Acara
bertajuk diskusi budaya dengan tema “Indonesia Dalam Harmoni Kebhinekaan” yang
digelar pada Jum’at 13 Juni 2014 lalu, berhasil berjalan dengan hikmat dan
penuh antusias dari para pengunjung. Sedikitnya, terdapat 150 orang dari
berbagai golongan yang hadir dalam acara yang dilaksanakan di Aula Nurcholis
Madjid, Universitas Paramadina tersebut. Acara dibuka dengan sambutan dari
seorang pembawa acara yang kemudian dilanjutkan oleh sang moderator, yakni Aan
Rukmana yang akan memandu jalannya acara diskusi sore itu.
Dalam
pidatonya, Eros Djarot mengatakan bahwa terdapat sebuah grand design
agar bangsa ini selalu disibukan oleh konflik, sehingga bangsa ini tidak mampu
tumbuh menjadi bangsa yang besar. Beliau juga menambahkan, bahwa kekalahan
intelektual yang paling mendasar bagi bangsa ini adalah ketidaktahuan tentang
grand design tersebut.
"Sebenarnya
saya sudah menaruh curiga semenjak meninggalnya Soekarno hingga saat ini. Ada
sebuah grand design yang membuat bangsa ini tidak mungkin dibiarkan
besar. Oleh karenanya, sebenarnya kekalahan intelektual yang paling mendasar
bangsa ini adalah tidak mengetahui hal itu. Sebenarnya tidak terjadi apa-apa
pada bangsa ini, tapi sekarang menjadi apa-apa, karena ada yang berusaha
membuatnya menjadi apa-apa." Begitulah ujar politikus senior tersebut.
Sementara
itu, dalam acara tersebut Radhar Panca Dahana juga mengatakan bahwa Kebhinekaan
di Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Seorang budayawan yang identik dengan
ciri khas menggulung lengan baju panjangnya tersebut, sangat meyakini bahwa
kebhinekaan di negara ini pasti terjadi.
Kemudian
setelah pembicaraan kedua tokoh nasional tersebut, acara dilanjutkan dengan
pembicara ketiga, yaitu Kyai Alawi Al-Bantani yang merupakan seorang tokoh
keagamaan. Beliau adalah seseorang yang sangat menghargai kebhinekaan dalam
proporsinya sebagai seorang ulama. Hal tersebut, tercermin dari salah satu
karyanya, yaitu sebuah buku yang berjudul "Kyai NU Meluruskan Fatwa-Fatwa
Merah MUI dan DDII". Dalam buku tersebut, Kyai Alawi membantah fatwa-fatwa
yang mendiskreditkan muslim Syi'ah.
Ulama
kelahiran Bandung, 24 Maret 1973 ini juga mengatakan bahwa buku yang
mengkampanyekan tuduah kesesatan Syi'ah yang mengatasnamakan MUI, merupakan
ulah oknum MUI, dan bukan sebuah buku terbitan resmi lembaga agama tersebut.
Lebih lanjut lagi, beliau juga mengatakan bahwa terdapat sebuah instansi besar
yang membiayai penyebaran buku yang belakangan beredar luas dan dibagi-bagikan
secara gratis tersebut.
"Buku
yang berjudul kesesatan Syi’ah yang katanya keluaran MUI itu, sebenernya bukan
keluaran MUI. Tapi ada oknum anggotanya yang mengatasnamakan MUI. Bahkan informasi
valid yang saya dapatkan bahwa buku tersebut telah dicetak sebanyak 6.000.000
eksemplar dan disebarkan secara gratis di seluruh Indonesia. Bisa dibayangkan
berapa duit yang harus dikeluarkan? Oleh karenanya, pasti ada yang membiayai,
dan bukan perseorangan." Ujar Kyai yang aktif dalam Tim Aswaja Center
Lembaga Takmir Masjid PBNU.
Selain
itu, beliau juga mengatakan bahwa tidak pernah ada masalah antara muslim Sunni dan
Syi'ah. Terlebih dalam Risalah Amman, Syi'ah merupakan sebuah mazhab yang diakui
dan boleh diikuti. Beliau juga menambahkan, bahwa letak perbedaan antara Sunni-Syi'ah
lebih sedikit daripada persamaannya.
"Sunni-Syi'ah
itu sudah dari zaman dulu hidup rukun berdampingan. Perbedaan Sunni-Syi'ah itu
cuma sedikit dan hanya terletak pada furu'uddin (cabang agama). Tapi coba liat
ushuluddin-nya? Apalagi Syi'ah itu adalah salah satu mazhab yang diakui dalam
hasil keputusan Risalah Amman, yang memutuskan itukan ulama seluruh
dunia." Ujar ulama yang bernama lengkap KH Alawi Nurul Alam Al-Bantani
ini.
Setelah
ketiga tokoh pria tersebut menyampaikan pandangannya, kini giliran tokoh
wanita satu-satunya yang menyampaikan gagasannya dalam forum kebhinekaan ini,
yaitu Debra H Yatim. Dalam diskusi tersebut, Debra mengutip kata-kata Anies
Baswedan dalam bukunya yang berjudul "Merajut Tenun
Kebangsaan Kebhinekaan". Pada buku tersebut, Anies Baswedan
mengatakan bahwa "Kebhinekaan di Nusantara adalah fakta dan bukan masalah.
Tenun kebangsaan dirajut dari kebhinekaan adat, suku, agama, keyakinan, bahasa,
dan geografis yang sangat unik. Setiap benang membawa warna sendiri,
simpulannya yang erat menghasilkan kekuatan. Namun rajutan tenun ini belum
selesai."
Menutup
sesi diskusi sore itu, moderator mempersilakan para hadirin untuk melakukan
diskusi langsung (tanya-jawab) kepada para narasumber. Kemudian sebelum menutup
acara, para narasumber juga melakukan orasi terakhir dengan bersama-sama
membacakan "7 Butir Kebersamaan Sikap" yang dihasilkan dalam
pertemuan tersebut. Iringan musik grup band Qisa yang menyanyikan lagu berjudul
“Di Bawah Tiang Bendera” karya Iwan Fals dan Franky pun akhirnya menutup segala
rangkaian acara diskusi ini.