Oleh RausyanFikr
Al-Qur’an adalah sumber pemikiran, sumber hukum dan sumber segala
kebajikan yang esensinya adalah kalam ilahi yang suci. Al-Qur’an adalah pola
bagi hidup dan kehidupan seluruh umat manusia. Maka setiap muslim atau muslimah
wajib mengetahui dan memahami bahwa Kitabullah itu adalah syari’ah dan
risalah-Nya yang umat manusia harus merealisasikannya dalam hidup dan
kehidupannya serta berjalan di atas petunjuk-Nya. Banyak ayat Al-Qur’an yang
menceritakan Ahlulbait atau keluarga Nabi yang disucikan yang antara lain
seperti di bawah ini:
[1] Surah
Al-Ahzab: 33
Dalam ayat ini Allah menyebut mereka Ahlulbait. Dia berfirman:
"Innamâ yuridu l`llâhu liyudzhiba ‘ankumu l`rijsa ahla l`bayt wa
yuthahhirakum tathhirâ". Yang artinya: "Sesungguhnya Allah hendak
menghilangkan al-rijs dari kamu wahai Ahlulbait dan mensucikanmu
sesuci-sucinya." (QS 33/33). Imam Ja’far
Al-Shadiq ditanya mengenai makna al-rijs yang terdapat pada ayat diatas. Beliau
menjawab: "Al-Rijsu itu adalah al-syakk (keraguan)" (Ma’ani
l`Akhbar).
Jika kita tidak taat kepada Allah dalam satu perkara, maka hal itu
telah menunjukkan kepada keraguan kita terhadap-Nya, semakin banyak
ketidaktaatan kita kepadanya, maka semakin besar pula keraguan kita kepada-Nya.
Ahlulbait yang disucikan itu sedikit pun tidak pernah ragu kepada-Nya, oleh
karena itu tidak ada satu pun keburukan atau kemaksiatan yang mereka lakukan.
Dan tidak adanya keraguan dari mereka, dikuatkan dengan pensucian
sesuci-sucinya, yang demikian itu menunjukkan bahwa mereka memiliki sifat
‘ishmah (ma’shum) yang sangat kuat, mereka adalah orang-orang ma’shum (tidak
melakukan dosa dan kesalahan).
Sebagian kaum muslim beranggapan bahwa tafsir ahlul`bayt yang
terdapat pada ayat di atas adalah istri-istri Rasulullah saw, mereka menafsirkan
demikian barangkali dikarenakan awal ayat tersebut ditujukan kepada istri-istri
Nabi yaitu : "Dan hendaklah kamu (istri-istri Nabi) tinggal di rumah-rumah
kamu, dan janganlah kamu bersolek seperti kaum jahiliah yang pertama, dan
dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah serta
Rasul-Nya…".
Tafsir seperti itu tidak benar karena kata ganti (personal
pronoun, dhamir) bagi istri-istri Nabi dan untuk ahlulbait berbeda; untuk
istri-istri Nabi dhamirnya mu`annats (feminine) sedangkan untuk Ahlulbait
dhamirnya mudzakkar (masculine). Kedua, mereka tidak memakai tafsir atau
penjelasan dari Rasulullah dan para sahabatnya, padahal orang yang paling
mengetahui tafsirnya adalah Nabi saw, dan Al-Qur’an telah memerintahkan kita
untuk mengikuti beliau sebagaimana dalam firman-Nya berikut ini (yang artinya):
"Dan telah Kami turunkan Al-Dzikr (Al-Qur’an) untuk kamu jelaskan kepada
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir" (An-Nahl
44).
"Dan tidak Kami turunkan Al-Kitab melainkan agar kamu
jelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan dan sebagai petunjuk serta
rahmat bagi orang-orang yang beriman" (An-Nahl 64).
"Apa yang diperintahkan Rasul kepadamu maka laksanakan dan
apa-apa yang dia larang maka tinggalkanlah, dan ber-taqwa-lah kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat keras siksa-Nya" (QS 59/7).
"Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah
Rasul serta Uli l`amri (para khalifah Rasulullah yang dua belas) dari
kamu…" (QS 4/59).
Kemudian siapakah Ahlulbait yang disebutkan dalam Al-Ahzab 33
menurut Nabi dan sebagian sahabatnya itu? Marilah kita perhatikan beberapa
riwayat berikut ini:
Ummul mu`minin Aisyah mengatakan : "Pada suatu pagi
Rasulullah saw keluar dari rumah) dengan membawa kain berbulu yang berwarna
hitam. Kemudian datang (kepada beliau) Hasan putra Ali, lalu beliau
memasukkannya (ke bawah kain); lalu datang Husain lantas dia masuk bersamanya;
kemudian datang Fathimah, lantas beliau memasukannya; kemudian datang Ali, lalu
beliau memasukannya. Kemudian beliau membaca ayat: ‘Sesungguhnya Allah hendak
menghilangkan keraguan dari kalian wahai Ahlulbait dan mensucikan kalian
sesuci-sucinya’". (Lihat Shahih Muslim bab fadha`il Ahli bayti l`Nabiyy;
Al-Mustadrak ‘ala l`Shahihayn 3/147; Sunan Al-Bayhaqi 2/149 dan Tafsir Ibnu
Jarir Al-Thabari 22/5).
Amer putra Abu Salamah – anak tiri Rasulullah – mengatakan:
"Ketika ayat ini (innama yuridu l`llahu liyudzhiba ‘ankumu l`rijsa ahla
l`bayt wa yuthahhirakum tathhira) diturunkan di rumah Ummu Salamah, beliau memanggil
Fathimah, Hasan dan Husain sedangkan Imam Ali as berada di belakang beliau.
Kemudian beliau mengerudungi mereka dengan kain seraya beliau berdoa: ‘Ya Allah
mereka ini ahlulbaitku maka hilangkanlah dari mereka keraguan dan sucikan
mereka sesuci-sucinya’. Ummu Salamah berkata: ‘Dan aku bersama mereka wahai
Nabi Allah?’ Beliau bersabda: ‘Engkau tetap di tempatmu, engkau dalam
kebaikan’". (Al-Turmudzi 2:209, 308; Musykilu l`Atsar 1:335; Usudu
l`Ghabah 2:12; Tafsir Ibni Jarir Al-Thabari 22: 6-7).
Dari Ummu Salamah bahwa Nabi saw telah mengerudungkan sehelai kain
ke atas Hasan, Husain, Ali, Fatimah lalu beliau berkata, "Ya Allah, mereka
ini Ahlulbaitku dan orang-orang terdekatku, hilangkanlah dari mereka keraguan
dan sucikan mereka sesuci-sucinya". Kemudian Ummu Salamah berkata:
"Aku ini bersama mereka wahai Rasulullah?". Beliau bersabda,
"Sesungguhnya engkau berada di atas kebaikan" (HR Al-Turmudzi 2:319).
Anas bin Malik telah berkata: "Rasulullah saw pernah melewati
pintu rumah Fatimah ‘alayha l`salam selama enam bulan, apabila beliau hendak
keluar untuk shalat subuh, beliau berkata, ‘Salat wahai Ahlulbait! Sesungguhnya
Allah hendak menghilangkan keraguan darimu wahai Ahlulbait dan mensucikanmu
sesuci-sucinya’" (HR Al-Turmudzi 2 : 29).
Itulah beberapa kesaksian dari beberapa kitab rujukan bahwa
Ahlulbait dalam surah Al-Ahzab itu bukan istri-istri Nabi saw melainkan Ali,
Fathimah, Hasan dan Husain sekalipun ayat tersebut digabungkan penulisannya
dengan ayat yang menceriterakan istri-istri Nabi saw sebab di dalam Al-Qur’an
mushhaf ‘Utsmani ini terkadang dalam surah Makkiyyah terselip di dalamnya
beberapa ayat Madaniyyah atau sebaliknya atau satu ayat mengandung dua cerita
seperti pada ayat diatas dan tentu para ulama telah maklum adanya.
[2] Surah Al-Syura:
23
Ketika orang-orang musyrik berkumpul di satu tempat pertemuan
mereka, tiba-tiba berkatalah sebagian dari mereka kepada yang lainnya: Apakah
kalian melihat Muhammad meminta upah atas apa yang dia berikan ? Kemudian
turunlah ayat: "Katakanlah aku tidak meminta upah dari kalian selain
kecintaan (mawaddah) kepada al-qurba" (Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya
Al-Kasysyaf). Kemudian beliau
berkata: Telah diriwayatkan ketika ayat tersebut turun bahwa ada orang yang
bertanya: Wahai Rasulullah, siapakah kerabatmu yang telah diwajibkan atas
kami mencintai mereka? Beliau menjawab: "Mereka itu adalah Ali, Fathimah
dan kedua putranya (Hasan dan Husain)".
Ayat tersebut di atas telah mewajibkan seluruh manusia untuk
mencintai (mengikuti) keluarga Nabi atau Ahlulbait dan mencintai mereka
merupakan dasar di dalam ajaran Islam. Rasulullah saw bersabda (yang artinya):
"Segala sesuatu ada asasnya dan asas Islam adalah mencintai
Ahlulbaitku" (Hadits yang mulia). Dan jika kita membenci mereka maka amal
baik kita akan menjadi sia-sia dan kita masuk neraka. Sabdanya: "Maka
seandainya seseorang berdiri (beribadah) lalu dia salat dan saum kemudian dia
berjumpa dengan Allah (mati) sedangkan dia benci kepada Ahlulbait Muhammad,
niscaya dia masuk neraka." Al-Hakim memberikan komentar terhadap sabda
Nabi ini sebagai berikut: "Ini hadits yang baik lagi sah atas syarat
Muslim" ( Kitab Al-Mustadrak ‘ala l`Shahihayn 3/148).
[3] Surah Ali
‘Imran: 61
Ayat ini disebut sebagai ayat mubahalah karena di dalamnya ada
ajakan untuk ber-mubahalah dengan para Pendeta Nashrani. Adapun terjemahannya:
"Siapa yang menbantahmu tentang dia (Al-Masih) setelah datang kepadamu
ilmu, maka katakanlah (kepada mereka): Marilah, kami memanggil anak-anak lelaki
kami dan (kamu memanggil) anak-anak lelaki kamu, perempuan-perempuan kami dan
perempuan-perempuan kamu dan diri-diri kami serta diri-diri kamu, kita
bermubahalah dan kita tetapkan laknat Allah atas mereka yang berdusta".
Saksi sejarah yang hidup dan kekal yang diriwayatkan ahli-ahli
tarikh dan tafsir telah memberikan kejelasan kepada khalayak akan kesucian
keluarga Nabi saw yaitu Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Ayat tersebut menunjukkan
betapa agungnya kadar dan kedudukan mereka di sisi Allah ‘azza wa jalla.
Diantara kasus yang disampaikan para muarrikh, mufassir dan
muhaddits ialah peristiwa mubahalah, yaitu ketika datang utusan dari masyarakat
Kristen Najran untuk membantah Rasulullah—shalla l`llahu ‘alayhi wa alihi wa
sallam—kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat di atas agar beliau memanggil Ali,
Fathimah, Hasan dan Husain. Beliau keluar membawa mereka ke lembah yang telah
ditentukan dan para pemimpin Kristen pun membawa anak-anak dan
perempuan-perempuan mereka.
Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasysyaf berkata:
"Sesungguhnya ketika mereka diseru untuk bermubahalah mereka mengataakan :
‘Nanti akan kami pertimbangkan terlebih dahulu’. Tatkala mereka berpaling (dari
mubahalah) berkatalah mereka kepada Al-Aqib—yang menjadi juru bicara mereka:
‘Wahai hamba Al-Masih, bagaimanakah menurutmu?’ Dia berkata: Demi Allah, kalian
juga tentu mengetahui wahai umat Nashrani bahwa Muhammad adalah seorang Nabi
dan Rasul. Dia datang kepadamu membawa penjelasan mengenai Isa (Yesus). Demi
Allah tidak ada satu kaum pun yang mengadakan mubahalah dengan seorang Nabi
lalu mereka hidup. Dan jika kalian melakukan mubahalah dengannya niscaya kalian
semua pasti binasa, dan apabila kalian ingin tetap berpegang kepada ajaran
kalian maka tinggalkan orang tersebut dan pulanglah ke kampung halaman
kalian".
Keesokan harinya Nabi saw datang dengan menggendong Husain dan
menuntun Hasan dan Fathimah berjalah di belakang beliau sedang Ali berjalan di
belakang Fathimah. Nabi bersabda: "Bila aku menyeru kalian maka berimanlah!".
Melihat Nabi dan Ahlulbaitnya, berkatalah uskup Najran : "Wahai umat Kristen,
sungguh aku melihat wajah-wajah yang sendainya mereka berdoa kepada Allah agar
Dia (Allah) menghilangkan sebuah gunung dari tempatnya pasti doa mereka akan
dikabulkan, oleh karena itu tinggalkan mubahalah sebab kalian akan celaka yang
nantinya tidak akan tersisa seorang Kristen pun sampai hari kiamat".
Akhirnya mereka berkata: "Wahai Abul Qasim, kami telah
mengambil keputusan bahwa kami tidak jadi bermubahalah, namun kami ingin tetap memeluk
agama kami." Rasul bersabda: "Jika kalian enggan mubahalah maka
terimalah Islam bagi kalian dan akan berlaku hukum atas kalian sebagai mana
berlaku atas mereka (muslimin yang lain)."
Kemudian Al-Zamakhsyari--rahimahu l`llah--menjelaskan kedudukan Ahlulbait
ketika menafsirkan ayat mubahalah, setelah dia menjelaskan keutamaan mereka
melalui riwayat dari Aisyah dengan mengatakan: "Diantara mereka ada yang
diungkapkan dengan anfusana (diri-diri kami); ini adalah untuk mengingatkan
akan tingginya kedudukan mereka dan ayat ini adalah dalil yang sangat kuat
dari-Nya atas keutamaan ashhabu l`kisa` (Ahlulbait)—‘alayhimu l`salam".
Pertunjukan mubahalah yang tidak terjadi itu telah menampilkan dua kekuatan
yaitu iman versus syirik, dan manusia-manusia mukmin yang tampil waktu itu
(Rasulullah, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain) adalah para tokoh petunjuk, umat
terkemuka dan orang-orang suci. Seruan mereka tidak boleh dibantah dan kalimat
mereka tidak boleh didustakan. Dari sini kita dapat memahami bahwa apa-apa yang
datang dari mereka baik pemikiran, syari’ah, tafsiran, petunjuk maupun
pengarahan adalah berlaku; mereka adalah orang-orang yang benar dalam
ucapannya, perjalanan hidupnya dan tingkah lakunya.
Al-Qur’an telah menganggap setiap yang berlawanan dengan mereka
adalah musuh-musuh, dan menjadikan musu-musuh mereka sebagai orang-orang yang
berdusta serta berpaling dari kebenaran yang sepantasnya mendapat laknat dan
azab.” Maka kami jadikan laknat Allah atas mereka yang berdusta."
Dan juga dari segi bahasa yang sangat dalam pada ayat tersebut
yang harus kita perhatikan, yakni ketika mereka disandarkan kepada Nabi, Hasan
dan Husain disebut sebagai "anak-anak kami", Fathimah sebagai
perempuan-perempuan kami" dan Ali sebagai "diri-diri kami". Di
sini Imam Ali disandarkan kepada diri Nabi yang suci.
Sesungguhnya Rasulullah -shalla l`llahu ‘alayhi wa alihi wa
sallam-hanya mengeluarkan empat orang ke arena mubahalah, ini berarti
memberikan penjelasan kepada kita bahwa Fathimah Al-Zahra` -‘alayha l`salam-
perempuan pilihan yang harus diteladani umat manusia; Imam Hasan dan Imam Husain
-‘alayhima l`salam- adalah anak-anak umat yang wajib kita taati sedangkan Imam
Ali -‘alayhi l`salam- adalah dianggap diri Nabi sendiri.
Ahlulbait dalam
Sunnah Nabi saw
Orang yang membaca sunnah-sunnah Nabi saw, perjalanan hidupnya dan
memperhatikan hubungannya dengan Ahlulbaitnya yang telah ditegaskan di dalam
Al-Quran yakni Ali, Fathimah dan kedua putranya, pasti dia mengetahui bahwa
Ahlulbait Nabi mempunyai tanggung jawab risalah dengan umat ini. Rasulullah saw
telah menggariskannya untuk umat agar mereka menerimanya sebagai perinyah dari
Allah ‘azza wa jalla.
Langkah pertama yang ditempuh Nabi saw ialah melaksanakan perintah
Allah, yaitu menikahkan Fathimah kepada Ali bin Abi Thalib. Beliau menanam
pohon yang diberkati agar cabang-cabangnya menjangkau segala ufuk umat ini di
sepanjang sejarahnya.
Tentang pernikahan itu Nabi bersabda kepada Imam Ali—salam atasnya:
"Sesungguhnya Allah telah memerintahkanku agar aku menikahkanmu kepada Fathimah
dengan mahar empat mitsqal perak jika engkau rela dengan yang demikian."
Dia berkata: "Aku rela dengan yang demikian."
Dari pernikahan yang diberkati itu lahir Imam Hasan dan Imam
Husain. Dan dari sulbi Imam Husain lahir sembilan Ahlulbait Nabi yang suci.
Dzurriyyah (keturunan) Nabi melalui sulbi Imam Ali as sebagaimana yang beliau
katakan: "Sesungguhnya Allah telah menjadikan keturunan setiap nabi dari
sulbinya, tetapi dzurriyyahku dari sulbi orang ini (yakni Ali)."
Cerita Ahlulbait Nabi saw dalam sunnahnya lebih banyak lagi, baik
tentang Fathimah sebagai sayyidatu nisa` l`’alamin, pengangkatan Ali sebagai
khalifah Nabi yang pertama, Ahllulbait sebagai padanan Al-Qur’an, kedudukan
mereka, dua belas imam maupun yang lainnya. Di sini kita ceritakan dua hal
saja, yaitu yang paling mengikat: Ahlulbait sebagai bahtera keselamatan dan
Ahlulbait padanan Al-Qur’an.
Bahtera
Keselamatan
Abu Nua’im telah meriwayatkan hadits yang sanadnya dari Sa’id bin
Jubayr dari Ibnu Abbas ra dia berkata bahwa Rasulullah saw telah mengatakan:
"Perumpamaan Ahlulbaitku pada kamu adalah semisal bahtera Nuh—‘alayhi
l`salam—barangsiapa yang mengikutinya pasti selamat dan yang berpaling darinya
pasti dia tenggelam." Hadits Nabi ini diriwayatkan Al-Hakim dalam
Al-Mustadrak ‘ala l`Shahihayn 2/343. Dia berkata: Hadits ini sah berdasarkan
persyaratan Muslim. Pesan dari sunnah Nabi ini ialah bahwa kita hanya akan selamat
jika mengikuti Ahlulbait Nabi yang disucikan.
Padanan Al-Qur’an
Ahlulbait telah dijamin kesuciannya, mereka yang menjaga tafsir
Al-Qur’an dan sunnah-sunnah Rasul, mereka yang menjaga kesucian ajaran Islam
dari penambahan dan pengurangan, dari bid’ah, khurafat dan takhayyul.
Supaya umat tidak tersesat, maka Rasulullah saw berpesan kepada
manusia agar tida tersesat jalan, sabdanya: "Wahai umat manusia!
Sesungguhnya telah kutinggalkan pada kamu yang apabila kamu berpegang dengannya
kamu tidak akan tersesat; kitab Allah dan ‘itrah Ahlulbaitku" (HSR
Al-Turmudzi 2/308).
Ahlulbait
Dikenal Umat Terdahulu
Ahlulbait telah dikenal oleh umat-umat terdahulu, antara lain oleh
Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Musa—salam atas mereka. Nabi Adam –salam
atasnya--telah bermohon kepada Allah dengan hak mereka. Ibn Abbas telah berkata:
"Saya telah bertanya kepada Rasulullah saw tentang kalimat-kalimat yang
telah diterima Adam dari Rabb-nya hingga Dia menerima taubatnya. Nabi saw
bersabda: "Dia telah bermohon (kepada Allah): Dengan hak Muhammad, Ali,
Fathimah, Hasan dan Husain terimalah taubatku, lalu Dia menerima
taubatnya" (Al-Durr al-Mantsur ketika menafsirkan firman Allah ‘azza wa
jalla: "fatalaqqa ‘Adamu min Rabbihi kalimat" (QS. Al-Baqarah 37),
baca juga kitab Kanzu l`‘Ummal 1:234.
Sebuah team ahli peneliti Rusia telah menemukan tumpukan kayu
bekas kapal Nabi Nuh as yang di dalamnya terdapat tulisan doa tawassul dengan
Nabi Muhammad saw dan Ahlulbaitnya. Mohammad, Ali, Hassan, Hossain, Fatema.
Pada bulan Juli tahun 1951, sebuah team riset Rusia di sekitar
gunung Judi di perbatasan Uni Soviet dan Turki secara tidak sengaja, mereka
menemukan beberapa kuburan tumpukan kayu-kayu yang telah bobrok yang tersusun
secara luar biasa. Di antara tumpukan kayu tersebut ditemukan satu plat kayu
yang berukuran sekitar 10 x 14 inci. Pada palat kayu tersebut terukir beberapa
kalimat dalam bahasa kuno yang sudah tidak dikenal. Pada tahun 1953 pemerintah
Uni Soviet menunjuk sebuah komisi peneliti yang terdiri dari tujuh orang ahli
(untuk meneliti penemuan tersebut), mereka menyimpulkan bahwa tumpukan kayu itu
adalah bagian bahtera Nabi Nuh—‘alayhi l`salam--yang terkenal itu. Dan
kata-kata yang terukir pada plat kayu adalah kata-kata dari bahasa Samani,
yaitu suatu bahasa yang sudah sangat tua. Kata-kata tersebut telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia dan Inggris oleh Prof. N.F. Thomas, seorang
ahli bahasa-bahasa kuno dari Manchester, Inggris.
Pada plat kayu itu terdapat ukiran telapak tangan dengan lima
jari. Pada kelima jari tersebut terdapat tulisan masing-masing: Muhammad, Ali,
Hasan (syabar), Husayn (Syubayr), dan Fathimah. (Di bawahnya terdapat doa
tawassul kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan mereka): "Wahai Tuhanku,
wahai penolongku, aku berdoa dengan kemurahan-Mu melalui tubuh-tubuh suci yang
Engkau ciptakan, mereka terbesar dan termulia, tolonglah aku melalui nama
mereka (Muhammad, Imam Ali, Fatimah, Imam Hasan dan Imam Husain), engkaulah
yang mendatangkan cahaya". Plat kayu itu
sekarang terpelihara dengan aman pada Museum Arkeologi dan Riset, Moscow, Uni
Soviet. (Sumber: The Bulletin of The Islamic Center "UNDER SIEGE"
P.O. BOX 32343 Wahington D.C. N.W. 20007 Vol. 7 No. 10 Rabi al-Awwal 6,
1408/Oktober 30,1987)