Oleh
Muhammad
Husain Haekal
Tindakan
Muhammad Saw yang mengirim utusan-utusan memang
luarbiasa menakjubkan. Betapa tidak! Belum selang tigapuluh tahun sesudah itu
daerah-daerah tempat Muhammad
mengirim utusan-utusannya
itu telah dimasuki
oleh kaum Muslimin dan sebagian
besar mereka telah
beragama Islam. Akan
tetapi ketakjuban akan segera
hilang bila kita ingat, bahwa
kedua imperium raksasa ini, yang telah mengemudikan jalannya
dunia masa itu, dengan
peradabannya yang telah menguasai
seluruh dunia, mereka ini saling
memperebutkan kemenangan materi, sementara kekuatan
rohani keduanya sudah rontok dan
hilang. Persia sendiri sudah terbagi antara paganisma dan
Mazdaisma. Demikian juga agama
Kristen di Bizantium sudah goyah sekali karena adanya pelbagai macam
aliran sekta dan
golongan. Ia
sudah tidak lagi merupakan suatu ajaran yang utuh,
yang dapat menggerakkan dan memberi tenaga hidup ke dalam jiwa
manusia. Malahan ia sudah
berbalik menjadi sekadar upacara-upacara serta tradisi
yang dielu-elukan oleh
pemuka-pemuka agama kedalam pikiran
orang-orang awam supaya
dapat mereka itu dikuasai dan
diperkuda. Sedang ajaran baru yang dibawa
oleh Muhammad dasarnya adalah
kekuatan rohani yang murni. Ia dapat mengangkat martabat manusia
ke tingkat yang
lebih tinggi sesuai dengan sifat kemanusiaannya. Apabila materi
dan rohani itu bertemu, kepentingan yang bersifat sementara bertentangan dengan yang
abadi sifatnya, maka
segala materi dan yang bersifat sementara itu akan kalah
adanya.
Disamping
semua itu, baik Persia mau pun Bizantium,
dengan besarnya kekuasaan yang
ada pada mereka, sebenarnya
mereka sudah sama-sama kehilangan tenaga
inisiatif dan kreatifnya. Dalam bidang pemikiran, dalam
mengembangkan selera dan bekerja mereka hanya sekedar meniru dan
meneruskan yang ada.
Segala macam pembaruan dianggap
bid'ah (menyimpang dari agama) dan setiap penyimpangan adalah sesat.
Masyarakat
manusia seperti pribadi manusia dan seperti
setiap makhluk hidup juga, ia selalu berkembang setiap hari. Kalau ia masih
muda belia, maka perkembangannya bersifat membentuk, membangun dan
menambaqh vitalitas dalam
hidupnya sendiri. Dengan demikian, hidupnya itu akan menyusut
terus-menerus, ia akan meluncur
turun sampai ke
dasarnya yang terakhir. Masyarakat manusia yang sudah
meluncur turun sampai kedasarnya itu, nasibnya akan dibentuk dalam bentuk yang baru
samasekali oleh unsur dari luar dengan segala kesemarakan hidupnya. Unsur dari luar yang penuh dengan tenaga hidup yang
bersemarak itu, di samping Persia dan
Bizantium, adanya bukan
di bilangan Tiongkok atau
India, juga bukan
di tengah-tengah Eropa, melainkan unsur itu ialah Muhammad
sendiri.
Sudah
wajar sekali bila ajarannya yang
segar bersemarak itu akan
dapat mengembalikan denyutan
hidup baru yang
penuh vitalitas ke dalam jiwa yang sedang mengalami kehancuran dari dalam
itu, yang disebabkan
oleh pengaruh tradisi agama dan takhayul, yang sudah hidup berakar
menggantikan kedudukan iman dan akidah.
Kerdip iman baru yang telah menyinari kalbu Rasul itu, kekuatan jiwanya yang
sudah melampaui segala
kekuatan, itulah yang memberikan
ilham kepadanya untuk
mengirim utusan-utusan mengajak pembesar-pembesar dunia
itu mengenal ajaran Islam,
sebagai agama yang benar, agama yang sempurna, agama Allah Yang Maha
Agung. Mengajak mereka mengenal
agama yang akan membebaskan pikiran manusia supaya dapat
menilai, akan membebaskan jantung orang supaya dapat menyadari, dapat berpikir. Dalam
sistem hidup berakidah dan bermasyarakat, ia telah meletakkan
kaidah-kaidah umum buat manusia
yang akan merupakan keseimbangan
antara kemampuan rohani dengan kekuatan materi
yang akan dapat
menguasai jiwa. Dengan
jalan keseimbangan itu manusia
akan dapat mencapai tujuan berupa
kekuatan dalam menghadapi hidup, suatu
kekuatan yang bersih dari
segala kelemahan dan
kecongkakan hati. Dengan system masyarakat
demikian itu manusia akan sampai ke
tempat yang lebih baik
seperti yang diharapkan,
setelah ia melalui pelbagai macam
proses evolusinya di
tengah-tengah semua makhluk alam
ini.
Adakah Muhammad
akan mengirim utusan-utusannya kepada raja-raja itu kalau ia masih kuatir
akan adanya pengkhianatan pihak Yahudi
yang tinggal di sebelah utara Medinah? Memang dia sudah membuat perjanjian
Hudaibiya. Dari pihak Quraisy sudah aman,
dari sebelah selatan
juga sudah aman.
Tetapi dari sebelah utara ia tidak
akan merasa aman
sekiranya nanti Heraklius atau
Kisra datang meminta bantuan
Yahudi Khaibar, atau juga dendam lama
dalam hati mereka
itu akan bangkit kembali, akan
mengingatkan mereka kepada Banu Quraidza, Banu Nadzir dan
Banu Qainuqa, saudara-saudara mereka
seagama. Perkampungan mereka oleh
Muhammad telah dikosongkan setelah dikepung dan terjadi
pertempuran serta pertumpahan
darah. Orang-orang Yahudi memusuhinya
lebih sengit lagi daripada Quraisy, sebab mereka lebih
bertahan dengan agama mereka itu daripada
Quraisy. Juga di kalangan mereka orang cerdik pandai lebih banyak
daripada di kalangan Quraisy. Memang tidak
mudah mengadakan perjanjian perdamaian
dengan mereka seperti perdamaian Hudaibiya,
juga ia tidak
akan merasa tenang terhadap mereka melihat permusuhan
yang terjadi dahulu, mereka sebagai pihak yang tidak pernah menang. Wajar
sekali mereka akan mengadakan
pembalasan bila saja mereka mendapatkan bala bantuan dari pihak Heraklius.
Jadi kalau begitu
kekuasaan orang-orang Yahudi itu
harus juga ditumpas
sampai habis, sehingga samasekali mereka tidak akan
bisa lagi mengadakan perlawanan di
negeri-negeri Arab. Dan
hal ini harus cepat-cepat dilaksanakan,
sebelum ada waktu
yang cukup terluang buat mereka guna meminta bantuan pihak
Ghatafan atau kabilah-kabilah lain yang membantu mereka dan sedang memusuhi Muhammad. Yang demikian inilah yang
harus dilaksanakan.
Sekembalinya dari
Hudaibiya - menurut sebuah sumber ia hanya tinggal limabelas malam, sumber
lain menyatakan satu
bulan. Disuruhnya supaya orang bersiap-siap untuk melakukan Fathu
Khaibar, dengan syarat hanya mereka yang ikut ke Hudaibiya
saja yang boleh turut serta, juga harus sukarela tanpa ada
rampasan perang yang akan dibagikan. Sebanyak seribu enam
ratus orang dengan
seratus kavaleri Muslimin itu
sekarang berangkat lagi. Mereka semua percaya akan adanya
pertolongan Tuhan, mereka masih ingat akan
firman Tuhan dalam Surah Al-Fath yang turun semasa Hudaibiya. "Orang-orang yang tinggal di belakang itu akan berkata
ketika kamu berangkat mengambil harta rampasan perang: Biarlah
kami turut bersama-sama kamu.
Mereka hendak mengubah
perintah Tuhan. Katakanlah: Kamu tidak akan turut
bersama-sama kami. Begitulah
Allah telah menyatakan sejak dulu. Nanti mereka akan berkata lagi: Tetapi kamu
dengki kepada kami. Tidak.
Mereka yang mengerti hanya sedikit saja." (Qur'an, 48: 15)
Jarak antara
Khaibar dengan Medinah itu mereka
tempuh dalam waktu tiga hari. Dengan tiada mereka rasakan ternyata malamnya mereka telah
berada di depan perbentengan
Khaibar. Keesokan harinya bila pekerja-pekerja Khaibar
berangkat kerja ke ladang-ladang dengan
membawa sekop dan
keranjang, setelah melihat
pasukan Muslimin, mereka
berlarian sambil berteriak-teriak:
"Muhammad dengan pasukannya!" Ketika mendengar suara mereka itu Rasul
berkata: "Khaibar binasa. Apabila
kami sampai di halaman golongan ini, maka pagi
itu amat buruk
buat mereka yang
telah diberi peringatan
itu."
Akan tetapi
Yahudi Khaibar memang
sudah menanti-nantikan Muhammad
akan menyerang mereka. Mereka ingin
mencari jalan membebaskan diri.
Sebagian mereka ini ada yang menyarankan supaya cepat-cepat
dibentuk sebuah blok, yang
terdiri dari mereka dan
Yahudi Wadi'l-Qura dan Taima,
yang akan langsung menyerbu Yathrib (Medinah) tanpa menggantungkan diri
kepada kabilah-kabilah Arab yang
lain. Sedang yang sebagian lagi berpendapat supaya
masuk saja bersekutu
dengan Rasul, kalau-kalau
kebencian terhadap mereka dapat terhapus dari hati kaum Muslimin - terutama
dari pihak Anshar -
setelah dalam kenyataan Huyayy
b. Akhtab dan
segolongan Yahudi lainnya
terlibat dalam usaha menghasut kabilah-kabilah Arab
untuk menyerang Medinah dan
secara kekerasan mengadakan
perang Parit. Akan tetapi semangat kedua belah pihak sudah memuncak, sehingga sebelum
terjadi perang pihak Muslimin sudah lebih dulu berhasil
menewaskan
pemimpin-pemimpin Khaibar masing-masing Sallam
b. Abi'l-Huqaiq dan Yasir ibn Razzam. Oleh karena golongan
Yahudi selalu mengadakan kontak
dengan Ghatafan tatkala pertama
kali tersiar berita Muhammad akan
menyerang mereka, cepat-cepat
mereka meminta bantuan kabilah-kabilah itu.
Mengenai Ghatafan ini, para ahli
masih berbeda pendapat: Jadikah kabilah ini memberikan bala bantuan, ataukah pasukan
Muslimin sudah memutuskan hubungan dengan Khaibar?
Lepas
dari apakah Ghatafan ini sampai
membantu pihak Yahudi atau malah menjauhkan diri setelah
Muhammad menjanjikan hendak memberikan harta rampasan perang
nanti, namun kenyataannya peperangan ini merupakan perang terbesar yang pernah
terjadi; mengingat pula kelompok-kelompok Yahudi
di Khaibar ini merupakan koloni
Israil yang terkuat
yang paling kaya dan paling
besar pula persenjataannya. Disamping
itu pihak Muslimin pun
sudah yakin sekali, bahwa selama Yahudi tetap menjadi
duri dalam daging seluruh jazirah, maka
selama itu pula persaingan
antara agama Musa dengan agama baru ini akan jadi panjang tanpa dapat
mencapai suatu penyelesaian. Dengan demikian mereka terjun menyabung nyawa
tanpa ragu-ragu lagi.
Sebaliknya pihak
Quraisy dan seluruh jazirah Arab berbaris menonton
peperangan ini. Dari kalangan Quraisy sampai ada yang berani bertaruh
mengenai kesudahan perang itu dan siapa pula yang akan
menang. Kebanyakan Quraisy
mengharapkan pihak Muslimin akan
mengalami kehancuran, melihat
kukuhnya benteng-benteng Khaibar yang sudah terkenal serta letaknya di atas
batu-batu karang dan gunung, disamping pengalaman mereka yang cukup lama
dalam medan perang.
Dengan
persiapan senjata yang cukup kaum
Muslimin sekarang sudah berada di
depan perbentengan Khaibar. Yahudi juga sedang berunding dengan sesama mereka.
Pemimpin mereka Sallam
b. Misykam menyarankan, supaya
harta-benda dan sanak keluarga mereka
dimasukkan ke dalam benteng Watih
dan Sulalim, bahan makanan
dan perlengkapan dimasukkan ke
dalam benteng Na'im, prajurit dan barisan penggempur dimasukkan ke dalam
benteng Natat dan Sallam
b. Misykam sendiri
bersama-sama mereka, mengerahkan mereka dalam peperangan.
Sekarang
kedua belah pihak sudah berhadap-hadapan
di sekitar benteng Natat dan pertempuran mati-matian sudah pula
dimulai. Dalam hal ini sampai ada yang berkata:
"Yang luka-luka dari pihak
Muslimin sebanyak limapuluh
orang. Apalagi jumlah yang luka-luka dari pihak Yahudi."
Setelah
Sallam b. Misykam tewas, maka
pimpinan pasukan di pegang oleh Harith b. Abi Zainab. Ia
keluar dari benteng Na'im itu dengan maksud hendak menggempur pasukan
Muslimin Tetapi oleh Khazraj
ia dapat dihalau dan dipaksa
kembali mundur ke bentengnya. Pihak Muslimin lalu memperketat kepungannya
atas benteng-benteng Khaibar itu
sedang pihak Yahudi mati-matian mempertahankan dengan
keyakinan, bahwa kekalahan
mereka menghadapi
Muhammad berarti suatu penumpasan terakhir terhadap Banu Israil di
negeri-negeri Arab.
Hal
ini berlangsung selama
beberapa hari. Kemudian
Rasul menyerahkan bendera kepada
Abu Bakar supaya memasuki benteng Na'im. Tetapi setelah terjadi pertempuran
ia kembali tanpa berhasil menaklukkan
benteng itu. Keesokan harinya pagi-pagi Rasul menugaskan Umar
bin' al-Khattab. Tetapi dia pun mengalami nasib yang
sama seperti Abu Bakar. Sekarang
Ali b. Abi Talib yang dipanggilnya seraya katanya: "Pegang bendera ini dan
bawa terus sampai
Tuhan memberikan kemenangan
kepadamu."
Ali yang dijuluki Haidar dan Asadullah itu pun berangkat membawa
bendera itu. Setelah ia berada
dekat dari benteng, penghuni benteng itu
keluar menghadapinya dan seketika
itu juga pertempuran
pun terjadi. Salah seorang Yahudi dapat
memukulnya dan perisai
yang di tangannya terlempar. Tetapi Ali segera menyambar daun pintu yang
ada di benteng dan dengan memperisaikan
daun pintu yang
masih di tangan itu
ia terus bertempur.
Benteng itu akhirnya dapat didobraknya. Kemudian daun pintu tadi
dijadikannya jembatan dan dengan
"jembatan" ini kaum
Muslimin dapat menyeberang masuk ke dalam benteng itu. Akan tetapi
benteng Na'im ini baru jatuh setelah
komandannya, Harith b. Abi Zainab terbunuh. Hal ini menunjukkan betapa
sebenarnya pihak Yahudi itu mati-matian bertempur dan
betapa pula pihak
Muslimin juga mati-matian mengepung dan menyerbu.
Setelah benteng
Na'im jatuh, sekarang
pihak Muslimin menaklukkan benteng
Qamush setelah lebih
dulu terjadi pertempuran sengit.
Oleh karena persediaan bahan makanan
pada
mereka (Muslimin)
sudah tidak mencukupi
lagi terpaksa ada beberapa orang yang datang kepada Muhammad mengeluh,
dan minta sesuatu sekadar dapat
menyambung hidup, dan oleh karena tidak ada sesuatu yang dapat diberikannya
kepada mereka itu,
maka mereka diijinkan makan
daging kuda. Dalam
pada itu salah seorang dari pihak
Muslimin melihat ada sekawanan kambing memasuki salah
satu benteng Yahudi
itu. Dua ekor kambing diantaranya
dapat mereka tangkap, lalu mereka
sembelih dan mereka makan
bersama-sama.
Akan tetapi,
setelah mereka menaklukkan
benteng Sha'b b- Mu'adh, kebutuhan
mereka sekarang sudah tidak begitu
mendesak lagi, sebab ternyata
di tempat ini persediaan makanan cukup banyak, yang
akan memungkinkan lagi
mereka meneruskan perjuangan melawan Yahudi dan mengepung benteng-benteng
yang ada lainnya. Sementara itu
tidak sejengkal tanah
pun atau sebuah benteng pun mau diserahkan kepada pihak
Yahudi sebelum mereka benar-benar mempertahankannya secara heroik dan setelah dengan segala
tenaga mereka berusaha
membendung serangan Muslimin itu.
Dengan terlebih dulu menyiapkan persenjataan dan perlengkapan untuk
berperang, tiba-tiba keluar
Marhab orang Yahudi itu dari
salah satu benteng sambil
ia membaca sajak-sajak ini:
Khaibar sudah
mengenal
Akulah Marhab
Memanggul
senjata pahlawan teruji
Kadang menetak
sekali memukul
Bila singa sudah
muncul
Maka ia pun
menggeram murka
Pertahananku
Inilah
pertahanan tak terkalahkan
Segala serangan
terlumpuhkan oleh si pendekar
Mendengar
itu Muhammad berseru kepada sahabat-sahabatnya:
"Siapa
yang akan menjawab ini."
Saat
itu juga Muhammad b. Maslama menjawab:
"Saya ya Rasulullah. Saya yang harus berontak
menuntut balas.
Saudara
saya kemarin dibunuh."