ditempuh – baik sebagai “penglihatan”
rasional atas benda-benda yang bisa dilihat oleh akal ataupun “abstraksi” dari
pengalaman-pengalaman inderawi kita – telah menimbulkan suatu kebingungan pada
upaya menemukan fondasi pra-epistemik yang mendasar bagi pengetahuan transenden
manusia.
Sejak
awal mula sejarah filsafat Islam telah terdapat suatu kesepakatan bulat untuk
menegakkan landasan bersama di antara kedua maktab itu, Platonik dan
Aristotelian, dalam masalah pengetahuan manusia. Pada prinsipnya, pendekatan
filsafat Islam menunjukkan bahwa kedua sistem epistemologi yang tampaknya
bertolak belakang itu, Platonik dan Aristotelian, bisa diaplikasikan dalam
kerangka dan konstruksi filosofis yang sederhana dengan tujuan agar sampai pada
solusi dan jawaban yang memuaskan terhadap masalah-masalah pengetahuan manusia.
Dalam hal ini, filsafat Islam berpendirian bahwa akal-pikiran pada hakikatnya
ditetapkan untuk berfungsi dalam berbagai cara pada waktu yang sama; karena di
satu pihak akal-pikiran itu bersifat perseptif terhadap substansi-substansi
yang bisa dipahami dan di lain pihak dia bersifat spekulatif terhadap
obyek-obyek yang bisa terinderai secara lahiriah. Sekalipun demikian, filsafat
Islam jauh melampaui upaya-upaya untuk sampai pada penyelesaian perbedaan antara
Plato dan Aristoteles, dan menunjukkan kekurangan-kekurangan analitis mereka.
Filsafat Islam beranggapan bahwa seperti halnya analisis Aritotelian tentang
“abstraksi” meskipun tidak harus ditolak, tetap tidak mampu memberikan solusi
dan penyelesaian yang komprehensif dan memuasakan terhadap masalah-masalah
pengetahuan akal. Demikian pula teori Plato tentang “persepsi” akal pun tidak
bisa dipandang sebagai penanganan yang tuntas terhadap masalah-masalah
tersebut. Filsafat Islam, sementara didasarkan pada fusi pendekatan Plato dan
Aristoteles, pada akhirnya meluas melampaui batas-batas kedua madzhab ini, dan
menegaskan bahwa baik pandangan Plato maupun Aristoteles dapat ditegakkan
kembali di atas pengertian primordial pengetahuan, yang maknanya akan menjadi begitu
fundamental dan radikal hingga semua bentuk dan tingkatan pengetahuan manusia
bisa direduksikan kepadanya. Terdapat beberapa konsepsi berhubungan dengan
pengertian primordial kesadaran dan pengetahuan ini dalam kesederhanaan yang
dengannya semua penerapan kata “pengetahuan” bertemu bagaikan garis-garis yang
bertemu pada satu titik pusat. Dengan ungkapan lain, mesti ada satu landasan
dan pijakan ontologis bagi “abstraksi” maupun “penyaksian” akal sehingga semua
jenis dan ragam makrifat dan pengetahuan manusia bisa terwujud darinya.
Tentu
saja, kita harus mengakui bahwa metode filsafat ini dirintis oleh kaum
Neoplatonis “pagan” yang bermula dengan Plotinus dan berakhir pada Proclus di
Barat. Merekalah yang mula-mula menggunakan gagasan “emanasi”, “pengetahuan
dengan kehadiran”, dan “pencerahan”, yang semuanya berfungsi sebagai
langkah-langkah menuju pandangan filsafat Islam mengenai landasan ontologis
tertinggi dari semua pengetahuan. Kaum Neoplatonis tak syak lagi telah
memberikan kontribusi besar bagi penyelesaian masalah-masalah penting dalam
filsafat, dan secara khusus memberikan tilikan-tilikan baru ke dalam masalah
pengetahuan mistik dan pemahaman mengenai Yang Esa dan Yang Tunggal. Tanpa
presenden yang penting ini, akan sulit membayangkan bahwa filsafat Islam di
kemudian hari akan mampu mensistematisasi pendekatannya dengan sukses.
Dalam
filsafat Dionysus khususnya terdapat pembahasan tentang beberapa prinsip
iluminasi yang telah lanjut yang bisa memudahkan penyusunan sebuah sistem
filsafat. Oleh karena itu, sementara adalah pemikir-pemikir Muslim yang
melibatkan diri dalam sistemisasi ajaran-ajaran para pendahulu mereka,
prinsip-prinsip iluminasi yang digunakan dalam rumusan-rumusan mereka – seperti
yang didasarkan pada gagasan emanasi dan konsep ilmu hudhuri – dimulai dan
dikembangkan secara eksklusif oleh kaum Neoplatonis. Akan tetapi, kaum
Neoplatonis pada umumnya tidak menaruh perhatian terhadap masalah-masalah
mendasar yang dikemukakan di sini, yakni apakah ada dasar-dasar eksistensial
bagi semua mode pemahaman dan epistemologi manusia atau tidak, yakni
dasar-dasar bagi semua mode pengetahuan manusia. Adakah landasan bersama bagi
penyaksian akal atas Bentuk-bentuk Platonik, pengetahuan abstrak Aristoteles,
pengetahuan tentang diri, pengetahuan inderawi, serta pengetahuan mistik?
Madzhab filsafat awal ini (Neoplatonis) tidak secara eksplisit mengidentikkan
mode primordial pengetahuan itu dengan tingkatan-tingkatan eksistensial
realitas diri itu sendiri, meskipun ketika menjumpai masalah mistisisme dia
menyentuh dasar tersebut dan berbicara tentang sejenis ilmu hudhuri, sebagai
lawan dari pengetahuan biasa yang berkaitan dengan hubungan subyek-obyek
(pengetahuan hushuli). Lebih jauh lagi, Neoplatonisme tidak mencirikan
pengertiannya tentang ilmu hudhuri melalui kebenaran mistik tentang Yang Esa
yang bisa timbul dalam pikiran manusia sebagai salah satu bentuk ilmu hudhuri.[7]
Akan tetapi, dalam filsafat pencerahan (Iluminasi) Islam semua langkah ini ada
secara nyata, dan menjelaskan apa yang dimaksud dengan ilmu hudhuri yang
didasarkan pada pengungkapan historis filsafat Islam. Elaborasi arus pertama
penafsiran Islam mengenai filsafat Hellenik dan Hellenistik pada akhirnya
membawa kepada munculnya sistem pencerahan dalam filsafat Islam, yang
didasarkan pada kebenaran logis ilmu hudhuri. Hadirnya ketidakpercayaan
terhadap proses historis ini sendiri telah melahirkan pandangan yang penting
untuk kemudian memacu suatu pengkajian terhadap konsep ilmu hudhuri.
Catatan Kaki:
[1] . Ungkapan metode filsafat pencerahan (isyraqi)
yang secara resmi digunakan oleh Suhrawardi untuk ilmu hudhuri. Lihat H.
Corbin, Kitab Al-Masyari’wa Al-Mutharihat, Opera Metaphysica et Mystica
(Istanbul, 1945) jilid 1, hal. 474-89. Ilmu hudhuri (pengetahuan dengan
kehadiran, kesadaran swa-obyek, teori swa-obyektifitas, pengetahuan
swa-obyektif, pengetahuan non-intensional, pengetahuan non-fenomenal, dan
pengetahuan non-representasional) adalah suatu pengetahuan yang berhubungan
langsung dengan hakikat sesuatu dan bukan gambaran atau bentuk sesuatu itu.
Pengetahuan jenis hadir secara langsung dalam jiwa manusia dan tidak dihasilkan
melalui pemahaman, pemikiran, dan abstraksi akal terhadap objek-objek
eksternal. Oleh karena itu, ilmu ini bertolak belakang dengan ilmu hushuli
(pengetahuan rasional dan konsepsional).
[2] . Plato, The Republic, (v. 474, B-480).
[4] . Ibid, vol. 7, hal. 517.
[5] . Aristoteles, De Anima, buku ketiga, B. 422-29.
[6] . Op. cit, bab 7-8, B. 431-32.
[7] . Membicarakan masalah ilmu hudhuri, Plotinus terkadang
nampak menghubungkan dirinya kepada sejenis “pengetahuan” mengenai Ketunggalan,
seperti ketika dia menulis: “Dalam keadaan suci dari semua keburukan dalam niat
kita terhadap Yang Baik, kita harus naik kepada hal yang prinsipil dalam diri
kita sendiri, dari yang banyak dan jamak, kita harus menuju ke yang Tunggal,
hanya dengan demikianlah kita bisa mencapai pengetahuan tentang Kesatuan dan
yang prinsipil (The Enneads, terj. Stephen Mackenna; London, 1967, VI9,
paragraph 3.) Akan tetapi, terkadang Plotinus dengan terang-terangan menafikan
adanya kemungkinan “mengetahui” dan “kesadaran” akan sesuatu yang prinsipil ini
dengan menyatakan: “Dalam mengetahui, jiwa atau pikiran meninggalkan
kesatuannya; dia tidak bisa tetap tinggal sebagai sesuatu yang tunggal (al-basith),
mengetahui berarti memperhitungkan segala sesuatu; perhitungan tersebut
bersifat majemuk, pikiran terjun ke dalam jumlah dan kemajemukan dengan
beranjak dari kesatuan”. (The Enneads, VI9, paragraph 4). Semua
ini berarti bahwa dia sebenarnya tidak membedakan antara kedua jenis
pengetahuan tersebut. Sekalipun begitu, lingkup pembedaan seperti itu dan
bagaimana dia mesti dirancang secara logis tidak muncul dalam The Enneads.