Kecintaan
Abu Thalib kepada Nabi Muhammad saw, terlukiskan dari syair-syair yang beliau
ciptakan. Kata-katanya indah dan menyentuh. Suatu ketika saat Abu Thalib
mengajak Nabi saw ke Syam dan sampai di wilayah yang disebut Bushra (Bostra),
mereka yang tengah beristirahat untuk menghilangkan lelah didatangi oleh
seorang rahib yang bernama Buhaira (Bahira). Tanda kenabian yang ada pada diri
Nabi saw dikenali dengan baik oleh Buhaira, dan saat itu Abu Thalib diminta
untuk menjaganya dengan baik. Abu Thalib pun mengabadikan kisah tersebut dalam
syairnya.
Putra
Aminah adalah Nabi Muhammad
Di
sisiku, kedudukannya mengungguli anak-anakku*
Tatkala
memegang kendali, aku menyayanginya
Dan
unta telah siap berangkat dengan membawa perbekalan
Dari
kedua mataku, air mata mengalir deras
Bak
mutiara, karena telah dtinggalkan orang-orang
Di
situ kupelihara kekerabatan yang terjalin
Kujaga
wasiat para leluhur tentangnya
Kuperintahkan
dia berjalan di antara
paman-paman yang berwajah putih,
paman-paman yang berwajah putih,
pemberani
dan gagah.
Mereka
berjalan untuk menjauhi tempat yang sudah dikenal
Maka
telah menjauhi tempat yang biasa didatangi
Hingga
ketika kaum itu melihat dengan mata kepala
mereka
dapati sekumpulan pengintai
Seorang
rahib mengabari mereka berita yang benar darinya
dan
mengusir pendengki itu
Sekelompok
Yahudi telah melihat apa yang dia lihat,
naungan
awan dengan hati yang penuh dengki
Mereka
bergerak untuk membunuh Muhammad
Hingga
ia cegah mereka darinya dan berjuang
dengan
sebaik-baiknya perjuangan
Zubair
dan Buhaira menyembunyikannya hingga ia tersembunyi
Di
tengah kaum itu hingga pergi dan menjauh
Pendeta
itu melarang Daris hingga ia berhenti bicara
Perintahnya
sesuai dengan kebenaran.
Tidakkah
kau lihat aku dengan kesedihan yang kurasakan
Karena
hilangnya kehangatan kasih sayang kedua orang tua
Pada
Ahmad ketika kusiapkan kendaraanku,
untuk
berangkat dan kuucapkan selamat tinggal padanya
Ia
menangis karena sedih, sementara unta
telah
memisahkan kami dan digenggam tali kendali
Kuingat
ayahnya, lalu air mataku menetes,
kedua
mataku sembab dengan air mata yang bercucuran.
Mereka
datang dan ingin membunuh Muhammad
Lalu
ia menjauhkan mereka dengan penolakan yang baik
Dengan
pemahamannya pada taurat hingga mereka yakin
Dan
ia berkata kepada mereka
“Kalian datang ke tujuan yang salah.
Apakah kalian ingin membunuh Muhammad?”
“Kalian datang ke tujuan yang salah.
Apakah kalian ingin membunuh Muhammad?”
Kalian
pasti beroleh kemalangan karena dosa yang besar.
Orang
kami dipilih untuk menjadi pelindung siasat
setiap
orang jelata cukup melindunginya dari kalian”
Karena
itu, diantara tanda tanda dan bukti buktinya
Siang
dan malam tidak seperti malam yang gelap.
*Sejak
Rasul saw dirawat oleh Abu Thalib, yang memiliki sedikit harta namun memiliki
banyak anggota keluarga. Sedikit di satu sisi dan banyak di sisi lain merupakan
penyebab anggota keluarganya tidak pernah kenyang jika mereka duduk menghadap
hidangan, baik sendiri maupun bersama-sama. Apabila Rasulullah saw bergabung
menyantap hidangan, maka anggota keluarga yang lain akan menunggu sampai beliau
kenyang dan memakan sisanya. Apabila waktu makan telah tiba dan Rasul saw belum
kelihatan, maka Abu Thalib berkata kepada keluarganya “Bersabarlah kalian
hingga anakku datang.” Apabila salah satu dari mereka minum susu dari gelas
yang besar, Abu Thalib mengambil gelas itu. Ia ingin Rasul yang minum terlebih
dahulu, barulah seluruh keluarganya dari gelas yang sama.
Dalam
sebuah hadits diriwayatkan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib berkata: “Ayahku
berkata kepadaku, ‘Hai Ali ikutilah anak pamanmu (Muhammad saw), karena
dengannya kamu akan selamat dari setiap kesulitan, baik dunia maupun akhirat’.
Kemudian, ia berkata kepadaku, ‘Terdapat jaminan dalam mengikuti Muhammad. Oleh
karena itu, genggam eratlah, hai Ali, nasihatnya!’”Abu Thalib menunjukkan
kepada putranya agar mengikuti anak pamannya. Di dalam hal itu terdapat
keselamatan dari setiap kesulitan di dunia ini dan di akhirat. Bagi keimanan
terhadap hari akhirat, hari ketika setiap yang bernyawa meninggal dunia,
terdapat pahala. Dan dia telah melakukannya.
Ia
melihat Rasul, pada kesempatan yang lain sedang shalat, sementara Ali ada di
sebelah kanannya. Lalu, ia memandang putranya, Ja’far dan berbisik kepadanya,
“shalatlah di samping anak pamanmu . Shalatlah di sebelah kirinya.” Lalu Abu
Thalib melantunkan bait-bait syair yang indah, yang menyebut nama kedua
putranya, Ali dan Ja’far anak kesayangannya, ketika zaman mencelanya dan
bencana menimpanya, ia memilih kedua anaknya untuk memikul tugas yang paling
mulia ini, yaitu membela anak paman mereka.
Ali
dan Ja’far kesayanganku
Saat
zaman dan bencana mencela
Jangan
telantarkan dan belalah
Anak
paman kalian, saudaraku seibu seayah di antara mereka
Demi
Allah, takkan kutelantarkan Nabi
Dan
pemilik kemuliaan, dari anakku
Takkan
menelantarkannya.
Kepada
saudaranya, Hamzah (Abu Ya’la), Abu Thalib mengajaknya untuk membela agama
Allah dan bersabar atas apa pun yang tidak diinginkan yang akan dihadapinya
sebagai konsekuensi dari pembelaan ini. Ia harus melindungi orang yang membawa
kebenaran dari Tuhannya dengan pembelaan yang tulus dan tekad yang teguh. Abu
Thalib pun membacakan syair:
Sabarlah,
hai Abu Ya’la, dalam membela agama Ahmad
Jadilah
pembela agama ini dengan kesabaran
Lindungi
pembawa kebenaran dari sisi Tuhannya
Dengan
ketulusan dan tekad kuat, jangan jadi kafir
Bahagialah
aku saat kau katakan, “Kau orang Mukmin,”
Jadilah
kau pembela Rasul Allah di jalan Allah
Serulah
Quraisy dengan apa yang kau peroleh terang–terangan,
Dan
katakan, “Ahmad bukan penyihir.”
Ia
mempergunakan kesempatan itu untuk menyerukan Islam, untuk mengungkapkan apa
yang tersembunyi di dalam dadanya dan perasaan yang terpendam di dalam hatinya.
Di antara hal–hal yang menumbuhkan kebahagiannya adalah ketika Hamzah berkata, ”Aku
seorang Mukmin.” Oleh karena itu, ia harus menolong Rasul dengan pertolongan Ilahi,
membela kebenaran karena mencari keridhaan Allah tanpa memandang sesuatu yang
lain, seperti jalinan kekerabatan atau pertalian darah. Agama harus didahulukan
sebelum sesuatu yang lain. Al Barzanji dalam kitabnya mengatakan: “Berita berita yang diriwayatkan secara
mutawattir menyatakan bahwa Abu Thalib mencintai Nabi Saw. Ia melindungi,
membela, dan menolongnya dalam menyampaikan agamanya, serta meyakini apa yang dikatakannya.
Ia menyuruh anak–anaknya, Ja’far dan Ali untuk mengikuti dan membelanya.” Ia
juga berkata: “Berita berita ini semua
jelas, di dalam hatinya dipenuhi keimanan-keimanan kepada Nabi saw”.
Kaum
Quraisy marah karena Nabi Muhammad Saw mencela berhala mereka, yang biasa
mereka sembah. Mereka pun mengadukan hal ini kepada Abu Thalib. “Wahai Abu
Thalib, anak saudaramu telah mencela tuhan–tuhan kami, menghina agama kami,
menganggap bodoh akal kami, dan memandang sesat bapak-bapak kami. Apakah engkau
menghentikan dia atau menyerahkannya kepada kami, karena engkau berbeda
pandangan dengan apa yang kami lakukan. Oleh karena itu, kami memandang engkau
dapat memperingatkannya.” Abu Thalib bersikap lembut kepada mereka dan menjawab
dengan kata–kata halus sehingga mereka beranjak meninggalkannya. Sementara itu,
Rasul terus menyebarkan dakwahnya dan menampakkan agama Allah
Karena
mereka tidak mendapat tanggapan atas yang mereka adukan, hasil yang diharap
tidak kunjung tiba, dan tujuan tidak tercapai, mereka sepakat untuk mendatangi
Abu Thalib lagi. “Wahai Abu Thalib, engkau adalah orang yang dituakan, orang
yang dimuliakan, dan memiliki kedudukan di tengah kami. Kami telah memintamu
menahan anak saudaramu, tetapi engkau tidak menghentikannya. Demi Allah, kami
tidak lagi dapat bersabar terhadap masalah ini, karena bapak -bapak kami telah
dicaci-maki, akal kami telah diremehkan, dan tuhan- tuhan kami dicela hingga
engkau menghentikannya atau kami sendiri yang menghadapi dirinya dan sekaligus
dirimu, sehingga salah satu dari kedua kelompok itu binasa.” Abu Thalib berdiri
di antara dua arus yang deras ini. Masing-masing memiliki kepentingan dan
kekuatan yang sama. Oleh karena itu, ia merasa takut untuk menyatakan
peperangan yang sengit dengan kaumnya yang hanya akan membinasakan orang tua
dan anak-anak. Di sisi lain, ia dapat menelantarkan risalah langit, padahal ia
telah berjanji untuk membelanya. Ia pun tidak dapat membiarkan anak saudaranya,
yaitu utusan langit, sementara ia memiliki hak darinya berdasarkan wasiat
ayahnya yang ia sampaikan pada akhir hayatnya
Ia
menegarkan hatinya dan menguatkan tekadnya. Lalu, ia memanggil anak saudaranya
dan menyampaikan pesan utusan Quraisy kepadanya seraya ingin tahu, melalui
pembicaraan ini, sejauh mana tekad dan kesungguhan anak saudaranya itu dalam
dakwahnya ini. Kemudian ia melanjutkan: “Kasihanilah aku dan dirimu! Jangan
bebani aku dengan perkara yang tidak mampu aku pikul!” Rasul menjawab, “Wahai
pamanku, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di
tangan kiriku agar aku meninggalkan tugas ini sehingga Allah memenangkannya
atau aku binasa karenanya, maka aku tidak akan meninggalkannya!” Abu Thalib
menajamkan pandangannya, lalu ia merasa gembira. Tekadnya menguat lagi. Ia
telah mengalahkan arus deras ini sehingga ia harus membelanya. Ia lebih
mengutamakan pembelaan terhadap agama ini dan perlindungan kepada Rasul, bahkan
kalaupun pembelaan dan perlindungan tersebut mendatangkan permusuhan dari kaum
Quraisy seluruhnya, bahkan jika dari bangsa Arab semuanya.
Ia
harus berjuang dan tidak merendah selama kehendak langit menganugerahinya
limpahan karunia untuk menolongnya, lalu memilihnya menjadi benteng dan gua,
pengasuh dan pemelihara, sejak hari pertama kehidupan Rasul dan pada awal terbitnya
fajar risalah Islam. “Pergilah, hai anak saudaraku! Sampaikanlah apa yang ingin
kau katakan. Demi Allah, aku tidak akan menyerahkanmu pada sesuatu apapun
selama–lamanya!” Kemudian, ia berbisik kepadanya sambil membaca bait–bait syair
berikut:
Demi
Allah, mereka semua tidak akan menyentuhmu
Hingga
aku terkubur berkalang tanah
Jalankan
tugasmu, dan jangan merendah
Sampaikan
tugas itu dan sejuklah matamu.
Kau
seru aku, dan kutahu, kau menasehatiku
Kau
benar, karenanya kau aman
Kutahu
bahwa agama Muhammad
Sebaik-
baik agama bagi umat manusia.
Kaum
Quraisy yang menginginkan Abu Thalib menghentikan Nabi Muhammad menyampaikan
dakwahnya memikirkan cara lain untuk membuat Abu Thalib berubah pikiran. Mereka
membawa ‘Imarah bin al-Walid ke hadapannya. “Wahai Abu Thalib, inilah ‘Imarah
bin al Walid seorang pemuda yang gagah, pandai bersyair dan tampan. Ambillah
dia. Kamu dapat memanfaatkan kecerdasannnya dan kesiapannya untuk membelamu. Jadikanlah
dia anakmu sehingga dia menjadi milikmu. Sebagai imbalannya, serahkanlah anak
saudaramu kepada kami, yaitu orang yang telah menyalahi agamamu dan agama bapak-bapakmu,
serta mencerai-beraikan jemaah kaummu dan mencemoohkan akal mereka. Kami akan
membunuhnya karena ia seorang laki–laki seperti laki–laki lain.”
Abu
Thalib menjawab dengan tenang, “Demi Allah, betapa buruk yang kalian tawarkan.
Apakah kalian akan memberikan kepadaku anak kalian untuk aku beri makan,
sementara aku harus menyerahkan anakku untuk kalian bunuh? Demi Allah ini tidak
akan pernah terjadi!” Al Muth’imbi Adi bin Naufal bin Abd Manaf, salah seorang
sahabatnya pernah berkata, “Demi Allah, wahai Abu Thalib, kaummu telah berlaku
adil kepadamu. Mereka berusaha untuk membebaskanmu dari sesuatu yang tidak kamu
sukai. Akan tetapi, aku tidak melihatmu ingin menerima sesuatu pun dari
mereka.” Abu Thalib menjawab, “Demi Allah, mereka tidak berlaku adil kepadaku,
namun kamu telah sepakat untuk menghinaku dan agar kaum itu melawanku. Oleh
karena itu, lakukanlah apa yang kamu inginkan.” Abu Thalib menggubah syair yang
menceritakan tindakan Al Muth’im bin Adi yang telah menghinanya, juga dari
kabilah Abd Manaf dan orang-orang dari kabilah Quraisy yang memusuhinya:
Katakan
kepada Amr, al Walid, dan Muth’im
Alangkah
baiknya kalau unta muda melindungimu
Yang
penuh dari kelemahan dan banyak bicara
Tetesan
kotorannya menetes hingga kedua betisnya
Tertinggal
di belakang mawar dan tidak pernah menyusul
Ketika
di atas batu besar, disebutlah kucing
Kulihat
dua saudara kami seayah seibu
Bila
ditanya, menjawab “Berikan perkara itu pada selain kami”
Tentu,
keduanya punya urusan, tapi keduanya jatuh
Seperti
batu jatuh pada dari puncak gunung Dzu ‘Alaq
Aku
khususkan Abd Syams dan Naufal
Keduanya
membuang kami bagai membuang bara api.
Keduanya
mencela saudara mereka di tengah kaum
Sehingga
keduanya menjadi yang paling jauh akalnya
Keduanya
bersekutu terhadap kemuliaan orang yang tidak berayah
Di
tengah manusia, kecuali menyebutnya secara bisik bisik.
Dan
Taym, Makhzum, dan Zahrah, dari mereka
Mereka
maula kami ketika pertolongan dibina
Demi
Allah, tidak berguna bagimu permusuhan dan kami
Dan
dari mereka, selama tak seorangpun dari keturunan kami
Akal
dan pikiran mereka telah beku
Dan
mereka seperti anak–anak,
betapa buruknya perbuatan anak–anak
betapa buruknya perbuatan anak–anak
Bukankah
itu selain kemuliaan yang dikhususkan bagi kami
Oleh
Tuhan para hamba
Dan
memilih kami jadi kebanggaannya
Orang–orang
cenderung kepada pendengki dan membenci
Orang
yang memiliki ketinggian, maka selamanya
menjadi keganjilan di tengah mereka
menjadi keganjilan di tengah mereka
Walid,
ayahnya, adalah budak kakek kami
Tipu
daya mengubahnya menjadi keledai liar
Kekuatan
Rasul bertambah kokoh sehingga jauhlah jarak di antara Bani Hasyim dan Muthalib
dengan kaum Quraisy. Abu Thalib semakin mewaspadai kaum Quraisy terhadap Rasul
melebihi hari–hari sebelumnya. Ia selalu melindunginya dan selalu merasa khawatir
bila malapetaka menimpanya. Rasul hampir tidak pernah jauh dari pandangannya
agar kesusahan dan kesulitan tidak terjadi padanya. Abu Thalib pernah merasa
kehilangan anak saudaranya ini. Ia terus menerus mencarinya tetapi tidak
menemukannya. Oleh karena itu, ia mulai cemas dan khawatir, serta wajahnya
menjadi pucat karena bercampurnya kegelisahan, kesedihan dan ketakutan terutama
setelah ia mendengar bahwa kaum Quraisy berencana akan membunuh Muhammad untuk
menghentikan dakwah Islam.
Ia
memanggil pemuda dari kalangan Bani Hasyim dan Muthalib. Ia memerintahkan
kepada mereka agar menyembunyikan senjata tajam masing–masing di balik baju.
Kemudian ia menyuruh setiap orang dari mereka berdiri di samping pemuka Quraisy
dan memberi tanda. Apabila ia telah berputus asa mencari Muhammad dan atau
darahnya telah tumpah sia-sia, padahal darahnya yang tertumpah tidak sebanding
dengan darah mereka semua atau jika Muhammad telah terbunuh, maka mereka dapat
mendatangi para pemuka Quraisy itu dalam sekejap mata dengan menghunus
senjata tajam sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk membalas.
Masing–masing
pergi menuju sasarannya. Anak- anak muda itu mulai menempati tempat masing–
masing yang telah ditentukan oleh Abu Thalib. Ia sendiri pergi ke berbagai tempat
untuk mencari anak saudaranya. Kemudian, ia menemukannya dalam keadaan baik,
tidak terluka sedikitpun, Abu Thalib menggandeng tangannya dan membawanya ke
tengah–tengah khalayak Quraisy sambil berteriak kepada mereka, “Wahai sekalian
kaum Quraisy, tahukah kalian apa yang telah aku sembunyikan?” Anak–anak muda
dari Bani Hasyim dan Muthalib pun memperlihatkan senjata mereka yang telah
disembunyikan untuk menantang mereka dan menunjukkan kekuatannya kepada
mereka. Tampaklah kekalahan pada wajah kaum Quraisy, yang paling tampak jelas
adalah wajah Abu Jahal. Abu Thalib berkata kepada mereka, “Demi Allah, kalau
kalian membunuhnya maka aku tidak akan membiarkan siapapun dari kalian tetap
hidup hingga kami dan kalian binasa!” Kemudian, Abu Thalib menggubah bait–bait
syair. Di dalamnya ia memuji anak saudaranya, setelah mencela kaum Quraisy dan
menyatakan ia berpihak kepada Muhammad dan keluarganya. Dialah pengasuh dan
pemeliharanya, yang kecintaan kepadanya tertanam di dalam hatinya dan memenuhi
dadanya. Ia bukanlah seorang pemutus tali silaturahmi:
Sampaikanlah
kepada Quraisy apa yang terjadi
Terdapat
tipuan dari semua rahasia
Aku
dan para pelantun tasbih setiap hari
Dan
apa yang dibaca ahli surga yang masyhur
Pelindung
dan pemelihara bagi keluarga Muhammad
Dan
dengan cintaku sepenuh dada dan bathin
Bukanlah
aku pemutus kekeluargaan dan dari anakku
Walaupun
para jagal menjalankan kezalimannya
Apakah
mereka suruh anak–anak yang lemah
untuk membunuh Muhammad?
untuk membunuh Muhammad?
Dan
perintah itu merupakan kelaliman
Demi
ayahmu, kaum Quraisy tidak beroleh
Dan
tidak mengimani petunjuk walau mereka ditunjuki
Anak
saudaraku jantung hati bagiku
Airnya
jernih banyak berlimpah
Sesudahnya
anak-anak minum sampai puas
Dan
Ahmad telah menjanjikan baginya kubur.
Ketika
suatu hari Rasul sedang bermunajat kepada Tuhannya, naik ke alam tertinggi dan
tenggelam di dalam dunia roh, tiba-tiba orang Quraisy datang untuk
menghinakannya. Rasul sedang menunaikan shalat, dan mereka ingin mengganggu
shalatnya. Pekerjaan tersebut ditugaskan kepada Abdullah bin az Zabari. Orang
ini pun melaksanakannya dengan semangat. Ia mengambil kotoran dan darah
sembelihan binatang lalu mendatangi Rasul yang sedang bersujud di dalam
keutamaan, lalu melemparkannya ke tubuh Rasul. Rasul tidak memiliki tempat
mengadu selain Abu Thalib. Ia ingin mengadukan kepadanya penderitaan yang
diterimanya agar orang tua tersebut membelanya. Setelah selesai menunaikan
shalatnya Rasul pun menemui Abu Thalib dan menceritakan kejadian yang
menimpanya. Abu Thalib berang atas apa yang menimpa anak saudaranya. Ia harus
menuntut balas kepada mereka. Sambil membawa anak saudaranya dan meletakkan
pedang di pundaknya ia menemui kaum itu. Kata-kata seperti guntur keluar
dari mulutnya: “Demi Allah, kalau seorang saja berdiri, ia akan kutebas
dengan pedangku”
Mereka
pun bertiarap di tanah seperti orang yang kehilangan semangat. Abu Thalib
berpaling kepada anak saudaranya dan bertanya; “Anakku, siapa yang melakukan
ini kepadamu?” Rasul menunjuk ke Ibn az Za’bari. Tanpa basa basi, Abu
Thalib menebas hidungnya hingga darah berceceran mengenai kaum itu serta
membasahi wajah janggut serta pakaian mereka. Ia berbicara keras kepada mereka.
Kemudian, ia kembali kepada anak saudaranya dengan bahasa penuh pembelaan,
“Wahai anak saudaraku, apakah engkau telah puas? Aku bertanya siapa engkau?
Engkau adalah Muhammad bin Abdullah, sungguh rangkaian nasab yang mulia.
Engkau, demi Allah keturunan yang paling mulia dan memiliki kedudukan yang
paling tinggi di tengah mereka. Wahai sekalian kaum Quraisy, siapa saja di antara
kalian yang ingin pergi, lakukanlah. Inilah aku yang telah kalian kenal.”
Selanjutnya, ia membaca bait bait berikut:
Engkaulah
Nabi Muhammad
Pemimpin
yang mulia dan pemberani
Dari
keturunan yang memiliki kemuliaan
Mereka
mulia dan yang dilahirkan pun mulia
Pemelihara
Ka’bah satu-satunya
Remahan
keju pada kelopak mata
Dan
kehidupan Mekkah yang sulit
Dengan
demikian, terbitlah sunah
Di
dalam roti diremukkan
Kami
memberi minum jamaah haji
Dengannya
anggur kering dicairkan
Aku
telah berjanji padamu dengan tulus
Dalam
ucapan yang tidak berlebihan
Kau
selalu berada dalam kebenaran
Dan
kau anak yang muda belia
Abu
Thalib membuka qasidah ini dengan pengakuan yang jelas, yang tidak menyisakan
sedikitpun perdebatan. Apakah bedanya antara orang yang mengatakan “Aku
bersaksi bahwa Muhammad dalah utusan Allah,” dan orang yang mengaku
“Engkaulah Nabi Muhammad….”? Fakta membuktikan bahwa dalam hal itu tidak ada
perbedaan. Keduanya merupakan pengakuan akan kenabian Nabi Muhammad Saw.
Kemudian ia memuji keturunannya dan menyebutkan pekerjaan Bani Hasyim yang
mentradisikan pemberian makan kepada jamaah haji pada saat Mekkah dilanda
kemarau dan kekeringan. Dalam kehidupan yang susah itu, ia memberikan harapan
dan kelapangan, dan menghilangkan kehidupan yang sulit. Dengan demikian, ia
menenangkan hati yang gelisah, mengenyangkan perut yang lapar dan memuaskan
kerongkongan yang dahaga. Setelah itu, dia menunjukkan kasih sayang kepada anak
saudaranya sehingga tidak tersentuh tindakan sewenang-wenang selama ia masih di
muka bumi ini, selama kelopak mata masih berkedip dan kaki masih berjalan. Dia
bukanlah seorang yang pengecut, sementara di sekelilingnya terdapat singa-singa
yang siap memangsa yang dapat membinasakan setiap orang yang menimpakan
keburukan atas segala sesuatu yang tidak disukainya.
Dari
buku Abu Thalib Mukmin Quraisy karya Abdulah al-Khanizi (liputanislam.com/AF)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar