Senin, 10 Februari 2014

Ummat dan Imamah Menurut Ali Syari’ati


Oleh Hasan Jali, S.Th (Mahasiswa Magister Universiti Malaya)

“Pemikiran Ali Syari’ati tentang ummah dan imamah seakan-akan berusaha menyatukan dan menggabungkan konsep Ummah Muslim Sunni dan Imamah Muslim Syi’ah”

Imamah adalah doktrin Syi’ah Islam tentang kepemimpinan politik dan spiritual dalam khilafah yang harus dipegang oleh salah seorang imam dari keturunan Sayyidina Ali, karena berdasarkan al Qur’an, yang dalam kepercayaan Muslim Syi'ah diwahyukan pada saat Nabi Saw hendak pulang setelah Haji Wada’, dan pada saat itu Nabi Saw mengumpulkan kaum muslim di Ghadir Khum untuk membai’at Sayyidina Ali sebagai pengganti kepemimpinan politik dan keagamaan setelah beliau. Hanya saja, setelah Nabi Muhammad meninggal, Abu Bakar sudah dibai’at menjadi khalifah di Saqifah Bani Saidah, sehingga keluarga Nabi Saw (Ahlu Bait) tidak sempat mengikuti pembai’atan itu.

Di sinilah awal munculnya benih-benih perbedaan yang menjadi dua kelompok besar yaitu Sunni dan Syi’ah. Kelompok Sunni percaya bahwa kepemimpinan harus dipegang oleh mereka yang dipilih. Sedang Syi’ah percaya secara definitif harus terdiri dari 12 orang keturunan Rasulullah.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang menjabat Khalifah sekitar 17 Maret 599 M-28 Februari 661 H setelah didesakkan mayoritas kaum muslim dan memimpin di saat krisis Islam adalah khalifah yang keempat dan terakhir bagi Sunni, dan Imam Pertama bagi Syi’ah. Syi’ah Imamiah ini merupakan muslim mayoritas di Iran, Iraq dan Lebanon. Namun, setelah Imam yang kedua belas (yang ghaib), konsep kepemimpinan Syi’ah tidak dapat dipertahankan lagi, sehingga muncul istilah Vilayat-e Faqih yang diderivasi oleh Imam Khomeini sehingga menghasilkan revolusi 1979 di Iran. Syi’ah Imamiah atau Itsna Asyariyah (yang merupakan Syiah mayoritas di dunia) berpendapat bahwa setelah ghaibnya imam mereka yang kedua belas, kepemimpinan dilanjutkan oleh para mujtahid dan ayatullah.

Ummah dan Imamah Dalam Pemikiran Ali Syari’ati

Istilah ummah adalah konsep khas yang ada pada Islam. Ia menggantikan beberapa istilah yang oleh, Montgomery Watt mempunyai kemiripan erti sebelumnya, seperti nation, qabilah, qaum, sya’b, thabaqah, tha’ifah, ras, massa, people.  Syari’ati mengatakan bahawa ummah dan imamah merupakan prinsip akidah Islamiah yang paling penting dan terkenal, khususnya di kalangan Muslim Syi’ah Itsna Asyariayah.  Tidak mengherankan, bila konsep kepemimpinan Islam mendapat perhatian lebih banyak di kalangan Muslim Syi’ah dibandingkan kelompok Sunni yang relatif kompromis dengan pemikiran dari luar Islam. Tajuk inilah yang paling banyak dibicarakan dari dahulu hingga sekarang.

Karena itu, ia ingin melihat kajian ini dipandang secara sosiologis dan konteksnya dengan keidupan manusia, agar lebih dinamis dan modern. Dalam konteks ini, sedari awal Ali Syari’ati menegaskan bahwa ia akan melihat kajian ini secara sosiologis dalam paradigma ilmu sosial. Menurut Syari’ati, kata ummah berasal dari kata ‘amma artinya bermaksud (qashada) dan berniat keras (‘azima). Pengertian ini mencakup tiga makna yaitu ‘gerakan’, tujuan dan ‘ketetapan hati yang sadar’. Kata amma pula pada awalnya, menurut Syari’ati berarti kemajuan. Dengan demikian secara luas mencakup empat erti: usaha, gerakan, kemajuan dan tujuan. Secara prinsipil, kata ummah berarti jalan yang terang. Artinya, suatu kelompok manusia yang menuju ke jalan tertentu. Dengan demikian, kepemimpinan dan keteladanan, jalan dan tempat yang dilalui terangkum dalam istilah ummah. Itu berarti ia menolak pengertian lain, seperti keturunan (ras), tanah air (people), perkumpulan (tha’ifah), kebersamaan (jama’ah), baik dalam tujuan, profesi dalam pelbagai perangkatnya (thabaqah), ras, status sosial, dan gaya kehidupan yang dipandang sebagai pengikat dasar dan sakral antar pelbagai individu, tidak termasuk pengertian ummah.

Jadi apakah yang paling dasar dalam Islam yang menjadi pengikat paling penting untuk mempersatukan individu-individu? “Jalan yang dilalui” jawab Syari’ati. Kelebihan lain yang ada pada konsep ummah ialah menempatkan kebersamaan dalam arah tertentu dan pembentukan kekerabatan lahir-batin sebagai ciri dasar yang mengikat manusia. Ini berbea, dalam pemikiran Syari’ati dengan istilah qabilah, konsep terbaik menurut Syari’ati, yang hanya menempatkan ‘tujuan yang sama’ sebagai pengikat individu tersebut. Syari’ati menulis: "Dalam istilah qabilah, memang terdapat kebersamaan tujuan, tapi tidak ditemukan adanya gerakan yang menuju tujuan tersebut. Sebab, sangat mungkin ada sekumpulan orang yang mempunyai tujuan yang sama, tapi tidak memiliki ikatan atau keharusan apapun berkaitan dengan jalan yang dilalui untuk menuju tujuan tersebut. Mereka memang memiliki kesamaan dalam keyakinan dan tujuan (konsepsional dan emosional) sebagaimana halnya dengan kaum muslim sekarang ini. Tetapi mereka tidak melangkah dengan langkah yang sama dan serempak menuju ke arah yang sama. Tujuan yang ingin dicapai terletak pada titik tertentu, dan gerakan mereka menuju ke arah yang lain. Dalam istilah ummah, gerak yang mengarah ke tujuan bersama itu justeru merupakan landasan ideologis".

Istilah qaum (berdiri), mungkin memiliki makna yang dinamis pula. Tapi, gerak di sana dalam pemikiran Syari’ati tetap tidak dinamis. Istilah qaum mengandung bergerak di tempat. Sebab, orang yang tergabung di sana memang bergerak, tapi tidak pernah beranjak dari tempatnya berdiri. Jadi, berdiri bukanlah bergerak.  Gerakan adalah perpindahan dari satu titik ke titik lain atau perubahan dari kualitas menuju kualitas dan bentuk lain. Sedangkan qiyam hanya berupa perubahan wujud, bukan perubahan kualitas. Jadi, ia tidak disebut hijrah, baik secara fisikal atau mental. Sedang ummah adalah kumpulan orang yang berpindah dan bergerak dan mengandung konsep: 1.Kebersamaan dalam arah dan tujuan, 2.Gerakan menuju arah dan tujuan tersebut, dan 3.Keharusan adanya pimpinan dan petunjuk kolektif.

Secara ringkas, ummah ialah sekumpulan manusia, di mana para anggotanya memiliki tujuan yang sama, dan satu sama lain tolong-menolong agar bisa bergerak menuju tujuan yang mereka cita-citakan berdasar kepemimpinan kolektif. Mereka memiliki kesatuan pemikiran, keyakinan, mazhab, dan metodologi yang tidak saja tergambarkan dalam ide, tetapi terbukti perwujudannya secara konkrit. Maka, dilihat dari konteks tersebut, istilah ummah dengan sendirinya membutuhkan imamah, keharusan yang sama sekali tidak dimiliki konsep lain, seperti qabilah, jama’ah, qaum, nation dan yang lain. Dengan itu, berarti tidak ada ummah tanpa imamah. Menurut Syari’ati, dalam sejarahnya manusia selamanya ingin mempunyai pemimpin. Karena itu, dalam sejarah umat manusia, tidak ada seorangpun yang tidak membutuhkan imam baik yang real ataupun khayal.

Kemudian apa fungsi imamah sendiri? “Ia dipilih sebagai kekuatan penstabilan dan pendinamisan massa”, tulis Syari’ati. Dalam konsep pertama, ialah bagaimana menguasai massa sehingga berada dalam stabilitas dan ketenangan, kemudian melindungi mereka dari ancaman, penyakit dan bahaya. Dalam konsep kedua, ialah berkaitan dengan asas kemajuan dan perubahan sosiologis, sosial dan keyakinan serta menggiring massa dan pemikiran mereka menuju bentuk ideal.  Di antara dua fungsi imamah di atas, yang kedua lebih ditekankan. Dengan demikian, tulis Syari’ati: Imamah bukanlah lembaga yang anggota-anggotanya menikmati kenyamanan dan kebahagiaan yang mapan, dan bukan pula melepaskan diri dari kepemimpinan dan tanggung jawab dari persoalan kesejahteraan umat serta bukan kehidupan tanpa tujuan. Secara singkat tugas imam ialah mewujudkan asas kerajaan kepada kemajuan, perubahan, transformasi dalam wujudnya yang paling cepat, melakukan akselerasi dan menggiring umat menuju kesempurnaan.

Syari’ati menulis: "Tugas seorang imam tidak hanya terbatas pada memimpin dalam salah satu aspek politik, sosial, ekonomi, dan tidak terbatas sebagai panglima, amir atau khalifah, tapi tugasnya adalah menyampaikan kepada umat manusia dalam semua aspek pelbagai kemanusiaan. Imam seperti ini, tidak terbatas kepada hidupnya saja, tetapi selalu hadir di setiap saat dan hidup selamanya”. Sementara individu sendiri dalam umat juga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab sebagai pertubuhan organisme umat. Mereka harus mengetahui imam mereka, mengakui dan mempercayainya. Sementara itu, tujuan umat sendiri, seperti ditulis Syari’ati, terbagi menjadi dua: 1.Suatu transformasi terus-menerus menuju tercapainya kesempurnaan yang mutlak, dan 2.Perjalanan tanpa henti untuk menciptakan nilai-nilai yang tertinggi. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar