oleh
Yahya
Hasan Al-Bantani
“Selain
Rusia dan Iran, Hizbullah adalah pemain kunci yang turut mengalahkan
begundal-begundal ISIS buatan Amerika, Israel, NATO Arab yang digawangi Rezim
Wahabi Saudi dkk. Paramiliter Islam Syi’ah ini didirikan oleh para petinggi
agama di Iran, Libanon, dan Irak, dengan melandasi diri mereka pada semangat
Asyura. Sementara itu, penyumbang persenjataan terbesar mereka adalah Iran,
selain mereka juga menggunakan persenjataan buatan Rusia”.
“Tanpa revolusi Imam Husain,
maka Islam akan berubah menjadi pemberi stempel pemerintahan imperialis
sebagaimana yang terjadi sebelum Islam”
HIZBULLAH adalah organisasi politik
dan paramiliter Muslim Syi’ah yang berbasis di Libanon. Hizbullah didirikan
pada tahun 1982 dan mempunyai pengaruh besar dalam politik Libanon dengan
memberikan pelayanan sosial, mendirikan sekolah-sekolah, rumah sakit, membuka
daerah pertanian serta perlayanan lainnya untuk ribuan Muslim Syi’ah Libanon.
Dengan sendirinya, Hizbullah kemudian dianggap sebagai cermin gerakan
perlawanan di dunia Arab dan Muslim dunia.
Pada awalnya para pemimpin Hizbullah
mengatakan bahwa gerakan ini bukanlah sebagai sebuah organisasi, oleh karena
itu tidak mempunyai kartu anggota, hiraki kepemimpinan dan struktur organisasi
yang jelas. Sejarah kelahiran Hizbullah memiliki kaitan erat dengan revolusi
Islam di Iran –di bawah pimpinan Ruhullah Al-Musawi Khomeini pada tahun 1979.
Semenjak tahun 1982 Hizbullah mulai mendapatkan legalitas dalam memberikan
perlawanan terhadap penjajah Israel di Lebanon. Pada tahun 1985 Hizbullah
secara resmi mendukung Revolusi Islam di Lebanon. Strategi politik dan militer
Hizbullah pun dinilai sukses, terbukti dengan hengkangnya Zionis Israel yang
didukung Amerika, Perancis dkk dari tanah Libanon pada tahun 2000.
Berdirinya organisasi Hizbullah
tidak terlepas dari spirit Islam Syi’ah yang berkiblat ke Madrasah Ad-Diniyah
Najaf Irak dan partai dakwah Islam yang diketuai oleh Muhammad Baqir As-Shadr
di Irak. Lembaga ini telah mencetak generasi-generasi militan Syi’ah di
Lebanon. Satu di antaranya adalah Musa As-Shadr, pendiri Harakah AMAL (Batalyon
Perlawanan Libanon).
Ketika kancah perpolitikan Libanon
mulai nampak keruh pada tahun 1978, Musa As-Shadr tiba-tiba menghilang dari
kancah perpolitikan. Bersamaan dengan itu muncullah nama Muhammad Husain
Fadlullah sebagai figur di dunia pendidikan dan politik, yang secara tidak
langsung memengaruhi kondisi perpolitikan di Libanon. Namanya kian mencuat
seiring dengan berdirinya Hizbullah. Bahkan ia sempat dinobatkan sebagai
pimpinan spiritual Hizbullah. Akan tetapi ia menolaknya. Namun tak seorang pun
memungkiri kiprah Fadlullah dalam memajukan Hizbullah –baik dalam bidang
politik maupun militer.
Berbicara Hizbullah sangat dekat
dengan organisasi Muslim Syi’ah di Libanon dan memiliki hubungan dengan Negara
Islam Iran. Sebab, pendiri utama Hizbullah adalah kebanyakan dari kalangan
Tokoh Muslim Syi’ah. Salah seorang Tokoh kalangan Syiah adalah Musa Al-Shadr,
yang lahir di kota Qum, Iran, di salah satu daerah yang bernama Zaqaq ‘Isyaq
Ali (Asyqali). Musa Al-Shadr disebut sebagai Bapak Spiritual Hizbullah. Pada
tanggal 25 Agustus 1978, Musa Al-Shadr pergi ke Libya dan bertemu dengan
Kolonel Moammar Qaddafi.
Namun setelah itu beliau hilang
tanpa jejak. Beberapa media mengatakan bahwa Libya dicurigai telah membunuh
Musa Al-Shadr akibat perselisihan tajam antara Qaddafi dengan Musa Al- Shadr
perihal peran Libya di balik perang saudara Libanon pada tahun 1970-an.
Strategi dan Doktrin Hizbullah
Paradigma baru Hizbullah tidak
terlepas dari peran ideolog sekaligus pemimpin Hizbullah, Sayid Hasan
Nasrallah. Pasca tewasnya Imad Mughniyeh, sang komandan perangnya yang dibom
agen Israel di Damaskus, 12 Februari 2008, Nasrallah menjelaskan pergeseran
paradigma dan doktrin perang Hizbullah. Menurut Nasrallah, gerakan perlawanan
telah memasuki proses tahapan ketiga dari “perlawanan bersenjata yang
mengandalkan perlawanan rakyat secara spontan” menjadi “aksi militer bersenjata
yang terorganisir”. Kini perlawanan memasuki tahap akhir, dengan “memanfaatkan
mazhab baru perang yang belum ada sebelumnya, yakni kombinasi peran tentara
regular dengan pejuang gerilya”.
Hizbullah sukses mensintesiskan
metode konvensional dengan non-konvensional, baik strategi, taktik, senjata
maupun organisasi. Hizbullah bergerak dari sebuah kelompok perlawanan menjadi
tentara perlawanan. Dalam level strategi, gerakan Hizbullah berevolusi dari
kelompok gerilya klasik yang berhasil memaksa Israel mundur dari Lebanon
selatan di tahun 2000 menjadi “kekuatan perlawanan quasi konvensional” yang
mampu mencegah pasukan Israel melakukan pendudukan lagi.
Nasrallah menjelaskan perubahan
radikalnya tersebut sebagai berikut: “Saya membedakan antara kelompok
perlawanan yang berperang melawan tentara regular yang menduduki suatu wilayah
dan mereka melakukan operasinya dari dalam wilayah tersebut atau sering disebut
perang gerilya dengan kelompok perlawanan yang melawan agresi yang hendak
mencaplok wilayah dengan mencegah mereka dari melakukan hal itu dan menimpakan
kekalahan atas mereka. Kelompok perlawanan tidak lagi membebaskan wilayah itu
namun mencegah agresi musuh.”
Hingga tahun 2000, konsep perlawanan
Hizbullah sejalan dengan pengertian konvensional, kelompok pembebasan rakyat
yang berjuang melawan pendudukan asing. Misi satu-satunya adalah mengusir
penjajah. Namun pasca penarikan mundur tentara Israel di tahun 2000, Hizbullah
mengembangkan doktrin militernya yang difokuskan mencegah Israel menyerang
Libanon. Oleh karena itu, definisi perlawanan diperluas dengan mencakup
kemampuan menghadapi invasi dan melawan ancaman pendudukan. Melalui
rekonstruksi konsep perlawanan seperti ini, yakni menjalankan misi
mempertahankan wilayah Libanon dari serangan musuh, maka gerakan ini memerankan
diri mereka sebagai aparat militer negara.
Penggabungan kedua strategi itu
terefleksikan dalam kemampuan mereka menggunakan pelbagai jenis persenjataan
dasar yang biasanya dipakai kalangan gerilyawan, disamping juga sistem
persenjataan modern yang sebanding dengan persenjataan yang dimiliki beberapa
negara. Bukan hanya itu saja yang membentuk keunikan gerakan perlawanan itu
selama perang, karena keterbatasannya, Hizbullah juga mampu mensistesiskan
keterampilan atas keduanya (penggunaan senjata dasar dan modern) secara lebih
kreatif.
Misalnya, Hizbullah sukses
melumpuhkan Israel Utara dengan tembakan rutin roket jarak pendek Katyusha tipe
kuno. Hizbullah mampu menghindari sergapan tameng anti misil Israel yang
canggih. Hizbullah mampu memetik nilai strategis dari persenjataan kuno yang
dimilikinya. Meski demikian, Hizbullah juga menggunakan roket artileri jarak
menengah yang lebih modern sehingga mampu menghantam kota-kota besar Israel
termasukTel Aviv.
Yang cukup mengejutkan, Hizbullah
mampu memberikan serangan kejutan atas kapal perang Israel dengan misil anti
kapal yang dipandu radar. Misil ini diduga adalah varian dari misil China
C-802. Selain mengembangkan model baru yang sejenis, Hizbullah juga menggunakan
misil anti tank model kuno buatan Rusia seperti AT-3 Sagger, AT-4 Spigot dan
AT-5 Spandrel serta model yang lebih canggih seperti AT-14 Kornet, AT-13
Metis-M dan RPG 29. Hasilnya, Hizbullah sukses menewaskan banyak prajurit
Israel, selain menghantam ratusan tank dan kendaraan tempur mereka.
Dalam perang elektronik, Hizbullah
berhasil menetralisir keunggulan teknologi Israel dengan cara yang sangat
sederhana. Dalam berkomunikasi, Hizbullah hanya mengandalkan sistem fiber optik
darat ketimbang memanfaatkan jaringan nir-kabel yang lebih canggih. Hizbullah
dapat menghindari upaya pengacauan sinyal elektronik Israel. Dengan demikian,
pasukan Hizbullah dapat bergerak leluasa, lepas dari pantauan peralatan
elektronik Israel. Walhasil, sistem kendali komando tetap berjalan dengan baik
selama perang.
Sebaliknya, Hizbullah berhasil
menyusup kedalam sistem elektronik Israel dan mengumpulkan data intelijen
secara canggih. Keberhasilan itu tidak terlepas dari pesawat pengintai tanpa
awak Mirsad-1 buatan Iran yang dimilikinya. Pesawat itu mampu menembuh wilayah
udara Israel di 2004 tanpa terdeteksi. Pesawat itu mampu menyadap pembicaraan
telpon selular antara para tentara Israel dengan keluarganya. Hizbullah juga
mampu memecah sandi komunikasi radio Israel sehingga dapat melacak pergerakan
tank Israel serta memonitor laporan korban dan rute suplai.
Faktor itu pula yang mendorong
Israel mengembangkan Trophy System (TAPS). Sistem ini dilengkapi radar untuk
melacak misil yang datang. Agustus 2009, Israel menanam alat ini dalam tank
Merkava generasi terbarunya. Sebelumnya, banyak tank Israel yang menjadi korban
dalam perang tahun 2006.
Ideologi Gerakan Hizbullah
Syaikh Naim Qassem, Wakil Sekretaris
Jenderal Hizbullah, suatu kali pernah menegaskan bahwa Hizbullah memiliki model
gerakan yang berbeda dengan model-model gerakan Islam lain. Salah satu dasar
perbedaan itu ialah perbedaan dalam memaknai konsep jihad di antara
gerakan-gerakan Islam itu sendiri. Hizbullah, misalnya, memiliki konsep jihad
yang defensif dan bersandarkan pada legitimasi moral keagamaan yang kuat, yang
secara konsisten diistilahkan dengan muqâwamah (perlawanan, resistence) sebagai
ganti dari istilah generik jihad. Penggunaan istilah khas ini bertujuan untuk
memisahkan Hizbullah dari ideologi-ideologi gerakan Islam lain yang
mengagungkan jihad ofensif (ibtidâi) tanpa dasar-dasar legitimasi moral
keagamaan yang kokoh. Hal ini terungkap semakin jelas dengan digunakannya nama
Al-Muqâwamah Al-Islâmiyyah (Perlawanan Islam) pada sayap militer Hizbullah.
Watak defensif dari ideologi jihad
Hizbullah semakin tampak jelas melalui tema dan figur utama yang diangkatnya,
yakni jihad Imam Husain di hari Asyura yang datang dengan segelintir keluarga
dan sahabatnya yang berjumlah tidak lebih dari 72 orang untuk menghadapi ribuan
pasukan Yazid di Karbala. Imam Husain menjadi model pengorbanan dan darah yang
mengalahkan pedang. Imam Husain mengajarkan prioritas masyarakat di atas
individu, betapa pun agung dan suci individu tersebut. Jika perbaikan suatu
masyarakat dan penegakan keadilan membutuhkan pada pengorbanan individu atau
sekelompok orang, maka individu atau kelompok itu wajib berkorban di jalan
tersebut. Meskipun Imam Husain seolah-olah mengalami kekalahan militer di hari
Asyura, namun kemenangan abadi justru telah diraihnya dengan gugur sebagai
syahid di jalan kebenaran dan keadilan.
Tanpa revolusi Imam Husain, maka
Islam akan berubah menjadi pemberi stempel pemerintahan imperialis sebagaimana
yang terjadi sebelum Islam.
Dalam hampir semua diskursus Hizbullah
tentang jihad, semangat perlawanan Asyura itulah yang paling ditonjolkan
–semangat melawan tanpa kenal menyerah dan menjadikan kesyahidan sebagai sarana
menggapai kemenangan abadi di hadapan keganasan dan kebrutalan yang tidak
mengenal batas. Asyura merupakan ideologi dan strategi jihad yang menempatkan
pengorbanan diri di jalan maslahat kebenaran, kebaikan dan keadilan terbesar.
Disamping itu, ideologi jihad
Hizbullah terikat secara keagamaan dengan lembaga wilâyah al-faqîh yang
berfungsi sebagai pengendali strategis dalam segenap aktivitas jihad. Dengan
demikian, Hizbullah meletakkan ideologi dan strategi jihadnya dalam kerangka
legitimasi keagamaan dan tidak membiarkan ideologi berjalan secara terpisah
dari strateginya. Interaksi ideologi dan strategi ini melahirkan konsep jihad
yang utuh, koheren dan berpijak pada Islam yang autentik.
Hizbullah menolak takfir –dan dengan
demikian tidak menyatakan permusuhan dengan kelompok-kelompok Muslim lain.
Bahkan, dalam banyak kesempatan, Hizbullah menekankan pada pentingnya persatuan
dan kesatuan umat Islam.