Oleh KH. Dr. Jalaluddin Rakhmat
Pada 12 Day 1367 HS
(merujuk ke penanggalan Iran – Red.), satu rombongan Iran tiba di istana
Kremlin. Mereka datang bukan untuk tujuan politik, kebudayaan, ataupun ekonomi.
Pemimpin rombongan bukan presiden, menteri, atau tokoh kenamaan dalam kerajaan.
Ayatullah Syaikh Javadi Amuli – alim, mufasir, dan filosof Islam – menemui
Gorbachev untuk menyampaikan surat Imam Khomeini. Selama 65 menit, Gorbachev
menyimak surat Imam dengan penuh perhatian. Sekali-sekali air mukanya berubah,
mengikuti apa yang didengarnya. Untuk pertama kalinya ia mendengar langsung
serangan kepada ideologinya, pandangan hidupnya, bahkan hakikat dirinya. Imam
Khomeini menulis antara lain:
Dialah Allah, yang
Mahamulia Mahatinggi. Kepada-Nya kita semua menuju, walaupun kita sendiri tidak
menyadarinya. Manusia selalu berkeinginan mencapai ‘Haq yang Mutlak’ untuk
melebur dalam Allah. Pada prinsipnya, sesungguhnya kerinduan pada kehidupan
abadi yang berakar pada fitrah manusia adalah bukti tentang wujudnya alam
kekal, yang terlepas dari kematian.
Jika Anda ingin meneliti
persoalan ini, Anda dapat memerintahkan orang-orang yang takhasus dalam
ilmu-ilmu ini untuk menelaah – di samping buku-buku filsafat Barat – tulisan
Al-Farabi dan Abu Ali Sina r.a. dalam Hikmat Al-Mashaiyyin untuk menjelaskan
bahwa hukum sebab-akibat bersifat ma’qul dan bukan mahsus (berdasarkan kepada
pancaindra), walaupun semua kriteria – yang aqliah dan yang hisiyah – bersandar
padanya. Begitu pula menjadi jelas bahwa meng-idrak makna yang kulliy dan
prinsip-prinsip umum adalah idrak yang aqliah dam bukan hisiyah, walaupun semua
istidlal – yang hisiyah dan aqliah – bersandar juga padanya?
Mereka juga boleh merujuk
kepada kitab-kitab Suhrawardi dalam Hikmat Al-Isyraq sehingga jelas bagi Anda
bahwa jisim dan semua maujud material memerlukan nur mutlak yang tidak dapat
di-idrak dengan pancaindera. Demikian pula idrak yang syuhudi dan langsung dari
diri manusia pada hakikatnya terlepas dari gejala-gejala hisiyah.
Perintahkanlah para
profesor besar untuk menelaah Asfar Al-Hikmah Al-Muta’aliyyah dari Shadr
Al-Muta’allihin sehingga jelas bahwa hakikat ilmu adalah wujud yang terlepas
dari materi dan bahwa semua makrifat hakiki terlepas dari kebendaan dan tidak
tunduk pada hukum dan kriterianya.
Saya tidak bermaksud
menyulitkan Anda. Saya tidak menyentuh kitab para ‘urafa, terutama sekali kitab
Muhyiddin Ibn ‘Arabi. Bila Anda mau menelaah pembahasan orang besar ini, Anda
boleh memilih beberapa orang pandai di antara para sarjana Anda yang mempunyai
kemampuan untuk sampai ke pembahasan ini dan mengantar mereka ke Qum untuk
meneliti – dengan tawakkal kepada Allah – selama beberapa tahun sehingga mendalami
tingkat-tingkat makrifat, sedalam-dalamnya. Tanpa perjalanan ini, tidak mungkin
tercapai makrifat seperti itu.
Setelah selesai
mendengarkan pembacaan surat, Gorbachev antara lain berkata, “Sebagaimana Imam
Khomeini mengajak kami kepada Islam, bolehkah kami juga mengajak Imam untuk
menerima akidah kami.” Tetapi ucapan ini segera disusulnya dengan perkataan,
“Saya hanya bergurau belaka.”
Kepada utusan Gorbachev
yang datang ke Qum, Shevamadze, Imam Khomeini berkata, “Aku ingin membukakan
kepadanya satu lubang dari alam gaib. Aku tidak bermaksud berbicara kepadanya
tentang hal-hal yang material.”[1]
Surat Imam Khomeini kepada
Gorbachev sangat menarik untuk kita teliti. Bukan saja karena itu merupakan
surat panggilan kepada Islam, yang ditulis seorang pemimpin Islam buat pemimpin
“Kafir”; dan bukan saja karena surat itu meramalkan dengan tepat kejatuhan
sistem komunisme (dan Marxisme-Materialisme). Surat itu menarik karena di
dalamnya terdapat petunjuk awal bagi mereka yang ingin menempuh jalan menuju Allah,
Al-Haq Al-Muthlaq, Al-Nur Al-Muthlaq. Imam Khomeini menyebut ahli hikmah
seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina; juga ahli makrifat seperti Suhrawardi dan Ibn
Arabi. Inilah petunjuk jalan bagi orang yang ingin meninggalkan dunia material
di alam syahadah menuju dunia ruhani di alam gaib. Inilah pengantar kepada apa
yang lazim disebut tasawuf – walaupun Imam Khomeini tidak menyebutnya demikian.
Apa yang Disebut Tasawuf?
Dalam berbagai ucapan dan
tulisannya, Imam tidak pernah secara khusus menyebut kata tasawuf. Sebagai
gantinya, beliau sering menyebut kata ‘irfan. Memang ada banyak definisi
tentang tasawuf. Al-Suhrawardi mengatakan, “Qawl para guru tasawuf tentang apa
itu tasawuf lebih dari seribu banyaknya, yang tentunya akan panjang sekali
kalau dikutip semuanya.”[2]
Walaupun begitu,
Al-Suhrawardi menyebutkan juga beberapa definisi dari tokoh-tokoh kenamaan
dalam dunia tasawuf. Seperti Al-Suhrawardi, kita pun akan mengutipkan sebagian
darinya. Tidak terinci, tetapi sekadar contoh saja.[3]
Menurut Abu Sa’id
Al-Kharraz (wafat 268 H): Ia ditanya tentang sufi dan ia berkata, “Orang yang
telah Allah bersihkan hatinya. Kemudian hatinya dipenuhi cahaya. Ia masuk dalam
hakikat kenikmatan dengan berzikir kepada Allah.”
Menurut Al-Junayd
Al-Baghdadi (wafat 497 H): “Tasawuf ialah (keadaan ketika) Al-Haq mematikan
kamu dari kamu dan menghidupkan kamu dengan-Nya.”
Menurut Abu Bakar
Al-Kattani (wafat 322 H): “Tasawuf ialah shafa (penyucian) dan musyahadah
(penyaksian).”
Menurut Ja’far Al-Khuldi
(wafat 348 H): “Tasawuf ialah menenggelamkan diri dalam ‘ubudiyyah, keluar dari
basyariyyah, dan melihat kepada Al-Haq secara kuliyyah.”
Sewaktu Al-Syibli ditanya
tentang tasawwuf, ia berkata, “Permulaannya makrifat kepada Allah dan akhirnya
mengesakan-Nya.”
Tanpa penjelasan tambahan,
definisi-definisi itu tidak berarti apa-apa. Pada umumnya, orang mengelirukan
pengertian tasawuf dengan “zuhud” dan “ibadah”; atau sufi dengan zahid dan
‘abid. Adalah Ibnu Sina yang membedakan dengan jelas ketiganya; dan dengan
begitu menegaskan makna tasawuf.
Zahid adalah orang yang
memalingkan diri dari kesenangan dan kenikmatan dunia. ‘abid adalah orang yang
memelihara perbuatan ibadat seperti shalat dan puasa. ‘arif adalah orang yang
memusatkan perhatiannya kepada kesucian jabarut, terus-menerus mempertahankan
sinar cahaya Al-Haq dalam sirr-nya. Dan ‘arif yang dimaksud oleh Ibnu Sina
adalah sufi yang kita maksud dalam pembicaraan sekarang.
Seseorang boleh zahid,
tetapi tidak ‘abid; seperti juga seseorang boleh ‘abid tetapi tidak zahid. Baik
zahid maupun ‘abid belum tentu ‘arif Tetapi seorang ‘arif telah semestinya
‘abid dan zahid. Ibadah dan zuhud seorang ‘arif (sufi) berbeda dari ibadah dan
zuhud seorang yang bukan ‘arif. Menurut Al-Tilimsani, yang membedakannya adalah
tujuan, bukan cara. Seorang sufi berlaku zuhud karena ia ingin menghindarkan
diri dari sesuatu yang memalingkan perhatiannya dari Allah SWT. Ia juga
beribadah bukan karena menginginkan pahala atau takut akan neraka. Sufi
beribadat karena Ia berhak diibadati. Sufi menyembah Allah karena cinta.
Imam Ali berkata, “Ada
kaum yang menyembah Allah karena menginginkan pahala, itulah ibadat pedagang.
Ada kaum yang menyembah Allah karena takut akan siksanya, itulah ibadat hamba
sahaya. Ada kaum yang menyembah Allah karena syukur kepada-Nya, itulah ibadat
manusia bebas.”[4]
Rabi’ah berdoa, “Tuhanku,
jika sekiranya aku menyembah-Mu karena takut akan api nerakamu, masukkanlah aku
ke dalamnya. Bila aku menyembah-Mu karena mengharapkan surgamu, jauhkanlah aku
darinya. Tetapi jika sekiranya aku menyembah-Mu karena Engkau semata (karena
wajah-Mu yang mulia), jangan haramkan aku dari memandang-Nya.”
Walhasil, tasawuf
sebenarnya adalah tahapan lebih lanjut dari ibadat dan zuhud. Orang menjadi
sufi bila ia telah meninggalkan ibadat yang ananiyah (egoistik) menuju ibadat
yang semata-mata berdasarkan cinta; bila ia telah berhijrah dari “aku”-nya
menuju Allah SWT. Tasawuf pada hakikatnya adalah perjalanan ruhani. Al-Ghazali
menulis:[5]
Sufi mempunyai jalan
ruhani yang ia jalani. Jalan itu disandarkan – dalam asas, manhaj, dan
tujuannya – pada Al-Quran dan Sunnah Nabi. Telah disebutkan pada pasal
sebelumnya ucapan para tokoh tasawuf yang menegaskan dan menjelaskan keteguhan
mereka dalam berpegang pada Al-Quran dalam perjalanan mereka menuju Allah SWT.
Jalan ini telah dicoba
oleh para sufi. Hasilnya juga diperkuat dengan jalan percobaan. Jauhar jalan
sufi ialah apa yang mereka sebut maqam dan hal. Maqam adalah derajat-derajat
ruhani yang dilewati seorang salik ketika berjalan menuju Allah. Dalam derajat
itu ia berhenti sampai waktu tertentu, berjuang mempertahankannya, sehingga
Allah mengantarkannya ke derajat berikutnya. Dengan begitu, ia naik dalam
tingkat ruhaninya dari tahap yang satu ke tahap yang lebih tinggi. Begitulah,
derajat tawbah mengantarkan ke derajat wara’, derajat wara’ mengantarkan ke
derajat zuhud. Begitulah terus-menerus, sampai akhirnya manusia mencapai
derajat cinta, dan dari situ ke derajat ridha.
Derajat-derajat ini mesti
dicapai dengan jihad dan penyucian diri. Karena itu, mereka mengatakan: derajat
ini dicapai (bukan dianugerahkan) dengan bersungguh-sungguh dalam ketaatan dan
berusaha keras mencapai hakikat ‘ubudiyyah. Adapun hal adalah embusan ruhani
yang dianugerahkan kepada salik. Di situ dirinya menghirup embusan ruhani itu beberapa
saat, lalu berjalan lagi dengan meninggalkan semerbaknya. Ruhnya merindukan
untuk mengisap wanginya itu lagi. Satu misal, hal adalah uns (kerinduan kepada
Allah).
Secara singkat, tasawuf
adalah perjalanan ruhani menuju Allah. Dalam perjalanan itu, seorang salik akan
memperolehi pengetahuan ruhani tentang derajat yang dilewatinya. Karena itu,
tasawuf sebetulnya sebuah mazhab epistemologis. Tasawuf mengajarkan metode
sistematik untuk memperoleh pengetahuan seperti itu (lazimnya disebut
makrifat). Makrifat atau ‘irfan yang diperoleh sufi menunjukkan pandangan-dunia
(world- view) yang khas. Karena itu, tasawuf juga sebuah mazhab ontologis.
Pada mazhab Ahli Sunnah,
metode sistematik tasawuf – yang dirumuskan oleh pendiri aliran – biasanya
disebut thariqat. Sebanyak pendirinya, sebanyak itulah aliran thariqat. Tasawuf
yang diajarkan oleh Imam Khomeini (q.s.) – bila dapat disebut thariqat –
bersumber pada para imam Ahli Bayt a.s. Pada Ahli Sunnah, para ulama dapat
mengambil mazhab Syafi’i dalam fiqih tetapi Niqsyabandi dalam tasawuf. Pada
mazhab Ahli Bayt a.s. tidak ada aliran thariqat (karena thariqat tidak terlepas
dari ilmu-ilmu Islam yang lain; semuanya bersumber pada ajaran para imam Ahli
Bayt a.s.).
Tetapi, secara ontologis,
Imam Khomeini (q.s.) banyak mengambil pelajaran dari Syaikh Al-Akbar Ibn
‘Arabi, guru besar ilmu tasawuf dari kalangan Ahli Sunnah. Pada usia kurang
duapuluh tujuh tahun, Imam Khomeini belajar Syarh Fushush Al-Hikam dari alim
besar dalam ‘irfan, Ayatullah Syahabadi selama enam tahun. Pelajaran ini
diikutinya setelah menamatkan kitab Al-Asfar dari Mulla Shadra. Setelah
menyelesaikan Fushush Al-Hikam, Imam Khomeini kemudian menelaah kitab ‘irfan
lainnya, Mishbah Al-Uns. Sebelum mencapai usia tiga puluh lima tahun, Imam
Khomeini telah menulis ta’liqat pada Syarh Fushush Al-Hikam dari Al-Qusairi dan
ta’liqat pada Mishbah Al-Uns dari Shadr Al-Din Al-Qunawi,[6] di
samping kitab-kitab lainnya dalam ‘irfan seperti Mishbah Al-Hidayah dan Syarh
Du’a Al-Sahar.
Walaupun Imam Khomeini
(q.s.) seorang marja’ dalam fiqih Ja’fari (dan menulis banyak kitab berkenaan
dengan masalah-masalah fiqhiyah seperti Kitab Al-Bay’, Tahrir Al-Wasilah,
Al-Rasa-il), ia banyak berbicara dan menulis berkenaan dengan ‘irfan. Untuk
mengetahui serba sedikit ajaran beliau berkenaan dengan suluk (metode
memperoleh makrifat), dan aspek ontologis (pandangan-dunia sufi), saya akan
banyak mengutip dari Sharh Chehel Hadith (Syarh Empat Puluh Hadis, sebuah kitab
yang penuh dengan petunjuk-petunjuk tasawuf) dan Al-Adab Al-Ma’nawiyyah li Al-
Shalat.
Suluk: Perjalanan Menuju Allah
Dalam suratnya kepada
Gorbachev, Imam Khomeini berkata, “Kepada-Nya kita semua menuju, walaupun kita
sendiri tidak menyadarinya. Manusia selalu berkeinginan mencapai ‘Haq yang
Mutlak’ untuk melebur dalam Allah.” Perkataan beliau ini menggemakan kembali
apa yang pernah ditulis oleh Ibn ‘Arabi. Kita semua kembali kepada Tuhan.
Sebagian besar kembali kepada-Nya secara terpaksa (ruju’ idhthirari). Sebagian
kecil ingin kembali kepada-Nya secara sukarela (ruju’ ikhtiyari).
Untuk kembali kepada Allah
dengan sukarela, kita mesti dengan kuat menanggalkan ananiyyah kita, rumah kita
yang gelap, dan sekaligus berhala kita. Kita keluar dari rumah kita, berhijrah
kepada Allah dan Rasul-Nya. Imam Khomeini mengutip firman Allah, “Barangsiapa
yang keluar dari rumahnya berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian maut
mengenainya, ia akan memperolehi pahalanya disisi Allah.” (QS 4: 100)
Ketika menjelaskan hadis
ke-37, Imam Khomeini berkata:[7] Sesungguhnya syarat pertama dalam
perjalanan menuju Allah adalah keluar dari rumah diri, keakuan dan ananiyyah,
yang gelap-gulita. Bukankah manusia dalam perjalanan lahiriah yang dapat
diketahui dengan pancaindera saja belum dikira berjalan selama ia tetap tinggal
di tempatnya atau di rumahnya; sekali pun ia mengkhayalkan perjalanan atau
membayangkan dirinya sebagai musafir. Untuk disebut musafir, ia mesti
meninggalkan tempat dan menjauhi rumahnya.
Begitu pula safar ‘irfani
menuju Allah dan hijrah syuhudiyah tidak akan terjadi kecuali dengan
meninggalkan rumah diri yang gelap dan dengan menghilangkan kesan-kesannya.
Selama kesan-kesan ta’ayyunat masih dapat disaksikan, selama suara-suara
katsrat masih terdengar, manusia belum dianggap sebagai musafir. Ia hanya
berkhayal melakukan safar dan mengaku sedang bepergian dan melakukan suluk.
Allah berfirman, “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya berhijrah kepada Allah
dan Rasul-Nya kemudian maut mengenainya, ia akan memperolehi pahalanya di sisi
Allah.” (QS 4: 100)
Setelah seorang salik bertolak
dari rumah dirinya menuju Allah dengan menjinakkan hawa nafsu dan ketakwaan
yang sempurna, serta pada masa berlepasnya dia tidak membawa keterikatan pada
dunia dan ta’ayyunat, dan kemudian terjadilah safar kepada Allah, maka Al-Haq
yang Mahatinggi akan ber-tajalli padanya sebelum segala sesuatu, pada hatinya
yang telah disucikan dengan uluhiyat dan maqam kemunculan asma dan sifat.
Menurut Imam Khomeini,
ananiyyah baru ditinggalkan ketika seorang hamba menyerahkan pen-tadbir-an
wujud dirinya seluruhnya (hukumat wujudihi kulliha) kepada Allah dan fana dalam
kebesaran rububiyah. “Pada waktu itu, yang mengatur rumah adalah pemiliknya,
sehingga semua perilaku hamba menjadi perilaku ilahi (tasharruf ilahi).
Penglihatannya menjadi penglihatan Ilahi dan ia melihat dengan penglihatan
Al-Haq. Pendengarannya menjadi pendengaran Ilahi dan ia mendengar dengan
pendengaran Al-Haq.”[8]
Menyerahkan hukumat kepada
Allah berarti menundukkan diri sepenuhnya kepada syariat, mengubah dirinya
menjadi insan syar’iy:[9]
Insan syar’iy adalah orang
yang mengatur perilakunya mengikuti apa yang dikehendaki syara’. Sehingga
keadaan lahirnya seperti Rasulullah saw. dan mengikuti teladan Nabi yang mulia
saw. serta mencontoh semua gerak dan diamnya, dalam semua yang ia lakukan dan
semua yang ia tinggalkan....
Ketahuilah... Setiap
langkah di jalan makrifat ilahiah, tidak mungkin dilakukan tanpa memulainya
dengan berpegang kepada zhahir-nya syariat. Apabila manusia tidak beradab
dengan adab syariat yang benar, ia tidak akan memperoleh sedikit pun hakikat
akhlak yang baik. Juga tidak mungkin dalam hatinya ber-tajalli nur makrifat dan
tersingkap ilmu-ilmu batiniah dan rahasia-rahasia syariat.
Bahkan setelah tersingkap
hakikat dan setelah muncul cahaya makrifat di dalam hatinya, ia masih tetap
mesti beradab dengan adab syariat yang zhahir. Dari sinilah kita mengetahui
salahnya anggapan orang bahwa (Apabila telah sampai ke dalam ilmu batin, ilmu
zhahir ditinggalkan) atau (Setelah mencapai ilmu batin, tidak diperlukan lagi
adab yang zhahir). Anggapan ini berasal dari kejahilan orang yang
mengucapkannya dan kejahilan dia akan maqam ibadah dan derajat insaniah.
Jadi, menurut Imam
Khomeini, tasawuf yang benar tidak boleh meninggalkan syariat. Seorang sufi
mesti memulai suluk-nya dengan mendalami dan memahami ilmu-ilmu syariat dan
ilmu-ilmu yang diperoleh melalui bukti-bukti rasional. Ketika menyebutkan
derajat-derajat yang mesti dilewati salik, Imam menyebut martabat ilmu sebagai
martabat yang pertama.
Tetapi Imam juga
mengingatkan agar salik tidak terus-menerus berada dalam derajat ilmu zhahir.
Ilmu zhahir dapat berubah menjadi hijab yang sangat besar, yang membelenggu
dirinya sehingga tidak dapat melanjutkan perjalanan ke derajat yang lebih
tinggi. Bila ia tidak mengoyakkan derajat ini, terjadilah istidraj. “Istidraj
dalam derajat ini terjadi ketika ia menyibukkan diri dengan cabang-cabang ilmu
yang banyak, dan pikirannya berputar-putar di situ. Untuk itu, ia mengembangkan
bukti-bukti yang banyak, sehingga ia tidak dapat masuk ke manzilah yang lain.
Kalbunya terikat dengan derajat ini, sehingga ia tidak memperoleh hasil yang
dikehendaki, yakni fana dalam Allah. Ia menghabiskan umurnya dalam hijab burhan
dan cabang-cabangnya. Semakin banyak cabang, semakin banyak pula hijab dari
hakikat.”[10]
Bila ia mampu menanggalkan
hijab ilmu ini, ia akan sampai ke maqam kedua: memperoleh iman kepada
hakikat-hakikat. Ia mencapai hakikat dzill al-‘ubudiyyah (kehinaan penghambaan)
dan ‘izz rububiyyah (kemuliaan rububiyah). Maqam-maqam berikutnya adalah maqam
thuma’ninah dan musyahadah (yang tidak kita jelaskan dalam tulisan singkat
ini).
Dalam keseluruhan
perjalanan itu, seorang salik mesti memelihara adab-adab batiniah. Dalam
syarahnya untuk hadis berkenaan dengan jihad akbar, Imam Khomeini menyebutkan
hal-hal yang mesti dilakukan oleh mujahid yang berhijrah kepada Allah dan
Rasul-Nya: musyarathah, muraqabah, muhasabah, dan tadzakkur. Imam Khomeini
(q.s.) menjelaskan semuanya itu sebagai berikut:[11]
Di antara hal-hal yang
diperlukan oleh seorang mujahid adalah musyarathah, muraqabah, dan muhasabah.
Seseorang melakukan musyaratah bila ia mensyaratkan kepada dirinya pada hari
pertamanya untuk tidak melakukan amal yang bertentangan dengan perintah Allah
pada hari itu. Ia memutuskan yang demikian dan bertekad melakukannya. Jelaslah
bahwa meninggalkan yang bertentangan dengan perintah Allah untuk satu hari saja
tentunya sangat mudah. Manusia dengan mudah dapat melakukannya. Karena itu,
kuatkanlah tekad, buatkan syarat dan lakukanlah percobaan. Perhatikan bagaimana
hal itu dapat berjalan dengan lancar.
Mungkin saja Iblis yang
terlaknat beserta tentaranya menggambarkan pada diri Anda bahwa perkara itu
sangat sulit. Pastikanlah bahwa ini semua kekeliruan yang dibuat oleh Iblis
yang terkutuk. Kutuklah dia dengan sepenuh hati dan dengan
sesungguh-sungguhnya. Keluarkan waham-waham yang batil dari hatimu. Cobalah
satu hari. Nanti Anda akan melihat hasilnya.
Setelah musyarathah, Anda berpindah ke muraqabah. Di sini Anda memusatkan perhatian sepanjang waktu untuk memperhatikan amal Anda apakah sesuai dengan apa yang telah Anda syaratkan. Sekiranya – semoga Allah menjauhkan Anda darinya – Anda melakukan amal yang bertentangan dengan perintah Allah, ketahuilah bahwa itu adalah perbuatan setan dan tentaranya. Mereka menghendaki agar Anda tidak memenuhi apa yang telah Anda syaratkan pada diri Anda. Laknatlah mereka dan berlindunglah kepada Allah dari kejahatan mereka dan keluarkanlah waswas yang batil dari dalam hati Anda. Katakan kepada setan, “Aku telah mensyaratkan pada diriku untuk tidak melakukan pada hari ini – satu hari saja – perbuatan yang menentang perintah Allah, sebab Dialah yang melimpahkan nikmat kepadaku sepanjang umurku. Dia telah memberikan kepadaku kesehatan, kesejahteraan, keamanan dan anugerah-anugerah lainnya. Seandainya aku terus-menerus berkhidmat kepada-Nya, aku belum memenuhi satu pun dari hak Dia. Karena itu sangat tidak layak kalau aku tidak dapat memenuhi syarat yang sederhana seperti ini.” Aku berharap insya Allah setan berpaling dari Anda dan meninggalkan Anda sehingga menanglah tentara-tentara Tuhan.
Setelah musyarathah, Anda berpindah ke muraqabah. Di sini Anda memusatkan perhatian sepanjang waktu untuk memperhatikan amal Anda apakah sesuai dengan apa yang telah Anda syaratkan. Sekiranya – semoga Allah menjauhkan Anda darinya – Anda melakukan amal yang bertentangan dengan perintah Allah, ketahuilah bahwa itu adalah perbuatan setan dan tentaranya. Mereka menghendaki agar Anda tidak memenuhi apa yang telah Anda syaratkan pada diri Anda. Laknatlah mereka dan berlindunglah kepada Allah dari kejahatan mereka dan keluarkanlah waswas yang batil dari dalam hati Anda. Katakan kepada setan, “Aku telah mensyaratkan pada diriku untuk tidak melakukan pada hari ini – satu hari saja – perbuatan yang menentang perintah Allah, sebab Dialah yang melimpahkan nikmat kepadaku sepanjang umurku. Dia telah memberikan kepadaku kesehatan, kesejahteraan, keamanan dan anugerah-anugerah lainnya. Seandainya aku terus-menerus berkhidmat kepada-Nya, aku belum memenuhi satu pun dari hak Dia. Karena itu sangat tidak layak kalau aku tidak dapat memenuhi syarat yang sederhana seperti ini.” Aku berharap insya Allah setan berpaling dari Anda dan meninggalkan Anda sehingga menanglah tentara-tentara Tuhan.
Muraqabah tidak semestinya
mengganggu pekerjaan harian Anda seperti kasab, safar, atau belajar. Tetaplah
pada keadaan ini sampai datang waktu malam untuk melakukan muhasabah.
Muhasabah adalah melakukan perhitungan pada diri Anda apakah Anda telah melakukan apa yang telah Anda janjikan di depan Allah, dan tidak mengkhianati pemberi nikmatmu dalam muamalah sebagian ini? Bila Anda telah memenuhinya dengan benar, bersyukurlah kepada Allah atas taufik-Nya. Insya Allah, Allah akan memudahkan Anda untuk memperoleh kemajuan dalam urusan dunia dan akhirat Anda. Amal Anda hari berikutnya akan lebih mudah daripada amal Anda sebelumnya.
Jagalah amal ini untuk beberapa waktu. Biasanya amal-amal itu akan menjadi malakah Anda, sehingga amal itu menjadi sangat mudah Anda lakukan. Pada saat itu Anda merasakan kelezatan dan kerinduan untuk menaati Allah dan meninggalkan maksiat kepada-Nya, di alam ini juga, padahal alam ini bukanlah alam balasan tetapi pahala Ilahi menimbulkan kesannya dan menjadikan Anda mendapat kesenangan dan kelezatan dalam menaati Allah dan menjauhi maksiat.
Ketahuilah bahwa Allah tidak membebani Anda dengan apa yang tidak mampu Anda lakukan. Ia tidak mewajibkan kepada Anda apa pun yang tidak dapat Anda lakukan atau apa yang tidak sanggup Anda kerjakan. Tetapi setan dan tentaranya membayangkan dalam diri Anda bahwa perkara ini sangat berat dan sulit.
Muhasabah adalah melakukan perhitungan pada diri Anda apakah Anda telah melakukan apa yang telah Anda janjikan di depan Allah, dan tidak mengkhianati pemberi nikmatmu dalam muamalah sebagian ini? Bila Anda telah memenuhinya dengan benar, bersyukurlah kepada Allah atas taufik-Nya. Insya Allah, Allah akan memudahkan Anda untuk memperoleh kemajuan dalam urusan dunia dan akhirat Anda. Amal Anda hari berikutnya akan lebih mudah daripada amal Anda sebelumnya.
Jagalah amal ini untuk beberapa waktu. Biasanya amal-amal itu akan menjadi malakah Anda, sehingga amal itu menjadi sangat mudah Anda lakukan. Pada saat itu Anda merasakan kelezatan dan kerinduan untuk menaati Allah dan meninggalkan maksiat kepada-Nya, di alam ini juga, padahal alam ini bukanlah alam balasan tetapi pahala Ilahi menimbulkan kesannya dan menjadikan Anda mendapat kesenangan dan kelezatan dalam menaati Allah dan menjauhi maksiat.
Ketahuilah bahwa Allah tidak membebani Anda dengan apa yang tidak mampu Anda lakukan. Ia tidak mewajibkan kepada Anda apa pun yang tidak dapat Anda lakukan atau apa yang tidak sanggup Anda kerjakan. Tetapi setan dan tentaranya membayangkan dalam diri Anda bahwa perkara ini sangat berat dan sulit.
Apabila terjadi – semoga
Allah menjauhkan Anda darinya – selama muhasabah ini kekecewaan dan kegagalan
dalam memenuhi syarat yang telah Anda janjikan itu, mohonkan ampunan kepada
Allah. Bertekadlah dengan penuh keberanian untuk melakukan musyaratah lagi pada
esok harinya. Tetaplah dalam keadaan ini sehingga Allah membukakan di hadapan
Anda pintu taufik dan kebahagiaan dan membawa Anda ke jalan yang lurus bagi
insaniyah.
(Imam Khomeini [q.s.] menyebutkan tadzakkur sebagai usaha untuk mengingat-ingat nikmat Allah, sehingga tumbuh pada diri Anda penghormatan dan pembesaran kepada Allah SWT. Dari penghormatan ini, Anda tidak berani berbuat maksiat di hadapan-Nya).
Karena itu, sahabatku, kenanglah kebesaran Tuhanmu. Ingatlah nikmat dan anugerah-Nya. Ingatlah bahwa Anda berada di hadapan-Nya dan Dia menyaksikan perbuatan Anda. Janganlah berbuat maksiat di depan-Nya. Dalam peperangan besar ini, kalahkanlah tentara setan. Jadikanlah kerajaan Anda kerajaan rahmaniah dan haqqaniyah.
(Imam Khomeini [q.s.] menyebutkan tadzakkur sebagai usaha untuk mengingat-ingat nikmat Allah, sehingga tumbuh pada diri Anda penghormatan dan pembesaran kepada Allah SWT. Dari penghormatan ini, Anda tidak berani berbuat maksiat di hadapan-Nya).
Karena itu, sahabatku, kenanglah kebesaran Tuhanmu. Ingatlah nikmat dan anugerah-Nya. Ingatlah bahwa Anda berada di hadapan-Nya dan Dia menyaksikan perbuatan Anda. Janganlah berbuat maksiat di depan-Nya. Dalam peperangan besar ini, kalahkanlah tentara setan. Jadikanlah kerajaan Anda kerajaan rahmaniah dan haqqaniyah.
Penutup
Tulisan ini hanyalah
bermaksud memperkenalkan pemikiran Imam Khomeini berkenaan dengan tasawuf
(‘irfan). Pembahasan yang lengkap memerlukan buku tersendiri. Cukuplah di sini
dikatakan bahwa Imam Khomeini (q.s.) sangat menguasai ilmu makrifat yang
bersumber dari ajaran Ahli Bayt maupun pemikir-pemikir sufi seperti Ibn ‘Arabi,
Suhrawardi, ataupun Mulla Shadra. Berkat tulisan-tulisan dan pembicaraan Imam
Khomeini, ‘irfan menarik kembali perhatian para ulama (termasuk fuqaha’).
Lebih dari itu,
sebagaimana yang disaksikan oleh siapa saja yang mempelajari kehidupan Imam
Khomeini, beliau juga menjalani kehidupan ‘irfani. Beliau hidup sebagai zahid,
‘arif, dan ‘abid. Tetapi berbeda dari kebanyakan mutashawwifin, beliau tidak
meninggalkan aspek-aspek politik, sosial; dan kebudayaan. Imam Khomeini
bukanlah sufi yang mengasingkan diri dari masyarakat ramai, atau menghabiskan
waktunya di sudut masjid atau gua. Imam Khomeni (q.s.) adalah sufi yang telah
mengguncangkan dunia. Bila kita memetik kata-kata Dr, Muhammad Iqbal, Imam
Khomeni – seperti halnya Rasulullah saw. – adalah orang yang “di waktu malam
pelupuk matanya berlinang air mata, di medan perang pedangnya bersimbah darah;
di gua Hira bermalam-malam terjaga, supaya tegak hukum, bangsa, dan negara.”
Imam Khomeni menutup tulisannya tentang Al-Adab Al-Ma’nawiyah li Al-Shalat dengan doa. Tulisan ini pun ditutup dengan doa yang sama, ber-tabarruk dengan pribadi Imam Khomeni (q.s.):
Imam Khomeni menutup tulisannya tentang Al-Adab Al-Ma’nawiyah li Al-Shalat dengan doa. Tulisan ini pun ditutup dengan doa yang sama, ber-tabarruk dengan pribadi Imam Khomeni (q.s.):
Tuhan kami, telah Engkau
tutupkan kepada kami, hamba-Mu yang lemah, pakaian wujud dengan anugerah,
pertolongan, dan limpahan rahmat dan kurnia-Mu tanpa didahului oleh
pengkhidmatan dan ketaatan atau kami memerlukan ‘ubudiyyah dan ibadah. Engkau
memuliakan kami dengan bermacam-macam nikmat ruhaniah dan jasmaniah, berbagai
rahmat lahir dan batin padahal ketiadaan kami tidak mengurangi kudrat dan
kekuasaan-Mu, dan wujud kami tidak menambah kebesaran dan keagungan-Mu.
Sekarang, mata air rahmaniyah-Mu telah terpancar dan matahari jamaliyah-Mu yang indah telah bersinar. Telah Engkau tenggelamkan kami dalam samudera kasih-Mu, telah Engkau sinari kami dengan cahaya keindahan. Tutuplah segala kekurangan kami, kesalahan kami, dosa kami, kealpaan kami dengan cahaya taufik batini, bantuan dan hidayah sirriyah. Bersihkan hati kami seluruhnya dari kebergantungan kepada dunia dan hiaslah ia dengan kebergantungan kepada kebesaran Al-Quds.
Tuhan kami, dengan ketaatan kami yang sedikit, tidak layak kami memperoleh keluasan dalam kerajaan-Mu. Tetapi siksaan dan azab para pendosa tidak mendatangkan manfaat bagi-Mu. Ampunan dan kasih-Mu bagi orang-orang yang jatuh tidak mengurangi kekuasaan-Mu. ‘Ayn Tsabitah para pendosa mengharapkan kasih-Mu, fitrah orang-orang yang kekurangan mencari kesempurnaan mereka. Karena itu karuniakan kepada kami anugerah-Mu yang luas, dan jangan melihat kekurangan kemampuan kami.
Tuhanku, jika aku tidak layak untuk memperoleh rahmat-Mu, maka Engkau sangat layak untuk memberikan kepadaku kelapangan karunia-Mu....
Tuhanku, telah Engkau tutup dosa-dosaku di dunia, padahal aku lebih memerlukan penutupan itu pada hari kiamat. Tuhanku, karuniakan kepadaku kesempurnaan kebergantungan pada-Mu. Sinarilah hati nurani kami dengan cahaya memandang-Mu. Sehingga pandangan hati kami mengoyakkon hijab-hijab nur, dun tercapailah pusat kebesaran-Mu.
Sekarang, mata air rahmaniyah-Mu telah terpancar dan matahari jamaliyah-Mu yang indah telah bersinar. Telah Engkau tenggelamkan kami dalam samudera kasih-Mu, telah Engkau sinari kami dengan cahaya keindahan. Tutuplah segala kekurangan kami, kesalahan kami, dosa kami, kealpaan kami dengan cahaya taufik batini, bantuan dan hidayah sirriyah. Bersihkan hati kami seluruhnya dari kebergantungan kepada dunia dan hiaslah ia dengan kebergantungan kepada kebesaran Al-Quds.
Tuhan kami, dengan ketaatan kami yang sedikit, tidak layak kami memperoleh keluasan dalam kerajaan-Mu. Tetapi siksaan dan azab para pendosa tidak mendatangkan manfaat bagi-Mu. Ampunan dan kasih-Mu bagi orang-orang yang jatuh tidak mengurangi kekuasaan-Mu. ‘Ayn Tsabitah para pendosa mengharapkan kasih-Mu, fitrah orang-orang yang kekurangan mencari kesempurnaan mereka. Karena itu karuniakan kepada kami anugerah-Mu yang luas, dan jangan melihat kekurangan kemampuan kami.
Tuhanku, jika aku tidak layak untuk memperoleh rahmat-Mu, maka Engkau sangat layak untuk memberikan kepadaku kelapangan karunia-Mu....
Tuhanku, telah Engkau tutup dosa-dosaku di dunia, padahal aku lebih memerlukan penutupan itu pada hari kiamat. Tuhanku, karuniakan kepadaku kesempurnaan kebergantungan pada-Mu. Sinarilah hati nurani kami dengan cahaya memandang-Mu. Sehingga pandangan hati kami mengoyakkon hijab-hijab nur, dun tercapailah pusat kebesaran-Mu.
(Sumber: Al-Hikmah, Jurnal
Studi-Studi Islam; No. 11 Rabi’ At-Tsani-Rajab 1414/Oktober-Desember 1993; hal.
75 – 86).
Catatan:
* Tulisan
ini merupakan makalah penulis yang disampaikan pada “The International Seminar
on the Reapproachment of Sunni and Shi’ite” di Hotel Federal, Kuala Lumpur,
pada 3-4 Juli 1993.
1. Syaikh Javadi Amuli, “Min Nida-i Al-Tawhid”, dalam Risalat Al-Tsaqalayn, No. 1, Thn. 1, ms. 132.
2. ‘Abd Al-Qahir Al-Suhrawardi, ‘Awarif Al-Ma’arif, Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, Beirut, 1983, ms. 57.
3. Definisi-definisi ini dikutip dati ‘Afif Al-Din Al-Tilimsani, Syarh Manazil Al-Sairin ila Al-Haq Al-Mubin, Intisharat Bidar, Qum, 1413 H, ms. 12.
4. NahjAl-Balaghah, Qisar Al-Hikam 237.
5. Al-Ghazali, Al-Munqidz min Al-Dhalal, Dar Al- Kutub Al-Lubnani, Beirut, 1979, ms. 169-170.
6. Kedua tulisan ini telah diterbitkan dengan judul Ta’liqat ‘ala Syarh Fushush Al-Hikam wa Mishboh Al-Uns, Muassasah Pasdar-e Islam, Qum, 1410 H.
7. Sharh Chehel Hadith, Muassasah Tanzim o Nashr-e Athar-e Imam Khomeini, 1371, ms. 625-626.
8. Imam Khomeini, Al-Adab Al-Ma’nawiyyat li Al-Shalat, Talas, Damaskus, 1984, ms. 32.
9. Imam Khomeini, Chehel Hadith, ms. 8.
10. Imam Khomeini, Al-Adab, ms. 36.
11. Imam Khomeini, Chehel Hadith, ms. 9-10.
1. Syaikh Javadi Amuli, “Min Nida-i Al-Tawhid”, dalam Risalat Al-Tsaqalayn, No. 1, Thn. 1, ms. 132.
2. ‘Abd Al-Qahir Al-Suhrawardi, ‘Awarif Al-Ma’arif, Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, Beirut, 1983, ms. 57.
3. Definisi-definisi ini dikutip dati ‘Afif Al-Din Al-Tilimsani, Syarh Manazil Al-Sairin ila Al-Haq Al-Mubin, Intisharat Bidar, Qum, 1413 H, ms. 12.
4. NahjAl-Balaghah, Qisar Al-Hikam 237.
5. Al-Ghazali, Al-Munqidz min Al-Dhalal, Dar Al- Kutub Al-Lubnani, Beirut, 1979, ms. 169-170.
6. Kedua tulisan ini telah diterbitkan dengan judul Ta’liqat ‘ala Syarh Fushush Al-Hikam wa Mishboh Al-Uns, Muassasah Pasdar-e Islam, Qum, 1410 H.
7. Sharh Chehel Hadith, Muassasah Tanzim o Nashr-e Athar-e Imam Khomeini, 1371, ms. 625-626.
8. Imam Khomeini, Al-Adab Al-Ma’nawiyyat li Al-Shalat, Talas, Damaskus, 1984, ms. 32.
9. Imam Khomeini, Chehel Hadith, ms. 8.
10. Imam Khomeini, Al-Adab, ms. 36.
11. Imam Khomeini, Chehel Hadith, ms. 9-10.