Dalam
salah satu ceramahnya, Ayatullah Muhsin Qaraati bercerita: “Suatu hari seorang
mullah berlayar menuju sebuah pulau –dan di sana ia berjumpa dengan seorang
intelektual. Sang mullah ini mengajak sang intelektual untuk berdialog dan
berbicara –namun gayung tak bersambut. Dua tiga kali sang mullah mengajak sang
intelektual berdialog, tapi tetap saja sang intelektual bersikap acuh dan
mengabaikannya. Kala itu sang intelektual berkata lantang, “Setiap kali saya
melihat serbanmu itu, saya muak!” Mendengar kejujuran sang intelektual
tersebut, sang mullah pun membuang serbannya. “Untuk apa kau membuang serbanmu
itu?” Tanya sang intelektual. “Agar aku dapat berbicara denganmu sebagai
manusia biasa tanpa terhalang serban ini!” jawab sang mullah.
Karena
sikap sang mullah itu, sang intelektual itu pun berubah sikap, dan mengajak si
mullah untuk mampir ke rumahnya. Dan begitulah, sang mullah pun tinggal selama
beberapa hari di rumah sang intelektual. Ketika sang mullah hendak pamit pulang
(setelah mereka melaksanakan dialog dan perbincangan di rumah sang intelektual
itu), sang intelektual menghadiahi sang mullah dua serban sekaligus. Dan sejak
itulah, sang mullah dan sang intelektual menjadi sepasang sahabat.
Pengalaman
yang sama meski tak serupa juga dialami Astrid Darmawan yang semula merasa
tidak sreg dengan Islam yang dikampanyekan dengan memburuk-burukkan agama lain –juga
dengan perilaku para da’i yang dakwahnya menyebarkan kebencian dan tuduhan
kepada kelompok lain yang bukan dari kelompok mereka, sebelum akhirnya Astrid
Darmawan menemukan Islam melalui buku-buku Ibn Arabi, buku-buku yang
mengisahkan teladan Muhammad saw, Fatimah az Zahra as, Imam Ali as, Imam Husain
as yang mengajarkan kasih-sayang kepada sesama manusia serta mengajarkan sikap
tulus untuk menegakkan cinta, membela kemanusiaan, dan keadilan. Sejak itulah,
Astrid Darmawan memilih Mazhab Syi’ah –karena menurutnya mazhab ini mengajarkan
cinta dan kemanusiaan, juga keteladanan.