“Pernah terjadi dalam sejarah ketika 100 juta orang Indian dibantai oleh
para pendatang di sebuah negeri yang kini disebut Amerika”
Sepanjang beberapa dekade, imperialisme telah
menjadi bahan perdebatan serius di antara kalangan pemikir dan para pegiat
gerakan revolusioner. Beberapa pemikir seperti Hannah Arendt, Eric J. Hobsbawm,
dan Vladimir Lenin adalah
diantara orang-orang yang tercatat sebagai pemikir-pemikir yang meneorisasikan
imperialisme.
Vladimir Ilyich Lenin,
yang adalah seorang penggerak revolusi Rusia, mengaitkan antara imperialisme
dengan perkembangan kapitalisme. Bagi Lenin, imperialisme adalah tahapan
terkini yang tak terelakkan dalam logika perkembangan kapitalisme. Imperialisme
lahir dalam suatu krisis kapitalisme di suatu negeri. Agar keluar dari krisis
periodiknya, kapitalisme harus keluar untuk mencari pasar baru, mengekspansi
batas-batas negara-bangsa untuk mencari lahan, tenaga kerja, dan bahan-bahan
mentah untuk produksi kapitalis yang lebih murah.
Dalam pandangan Lenin,
imperialisme dicirikan oleh lima hal.
Pertama, konsentrasi kapital, baik dalam bentuk konglomerasi
maupun monopoli.
Kedua, meleburnya kekuasaan kapital finans, industri dan
birokrasi.
Ketiga, ekspor kapital dalam bentuk investasi-investasi
industrial.
Keempat, pembagian ekonomi dunia oleh perusahaan-perusahaan
multinasional dan korporasi transnasional melalui kartel internasional.
Kelima, pembagian politik dunia oleh negara-negara maju.
Meskipun teori Lenin banyak dikritik, tetapi ia telah
meletakkan bangunan teori imperialisme yang penting dalam perdebatan
selanjutnya, utamanya pengaitannya dengan kapitalisme dan perkembangan kapital
finans.
Pendekatan Lenin atas
imperialisme itu, contohnya, dikritik oleh Samir Amin, seorang Marxis
berkebangsaan Mesir. Bagi Samir Amin, imperialisme bukan merupakan tahap,
melainkan inheren dalam setiap ekspansi kapitalisme. Sepanjang sejarahnya
imperialisme telah memasuki dua fase dan sedang memasuki fase yang ketiga.
Fase pertama
terjadi pada masa ekspansi kapital merkantilis Eropa Atlantis yang
menghancurkan benua Amerika. Dua aktor utamanya adalah Spanyol dan Inggris.
Hasil yang terjadi akibat dari penaklukan kolonialis ini adalah hancurnya
peradaban Indian, terjadinya Hispano-Kristenisasi, dan genosida (yang konon
mencapai 100 juta) total atas masyarakat Indian, di mana negara Amerika Serikat
berdiri di atasnya.
Penaklukan ini masih
dibumbui oleh kehendak untuk memperadabkan ‘dunia lain’ dengan dalih agama.
Imperialisasi tahap pertama ini pada akhirnya melahirkan sejumlah perlawanan
seperti pemberontakan kaum budak di Haiti, serta revolusi Meksiko dan Kuba.
Fase kedua
terjadi pada masa revolusi industri Inggris yang berujung pada penaklukan Asia
dan Afrika. Penundukan kolonial ini berupaya untuk mencari dan membuka ‘pasar
baru’ bagi perdagangan Eropa. Cecil John Rhodes adalah salah satu figur
pendukung gagasan kolonialisme ini, dengan menyatakan bahwa kolonialisme
Inggris di Afrika akan menyebabkan ekonomi Inggris bangkit kembali dan
menghindarkan revolusi sosial di dalam negeri.
Imperialisme fase kedua
ini berakibat pada membesarnya jurang ketidakadilan sosio-ekonomi yang terus
dihadapi oleh dunia hingga kini. Jika pada tahun 1800-an rasio ketidaksetaraan
adalah dua berbanding satu, maka sejak terjadinya kolonialisme hingga saat ini
rasio ketidaksetaraan itu menjadi enampuluh berbanding satu, dengan hanya
sekitar 20% dari penduduk dunia yang bisa mengambil keuntungan dari sistem yang
terjadi saat ini. Sementara 80% lainnya hidup dalam ketidakpastian dan
ketidakamanan sosio-ekonomi secara persisten.
Imperialisme fase kedua
ini menghasilkan perang-perang dunia besar antar kekuatan imperialis untuk
mempertahankan koloninya. Namun juga menghasilkan berbagai perlawanan yang
terus menentang proyek-proyek imperialis, seperti lahirnya revolusi sosialis di
Rusia dan China, dan tumbuhnya berbagai revolusi pembebasan nasional di
negara-negara Asia dan Afrika.
Kemerdekaan
negara-negara di kawasan Asia dan Afrika tersebut tidak lantas menghancurkan
sistem imperialis itu sendiri. Kekuatan-kekuatan imperialis, yang di antaranya
merupakan kekuatan kolonialis lama seperti Belanda, Inggris dan Perancis serta
negara kapitalis baru yang muncul pada abad ke-19 seperti Jerman, Amerika
Serikat dan Jepang, tidak terlalu sulit untuk beradaptasi dengan ‘situasi baru’
ini.
Kaum imperialis ini
segera mengubah pandangan tradisionalnya bahwa pertumbuhan kapitalis mereka sangat
bergantung dari seberapa besar wilayah koloni yang mereka ekspansi. Dengan
keunggulan yang dimiliki sebagai negara yang maju, kaya-raya, dan memiliki
sumberdaya manusia serta teknologi yang tinggi, mereka segera mengubah modus
dominasinya menjadi imperialisme baru, imperialisme tanpa koloni.
Saat ini kita sedang
memasuki fase imperialisme ketiga yang ditandai oleh runtuhnya
sistem Soviet dan rejim-rejim nasionalis-populis di Dunia Ketiga. Pada
dasarnya, tujuan dari imperialisme fase ini masih sama dengan fase-fase
sebelumnya, yaitu untuk mengukuhkan dominasi kapital, memperluas dan
mengekspansi pasar baru, menjarah sumberdaya agraria, dan melakukan super-eksploitasi
pada tenaga kerja di negara-negara pinggiran.
Berbagai wacana ideologis disiapkan untuk mengukuhkan
hegemoni imperialisme tahap ketiga ini, di antaranya dengan
menggembar-gemborkan demokrasi, humanitarianisme, hak asasi manusia, pasar
bebas dan kesejahteraan, pemerintahan yang bersih dan baik. Tetapi
wacana-wacana ini dikerjakan dengan model standar ganda, dan hanya dilakukan
demi mempermulus akumulasi kapital oleh negara-negara maju pada negara-negara
pinggiran.
Fase ketiga ini juga
berhadapan dengan suatu jaman yang dicirikan oleh terjadinya persenyawaan yang
halus antara menguatnya kekuasaan ekonomi korporasi dengan globalisasi
teknologi, informasi dan pengetahuan. Berbagai fenomena globalisasi seperti:
meningkatnya kekuasaan perusahaan-perusahaan multinasional dalam perdagangan
global, revolusi informasi dan ilmu pengetahuan, serta munculnya masyarakat
yang berbasis jaringan (network society), menguatnya peranan-peranan lembaga
keuangan internasional, serta zona-zona perdagangan bebas yang melampaui
negara-bangsa, membuat para teoretisi tidak bersepaham satu sama lain dalam
memandang tatanan global pada jaman ini.
Sebagian mendefinisikan
tatanan global ini dengan cara pandang baru, sembari mendeklarasikan suatu
jaman ‘pos-imperialis’. Sementara yang lain berpendapat bahwa imperialisme tak
pernah berakhir, hanya memakai modus baru dengan motif lama yang tetap sama.
Seperti anggur lama yang dituangkan dalam botol baru.