Rabu, 12 Februari 2014

Abu Thalib Mukmin Quraisy


Kecintaan Abu Thalib kepada Nabi Muhammad saw, terlukiskan dari syair-syair yang beliau ciptakan. Kata-katanya indah dan menyentuh. Suatu ketika  saat Abu Thalib mengajak Nabi saw ke Syam dan sampai di wilayah yang disebut Bushra (Bostra), mereka yang tengah beristirahat untuk menghilangkan lelah didatangi oleh seorang rahib yang bernama Buhaira (Bahira). Tanda kenabian yang ada pada diri Nabi saw dikenali dengan baik oleh Buhaira, dan saat itu Abu Thalib diminta untuk menjaganya dengan baik. Abu Thalib pun mengabadikan kisah tersebut dalam syairnya. 

Putra Aminah adalah Nabi Muhammad
Di sisiku, kedudukannya mengungguli anak-anakku*
Tatkala memegang kendali, aku menyayanginya
Dan unta telah siap berangkat dengan membawa perbekalan
Dari kedua mataku, air mata mengalir deras
Bak mutiara, karena telah dtinggalkan orang-orang
Di situ kupelihara kekerabatan yang terjalin
Kujaga wasiat para leluhur tentangnya
Kuperintahkan dia berjalan di antara
paman-paman yang berwajah putih,
pemberani dan gagah.

Mereka berjalan untuk menjauhi tempat yang sudah dikenal
Maka telah menjauhi tempat yang biasa didatangi
Hingga ketika kaum itu melihat dengan mata kepala
mereka dapati sekumpulan pengintai
Seorang rahib mengabari mereka berita yang benar darinya
dan mengusir pendengki itu
Sekelompok Yahudi telah melihat apa yang dia lihat,
naungan awan dengan hati yang penuh dengki
Mereka bergerak untuk membunuh Muhammad
Hingga ia cegah mereka darinya dan berjuang
dengan sebaik-baiknya perjuangan
Zubair dan Buhaira menyembunyikannya hingga ia tersembunyi
Di tengah kaum itu hingga pergi dan menjauh
Pendeta itu melarang Daris hingga ia berhenti bicara
Perintahnya sesuai dengan kebenaran.

Tidakkah kau lihat aku dengan kesedihan yang kurasakan
Karena hilangnya kehangatan kasih sayang kedua orang tua
Pada Ahmad ketika kusiapkan kendaraanku,
untuk berangkat dan kuucapkan selamat tinggal padanya
Ia menangis karena sedih, sementara unta
telah memisahkan kami dan digenggam tali kendali
Kuingat ayahnya, lalu air mataku menetes,
kedua mataku sembab dengan air mata yang bercucuran.

Mereka datang dan ingin membunuh Muhammad
Lalu ia menjauhkan mereka dengan penolakan yang baik
Dengan pemahamannya pada taurat hingga mereka yakin
Dan ia berkata kepada mereka
“Kalian datang ke tujuan yang salah.
Apakah kalian ingin membunuh Muhammad?”
Kalian pasti beroleh kemalangan karena dosa yang besar.
Orang kami dipilih untuk menjadi pelindung siasat
setiap orang jelata cukup melindunginya dari kalian”
Karena itu, diantara tanda  tanda dan bukti buktinya
Siang dan malam tidak seperti malam yang gelap.

*Sejak Rasul saw dirawat oleh Abu Thalib, yang memiliki sedikit harta namun memiliki banyak anggota keluarga. Sedikit di satu sisi dan banyak di sisi lain merupakan penyebab anggota keluarganya tidak pernah kenyang jika mereka duduk menghadap hidangan, baik sendiri maupun bersama-sama. Apabila Rasulullah saw bergabung menyantap hidangan, maka anggota keluarga yang lain akan menunggu sampai beliau kenyang dan memakan sisanya. Apabila waktu makan telah tiba dan Rasul saw belum kelihatan, maka Abu Thalib berkata kepada keluarganya “Bersabarlah kalian hingga anakku datang.” Apabila salah satu dari mereka minum susu dari gelas yang besar, Abu Thalib mengambil gelas itu. Ia ingin Rasul yang minum terlebih dahulu, barulah seluruh keluarganya dari gelas yang sama.

Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib berkata: “Ayahku berkata kepadaku, ‘Hai Ali ikutilah anak pamanmu (Muhammad saw), karena dengannya kamu akan selamat dari setiap kesulitan, baik dunia maupun akhirat’. Kemudian, ia berkata kepadaku, ‘Terdapat jaminan dalam mengikuti Muhammad. Oleh karena itu, genggam eratlah, hai Ali, nasihatnya!’”Abu Thalib menunjukkan kepada putranya agar mengikuti anak pamannya. Di dalam hal itu terdapat keselamatan dari setiap kesulitan di dunia ini dan di akhirat. Bagi keimanan terhadap hari akhirat, hari ketika setiap yang bernyawa meninggal dunia, terdapat pahala. Dan dia telah melakukannya.

Ia melihat Rasul, pada kesempatan yang lain sedang shalat, sementara Ali ada di sebelah kanannya. Lalu, ia memandang putranya, Ja’far dan berbisik kepadanya, “shalatlah di samping anak pamanmu . Shalatlah di sebelah kirinya.” Lalu Abu Thalib melantunkan bait-bait syair yang indah, yang menyebut nama kedua putranya, Ali dan Ja’far anak kesayangannya, ketika zaman mencelanya dan bencana menimpanya, ia memilih kedua anaknya untuk memikul tugas yang paling mulia ini, yaitu membela anak paman mereka.

Ali dan Ja’far kesayanganku
Saat zaman dan bencana mencela
Jangan telantarkan dan belalah
Anak paman kalian, saudaraku seibu seayah di antara mereka
Demi Allah, takkan kutelantarkan Nabi
Dan pemilik kemuliaan, dari anakku
Takkan menelantarkannya.

Kepada saudaranya, Hamzah (Abu Ya’la), Abu Thalib mengajaknya untuk membela agama Allah dan bersabar atas apa pun yang tidak diinginkan yang akan dihadapinya sebagai konsekuensi dari pembelaan ini. Ia harus melindungi orang yang membawa kebenaran dari Tuhannya dengan pembelaan yang tulus dan tekad yang teguh. Abu Thalib pun membacakan syair:

Sabarlah, hai Abu Ya’la, dalam membela agama Ahmad
Jadilah pembela agama ini dengan kesabaran
Lindungi pembawa kebenaran dari sisi Tuhannya
Dengan ketulusan dan tekad kuat, jangan jadi kafir
Bahagialah aku saat kau katakan, “Kau orang Mukmin,”
Jadilah kau pembela Rasul Allah di jalan Allah
Serulah Quraisy dengan apa yang kau peroleh terang–terangan,
Dan katakan, “Ahmad bukan penyihir.”

Ia mempergunakan kesempatan itu untuk menyerukan Islam, untuk mengungkapkan apa yang tersembunyi di dalam dadanya dan perasaan yang terpendam di dalam hatinya. Di antara hal–hal yang menumbuhkan kebahagiannya adalah ketika Hamzah berkata, ”Aku seorang Mukmin.” Oleh karena itu, ia harus menolong Rasul dengan pertolongan Ilahi, membela kebenaran karena mencari keridhaan Allah tanpa memandang sesuatu yang lain, seperti jalinan kekerabatan atau pertalian darah. Agama harus didahulukan sebelum sesuatu yang lain. Al Barzanji dalam kitabnya mengatakan: “Berita berita yang diriwayatkan secara mutawattir menyatakan bahwa Abu Thalib mencintai Nabi Saw. Ia melindungi, membela, dan menolongnya dalam menyampaikan agamanya, serta meyakini apa yang dikatakannya. Ia menyuruh anak–anaknya, Ja’far dan Ali untuk mengikuti dan membelanya.” Ia juga berkata: “Berita berita ini semua jelas, di dalam hatinya dipenuhi keimanan-keimanan kepada Nabi saw”.

Kaum Quraisy marah karena Nabi Muhammad Saw mencela berhala mereka, yang biasa mereka sembah. Mereka pun mengadukan hal ini kepada Abu Thalib. “Wahai Abu Thalib, anak saudaramu telah mencela tuhan–tuhan kami, menghina agama kami, menganggap bodoh akal kami, dan memandang sesat bapak-bapak kami. Apakah engkau menghentikan dia atau menyerahkannya kepada kami, karena engkau berbeda pandangan dengan apa yang kami lakukan. Oleh karena itu, kami memandang engkau dapat memperingatkannya.” Abu Thalib bersikap lembut kepada mereka dan menjawab dengan kata–kata halus sehingga mereka beranjak meninggalkannya. Sementara itu, Rasul terus menyebarkan dakwahnya dan menampakkan agama Allah

Karena mereka tidak mendapat tanggapan atas yang mereka adukan, hasil yang diharap tidak kunjung tiba, dan tujuan tidak tercapai, mereka sepakat untuk mendatangi Abu Thalib lagi. “Wahai Abu Thalib, engkau adalah orang yang dituakan, orang yang dimuliakan, dan memiliki kedudukan di tengah kami. Kami telah memintamu menahan anak saudaramu, tetapi engkau tidak menghentikannya. Demi Allah, kami tidak lagi dapat bersabar terhadap masalah ini, karena bapak -bapak kami telah dicaci-maki, akal kami telah diremehkan, dan tuhan- tuhan kami dicela hingga engkau menghentikannya atau kami sendiri yang menghadapi dirinya dan sekaligus dirimu, sehingga salah satu dari kedua kelompok itu binasa.” Abu Thalib berdiri di antara dua arus yang deras ini. Masing-masing memiliki kepentingan dan kekuatan yang sama. Oleh karena itu, ia merasa takut untuk menyatakan peperangan yang sengit dengan kaumnya yang hanya akan membinasakan orang tua dan anak-anak. Di sisi lain, ia dapat menelantarkan risalah langit, padahal ia telah berjanji untuk membelanya. Ia pun tidak dapat membiarkan anak saudaranya, yaitu utusan langit, sementara ia memiliki hak darinya berdasarkan wasiat ayahnya yang ia sampaikan pada akhir hayatnya

Ia menegarkan hatinya dan menguatkan tekadnya. Lalu, ia memanggil anak saudaranya dan menyampaikan pesan utusan Quraisy kepadanya seraya ingin tahu, melalui pembicaraan ini, sejauh mana tekad dan kesungguhan anak saudaranya itu dalam dakwahnya ini. Kemudian ia melanjutkan: “Kasihanilah aku dan dirimu! Jangan bebani aku dengan perkara yang tidak mampu aku pikul!” Rasul menjawab, “Wahai pamanku, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan tugas ini sehingga Allah memenangkannya atau aku binasa karenanya, maka aku tidak akan meninggalkannya!” Abu Thalib menajamkan pandangannya, lalu ia merasa gembira. Tekadnya menguat lagi. Ia telah mengalahkan arus deras ini sehingga ia harus membelanya. Ia lebih mengutamakan pembelaan terhadap agama ini dan perlindungan kepada Rasul, bahkan kalaupun pembelaan dan perlindungan tersebut mendatangkan permusuhan dari kaum Quraisy seluruhnya, bahkan jika dari bangsa Arab semuanya.

Ia harus berjuang dan tidak merendah selama kehendak langit menganugerahinya limpahan karunia untuk menolongnya, lalu memilihnya menjadi benteng dan gua, pengasuh dan pemelihara, sejak hari pertama kehidupan Rasul dan pada awal terbitnya fajar risalah Islam. “Pergilah, hai anak saudaraku! Sampaikanlah apa yang ingin kau katakan. Demi Allah, aku tidak akan menyerahkanmu pada sesuatu apapun selama–lamanya!” Kemudian, ia berbisik kepadanya sambil membaca bait–bait syair berikut:

Demi Allah, mereka semua tidak akan menyentuhmu
Hingga aku terkubur berkalang tanah
Jalankan tugasmu, dan jangan merendah
Sampaikan tugas itu dan sejuklah matamu.

Kau seru aku, dan kutahu, kau menasehatiku
Kau benar, karenanya kau aman
Kutahu bahwa agama Muhammad
Sebaik- baik agama bagi umat manusia.

Kaum Quraisy yang menginginkan Abu Thalib menghentikan Nabi Muhammad menyampaikan dakwahnya memikirkan cara lain untuk membuat Abu Thalib berubah pikiran. Mereka membawa ‘Imarah bin al-Walid ke hadapannya. “Wahai Abu Thalib, inilah ‘Imarah bin al Walid seorang pemuda yang gagah, pandai bersyair dan tampan. Ambillah dia. Kamu dapat memanfaatkan kecerdasannnya dan kesiapannya untuk membelamu. Jadikanlah dia anakmu sehingga dia menjadi milikmu. Sebagai imbalannya, serahkanlah anak saudaramu kepada kami, yaitu orang yang telah menyalahi agamamu dan agama bapak-bapakmu, serta mencerai-beraikan jemaah kaummu dan mencemoohkan akal mereka. Kami akan membunuhnya karena ia seorang laki–laki seperti laki–laki lain.”

Abu Thalib menjawab dengan tenang, “Demi Allah, betapa buruk yang kalian tawarkan. Apakah kalian akan memberikan kepadaku anak kalian untuk aku beri makan, sementara aku harus menyerahkan anakku untuk kalian bunuh? Demi Allah ini tidak akan pernah terjadi!” Al Muth’imbi Adi bin Naufal bin Abd Manaf, salah seorang sahabatnya pernah berkata, “Demi Allah, wahai Abu Thalib, kaummu telah berlaku adil kepadamu. Mereka berusaha untuk membebaskanmu dari sesuatu yang tidak kamu sukai. Akan tetapi, aku tidak melihatmu ingin menerima sesuatu pun dari mereka.” Abu Thalib menjawab, “Demi Allah, mereka tidak berlaku adil kepadaku, namun kamu telah sepakat untuk menghinaku dan agar kaum itu melawanku. Oleh karena itu, lakukanlah apa yang kamu inginkan.” Abu Thalib menggubah syair yang menceritakan tindakan Al Muth’im bin Adi yang telah menghinanya, juga dari kabilah Abd Manaf dan orang-orang dari kabilah Quraisy yang memusuhinya:

Katakan kepada Amr, al Walid, dan Muth’im
Alangkah baiknya kalau unta muda melindungimu
Yang penuh dari kelemahan dan banyak bicara
Tetesan kotorannya menetes hingga kedua betisnya
Tertinggal di belakang mawar dan tidak pernah menyusul
Ketika di atas batu besar, disebutlah kucing
Kulihat dua saudara kami seayah seibu
Bila ditanya, menjawab “Berikan perkara itu pada selain kami”
Tentu, keduanya punya urusan, tapi keduanya jatuh
Seperti batu jatuh pada dari puncak gunung Dzu ‘Alaq
Aku khususkan Abd Syams dan Naufal
Keduanya membuang kami bagai membuang bara api.
Keduanya mencela saudara mereka di tengah kaum
Sehingga keduanya menjadi yang paling jauh akalnya
Keduanya bersekutu terhadap kemuliaan orang yang tidak berayah
Di tengah manusia, kecuali menyebutnya secara bisik bisik.
Dan Taym, Makhzum, dan Zahrah, dari mereka
Mereka maula kami ketika pertolongan dibina
Demi Allah, tidak berguna bagimu permusuhan dan kami
Dan dari mereka, selama tak seorangpun dari keturunan kami
Akal dan pikiran mereka telah beku
Dan mereka seperti anak–anak,
betapa buruknya perbuatan anak–anak
Bukankah itu selain kemuliaan yang dikhususkan bagi kami
Oleh Tuhan para hamba
Dan memilih kami jadi kebanggaannya
Orang–orang cenderung kepada pendengki dan membenci
Orang yang memiliki ketinggian, maka selamanya
menjadi keganjilan di tengah mereka
Walid, ayahnya, adalah budak kakek kami
Tipu daya mengubahnya menjadi keledai liar

Kekuatan Rasul bertambah kokoh sehingga jauhlah jarak di antara Bani Hasyim dan Muthalib dengan kaum Quraisy. Abu Thalib semakin mewaspadai kaum Quraisy terhadap Rasul melebihi hari–hari sebelumnya. Ia selalu melindunginya dan selalu merasa khawatir bila malapetaka menimpanya. Rasul hampir tidak pernah jauh dari pandangannya agar kesusahan dan kesulitan tidak terjadi padanya. Abu Thalib pernah merasa kehilangan anak saudaranya ini. Ia terus menerus mencarinya tetapi tidak menemukannya. Oleh karena itu, ia mulai cemas dan khawatir, serta wajahnya menjadi pucat karena bercampurnya kegelisahan, kesedihan dan ketakutan terutama setelah ia mendengar bahwa kaum Quraisy berencana akan membunuh Muhammad untuk menghentikan dakwah Islam.

Ia memanggil pemuda dari kalangan Bani Hasyim dan Muthalib. Ia memerintahkan kepada mereka agar menyembunyikan senjata tajam masing–masing di balik baju. Kemudian ia menyuruh setiap orang dari mereka berdiri di samping pemuka Quraisy dan memberi tanda. Apabila ia telah berputus asa mencari Muhammad dan atau darahnya telah tumpah sia-sia, padahal darahnya yang tertumpah tidak sebanding dengan darah mereka semua atau jika Muhammad telah terbunuh, maka mereka dapat  mendatangi para pemuka Quraisy itu dalam sekejap mata dengan menghunus senjata tajam sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk membalas.

Masing–masing pergi menuju sasarannya. Anak- anak muda itu mulai menempati tempat masing– masing yang telah ditentukan oleh Abu Thalib. Ia sendiri pergi ke berbagai tempat untuk mencari anak saudaranya. Kemudian, ia menemukannya dalam keadaan baik, tidak terluka sedikitpun, Abu Thalib menggandeng tangannya dan membawanya ke tengah–tengah khalayak Quraisy sambil berteriak kepada mereka, “Wahai sekalian kaum Quraisy, tahukah kalian apa yang telah aku sembunyikan?” Anak–anak muda dari Bani Hasyim dan Muthalib pun memperlihatkan senjata mereka yang telah disembunyikan untuk menantang mereka dan menunjukkan kekuatannya  kepada mereka. Tampaklah kekalahan pada wajah kaum Quraisy, yang paling tampak jelas adalah wajah Abu Jahal. Abu Thalib berkata kepada mereka, “Demi Allah, kalau kalian membunuhnya maka aku tidak akan membiarkan siapapun dari kalian tetap hidup hingga kami dan kalian binasa!” Kemudian, Abu Thalib menggubah bait–bait syair. Di dalamnya ia memuji anak saudaranya, setelah mencela kaum Quraisy dan menyatakan ia berpihak kepada Muhammad dan keluarganya. Dialah pengasuh dan pemeliharanya, yang kecintaan kepadanya tertanam di dalam hatinya dan memenuhi dadanya. Ia bukanlah seorang pemutus tali silaturahmi:

Sampaikanlah kepada Quraisy apa yang terjadi
Terdapat tipuan dari semua rahasia
Aku dan para pelantun tasbih setiap hari
Dan apa yang dibaca ahli surga yang masyhur
Pelindung dan pemelihara bagi keluarga Muhammad
Dan dengan cintaku sepenuh dada dan bathin
Bukanlah aku pemutus kekeluargaan dan dari anakku
Walaupun para jagal menjalankan kezalimannya
Apakah mereka suruh anak–anak yang lemah
untuk membunuh Muhammad?
Dan perintah itu merupakan kelaliman
Demi ayahmu, kaum Quraisy tidak beroleh
Dan tidak mengimani petunjuk walau mereka ditunjuki
Anak saudaraku jantung hati bagiku
Airnya jernih banyak berlimpah
Sesudahnya anak-anak minum sampai puas
Dan Ahmad telah menjanjikan baginya kubur.

Ketika suatu hari Rasul sedang bermunajat kepada Tuhannya, naik ke alam tertinggi dan tenggelam di dalam dunia roh, tiba-tiba orang Quraisy datang untuk menghinakannya. Rasul sedang menunaikan shalat, dan mereka ingin mengganggu shalatnya. Pekerjaan tersebut ditugaskan kepada Abdullah bin az Zabari. Orang ini pun melaksanakannya dengan semangat. Ia mengambil kotoran dan darah sembelihan binatang lalu mendatangi Rasul yang sedang bersujud di dalam keutamaan, lalu melemparkannya ke tubuh Rasul. Rasul tidak memiliki tempat mengadu selain Abu Thalib. Ia ingin mengadukan kepadanya penderitaan yang diterimanya agar orang tua tersebut membelanya. Setelah selesai menunaikan shalatnya Rasul pun menemui Abu Thalib dan menceritakan kejadian yang menimpanya. Abu Thalib berang atas apa yang menimpa anak saudaranya. Ia harus menuntut balas kepada mereka. Sambil membawa anak saudaranya dan meletakkan pedang di pundaknya ia menemui kaum itu.  Kata-kata seperti guntur keluar dari mulutnya: “Demi Allah, kalau seorang saja berdiri, ia akan kutebas dengan pedangku”

Mereka pun bertiarap di tanah seperti orang yang kehilangan semangat. Abu Thalib berpaling kepada anak saudaranya dan bertanya; “Anakku, siapa yang melakukan ini kepadamu?” Rasul menunjuk ke Ibn az Za’bari. Tanpa basa basi, Abu Thalib menebas hidungnya hingga darah berceceran mengenai kaum itu serta membasahi wajah janggut serta pakaian mereka. Ia berbicara keras kepada mereka. Kemudian, ia kembali kepada anak saudaranya dengan bahasa penuh pembelaan, “Wahai anak saudaraku, apakah engkau telah puas? Aku bertanya siapa engkau? Engkau adalah Muhammad bin Abdullah, sungguh rangkaian nasab yang mulia. Engkau, demi Allah keturunan yang paling mulia dan memiliki kedudukan yang paling tinggi di tengah mereka. Wahai sekalian kaum Quraisy, siapa saja di antara kalian yang ingin pergi, lakukanlah. Inilah aku yang telah kalian kenal.” Selanjutnya, ia membaca bait bait berikut:

Engkaulah Nabi Muhammad
Pemimpin yang mulia dan pemberani
Dari keturunan yang memiliki kemuliaan
Mereka mulia dan yang dilahirkan pun mulia
Pemelihara Ka’bah satu-satunya
Remahan keju pada kelopak mata
Dan kehidupan Mekkah yang sulit
Dengan demikian, terbitlah sunah
Di dalam roti diremukkan
Kami memberi minum jamaah haji
Dengannya anggur kering dicairkan
Aku telah berjanji padamu dengan tulus
Dalam ucapan yang tidak berlebihan
Kau selalu berada dalam kebenaran
Dan kau anak yang muda belia

Abu Thalib membuka qasidah ini dengan pengakuan yang jelas, yang tidak menyisakan sedikitpun perdebatan. Apakah bedanya antara orang yang mengatakan “Aku bersaksi bahwa Muhammad dalah utusan Allah,” dan orang yang mengaku “Engkaulah Nabi Muhammad….”? Fakta membuktikan bahwa dalam hal itu tidak ada perbedaan. Keduanya merupakan pengakuan akan kenabian Nabi Muhammad Saw. Kemudian ia memuji keturunannya dan menyebutkan pekerjaan Bani Hasyim yang mentradisikan pemberian makan kepada jamaah haji pada saat Mekkah dilanda kemarau dan kekeringan. Dalam kehidupan yang susah itu, ia memberikan harapan dan kelapangan, dan menghilangkan kehidupan yang sulit. Dengan demikian, ia menenangkan hati yang gelisah, mengenyangkan perut yang lapar dan memuaskan kerongkongan yang dahaga. Setelah itu, dia menunjukkan kasih sayang kepada anak saudaranya sehingga tidak tersentuh tindakan sewenang-wenang selama ia masih di muka bumi ini, selama kelopak mata masih berkedip dan kaki masih berjalan. Dia bukanlah seorang yang pengecut, sementara di sekelilingnya terdapat singa-singa yang siap memangsa yang dapat membinasakan setiap orang yang menimpakan keburukan atas segala sesuatu yang tidak disukainya.

Dari buku Abu Thalib Mukmin Quraisy karya Abdulah al-Khanizi (liputanislam.com/AF)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar