Oleh
Afifah Ahmad (Travelog dan penulis)
Dunia
tidak ada yang tak mengenalnya. Sejarah mencatat perjalanannya yang gemilang.
Nama Ali diabadikan pada nama-nama Imam lain seperti Ali Zaenal Abidin as, Ali
Ridha as dan Ali al-Hadi as. Nama Ali juga menjadi favorit di kalangan Bani
Hasyim dan suku Arab. Kini, namanya menjadi nama dari jutaan penduduk muslim di
Dunia. Di Iran sendiri, nama Ali hampir dapat ditemukan pada setiap keluarga
yang memiliki anak laki-laki. Siapakah gerangan pemilik nama pertama yang
menjadi sumber penisbatan bagi jutaan nama-nama Ali lainnya?
Mengurai
pribadi Imam Ali as yang sedemikian perfect, tidak akan pernah mengenal kata
usai. Selalu saja ada sisi-sisi menarik dan hidup yang dapat diangkat. Para
peneliti sosial dan agamawan, agaknya tak pernah kehilangan bahan dalam
mengkaji pemikiran-pemikiran Imam Ali as. Pada hari-hari menjelang Ghadir ini,
kiranya tepat mengkaji kembali berbagai pemikiran beliau. Tulisan inipun hendak
bertutur setetes dari samudra ilmu Imam Ali as. berkaitan dengan pandangan
ekonomi politiknya.
Menilik Politik
Ekonomi Imam Ali as
Sejarah
mencatat, akhir pemerintahan khalifah Utsman menyisakan persoalan sosial yang
sedemikian kompleks, tak terkecuali melebarnya kesenjangan ekonomi. Di satu
sisi, kalangan bangsawan berpesta-pora dengan kas negara. Sedang, di
sudut-sudut Kufah, para gelandangan tengah tercekik kelaparan. Di tengah
kondisi demikian, Imam Ali as mengarahkan ekonomi politiknya pada keadilan
sosial, yang mengacu pada tiga prinsip. Pertama, Supremasi hukum. Kedua,
Jaminan sosial. Ketiga, Keseimbangan ekonomi.
Supremasi Hukum
Ad-Dajili
(1379:135) menyebutkan bahwa pada masa kekhalifahan Utsman tidak sedikit jumlah
dari kas negara yang dihamburkan untuk keluarganya. Dengan alasan itu pula,
Khalifah keempat mengembalikan mekanisme pengaturannya sesuai syari’ah yaitu
menepuh metode yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Ad-Dajili menambahkan bahwa,
Khalifah ke-empat sedemikian ketat dalam pendistribusian baitul maal.
Imam
Ali as menerapkan mekanisme pembelanjaan kas negara secara adil. Beliau
menentang keras praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, bahkan terhadap
keluarganya sendiri sekalipun.
“Suatu
hari di masa kepemimpinan Imam Ali as, saudaranya yang bernama Aqil datang
mengunjunginya. Saat itu udara begitu panas, keduanya berbincang di teras
rumah, menghadap ke arah keramaian pasar. Tibalah saat makan malam, hanya ada
roti kering dan garam. Jauh dari dugaan Aqil yang mengira akan makan besar
dijamu oleh khalifah muslim negeri itu.
Tibalah
saat Aqil harus mengutarakan maksud kedatangannya, ia berharap saudaranya dapat
melunasi hutangnya yang cukup besar melalui kas negara. Imam Ali as sangat
ingin membantunya, “Tapi tidak dengan uang kas negara” katanya tegas. Andai
saja aku memiliki simpanan cukup, tentulah semuanya akan kuberikan. Aqil kecewa
dan terus mendesak.
Setelah
dialog panjang, akhirnya Imam Ali as berkata padanya: “Karena Engkau terus
mendesak dan tidak mau mendengarkan pendapatku. Aku menyarankan sesuatu yang
dapat melunasi hutangmu. Lihatlah kotak uang di pasar itu, saat pasar sepi,
ambilah!” Aqil sangat terkejut, lalu ia balik bertanya “Mengapa Engkau
menyarankan kepadaku untuk mencuri uang pedagang yang seharian bekerja keras?”
Imam
as pun menjawab: “Lalu, bagaimana bisa Engkau mendesakku untuk mencuri uang
seluruh rakyat negeri ini?”
Selain
itu, Imam Ali as berupaya menegakkan supremasi hukum dengan menindak tegas para
penyeleweng kas negara. Sehingga, beliau harus berhadapan dengan pejabat Umawi
yang pada saat pemerintahan Utsman mendapat posisi penting, seperti Muawiyah.
Tidak jarang pula, upaya penegakkan hukum ini, menuai perlawanan yang
sedemikian hebat. Namun, semuanya dihadapi dengan pantang menyerah. Bahkan
seperti penuturnya, “jika seluruh dunia dan isinya ditukar dengan kezaliman
pada seekor semut, tidak ada nilainya”
Jaminan Sosial
Kehidupan
masyarakat akan berjalan normal, ketika kebutuhan dasar mereka terpenuhi secara
benar. Oleh karena itu, Imam Ali as, setelah membersihkan negara dari sisa-sisa
pejabat korup serta menegakkan supremasi hukum. Langkah yang selanjutnya
ditempuh adalah memberikan jaminan sosial kepada seluruh masyarakat.
Mengingat
ketimpangan sosial yang terjadi saat itu cukup tajam, Imam as memberikan
prioritas pengeluaran kas negara untuk memulihkan kondisi masyarakat yang
berada dalam taraf kemiskinan. Dalam Surat yang ke-53 dan 67 Nahjul Balagah,
disebutkan bahwa, Imam Ali as mengutamakan pembagian kas negara kepada golongan
fakir dan orang-orang yang membutuhkan lainnya.
Dalam
menjamin serta memenuhi kebutuhan masyarakat, Imam Ali as tidak memandang suku,
agama maupun bangsa. Tetapi, beliau bertindak atas dasar prinsip keadilan.
“Suatu
hari, dua orang perempuan, yang satu Arab dan lainnya Azam (non-Arab) datang
menghadap Imam Ali as untuk mendapat distribusi kas negara. Imam as membagi
keduanya sama rata, masing-masing memeperoleh 25 dirham. Perempuan Arab protes
keras: “Hai khalifah, aku ini Arab dan dia budak, apakah hak kami sama?”. Imam
Ali as menjawab: “Tidak ada perbedaan antara keturunan Ismail dan Ishak dalam
pembagian harta ini”
Tidak
hanya itu, tentunya kitapun turut menyaksikan bagaimana Imam as memperlakukan
para yatim serta janda miskin. Pada masa kekhalifahannya, Imam as kerap
berpatroli ke daerah-daerah untuk melihat kondisi kehidupan masyarakat.
Keseimbangan
Ekonomi
Keadilan
sosial tidak akan terwujud jika keseimbangan ekonomi tidak tercipta. Maka, Imam
Ali as memberikan perhatian serius bagi terciptanya keseimbangan ekonomi.
Beliau berupaya keras memberantas berbagai faktor penghalang terwujudnya
keseimbangan ekonomi seperti: riba, penimbunan, kecurangan serta kezaliman.
Dalam
berbagai seruannya beliau mempropagandakan anti penindasan dan kezaliman,
sebagaimana yang beliau ikrarkan: “Kehancuran sebuah negeri adalah buah dari
kefakiran dan kefakiran disebabkan oleh kerasukan para penguasa.”
Tidak
hanya sebatas retorika, Imam Ali as selalu melakukan infeksi ke berbagai tempat
berkenaan dengan kebijakan yang ditempuhnya. Hampir setiap pagi, selepas shalat
subuh, Imam Ali as berkeliling masuk dari satu pasar ke pasar lainnya. Saat
tiba di setiap pasar, ia segera menyapa para pedagang seraya berpesan: “Hai
para pedagang, takutlah kalian kepada Allah, janganlah melakukan kecurangan
dalam berdagang. Takutlah kalian pada riba!……”
Pada
kesempatan lain, Imam Ali as juga sangat keras terhadap penimbunan. Dalam
bagian surat yang diberikan kepada Malik bin Astar terkait dengan perdagangan,
Imam bersabda: “Hindarilah penimbunan karena sesungguhnya Rasul melarangnya dan
lakukanlah jual beli yang memudahkan dengan timbangan yang adil” [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar