Oleh Dr. Muhammad Tijani as Samawi
(ulama dan penulis Tunisia)
Di sebuah desa
selatan Tunisia, ketika berlangsungnya sebuah kenduri, wanita-wanita yang hadir
sedang asyik membincangkan tentang seorang isteri dari suami si Fulan. Seorang
wanita tua yang berada di sekitar mereka sangat terkejut mendengar berita
perkawinan dua orang ini. Ketika ditanya kenapa dia tekejut, dijawabnya bahwa
dua suami isteri tersebut sebenarnya pernah menyusu darinya; dan mereka adalah
kakak beradik dari satu ibu susu.
Berita besar ini
dibawa pulang oleh wanita-wanita yang hadir kepada suami mereka. Kaum lelaki
yang ada di sekitar ingin membuktikan kebenaran berita ini. Akhirnya ayah si
perempuan menyaksikan bahwa anak perempuannya memang pernah menyusu dari ibu
susu yang terkenal ini; sebagaimana ayah si lelaki ini juga menyaksikan
kebenaran kata-kata si ibu tua ini. Akibatnya dua suku ini berperang dengan
tongkat dan kayu. Masing-masing menuduh yang lain sebagai sebab musibah yang akan
menyebabkan turunnya bala Allah ini. Terlebih lagi perkawinan itu telah berusia
sepuluh tahun dan telah menghasilkan tiga orang anak.
Mendengar berita ini,
si isteri lari ke rumah ayahnya. Dia tidak mau makan dan minum. Bahkan dia
berusaha bunuh diri lantaran tidak tahan menerima “bencana” yang sangat besar
itu. Bagaimana dia dapat menerima kenyataan bahwa suaminya adalah saudaranya
sendiri dan telah melahirkan anak-anak pula. Bilangan korban yang luka
berjatuhan di kedua belah pihak, hingga orang tua yang disegani menghentikan
peperangan dan menasihati mereka agar menanyakan para alim ulama tentang
hukumnya dan mencari jalan keluar.
Mulailah mereka pergi
ke kota-kota besar yang berdekatan dengan tempat tinggal mereka demi menanyakan
para ulamanya tentang jalan keluar dari perkara ini. Setiap kali mereka
bertanya, jawapan mereka adalah perkawinan tersebut adalah haram dan suami
isteri wajib dipisahkan seumur hidup. Mereka juga wajib membayar fidyah dengan
membebaskan hamba sahaya atau puasa dua bulan berturut-turut atau fatwa-fatwa
sejenisnya.
Mereka juga pergi ke
Qafsah dan menanyakan persoalan tersebut kepada alim ulamanya. Namun jawaban
yang mereka dapatkan tetap sama. Mengingat ulama-ulama mazhab Maliki
menghukumkan muhrim pada setiap anak susuan walau sekadar satu tetes sekalipun;
berdasarkan pendapat Imam Malik yang mengkiaskan air susu dengan arak. Dalam
hokum arak dikatakan bahwa “jika banyaknya memabukkan maka sedikitnya
juga haram.” Dengan itu maka menyusui, walau settes sekali pun adalah
berhukum muhrim.
Seorang yang hadir
menyela dan menunjukkan mereka ke rumahku. Katanya: “Tanyakan pada Tijani
masalah-masalah seperti ini karena beliau mengetahui pendapat semua mazhab. Aku
saksikan beliau berhujjah dengan ulama-ulama tadi berkali-kali dan bahkan dapat
mematahkan dalil mereka.”
Ketika kuajak mereka
masuk ke dalam perpustakaanku, si suami menceritakan segalanya kepadaku secara
terperinci, dia juga berkata demikian: “Tuan, isteriku mau bunuh diri dan
anak-anak tidak terurus karena persoalan ini. Kami tidak mendapatkan apa-apa
untuk penyelesaian dari kemusykilan ini. Mereka telah tunjukkanku alamatmu, dan
aku sangat yakin kerana melihat buku-buku yang sebegini banyak di perpustakaan
ini yang tidak pernah aku lihat sebelum ini. Mudah-mudahan saja Anda dapat
menyelesaikan perkaraku ini.”
Kemudian aku
hidangkan secangkir kopi untuknya dan aku berpikir sejenak, lalu kutanyakan
kepadanya bilangan susu yang dia hisap dari si ibu tua itu. Beliau
menjawab: “Aku tidak pasti berapa tetapi isteriku menyusu dari orang tua itu,
dua kali atau tiga kali saja. Ayahnya juga menyaksikan bahwa dia hanya dua atau
tiga kali saja membawanya pergi ke tempat orang tua itu.” Lalu ku jawab: “Jika
ini memang betul, maka kalian bukanlah kakak beradik (berdasarkan menyusu dari
wanita yang sama yang dipercayakan sebagai penyusu) dan perkawinan kalian
adalah sah.” Mendengar ini lelaki tersebut memelukku dan menciumi
kepalaku dan tanganku. Katanya: semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Anda
telah membukakan pintu kedamaian di hadapanku”. Dia terus pergi dan tidak
sempat menghabiskan kopinya, bahkan tidak bertanya lagi perinciannya atau dalil
dariku. Dia hanya meminta izin untuk pulang agar dapat segera menemui
isterinya dan membawa berita gembira untuknya, anak-anaknya serta kaum
kerabatnya.
Namun esoknya dia
kembali bersama tujuh orang lelaki yang lain. Katanya: “Ini ayahku dan ini ayah
isteriku. Yang ketiga itu ketua desa dan keempat Imam sholat Jum’ah dan Jama’ah,
kelima adalah Penghulu agama, keenam ketua suku, dan ketujuh ketua sekolah.
Semua mereka datang untuk bertanya tentang masalah menyusui tersebut dan dengan
alasan Apa anda menghalalkannya?
Semua aku ajak masuk
ke dalam perpustakaanku dan aku memang menduga bahwa mereka akan mendebatku.
Kuhidangkan mereka minuman kopi dan kusambut mereka dengan mesra. Mereka
berkata: “Kami datang untuk bertanya akan fatwamu yang menghalalkan susuan itu
sementara Allah telah mengharamkannya di dalam al Quran dan telah diharamkan
juga oleh RasulNya, dengan sabdanya: “Telah diharamkan dengan susuan segala apa
yang diharamkan dengan cara nasab. Begitu juga Imam Malik telah
mengharamkannya.”
Aku berkata: “Wahai
tuan-tuan, kalian Masya Allah adalah delapan orang dan aku hanya seorang. Jika
aku berbicara dengan kalian semua maka aku tidak akan dapat meyakinkan kalian
dengan hujjahku dan diskusi kita nantinya akan berlarut-larut (menjadi debat
kusir yang tak bermanfaat). Aku usulkan kalian memilih salah seorang di antara kalian
sebagai juru bicara kalain sehingga aku senang berdiskusi dengannya dan yang
lainnya menjadi hakim kami.”
Mereka menerima usul
tersebut dan menyerahkan sepenuhnya kepada penghulu agama sebagai wakil karena
dialah yang paling alim dan paling arif di antara mereka. Maka penghulu pun
mulailah mengajukan pertanyaannya mengapa aku menghalalkan apa yang diharamkan
oleh Allah, RasulNya dan para Imam? Aku jawab: “Aku berlindung kepada Allah
dari berbuat demikian. Allah mengharamkan susuan dengan ayat yang mujmal
(ringkas) dan tidak menjelaskan secara terperinci. DiserahkanNya kepada Rasul
cara dan bagaimana perincian hukumnya.”
– “Tetapi Imam malik
menghukumkan muhrim bahkan dari setetes air susu.”– “Aku tahu. Namun Imam Malik
bukanlah hujjah kepada semua kaum Muslimin. Kalau tidak maka bagaimana pendapat
Anda dengan imam-imam yang lain?” – “Semoga Allah meridhai mereka. Kesemua dari
mereka mengambil dari Rasul saw.” – “Lalu bagaimana nantinya hujjahmu di sisi
Allah atas taklidmu kepada pendapat Imam Malik yang berargumen dengan nash Nabi
ini?” – “Subhanallah” katanya sambil merasa heran. “Aku tidak pernah tahu yang
Imam Malik, Imam Dar al-Hijrah, menyalahi nash-nash Nabi.” Yang hadir juga
keheranan dengan kata-kataku ini. Mereka sangat terkejut atas sikapku yang
sangat berani terhadap Imam Malik yang tidak pernah dilihatnya sebelum ini dari
ulama-ulama yang lain. Kemudian aku menambah lagi:
– “Apakah Imam Malik
dulunya dari kalangan sahabat?”– “Bukan.” Jawabnya. – “Apakah beliau dari
kalangan Tabi’in?” – “Bukan. Bahkan dari kalangan Tabi’it-Tabi’in, generasi
keempat setelah Nabi saw.” – “Mana yang lebih dekat kepada Rasul; Imam Malik
atau Imam Ali bin Abi Thalib?”– “Imam Ali bin Abi Thalib. Beliau adalah
satu dari empat Khulafa’ Rasyidin.” Salah seorang dari yang hadir berkata: –
“Sayyidina Ali Karramallahu Wajhahu adalah gerbang kota ilmu.”
– “Mengapa kalian
tinggalkan gerbang kota ilmu dan ikut seorang bukan sahabat dan bukan Tabi’in
sekalipun. Bahkan seorang yang dilahirkan setelah berlakunya berbagai
pertikaian antara kaum muslimin, dan setelah penduduk kota Madinah Nabi dibunuh
dan diperkosa oleh tentara Yazid dan diperlakukan sedemikian rupa sehingga
sahabat-sahabat yang terbaik terbunuh, para wanita diperkosa dan sunnah-sunnah
Nabi diubah oleh Yazid bin Muawwiyah bin Abu Sufyan. Bagaimana seseorang boleh
percaya sepenuhnya kepada imam-imam yang dipersetujui oleh para penguasa saat
itu, yang memberikan fatwanya mengikut persetujuan mereka.” Salah seorang dari
mereka berkata:
– “Memang kami pernah
dengar bahwa Anda adalah seorang Syiah yang menyembah Imam Ali.” Serta merta
sahabat yang duduk di sampingnya manamparnya dengan agak kuat, lalu berkata: –
“Diam. Apakah anda tidak mau berkata seperti ini kepada seseorang yang
terhormat seperti beliau. Aku banyak kenal ulama, tetapi aku tidak pernah
melihat perpustakkan sebesar ini. Beliau berbicara dengan pengetahuan yang
dalam dan penuh keyakinan.”
Aku jawab: –
“Memang benar saya seorang Syi’ah. Tetapi Syi’ah tidak menyembah Ali. mereka
ikut Imam Ali sebagai ganti dari ikut Imam Malik. Kerana Ali adalah gerbang
kota ilmu seperti yang kalian saksikan.” Penghulu agama berkata: “Apakah Imam
Ali menghalalkan perkawinan dua kakak-beradik satu susuan?” – “Tidak. Beliau
menghukum-muhrimkannya jika si bayi menyusu sebanyak lima belas kali dengan
kenyang dan berturut-turut atau sehingga menumbuhkan daging dan tulang.”
Mendengar ini ayah si isteri merasa sangat lega dan berkata: – “Alhamdulillah.
Anakku hanya menyusu dua atau tiga kali saja. Fatwa Imam Ali ini adalah jalan
keluar bagi kami dari kemusykilan ini dan rahmat Allah kepada kami setelah puas
kami mencari dan hampir-hampir putus asa.”
Penghulu berkata: “Berikan kami dalilnya agar kami berpuas hati.” Lalu kuberikan kepada mereka kitab Minhaj as-Sholihin, fatwa Syed al-Khui. Dibacakannya Bab Hukum Menyusui kepada mereka. Mereka semua sangat gembira terutama si suami yang takut kalau-kalau saya tida mempunyai dalil yang memuaskan. Mereka memohon agar aku meminjamkan buku tersebut kepada mereka agar dapat berhujjah kelak di kampungnya. Lalu kuserahkan buku tersebut setelah mereka meminta izin untuk pulang.
Setelah mereka keluar
dari rumahku, mereka berjumpa dengan seseorang yang akhirnya membawa mereka
kepada beberapa ulama-upahan. Dihasutnya mereka dan dikatakan bahwa aku adalah
agen Israel, kitab Minhaj as-Solihin yang kuberikan itu adalah sesat, penduduk
Irak semuanya kafir dan munafik, dan Syi’ah adalah Majusi yang menghalalkan
perkawinan kakak beradik. Karena itu tidak heran kalau aku menghalalkan perkawinan
antaara kakak beradik satu susuan dan berbagai tuduhan lain yang menghasut
secara keji dan tanpa hujjah. Sedemikian rupa ancaman mereka sehingga
kesemuanya kembali seperti semula dan tidak percaya akan kebenaran pendapat
yang kuberikan.
Dipaksanya sang suami
mengangkat perkara ini ke mahkamah negeri di Qafsah. Ketua mahkamah meminta
mereka pergi ke pusat dan meminta penyelesaian dari Mufti Besar Negara. Maka
pergilah orang yang malang ini ke sana dan menunggu selama satu bulan penuh
untuk dapat menghadap mufti. Diceritakannya masalahnya dari awal hingga akhir.
Mufti bertanya tentang pendapat ulama yang menganggap sah perkawinan mereka.
Katanya tiada siapa pun yang mengatakan demikian kecuali seorang yang bernama
at-Tijani as-Samawi. Mufti mencatat namaku dan berkata kepada orang ini:
“Pulanglah! Aku akan kirimkan sepucuk surat kepada ketua mahkamah negeri di
Qafsah.”
Tidak lama selepas
itu tibalah sepucuk surat dari Mufti Besar. Kemudian wakil orang ini
memberitahunya bahwa mufti juga menghukumkan haram perkawinan mereka dan
dianggap tidak sah.
Itulah apa yang
diceritakan oleh orang yang malang dan lemah ini kepadaku. Dia meminta maaf
karena telah menyebabkanku susah dan terganggu. Aku juga berterima kasih
kepadanya atas timbang rasanya yang tinggi. Tetapi aku heran kenapa mufti besar
menganggap perkawinan seumpama itu tidak sah. Aku minta orang ini mendapatkan
lembaran tulisan yang dikirimkan oleh mufti kepada mahkamah di sini agar aku
dapat memuatnya di akhbar-akhbar (harian-harian) di Tunisia. Aku ingin katakan
bahwa mufti tidak mengetahui mazhab-mazhab Islam dan tidak tahu akan
perbedaan-perbedaan fiqh mereka di dalam perkara susu-menyusu ini.
Orang ini berkata
bahwa dia tidak dapat melihat file (persoalan) perkaranya, apalagi untuk
mendapatkannya. Akhirnya kami berpisah.
Setelah beberapa hari
sepucuk surat panggilan pun datang kepadaku dari mahkamah. Mereka
memerintahkanku agar datang membawa rujukan dan hujjah atas keabsahan perkawinan
“dua kakak-beradik satu susuan ini. Aku datang dengan membawa berbagai
buku rujukan yang telah kuteliti sebelumnya. Setiap Bab Menyusui kuletakkan
tanda agar mudah dan dapat mengenalnya kelak. Aku pergi pada waktu dan jam yang
ditentukan itu. Sekretaris ketua mengambil kedatanganku dan memintaku masuk ke
ruang bilik pejabat ketua. Di sana aku dikejutkan dengan kehadiran ketua
mahkamah negeri, ketua mahkamah kampung dan wakil dari pusat beserta tiga
anggotanya yang lain. Mereka semua mengenakan pakaian kebesaran mahkamah
yang seakan-akan mereka sedang berada dalam satu persidangan resmi. Aku
perhatikan juga di sana ada lelaki yang malang itu duduk di sisi lain. Aku
ucapkan salam kepada mereka semua. Mereka pun memandangku dengan sikap menghina
dan jengkel. Ketika aku duduk , ketua mereka berbicara kepadaku dengan nada
yang kasar:
– “Anda Tijani
Samawi?” – “Ya.” Jawabku – “Anda yang memberi fatwa akan sahnya perkawinan ini?
– “Bukan saya. Tetapi Imam-imam fiqh dan ulama kaum Muslimin yang memberikan
fatwa akan sahnya perkawinan tersebut.” – “Itulah kenapa kami memanggilmu. Anda
sekarang dalam tuduhan. Jika anda tidak dapat membuktikan kebenaran dakwaan
anda makan anda akan dihukum penjara. Dan dari sini anda akan terus diiring ke
penjara.” Aku sadar bahwa aku kini berada dalam suatu tuduhan yang keji. Bukan
kerana aku memberikan fatwa tersebut, tetapi ada beberapa ulama jahat yang
mengatakan kepada penguasa bahawa aku adalah penyulut fitnah , mencaci sahabat
dan menyebarkan Syi’ah Ahlul Bait Nabi. Ketua mahkamah berkata bahwa jika ada
dua saksi yang membuktikan kesalahanku maka dia akan memasukkanku ke dalam
penjara. Di sisi lain, Jama’ah Ikhwanul Muslimin memanipulasi fatwa ini. Mereka
sebarkan kepada kalangan umum dan khusus bahawa aku menghalalkan nikah antara
kakak-beradik. Dan ini adalah pendapat Syi’ah. Begitulah dugaan mereka.
Semua ini aku sadari
ketika Ketua Mahkamah mengancamku dengan penjara. Tiada lain bagiku waktu itu
kecuali menentang dan mempertahankan dari dengan penuh keberanian. Kukatakan
kepada ketua: “Apakah saya boleh bercakap dengan terus terang dan tanpa takut?”
– “Bicaralah. Tetapi Anda tidak mempunyai pembela.” – “Pertama-tama, aku tidak
mengangkat diriku sebagai mufti. Ini suami perempuan itu berada di hadapan
kalian dan tanyakan kepadanya. Dialah yang datang ke rumahku dan bertanya
kepadaku. Sudah tentu aku wajib menjawabnya mengikut apa yang aku tahu. Aku
tanyakan kepadanya berapa kali dia minum susu tersebut. Ketika diberitahunya
bahwa isterinya menyusu dua atau tiga kali saja maka aku memberitahu kepadanya
hukum Islam yang benar. Dalam hal ini aku bukan seorang yang mujtahid dan bukan
pula seorang yang mengadakan syari’at baru.”
– “Aneh. Anda
sekarang mendakwa yang Anda tahu akan hukum Islam dan kami jahil.” – “Astaghfirullah.
Aku tidak bermaksud demikian. Semua orang di sini tahu apa pendapat mazhab Imam
Malik dan hanya berhenti pada pendapatnya saja, sementara aku menelitinya dalam
berbagai mazhab dan mendapatkan cara penyelesaiannya di sana.” – “Di mana anda
dapatkan jalan penyelesaiannya?” tanya ketua. – “Sebelum itu bolehkah aku
bertanya satu soalan hai ketua?” – “Tanyakanlah apa yang kau mau.” – “Apa
pendapat Anda tentang mazhab-mazhab Islam yang lain?”– “Semua benar. Semua
mereka mengambilnya dari Nabi; dan perselisihan yang ada adalah rahmat.” –
“Kalau demikian maka kasihanilah orang yang malang ini (sambil menunjuk ke arah
orang tersebut) yang telah dua bulan lebih berpisah dengan isteri dan
anak-anaknya. Padahal di sana ada mazhab Islam lain yang memberinya penyelesaian.”
Dengan nada marah
ketua itu berkata: – “Bawakan dalilnya
dan jangan berdolak dalik. Kami telah berikan hak kepadamu untuk membela
dirimu; dan sekarang kau mahu membela orang lain.”Kuberikan kepadanya kitab
Minhaj as-Solihin, fatwa Syed al-Khui. Kukatakakan kepadanya bahwa ini adalah
mazhab Ahlul Bait. Di dalamnya memuat berbagai dalil. Kemudian beliau memotong
kata-kataku: “Jangan libatkan kami dengan mazhab Ahlul Bait. Kami tidak
mengenalnya dan tidak beriman kepadanya.”Aku memang menduga demikian. Karena
itu aku bawa bersamaku beberapa buku rujukan Ahlu Sunnah Wal Jamaah yang telah
kukaji dan kususun sejauh pengetahuanku. Kuletakkan Sahih al-Bukhori di
bahagian pertama. Kemudian Sahih Muslim. Lalu kitab fatwa Syaltut, Bidayah
al-Mujtahid Wa Nihayah al-Muqtasid karangan Ibnu Rushd, kitab Zad al-Masir Fi
I’lmi at-Tafsir karangan Ibnu al-Jauzi dan beberapa buku rujukan lain dari
kalangan Ahlus Sunnah (Sunni).
Ketika pengetua
menolak kitab Syed al-Khui, kutanyakan kepadanya kitab apa yang beliau pegang
dan jadikan rujukan. “Bukhori dan Muslim,” katanya. Lalu kuambil kitab Sahih
al-Bukhori dan kubukakan halaman yang telah kutandakan. “Silakan baca hai yang
arif,” kataku mempersilakan. “Engkau baca.” Mintanya kepadaku. Lalu kubaca:
“Telah diriwayatkan oleh Fulan daripada si Fulan dan daripada A’isyah yang
berkata: “Rasulullah saw meninggal dan tidak menjatuh-muhrimkan susuan
melainkan setelah lima susuan atau lebih.”
Maka sang ketua
tersebut mengambil buku itu dariku dan membacanya. Kemudian diberikannya kepada
wakil dari pusat yang duduk di sampingnya. Lalu dibacanya dan diberikannya pula
kepada orang yang duduk di sisinya. Kemudian aku keluarkan pula kitab Sahih
Muslim dan kubukakan pula hadits yang sama. Lalu kitab Fatwa Syaikh al-Azhar
Mahmud Syaltut, di mana beliau telah menjelaskan berbagai perbedaan pendapat
para imam fiqh tentang perkara susu-menyusu ini. Ada sebagian pendapat
mengatakan bahwa ia akan jatuh muhrim setelah lima belas kali susuan; pendapat
lain mengatakan setelah tujuh kali susuan, dan pendapat berikutnya di atas lima
kali susuan. Melainkan Imam Malik yang menyalahi nash dan menjatuh-muhrimkan
walau satu tetes sekalipun. Kemudian Syaltut berkata: “Aku condong pada
pendapat yang tengah, yakni tujuh kali susuan atau lebih.”
Setelah ketua
mahkamah mengetahui semua itu, beliau berkata: “Cukuplah.” Kemudian
beliau memandang pada suami wanita tersebut dan berkata: “Engkau pergi dan bawa
ayah isterimu kemari untuk menyaksikan di hadapanku bahwa anaknya menyusu hanya
dua atau tiga kali saja. Kalau betul maka kau boleh ambil isterimu semula hari
ini juga. Orang yang malang ini pun pergi. Wakil dari pusat dan hadirin yang
lain meminta izin keluar meneruskan tugas masing-masing. Ketika majlis itu
lengang, sang ketua tersebut menghadapku sambil meminta maaf. Katanya: “Maafkan
aku hai Ustaz. Mereka telah menghasut aku tentang dirimu. Mereka berkata
tentang hal yang aneh-aneh atas dirimu. Sekarang aku tahu bahwa mereka hasad
dan dengki kepadamu.”
Hatiku sangat gembira
melihat perubahan cepat seperti itu. Aku berkata: “Segala puji bagi Allah yang
telah memenangkanku di tanganmu hai pengetua yang arif.” – “Aku dengar Anda
juga mempunyai buku Hayat al-Hayawan al-Kubro karya ad-Dumairi?” Tanyanya
kepadaku. – “Ya.” Jawabku. – “Bolehkah anda pinjamkan padaku? Telah dua
tahun aku mencari buku itu.” – “Ia adalah milikmu bila saja kau mau.” – “Apakah
Anda mempunyai waktu untuk datang ke kantorku agar kita berbincang dan belajar
darimu.” Pintanya. – “Astaghfirullah. Saya yang seharusnya belajar darimu. Anda
adalah orang yang lebih tua dan lebih agung dariku. Saya ada empat hari cuti
dalam seminggu. Saya senantiasa hadir menerima jemputanmu.”
Akhirnya kami
sepakat setiap hari Sabtu untuk dapat duduk bersama, karena hari itu
beliau tidak disibukkan dengan urusan mahkamah. Setelah beliau memintaku
meninggalkan kitab Bukhori dan Muslim serta kitab Fatwa Syaltut untuk dapat
disalinnya semua nash-nash yang ada, beliau sendiri berdiri dan mengantarku
pulang sehingga terbukalah pintu tanda suatu penghormatan. Aku keluar dengan
hati yang sangat gembira sambil memuji-muji Allah atas kejayaan ini di mana
sebelumnya aku masuk dalam keadaan takut dan diancam penjara. Kini aku keluar
dari mahkamah dan sang ketuanya telah menjadi seorang sahabat yang dekat, menghormatiku
dan memintaku menemaninya agar dapat “belajar”. Semua ini adalah berkat Ahlul
Bait yang tiada akan rugi orang yang berpegang kepada mereka dan akan aman
orang yang merujuk kepada mereka.
Suami yang malang
tadi menceritakan semua apa yang dilihatnya kepada penduduk desanya sehingga
berita itu tersebar ke seluruh pelosok desa yang ada di sekitarnya. Dia kini
kembali bersama-sama isterinya dan perkara perkawinannya dianggap sah.
Orang-orang pun mulai berani berkata bahwa aku lebih alim dari semua, bahkan
dari mufti besar sekalipun. Si suami ini kemudian datang ke rumahku dengan
keretanya yang besar, ingin mengajak aku dan keluargaku ke desanya. Dia
memberitahuku bahwa semua keluarganya sedang menunggu kedatanganku. Mereka akan
meyembelih tiga ekor anak unta sebagai tanda syukur dan kegembiraan. Tetapi aku
meminta maaf karena tidak dapat hadir lantaran kesibukanku di Qafsah. Kukatakan
kepadanya bahwa aku akan mengunjungi kalian di waktu yang lain saja, Insya
Allah.
Lalu sang kgetua
mahkamah tadi pun menceritakan kejadian itu kepada sahabat-sahabatnya, hingga
tersebarlah cerita itu dan Allah telah menolak tipu daya orang-orang yang
menipu. Sebagian mereka datang meminta maaf dan sebagian lagi Allah bukakan
hatinya untuk menerima hidayah dan kebenaran sehingga mereka ikut mazhab Ahlul
Bait dan menjadi orang-orang yang mukhlisin. Semua ini adalah karunia Allah
yang Dia berikan kepada mereka yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Pemberi
Kurnia Yang Agung. Wa Akhiru
Da’wana Anil Hamdulillahi Rabbil A’lamin. Wa Sollallahu A’la Sayyidina
Muhammadin Wa A’la Aalihi at-Thayyibin Wat Tahirin.