Ketika aku sampai di
Bashrah, untuk mencari tempat tinggal aku pergi ke salah satu masjid. Di masjid
itu ada seorang alim Sunni, Arab tulen. Namanya Syeikh Umar Ath-Thâ`i. Aku
perkenalkan diriku dan beramah-tamah dengannya. Tetapi sejak pandangan pertama,
lelaki ini sudah curiga kepadaku. Ia bertanya di mana aku berasal, soal nasab
dan keluargaku. Ia juga menyelidiki hal-ihwalku. Mungkin karena warna kulit dan
logat bicaraku yang membuat dirinya ragu. Tetapi aku berusaha meyakinkan
dirinya bahwa aku dari keturunan Aghdir di Turki, aku murid Syeikh Ahmad di
Astana, aku pernah bekerja sebagai tukang kayu di juragan Khalid dan
seterusnya…
Apa saja yang kuketahui
dan kualami selama aku di Turki kuceritakan padanya, dan aku sempat bicara
beberapa kata bahasa Turki. Dengan berhati-hati Syeikh memberi isyarat kepada
salah satu hadirin, bahwa aku bicara bahasa Turki atau tidak!? Orang yang
mencoba mengetesku, mengisyaratkan kepadanya dengan jawaban positif. Aku senang
sekali bahwa aku berhasil meyakinkan Syeikh. Tetapi dugaanku, kepercayaannya
terhadapku hanya siasatnya saja. Aku yakin hal ini ketika setelah beberapa
hari, diam-diam ia memandangku curiga. Dan menduga bahwa aku seorang mata-mata
Turki. Aku mengetahui kecurigaannya setelah jelas bahwa Syeikh adalah seorang
penentang walikota yang dipilih pemerintah. Antara keduanya saling tuding dan
berburuk sangka.
Alhasil mau tidak mau,
aku harus hengkang dari masjid milik Syeikh Umar dan pindah ke Khan, tempat
penginapan para turis dan musafir. Di sana aku sewa kamar. Pemilik penginapannya
seorang pandir yang setiap pagi rajin mengganggu istirahatku. Awal waktu subuh
dia sudah mendatangi kamar dan menggedor pintu dengan keras, untuk
membangunkanku salat subuh. Dan aku harus menuruti cara doktrinnya dan aku
bangun untuk salat subuh, kemudian ia menyuruhku membaca Al-Qur`an sampai
matahari terbit. Ketika aku katakan bahwa membaca Al-Qur`an itu tidak wajib
(sunnah), “lalu kenapa ia memaksaku sedemikian rupa?”.
“Tidur di waktu pagi
akan menyebabkan kemiskinan dan malapetaka bagi penginapan dan penghuninya”
jawabnya. Maka mau tidak mau aku menuruti kata-katanya, salat di awal waktu dan
kemudian membaca Al-Qur`an selama satu jam lebih pada setiap hari. Karena kalau
tidak, ia akan mengusirku.
Kesulitanku tak hanya
berhenti sampai di situ, ketika suatu hari pemilik lain penginapan itu yang
bernama Mursyid Afandam menemuiku, mengatakan padaku, “Sejak Anda menginap di
sini, banyak masalah yang aku hadapi dan pikiranku hanya tertuju padamu, dan kupikir
kaulah sebabnya. Sebab kau seorang bujang sedangkan bujangan itu membawa sial.
Maka pilihlah salah satu dari dua hal ini: kau menikah atau tinggalkan
penginapan ini!”. Kujawab, “Aku tidak punya harta untuk persiapan menikah (aku
takut jika mengatakan bahwa aku tidak punya sesuatu yang semestinya dimiliki
kaum lelaki umumnya, lalu ia mencoba melihat auratku apakah benar apa yang aku
katakan?). Jika aku beralasan dengan uzur ini, maka ia pasti ingin tahu
kebenarannya.
Afandam berkata
kepadaku, “Wahai yang imannya lemah, bukankah Anda membaca firman Allah, “Jika
mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunianya”. Aku sangat bingung dan bimbang dengan perkara
ini, apa yang harus kuperbuat? Dengan alasan apa harus kujawab? Akhirnya aku
katakan kepadanya, “Baiklah, lalu bagaimana aku menikah tanpa harta? Apakah Anda
bersedia membantuku dengan harta yang cukup atau Anda temukan untukku seorang
perempuan yang kunikai tanpa mahar?”
Dia berpikir sejenak
kemudian mengangkat kepalanya sambil berkata, “Aku tidak mengerti ucapanmu!
Begini saja, kuberi waktu sampai awal bulan Rajab, jika Anda tidak menikah juga
maka Anda harus pergi dari penginapan ini”. Sementara memasuki awal bulan Rajab masih ada
dua puluh lima hari lagi, dan waktu itu tanggal lima bulan Jumadil tsani. Berkenaan
dengan nama-nama bulan Islam, secara berurutan pertama dimulai bulan: Muharram,
lalu Shafar, Rabi’ul Awal, Rabi’ul Tsani, Jumadil Awal, Jumadil Tsani, Rajab,
Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Menurut perhitungan Hilal,
yang masyhur tidak lebih dari tiga puluh hari dan tidak kurang dari dua puluh
sembilan.
Akhirnya kupecahkan
masalah Afandam, ketika telah kutemukan sebuah tempat milik seorang tukang
kayu. Aku melamar pekerjaan kepadanya dan ia menerimaku bekerja dengan gaji
kecil, dan aku makan dan tinggal di tempatnya. Akhirnya sebelum akhir bulan
(Jumadil Tsani) aku sudah keluar dari penginapan Afandam, dan pindah ke toko
kayu milik Abdur Ridha, juragan kayu yang berbangsa Persia dari desa Khurasan.
Ia seorang Syi’ah, pintar, cerdas dan terhormat. Ia perlakukan aku seperti
anaknya sendiri. Dan tidak aku sia-siakan keberadaan diriku bersamanya untuk
belajar bahasa Persia. Setiap waktu Asar di rumahnya, orang-orang Islam Syi’ah berbangsa
‘ajam (non Arab) berkumpul, berbincang-bincang dari soal politik sampai
masalah ekonomi. Mereka sangat menentang pemerintah mereka sebagaimana mereka
juga menentang Khalifah di Astana. Namun jika muncul perdebatan yang tidak
mereka ketahui, mereka berhenti dan mengalihkan ke pembicaraan masalah-masalah
pribadi mereka.
Aku sendiri tidak
mengerti, mengapa mereka percaya kepadaku. Akhirnya aku tahu bahwa mereka
menyangka aku berasal dari Azerbaijan, mendengar bahwa aku bicara dengan bahasa
Turki. Ditambah warna kulitku yang putih seperti kulit bangsa Azerbaijan.
Dalam keadaan yang
demikian itu, aku berkenalan dengan seorang anak muda yang sering datang ke
toko, namanya Muhammad bin Abdul Wahab. Ia mengerti tiga bahasa: Turki, Persia
dan Arab. Ia pernah belajar ilmu agama, seorang pemuda yang angkuh dan keras
kepala. Ia anti pemerintah Usmaniah, adapun pemerintah Persia ia tidak
berkomentar. Adapun sebab ia bersahabat dengan pemilik toko, bahwa mereka
sama-sama anti Khalifah. Aku tidak tahu, dari mana ia bisa berbahasa Persia
padahal ia seorang Sunni, sedangkan Abdur Ridha adalah seorang Syi’ah? Di
Bashrah adalah hal biasa jika orang Sunni bergaul dengan orang Syi’ah, mereka
seperti saudara. Dan mayoritas penduduk setempat (Bashrah) mengerti bahasa Persia
dan (sudah tentu) Arab. Dan tidak sedikit mereka mengerti bahasa Turki.
Muhammad Abdul Wahab
seorang pemuda yang berpikir bebas, tidak fanatik terhadap Syi’ah –tidak
seperti kaum Sunni umumnya yang fanatik dan anti syi’ah. Hingga sampai pada
batas tokoh-tokoh mereka mengkafirkan orang-orang Islam Syi’ah dan mengatakan
mereka bukan kaum muslimin- sebagaimana ia tidak pernah melihat sebuah
perbandingan untuk mengikuti empat mazhab yang berlaku di antara Sunni. Dan ia
mengatakan, “Sesungguhnya Allah tidak
menurunkan empat mazhab melalui seorang penguasa”.
Adapun riwayat empat
mazhab, ialah bahwa muncul sebuah jalan dari kaum muslimin sesudah lebih dari
satu abad setelah nabi mereka wafat, dengan lahirnya dari mereka empat ulama.
Mereka adalah Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, Malik dan Muhammad bin Idris.
Sebagian khulafa mewajibkan agar kaum muslimin bertaqlid (mengikuti) salah
seorang dari empat imam ini. Dan bahwa tiada seorang alim yang berijtihad di
dalam Al-Qur`an dan sunnah, dan pandangan ini pada hakikatnya menutup pintu
pemahaman mereka dan bahwa pengharaman ijtihad akan menjumudkan kaum muslimin.
Adapun kaum Islam Syi’ah
menggunakan peluang itu dengan mengembangkan mazhab (pemikiran) mereka seluas
mungkin. Sehingga setelah jumlah kaum Islam Syi’ah tidak mencapai angka sepuluh
dari jumlah Sunni, kini jumlah mereka lebih banyak dan menyamai jumlah mereka.
Dan hal yang alami bahwa ijtihad merupakan perkembangan Islam di bidang fikih
dan memperluas pemahaman Al-Qur`an dan sunnah sesuai kebutuhan zaman seperti
senjata yang canggih. Dan sebaliknya pembatasan mazhab dalam metode yang
khusus, dan menutup pintu pemahaman dan pendengaran dari seruan
kebutuhan-kebutuhan zaman, maka itu ibarat senjata yang lemah. Seumpama Anda punya
senjata yang lemah sedangkan musuh Anda bersenjatakan canggih, maka –cepat atau
lambat- Anda pasti berusaha mengalahkan musuh Anda! (Perkiraanku, akan datang
dengan dekat di suatu masa, orang-orang Sunni yang berakal membuka pintu
ijtihad. Jika tidak, maka aku kabarkan kepada kaum Sunni bahwa mereka akan
berlalu pada masa kurun waktu dengan jumlah yang semakin sedikit dan Syi’ah
akan menjadi jumlah yang besar!).
Muhammad bin Abdul
Wahab, si pemuda angkuh ini mengikuti apa yang ia pahami dalam Al-Qur`an dan Sunnah,
dan membandingkan dengan pandangan masyâikh (ulama)-nya. Ia tidak
mengikuti pandangan ulama zamannya dan tidak pula mazhab yang empat. Bahkan ia
menolak pandangan Abu Bakar dan Umar, jika apa yang ia pahami dari Al-Qur`an
berbeda dengan apa yang mereka pahami. Ia mengatakan, “Bahwa Rasulullah pernah
bersabda, “Aku tinggalkan kepada kalian Al-Kitab (al-Qur`an) dan Sunnah, dan
beliau tidak bersabda aku tinggalkan kepada kalian Al-Kitab, Sunnah, Sahabat
dan mazhab-mazhab”. Karena yang wajib diikuti adalah Al-Qur`an dan Sunnah
meskipun pandangan keduanya berbeda dengan pandangan-pandangan mazhab-mazhab
dan sahabat serta ulama.
Pernah ketika ia (dan
kami) bertamu di rumah salah satu ulama Persia (Abdul Ridha), memenuhi undangan
jamuan makan bersama. Kami yang menjadi para tamunya, ialah Muhammad Abdul
Wahab, Syeikh Jawad Al-Qummi (seorang alim Syi’ah), dan aku bersama sebagian
temannya tuan rumah. Terjadi perdebatan seru dan serius antara Muhammad dan
Syeikh, dan aku tidak ingat semuanya dari perdebatan itu, yang aku ingat adalah
poin-poinnya.
Syeikh Al-Qummi berkata
kepadanya, “Jika Anda berpikir bebas dan berijtihad sebagaimana yang Anda nyatakan,
kenapa Anda tidak mengikuti Ali seperti orang-orang Syi’ah?”.
“Karena Ali seperti
Umar dan lainnya yang ucapannya bukan hujjah. Sesungguhnya hanya Al-Qur`an
dan Sunnah lah yang menjadi hujjah,” jawab Muhammad.
Syeikh: “Bukankah
Rasulullah pernah bersabda bahwa “Aku kota ilmu dan Ali pintunya”? Jika begitu
Ali tidak sama dengan sahabat yang lainnya”.
Muhammad: “Jika ucapan
Ali itu hujjah, lalu mengapa Rasulullah tidak mengatakan Kitabullah dan Ali bin
Abu Thalib?”.
Syeikh: “Bahkan beliau
bersabda, Kitabullah dan Itrah Ahlul Baitku, sementara Ali adalah kepala
‘Itrah!”.
Muhammad tidak
menerima bahwa Rasulullah pernah mengatakan demikian. Namun Syeikh memberi
jawaban yang memuaskan sehingga Muhammad diam dan tidak menjawab. Tetapi ia
membantahnya, “Jika Rasulullah mengatakan “Kitabullah dan ‘Itrahku” maka di
mana sunnahnya?”.
“Sunnah Rasul adalah
syarahnya Kitabullah! Ketika beliau mengatakan “Kitabullah dan ‘Itrahku” yang
beliau maksud adalah Kitabullah dengan syarahnya yaitu Sunnah,” jawabnya.
Muhammad: “Kalau
begitu, ucapan Itrah juga merupakan syarah bagi Kitabullah! Lalu apa perlunya
dengan mereka (karena sudah ada sunnah)?”.
Syeikh: “Ketika
Rasulullah wafat, umat membutuhkan syarah Al-Qur`an, sebuah syarah yang sesuai
dengan apa yang dibutuhkan zaman. Karena itu Rasulullah mengembalikan umat
kepada Al-Qur`an sebagaimana asal dan kepada Itrah seperti para pensyarah bagi Al-Qur`an
yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan zaman”.
Aku kagum yang tak
terhingga dengan pembahasan ini. Melihat Muhammad seorang pemuda di hadapan
seorang Syeikh yang sudah berumur tua, seperti seekor burung kecil yang tidak
berkutik dalam gengaman tangan seorang pemburu.
Aku menemukan
kebingunganku selama ini ada pada dirinya (Muhammad bin Abdul Wahab),
kebebasan, keangkuhan dan kekerasannya terhadap masyâikh (ulama) zamannya serta
kemandirian berpikirnya yang tidak mengikut pandangan orang lain jika tidak
sesuai dengan apa yang ia pahami dari Al-Qur`an dan Sunnah, termasuk khulafa
yang empat. Inilah titik kelemahan yang paling menonjol, yang mana dengan itu
aku mampu menjatuhkan dirinya. Jelas pemuda yang sesat ini tidak dapat
dibandingkan dengan Syeikh Turki, yang mana aku pernah belajar dengannya
sewaktu aku di Turki. Syeikh adalah figur salaf yang kokoh seperti gunung. Jika
Syeikh (ia pengikut mazhab Hanafi) hendak menyebut nama Abu Hanifah, ia akan
bangkit dan berwudu kemudian menyebut nama Abu Hanifah. Jika ia ingin mengambil
kitab Al-Bukhari (kitab besar yang amat disucikan oleh Sunni), ia mengambil
wudu terlebih dahulu.
Adapun Muhammad bin
Abdul Wahab sangat mencela Abu Hanifah, dan ia pernah berkata, “Aku lebih paham
dari Abu Hanifah”. Dan juga pernah berkata, “Sesungguhnya separuh kitab Al-Bukhari
adalah batil”.
Aku telah menjalin
hubungan sangat erat dengannya. Ia selalu aku besarkan hatinya dan aku katakan
kepadanya bahwa dirinya lebih utama dari Ali dan Umar. Jika Rasulullah hadir
kembali ke dunia ini, maka ia akan memilihmu sebagai khilafahnya. Dan selalu kukatakan
padanya, “Pikirkanlah, bahwa kemajuan
Islam ada di tangnmu! Kau adalah penyelamat satu-satunya yang diharapkan oleh
Islam yang sedang jatuh ini”.
Aku telah sepakat
dengannya bahwa “kita harus mengkritik penafsiran Al-Qur`an berdasarkan jalan
pemikiran kita, bukan berdasarkan pandangan sahabat dan imam mazhab serta
ulama. Kita membaca Al-Qur`an dan bicara tentang poin-poin darinya (aku
bermaksud menjerumuskannya ke dalam perangkap). Dan ia menunjukkan
sependapat dengan pandanganku dan menampakkan kepribadiannya yang bebas dan
sangat mempercayai aku. Suatu hari aku berkata
kepadanya, “Jihad itu tidak wajib”.
“Bagaimana dengan
firman Allah “dan perangilah orang-orang kafir”?”, sergahnya. Aku
berkata, “Perangilah orang-orang kafir dan munafiqin”. Jika jihad itu wajib,
lalu kenapa Rasulullah tidak memerangi kaum munafik?”.
“Rasulullah memerangi
mereka dengan lisannya”, katanya.
“Kalau begitu jihad
melawan kuffar adalah wajib dengan lisan!” tambahku.
Ia berkata, “Tetapi
Rasul berperang dengan Kuffar”.
“Perangnya Rasul
adalah difa’ mempertahankan nyawa, ketika mereka hendak membunuhnya maka
beliau melawan mereka,” kataku. Akhirnya Muhammad menganggukkan kepalanya tanda
menerima.
Pernah suatu hari aku
bilang kepadanya, “Kawin mut’ah itu boleh”.
“Tidak!” sergahnya.
Aku berkata, “Allah
berfirman, “Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (mut’ah) di antara
mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu
kewajiban..” (An-Nisa Ayat 24).
“Tetapi Umar yang
mengharamkan mut’ah! Dengan mengatakan, “Dua mut’ah yang berlaku di masa
Rasulullah, dan aku yang mengharamkan keduanya dan menghukum siapa yang
melanggarnya”, katanya.
Aku berkata, “Bukankah kau pernah bilang, aku
(Muhammad bin Abdul Wahab) lebih tahu dari Umar, lalu kenapa kau ikut Umar?.
Dan jika Umar mengharamkan apa yang dihalalkan Rasul, mengapa kau tinggalkan
pandangan Al-Qur`an dan Rasul, dan kau ikuti pandangan Umar?”
Ia terdiam. Melihat ia
diam bertanda puas dengan keteranganku, nampaknya bergejolak kebutuhan
biologisnya (sementara ia belum punya istri).
Aku bilang padanya, “Bukankah kita (aku dan kau) adalah orang
bebas dan mengambil halalnya mut’ah dan kita bersenang-senang?”
Ia mengangguk setuju,
dan aku memanfaatkan sikap setujunya itu. Kemudian aku janjikan untuknya
seorang wanita untuk dimut’ah olehnya. Keinginanku ialah membuyarkan rasa
takutnya dari perselisihan antara ia dengan orang lain umumnya. Akhirnya ia
memberi syarat bahwa ini rahasia antara aku dengannya dan tidak memberitahu
namanya kepada perempuan yang akan dimut’ahinya.
Maka aku langsung
pergi ke tempat perempuan-perempuan Nasrani, yang mana mereka adalah para
pekerja kementerian kami. Aku dapatkan seorang wanita yang aku panggil dengan
nama Shafiyah, dan telah aku ceritakan semuanya tentang pemuda ini. Dan pada
waktu yang dijanjikan aku pergi bersama Muhammad, ke rumah Shafiyah yang saat
itu sedang sendirian. Aku bacakan akad nikah mut’ah untuk Muhammad dalam waktu
seminggu, dengan mahar sekian gram emas secara tunai. Aku senangkan hatinya
dari luar sedangkan Shafiyah dari dalam.
Setelah Shafiyah
mengambil hatinya dan memberikan manisnya kemaksiatan yang dilakukan Muhammad
terhadap syariat di bawah naungan pemikiran dan kemandirian pandangannya yang
bebas. Tiga hari kemudian, aku berbincang-bincang panjang dengannya soal bahwa
minuman khamar itu tidak haram. Aku perdaya dirinya dengan menyertakan
dalil-dalil Al-Qur`an dan hadis, dan pada akhirnya aku bilang padanya,
“Dibenarkan bahwa Mu’awiyah dan Yazid serta khulafa Bani Umayyah dan Bani
Abbas, mereka saling menawarkan khamar. Maka mungkinkah mereka itu berada dalam
kesesatan dan kau sendiri dalam kebenaran? Sesungguhnya tidak syak lagi bahwa
mereka itu lebih memahami Kitabullah dan Sunnah Rasul, dan benarkah mereka
tidak mengetahui hal yang haram sementara mereka memahami hal yang makruh dan dibenci?
Sedangkan di kitab-kitab Yahudi dan Nasrani menunjukkan kehalalan khamar, masuk
akalkah bila agama yang satu mengharamkan khamar sedangkan agama yang lain
menghalalkannya? Sementara semua agama berasal dari sisi Tuhan Yang Maha esa!
Kemudian disebutkan dalam riwayat bahwa Umar minum khamar sehingga turun ayat,
“Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)” (Al-Maidah Ayat
91). Bila khamar itu haram maka Rasul akan menghukumnya, tetapi ia tidak
melakukannya maka ini menunjukkan kehalalannya.
Muhammad menyimak
keteranganku dengan penuh perhatian, kemudian ia bangkit sambil mengatakan, “Bahkan dibenarkan dalam riwayat bahwa Umar
mencampur khamar dengan air lalu meminumnya, dan mengatakan jika mabuk, itu
haram. Tetapi jika tidak mabuk maka tidak haram”. Kemudian ia menambahkan
bahwa Umar benar dalam masalah ini, sebab Al-Qur`an mengatakan, “Sesungguhnya
Setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu
lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat
Allah dan sembahyang..” (Al-Maidah Ayat 91). Maka jika khamar itu tidak
memabukkan maka hal itu tidak akan terjadi seperti ayat yang telah kusebutkan,
karena itu khamar tidak dilarang jika tidak memabukkan.
Shafiyah memberitahu
apa yang berlaku, ia berhasil menuangkan khamar keras kepada pemuda ini dan
memberitahuku bahwa ia telah meminumnya sampai mabuk, berkelakuan kasar dan
menyetubuhi dirinya beberapa kali di malam itu. Dan telah aku lihat badannya
lemah lantaran malam itu. Demikianlah aku dan Shafiyah mengendalikan dirinya
sepenuhnya.
Sungguh ini
menggetarkan diriku tentang pesan penting yang dikatakan menteri negara-negara
jajahan, ketika aku mohon izin berangkat, “Kami
telah berhasil mengembalikan Spanyol dari tangan orang-orang kafir (maksudnya
kaum muslimin) dengan khamar dan kesesatan, maka kita harus berusaha
negara-negara yang menjadi milik kami dengan dua formula itu”.
Pada suatu hari, aku
bicara tentang puasa dengan Muhammad, aku katakan, “Sesungguhnya Al-Qur`an
mengatakan “dan berpuasa lebih baik bagimu..” (Al-Baqarah Ayat 184) dan
tidak mengatakan berpuasa wajib bagimu, maka puasa dalam pandangan Islam itu
sunnah dan bukan wajib!” Tetapi ia bangkit dan mengatakan, Hai Muhammad (nama
samaran Mr Hempher), kau ingin mengeluarkanku dari agamaku!?”
“Ya Wahab, agama itu
kesucian hati, keselamatan jiwa dan tiada permusuhan dengan yang lain. Bukankah
Rasulullah pernah bersabda, “Agama itu cinta”? Bukankah Al-Qur`an menyebutkan
bahwa, “Sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yakin” (Al-Hijr Ayat
99). Jadi jika manusia mendapati keyakinan akan Allah dan Hari Akhir, maka
itulah kebajikan hati dan kebersihan amal, dialah orang yang paling utama.
Tetapi dia menggelengkan kepala tanda menolak dan tidak senang.
Pernah aku bilang
kepadanya, “Salat itu tidak wajib”.
“Kok begitu?”
tanyanya.
Aku berkata, “Sebab di
dalam al-Qur`an, Allah berfirman, “Dan dirikanlah salat untuk mengingatku”
(Thaha Ayat 14), maka yang dimaksud salat ialah mengingat Allah swt. Jadi
ingatlah Allah swt sebagai ganti salat!”.
Wahab berkata, “Ya aku pernah dengar, sebagian ulama
mengingat Allah swt di waktu-waktu salat sebagai ganti pekerjaan salat”.
Betapa senangnya
diriku mendengar perkataanya itu, maka aku bumbui pandangannya ini hingga aku
perkirakan bahwa aku dapat mengendalikan jalan pikirannya. Tak lama kemudian
aku melihatnya tidak lagi serius dengan perkara salat, terkadang ia salat dan
terkadang tidak. Terutama di waktu subuh, ia sering meninggalkan salat subuh.
Setelah semalam aku asyik mengobrol panjang dengannya sampai tengah malam
lewat, sehingga mendekati subuh ia kelelahan dan ia tinggalkan salat.
Begitulah aku
tanggalkan pakaian keimanan dari pundak Wahab sedikit demi sedikit. Pernah
suatu kali aku mendebatnya seputar Rasul, tiba-tiba ia langsung menunjuk
wajahku dan melotot, lalu berkata, “Jika
kau bicara lagi soal ini, maka aku tidak mau berteman lagi denganmu”. Aku
khawatir ia akan marah dan benci padaku, karena itu aku menahan diri untuk
bicara soal itu lagi.
Tetapi minimal aku
telah memperdaya dirinya bahwa ia berpegang pada pemikiran yang ketiga, yang
bukan Sunni bukan juga Syi’ah, dan ia sangat menerima pemikiran ini dengan
sepenuhnya karena dirinya dipenuhi dengan kesombongan dan kemandiriannya (yang
kelewatan).
Ditambah dengan
keberadaan Shafiyah yang selalu menemaninya selama seminggu, juga dengan
akad-akad yang diperbaharuinya, sehingga kami benar-benar mengendalikan
dirinya. Aku bilang pada Wahab, “Banarkah Nabi mempersaudarakan antara
sahabatnya?” “Ya”, jawabnya. “Apakah hukum-hukum Islam itu bersifat temporal
atau permanen?”, tanyaku. Ia menjawab, “Permanen, sebab Rasulullah pernah
bersabda, “Halalnya Muhammad adalah halal sampai hari kiamat dan haramnya
Muhammad adalah haram sampai hari kiamat”.
“Jika begitu, mari
kita mempersaudarakan antara aku dan kau, maka terjalinlah persaudaraan antara
ia dan aku. Setelah itu, aku selalu bersamanya dan menemaninya ke mana ia
pergi. Dan aku bersemangat untuk memetik buah hasil dari pohon yang telah
aku tanam sebelumnya. Buah hasil yang paling berharga di masa mudaku.
Setiap bulan, aku
tulis hasil kerjaku kepada kementerian sebagaimana itu sudah menjadi tugasku
sejak aku pergi dari London. Dan jawaban yang aku terima cukup memuaskan
diriku. Aku dan Wahab berjalan di jalan (pemikiran) yang telah kami bangun
berdua dengan langkah-langkah yang cepat, dan aku tidak pernah meninggalkannya
di mana pun ia berada.
Targetku ialah
memperkuat jiwanya yang berpikir sangat bebas dan memperuncing keraguannya. Dan
aku selalu mendukungnya dengan suka cita dan memuji jiwanya yang berapi-api. Dan
terkadang aku bersikap lembut padanya dengan mengatakan, “Kemarin malam aku
mimpi melihat Rasulullah, aku melihatnya seperti yang digambarkan oleh para
penceramah di mimbar-mimbar. Ia duduk di atas kursi dan di sekitarnya sekelompok
ulama yang tidak aku kenal seorang pun dari mereka. Dan aku melihatmu datang
dengan wajahmu yang memancarkan sinar, ketika kamu sampai kepada Rasulullah,
beliau berdiri memuliakanmu dan memelukmu, lalu berkata, “Wahai Muhammad (bin
Abdul Wahab), kau adalah namaku, mewarisi ilmuku dan menduduki kedudukanku
dalam mengatur urusan agama dan dunia”
Kemudian kamu berkata,
“Wahai Rasulullah, aku takut menampakkan ilmuku kepada manusia”. Rasulullah
berkata kepadamu, “Janganlah takut, sesungguhnya kedudukanmu itu tinggi”. Mendengar
kisah mimpiku, dirinya melambung kesenangan, dan bertanya apakah benar mimpimu
itu?” “Ya”, kataku. Setiap ia menanyakan hal itu, aku jawab dengan positif
sampai ia yakin. Dan aku kira, mulai saat itu ia berniat untuk melaksanakan
kewajibannya.